Juri Satu

Selamat pagi, siang, sore, dan malam~

Wahhh, berat juga ya ngejuri bulan ini. Cerpen yang masuk banyakkkk (walaupun jumlah katanya sudah diminimalis, tetap bikin mata keder).

Jadi bagaimana? Untuk yang baru gabung, sudah nano-nano belum ikutan event perdananya? Jangan kapok dulu, ya, karena masih ada bulan-bulan di depan lagi yang menunggu dengan tema cerpen yang beda, tentunya.

Selamat datang dan nikmatilah sensasinya~

1. So Long! 6,7/10

Cerpen ini bermain twist ya, di bagian penutup. Sayangnya, eksekusi masih agak ngambang; dilihat dari beberapa komentar yang 'kurang paham' dengan maksud ending. Salah satu penyebabnya karena kalimat bertele-tele; kurang efektif, yang membuat rancu. Ini lumayan banyak dan beberapa sudah ditandai di komentar inline oleh teman-teman juri.

Masalah kedua, yang juga perlu disorot, adalah detail yang kurang terasa. Apalagi mengambil latar luar negeri. Untuk aku pribadi, yang memang enggak tahu banyak soal Jepang pasti nggak akan dapet gambaran kalau penceritaan latar kurang detail.

.

2. Boga tak Bodoh 8,9/10

Biasanya, kambing baru ramai diperbincangkan saat dekat-dekat Idul Adha. Tapi di cerpen ini, kita diajak bertemu Jek, si kambing (harus bagaimana aku nyebutnya?) malang(?). Yang menarik dari cerpen ini, selain tokoh seekor kambing yang cukup jarang dipakai, adalah plotnya. Sederhana, tapi bisa memberi kesan begitu selesai dibaca

Enggak banyak yang perlu dicatat dari cerita ini. Cuma ada sedikit (beneran minim) keseleo pemilihan kata yang bikin sedikit tersandung waktu baca. Selebihnya, enggak ada.

.

3. Cintaku Dibalas dengan Sandal 8,2/10

Selain humor Cecep yang menjadi ciri cerpen ini, gaya bahasa ringannya juga cocok dengan tema dan target pembaca yang dibidik. Walaupun sempet beberapa kali ada kesilep penggunaan kapital untuk nama (sejujurnya, ini agak berpengaruh karena mataku suka autofokus), tapi enggak terlalu bermasalah. Justru yang perlu aku kasih catatan adalah pronomina yang kurang jelas ditujukan untuk siapa, terkadang membuat rancu (sampai harus dibaca beberapa kali, loh, baru ngedong, wkwk).

Well done. Aku enggak akan nolak kalau yang tulis cerpen ini mau nyodorin tulisan sejenis ini ke aku.

.

4. Diandra 6,6/10

Bukti kalau LDR itu berat. Buat kalian-kalian yang lagi LDR sekarang, awas, nanti putus. Eh, wkwkwk.

Oke-oke, balik ke topik. Yang mau aku bahas di sini adalah logikanya (karena masalah teknis lain, udah cukup kenyang di komen inline cerpennya, 'kan?). Terutama dan cukup mengganggu, menurutku, adalah SNMPTN ke Jepang. Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Hayoloh, ada judul nasional di situ, berarti khusus buat di Indo aja, ya. Kalau memang mau membuat tokoh kuliah ke luar negeri, lebih bagus riset dulu, untuk bisa kuliah ke luar, jalannya itu apa saja? Tes? Beasiswa? Biar enggak ada kesalahan fatal kayak begini. Semangattt~

.

5. Black Wedding Dress 6,8/10

Jujur, cerita ini aslinya lumayan. Bener, deh. Apalagi twist-nya yang memang berhasil bikin aku terkejut (dalam dua hal; karena twist itu sendiri, juga karena 'terlalu tiba-tiba' yang jatuhnya agak maksa). Dari tadi aku ngomongin twist mulu, karena memang di sana yang paling berhasil bikin aku jantungan. Sayangnya, bumbu-bumbu pendukung twist-nya kurang. Setiap ingin menyajikan plot twist, lebih bagus kalau diselipkan clue supaya enggak muncul ujug-ujug (tiba-tiba) yang mengurangi nilai cerpennya.

Selain itu, masalah karakter juga lain-lainnya, rasanya sudah cukup dari komentar-komentar inline teman-teman juri.

.

6. Fly with Music 7,3/10

Ini ... fantasi, 'kan? Setiap kali denger cerita fantasi, aku selalu antusias. Kenapa? Karena aku selalu pengen bikin cerita fantasi, tapi enggak sanggup; jadilah baca cerita fantasi itu semacam obat buat mengurangi hasrat yang enggak kesampaian itu.

Nah, yang perlu diperhatikan dari cerpen ini adalah, unsur fantasinya yang jujur aja, kurang berasa. Walaupun kamu mau buat cerita yang fantasinya minor, pasti tetap ada beberapa bagian 'fantasi' yang menonjol. Dan di sini, kekurangan bumbu itu. Aku enggak menuntut latar yang berbeda dengan dunia yang kita kenal selama ini (fantasi enggak melulu soal latar buatan sendiri, 'kan). Hanya saja, jenis fantasi apa yang mau dijual di sini? Aku ada ingat kalau tokohnya sempat terbang dan mengelurkan sebuah jurus. Iya, kan? Tapi kurang optimal. Buat aku malah seperti dia sengaja dimasukkan ke sana supaya cerita ini bisa disebut fantasi, bukan karena unsur itu memang dibutuhkan di dalam cerita. Semacam ... tempelan?

.

7. Mysophobia 9/10

Selama ini aku tinggal di lingkungan yang biasa aja. Dapat masalah pun paling seputar nilai anjlok, atau berantem cuma karena disuruh-suruh mulu sama orang tua, rebutan remote TV sama adek. Semua lurus. Dan permasalahan semacam gay dan lesbian itu bisa dibilang ... masih tabu. Jadi, bisa dibayangkan waktu aku disuruh baca cerita (yang kalian sebutnya) belok, 'kan?

Ah, bukannya aku benci, jijik, atau mau kasih kata penghakiman apa pun itu sama cerita belok. Aslinya, cuma enggak bisa, bener-bener enggak bisa baca cerita kayak begitu. Tapi, kayaknya aku perlu berterima kasih di cerpen ini. Apa, ya. Kalau aku bilangnya, cerpen belok yang satu ini masih taraf aman, enggak terlalu ekstrim buat aku yang memang enggak bisa banget-bangetan baca cerita semacam ini. Hubungan antartokohnya pun enggak terkesan terlalu buru-buru, apalagi berlebihan. Pas, gitu aja.

Tapi anu ... memang nyembuhin sindrom pecinta kebersihan itu bisa semudah itu? Itu merujuk di scene terakhir, btw, yang bagian (aduh, aku lupa nama tokohnya) pegangan tangan itu. Aku agak sangsi karena di narasi dibilangnya nyaman, alih-alih ada rasa was-was gitu.

.

8. Dia Pergi 7,2/10

Yang paling berpengaruh mengurangi nilai di cerpen ini adalah susunan kalimatnya. Seperti kerancuan yang cukup sering aku lihat. Belum lagi ada pemilihan kata yang kurang pas, seperti semilir angin sore yang mengguncang, berhasil mengurangi kenikmatan waktu membaca. Ditambah lagi dengan dobel kata semakna yang diletakkan bersisihan, jadi enggak efektif.

Sebenarnya, tema yang diangkat bagus, loh. Apalagi kejadiannya memang baru-baru ini dan masih lumayan hangat dibicarakan, 'kan. Coba lain kali lebih perhatikan pemilihan kata, susunan kalimatnya, apakah sudah sesuai atau belum.

.

9. Oneiroi 8/10

Well well, tema lucid dream udah lumayan sering diangkat jadi cerita, ya. Dan di sini, nuansa manis-manis legitnya udah cukup tergambar. Paling enggak, cukup untuk menghibur satu orang di sini yang juga mau disayang. Eh, wkwkwk.

Tapi, yang aku butuhkan di cerita ini adalah, bagaimana cara tokohnya melakukan lucid dream? Paling enggak, jabarkanlah sedikit soal lucid dream-nya ini, supaya pembaca yang (mungkin) masih asing dengan lucid dream bisa mendapat sedikit gambaran.

.

10. Lucas's Problem 8/10

Seperti yang kusinggung sebelumnya, aku enggak bisa (bukan enggak mau atau benci) baca cerita yang punya unsur belok-belok begini. Dan sejujurnya, aku sempat ingin skip baca pas adegan Lucas sama siapa itu teman laki-lakinya? (Maaf, udah beberapa hari dibaca, dan agak susah juga kalau harus menghafal nama seluruh tokoh di semua cerpen).

Tapi tenang aja, aku enggak menampik kalau narasi di cerpen ini cukup ngalir. Aku harus berandai-andai, kalau saja di scene awal itu adegan laki-laki dan perempuan, supaya nilai cerita ini bisa lebih objektif. Dan itu yang menjadi jawabanku buat kasih nilai cerpennya.

.

11. Dunia Ini Bukan Tempat untuk Tukang Cemburu 8,2/10

Narasi kocak yang bikin senyum-senyum sendiri memang sudah jadi ciri khas penulis satu ini, ya (dia sudah terang-terangan sebut merek di cerpennya). Dan humornya berhasil. Aku beberapa kali dibuat senyum-senyum sendiri sama cerpen ini.

Mengambil kisah romansa dari sudut seorang pecemburu. Aku enggak tahu lagi harus bilang apa selain, hei, ini bagus. Kapan lagi kita bisa baca cerita dari perspektif pecemburu yang enggak kekanakan kayak gini.

.

12. Forgive Me 7,7/10

Terlepas dari logika, alur cerita ini bagus. Ditambah lagi kesalahan teknis yang minim sekali, seharusnya bisa mendapat nilai tinggi. Sayangnya, aku menyangsikan beberapa poin.

Aku sempat tanya seorang kenalan tentang aturan mutlak untuk donor mata. Dan itu tetap harus dengan syarat pendonor sudah meninggal atau mati batang otak. Kalau masih dalam keadaan hidup, aku ragu.

Begini, cerita ini memang fiksi. Tapi dalam fiksi pun tetap harus ada logika yang meyakinkan dan enggak menyesatkan agar membuat pembaca percaya. Katakanlah mendonor mata dengan pendonor yang masih hidup itu boleh. Kalau begitu, ceritakan. Buat pembaca percaya dengan ceritamu. Dan di sini, aku belum nemu ajakan buat percaya itu.

.

13. First Love 6/10

Kayaknya sudah enggak perlu bahas kesalahan lagi di sini, karena sudah buanyak banget dibahas di komentar inline di cerpennya. Saranku, perbanyak baca dan sering-sering nulis, ya. Jangan sungkan kalau mau tanya apa pun soal kepenulisan. Teman-teman yang lain pasti akan dengan senang hati membantu.

.

14. Katastrofe 6,2/10

Permasalah di cerpen ini sama dengan cerpen sebelumnya. Logika yang menurutku agak susah diterima. Detailnya ada di komentar inline pada cerpen. Gerak-gerik dan respons tokohnya pun rasanya enggak masuk akal.

Begini, kita di tengah-tengah gempa, bukannya berusaha menyelamatkan diri, tapi lebih memilih mengangkat telepon? Iya kalau dari keluarga, mungkin masih bisa diterima. Tapi pacar? Apalagi di sana si laki-laki diceritakan playboy, kan, setengah bajingan, malah. Jadi agak enggak pas.

.

15. Di Sudut Kafe 7,8/10

Ibarat naik motor di jalan sepi yang lurus memanjang. Tanpa tanjakan atau tikungan. Begitulah cerpen ini. Terlalu lurus, tanpa ada lonjakan maupun penurunan ketegangan(?)

Beruntungnya, narasi cukup membantu, juga kerapiannya. Tapi, andai saja ceritanya lebih panjang, dengan beberapa detail tentang hubungan antartokoh, harusnya cerpen ini bisa lebih bagus. Pembaca pun bisa ikut diajak mengenal para tokoh lebih dalam.

.

16. Bukan yang Terpilih 9/10

Kalau kata lagu Selow, cerpen ini adalah salah satu gacoanku, wkwkwk. Aku enggak ingat apa yang perlu diperbaiki dari cerpen ini selain latar tempat yang belum terasa. Percayalah, aku pun sama berdarah-darahnya dengan satu masalah ini :"

Aku suka narasinya, tipikal yang bikin aku betah baca walaupun itu banyak bin tebal. Belum lagi penggambaran perasaan tokohnya cukup kuat, semakin mendukung suana. Btw, aku boleh jambakin karakter lakiknya, nggak? Aku sebal :)

.

17. Hanya Padamu 6,4/10

Anu ... aku cukup yakin kalau aku selalu merasa kurang nyaman dengan narasi yang terlalu berbunga-bunya. Dan di cerpen ini, bukan hanya narasi, dialog pun sama berbunganya. Rasanya seperti, apa bedanya narasi dengan dialog?

Lalu, kemunculan sosok ketiga itu cukup berhasil bikin aku kaget. Kalau kubilang, apa fungsi dia untuk jalan cerita? Karena dari yang aku tangkap, permasalah pun hanya berkutat di dua tokoh utamanya, tidak perlu ditambah bumbu tokoh ketiga. Lebih lagi, tidak ada penyelesaian tokoh ketiga tentang perasaannya pada tokoh utama laki-laki.

.

18. Januari dengan Cinta 7,1/10

Rasanya, paragraf pembuka cerpen ini tidak cukup penting untuk dijabarkan. Kalau dihapus, menurutku enggak akan terlalu berpengaruh. Lalu untuk konflik, sepertinya ada ketidakimbangan yang disorot. Kalau permasalahan utama yang mau diangkat adalah kisah antara Kayla dengan sahabat laki-lakinya, seharusnya lebih fokus bercerita di sana. Apa, ya, karena terlalu fokus dengan sahabat-sahabat perempuannya, kisah Kayla dengan si cowo jadi kurang diekspos. Dan hasilnya, di ending seperti terasa tiba-tiba. Awal mengatakan tidak mudah membuka hati untuk laki-laki, mendadak di akhir menjadi melankolis karena laki-laki. Wah, jadi enggak konsisten, 'kan?

.

19. Suara Hati Lia 7/10

Di cerpen ini juga fokus penceritaannya kurang terlihat. Kayak, what? Si ketua OSIS suka sama ketua kelas? Padahal dari awal yang disorot itu hanya ketua OSIS dengan Lia, dan bisa kubilang, peran ketua kelas ini kurang berasa. Jadi semacam, agak kurang enak kalau mendadak ketua kelas menjadi pemeran penting di sini.

Coba lebih kenali tokoh-tokoh kamu. Beri masing-masing posisi yang benar-benar kuat untuk cerita, supaya enggak menimbulkan kekurangserasian seperti cerpen ini.

.

20. Pacar 8,4/10

Kupikir awalnya ini kisah anak SMA, ternyata kuliahan, wkwkwk. Enggak masalah, kok. Aku cukup terhibur sama narasinya, btw. Lumayan enak diikutin, cocok buat jenis bacaan ringan kayak gini.

Mungkin memang porsi narasi lebih banyak dari dialog, tapi terbantu karena gaya narasi yang ringan. Jadi enggak merasa cepat jenuh.

.

21. OSN Terbaik 7,5/10

Mari kupas paragraf pertama. Ada kalimat 'Dia telat mengumpulkan karena kemarin tidak masuk.' Lalu ada kalimat lanjutan berbunyi 'Dhiya semangat menuntaskannya dan menjadi penumpuk tugas pertama.' Eh, gimana ini? Kontradiksi :"

Lalu, kalimat 'Waktu seumuran kamu', kupikir laki-lakinya ini guru muda atau gimana, soalnya dapet kesan kalau dia beberapa tahun lebih tua dari Dhiya. Eh, ternyata kakak kelas.

Coba lebih perhatikan pemilihan katanya, ya.

.

22. Cinta dan Luka Paling Indah 8,3/10

Mmmm, apa, ya. Aku mulai kehabisan kata-kata buat komentar :"

Aku sudah menduga kalau cerita ini bakal manis, lalu terjun bebas di bagian ending. Eh, bener, dong. Beri selamat, dong, buat aku, wkwk. Walaupun ending-nya tertebak, cara bercerita yang lumayan ngalir bisa mengampuni(?) ending-nya. Oh, aku juga enggak masalah kok sama cerita yang mudah ditebak selama penyajiannya bisa dinikmati. Dan cerpen ini punya itu~

.

23. Akhir Penantian 8,1/10

Cerpen ini cukup panjang buat menuangkan satu scene pertemuan. Aku juga sempat sekali dua kali skip narasi karena ngerasa 'enggak perlu dibaca pun sudah dapet intinya'. Lalu, latarnya itu di bukit kecil, 'kan? Kayak apa bukitnya? Ada apa saja di sana? Bagaimana hawanya? Enggak digambarin sama sekali, loh, karena terlalu fokus sama perasaan tokoh.

Meskipun begitu, cerpen ini masih enak buat diikuti, kok, walau memang ada beberapa pemborosan kata yang bisa dihapus.

.

24. Cinta dan Maaf 8,1/10

Sejauh membaca cerpen ini, enggak banyak masalah yang aku dapet. Hanya satu poin yang mau aku bahas. Bagiku, kisah mereka enggak beda jauh sama orang pacaran. Bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, terlalu kekanak-kanakan untuk ukuran seseorang yang sudah menikah lima tahun. Eh, bener kan mereka sudah nikah selama itu?

Mungkin kalau masih penganten baru, lalu berantem, dan mendadak sama-sama kekanakan, aku masih bisa maklum. Tapi kalau sudah lama ... aku agak enggak yakin.

.

25. Hanya Teman 7,8/10

Romansa antarsahabat, ya? Well, siapa yang menyangka ada yang macam itu? Wkwkwk. Bisa dibilang, cerpen ini memberi warna sendiri untuk cerita genre romance. Romance enggak melulu soal sepasang kekasih, tapi juga bisa untuk sepasang sahabat, seperti di cerpen ini. Aku enggak bisa kasih komentar khusus selain perkuat tokoh-tokohnya. Tiap baca, aku selalu mikir agak lama buat inget mana Asri dan mana Nita.

Yaampun, ini panjang. Habis enam lembar di word loh, sampai 2000 kata. Oke, ampuni, kayaknya aku terlalu khilaf kasih komentarnya.

BTW, komentar-komentarku bukannya mutlak benar. Tolong diambil yang perlu dan buang saja yang dirasa enggak perlu atau berlebihan. Oh iya, silakan diingatkan kalau-kalau ada kata-kataku yang bikin enggak enak hati. Aku menerima tampolan, kok.

Luplup
Anak Cantik❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top