FORGIVE ME

Tanah becek, bau menyengat, lalat berterbangan menjadi latar tempatnya mengais rejeki. Nanang, lelaki lanjut usia yang lahir 4 tahun setelah Indonesia merdeka ini, sudah hampir 30 tahun menggantungkan nasib pada tumpukan sampah ibu kota. Bau menyengat sisa makanan yang membusuk serta sisa kotoran bayi di diapers yang dibuang begitu saja sebelum dibersihkan, sudah tak menganggu indra penciumannya. Di saat orang-orang menutup hidung sembari melontarkan umpatan terhadap dinas kebersihan yang tak sigap menangani sampah, senyum Nanang malah semakin merekah. Semakin banyak sampah, itu artinya semakin penuh kantongnya terisi rupiah.

"Kakek!!!" seru seorang gadis dari kejauhan.

Nanang menoleh, menarik napas yang terasa semakin berat. Ia tersenyum, saat melihat cucunya di seberang jalan. Setengah menggetar, Nanang berjalan mendekat. Namun, batuk  yang semakin parah membuatnya terhenti di tengah jalan. Nahas, motor sport berkecepatan tinggi menghempas tubuhnya. Menyeret tubuh renta itu sampai 7 meter dari tempatnya semula.

Gadis di seberang jalan berteriak histeris. Diikuti warga sekitar yang semakin ramai mengerumuni sosok lelaki tua terbujur kaku dengan kepala yang tak henti mengeluarkan darah.

"Kakek ...." Seruan itu terus terdengar. Meraung seperti kesetanan.

Kanaya. Gadis itu memeluk tubuh Nanang yang bersimbah darah. Menangis sekencang-kencangnya. Terlebih saat seorang warga memastikan nyawa Nanang tak tertolong. Kanaya berteriak, memaki diri sendiri. Menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa sang kakek.

"Ada apa ini?"

"Korban tabrak lari, Pak," jawab warga yang menenteng plastik belanjaan berwarna merah.

Pria berseragam mencengkram bahu Kanaya.  "Yang tabah, kami harus membawa Bapak ini ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan." Pria itu polisi. Bayu Hartanto, nama yang tertera di seragamnya.

Kanaya terisak lalu berteriak, "Untuk apa dilakukan pemeriksaan, Pak! Nyawa Kakek saya sudah tiada! Apa bisa dikembalikan lagi? Tidak, 'kan? Saya orang tak punya, Pak. Saya takkan bisa mampu membayar biaya pemeriksaan yang tak berguna itu! Kakek saya sudah mati, Pak!”

Bahu Kanaya bergetar, bercak darah mendominasi kemeja putihnya. Ya, hari ini Kanaya lulus tes wawancara kerja. Itu sebabnya, ia sangat bersemangat ingin memberitahu kakeknya perihal kabar baik ini. Namun, ajal terlebih dulu menjemput kakeknya.

Tulang kakinya seakan melunak, Kanaya tersungkur tepat di hadapan jenazah kakeknya yang hendak di angkat ke dalam ambulance.

"Hanya kakek yang Kanaya punya. Kenapa Kakek tega meninggalkan Kanaya, Kek?" Iba. Bayu menunduk, menyejajarkan tingginya dengan puncak kepala Kanaya. Seperti dua kutub magnet yang berbeda, Bayu spontan menarik tubuh Kanaya untuk bersandar di dekapannya. Merengkuh tubuh gadis yang berlinang air mata.

Perlahan, kerumunan mulai berkurang. Satu per satu warga kembali melanjutkan aktivitasnya. Mobil ambulance yang mengangkut Nanang juga sudah berlalu. Meninggalkan Kanaya yang jauh pingsan di pelukan Bayu.

Di seberang jalan, di balik pagar besi yang sebagian bertagar, seorang lelaki menatap ke arah Kanaya.  Sebagian wajahnya ditutupi oleh buff bergambar tengkorak. Pria itu mendengkus, dengan detakan jantung yang beradu cepat.

***

"

Lo kenapa, Bang?"

Bayu menggeleng pelan, menelungkupkan wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Tadi ada kasus tabrak lari. Korbannya meninggal."

Pria yang bertanya tampak tertegun. Menghempas bokongnya tepat di sisi Bayu. Menyandarkan punggungnya di sofa kulit bernuansa oranye itu.

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa, Bang. Gue cuma ... kecapean. Tugas kuliah lagi numpuk."

Bayu mengacak rambut adiknya. Tak ada penolakan seperti biasanya.

"Dik, walau Abang bukan saudara kandungmu. Jangan pernah tinggalkan Abang, ya. Cuma kamu yang Abang punya," lirih Bayu disertai mata yang berkaca-kaca.

"Lo kenapa sih, Bang? Gue jadi merinding! Tugas negara ngebuat lo gila, ya!" celetuk Andika, asal.

"Abang serius! Tadi ada seorang gadis yang menangis karena kehilangan anggota keluarga satu-satunya. Kakeknya tewas jadi korban tabrak lari pengemudi motor." Bayu menjeda kalimatnya. Tubuh Andika menegang. "Abang harus menemukan pengemudi motor itu. Orang tak bertanggung  jawab sepertinya harus diberi pelajaran," sambung Bayu lagi.

Suasana hening. Tubuh Andika masih menegang. Telapak tangannya basah—berkeringat.

"Kamu kenapa?"

Andika menggeleng, melenggang pergi meninggalkan Bayu yang masih termenung memikirkan nasib Kanaya. Bayangan gadis berambut ikal yang dikuncir asal itu terus memutari otaknya. Getaran tak biasa saat memeluk gadis itu semakin membuatnya salah tingkah.

———

Rintik hujan membasahi tanah pemakaman. Tak ada bunga, tak ada banyak orang yang mengitari makam baru itu sembari memanjat doa. Di sana hanya ada seorang gadis. Kanaya. Meratapi sepotong papan yang menjadi nisan tertulis jelas nama Nanang, kakek tercintanya.

Geming, Kanaya tak berucap sepatah kata pun. Tanpa ekspresi. Hanya terlihat mata bengkak yang masih berair.

"Ehem ...."

"Kamu siapa?" Kanaya bertanya. Terkejut.

"Gue Andika, bokap gue dikubur di sana. Gue penasaran, dari tadi lo bediri di sini, gak ada yang nemenin." Andika mengalihkan pandang ke arah makam yang masih basah. "Makam kakek lo?" tanyanya.

"Tau dari mana?"

"Ah, itu ... dari ... dari tahun lahir yang ada di nisan. 1949. Pasti kakek lo, 'kan?"

Kanaya mengangguk. Menghapus sisa air mata dengan jari telunjuk. "Kemarin, Kakek jadi korban tabrak lari." Suasana tegang, Andika menggigit bibir bawahnya, meremas saku lalu mengepal tangan.

"Yang nabrak uda ketangkep?"

Kanaya menggeleng. "Aku tak tau, tapi aku harap, pelaku bisa tertangkap. Walaupun, kakek juga nggak bakal bisa kembali lagi.”

Andika menunduk. Udara dingin pemakaman di sore menjelang malam tak dapat menahan keringatnya.

"Kamu kenapa?"

Gantian, Andika yang menggeleng. Kemudian menawarkan diri untuk mengantar Kanaya pulang, berjanji akan menebus kesalahan besarnya.

***

Hari silih berganti. Tepat 2 bulan setelah kematian Nanang, keakraban Kanaya dengan Andika semakin terjalin. Tersenyum, bercanda, tertawa. Melalui hari dengan bahagia. Sampai ketika, kata cinta tercetus di antara keduanya.

Jujur, dari lubuk hati Andika, aawalnya ia hanya ingin meringankan beban Kanaya yang kini hidup sebatang kara. Namun, beberapa hari ini rasa cinta benar-benar tumbuh di hatinya. Tutur Kanaya yang lembut dan sangat penyayang, mampu membangkitkan peri cinta di hati Andika. Begitupun dengan Kanaya. Duka yang merundunginya sedikit demi sedikit terkikis. Tergantikan dengan tawa yang meledak saat bersama Andika.

"Nay, apa bener lo cinta sama gue?"

Kanaya mengangguk. Gadis berambut ikal dengan alis tebal tanpa ukiran buatan itu terus tersenyum. Kecantikan alami tanpa polesan make-up semakin membuatnya terlihat istimewa di mata Andika.

"Bagiku, kamu itu seperti malaikat, An. Di saat aku kehilangan Kakek, kamu hadir. Menghibur aku. Walau aku bingung, kenapa pria tampan dan kaya sepertimu mau berdekatan deng—"

"Cukup, cukup. Sudah berapa kali kubilang. Jangan pernah menyebut status di antara hubungan ini. Aku benar-benar menyayangimu, Nay. Sungguh. Tak peduli dari mana asalmu. Statusmu atau apa pun itu." Andika mengecup punggung tangan Kanaya. Dadanya bergemuruh saat mengatakan itu. Kalimat terjujur yang berasal dari hatinya. Menerbitkan senyuman di sudut bibir Kanaya.

***

"

Andika!!!" Nada tak biasa mencuat dari mulut Bayu. Menghentikan langkah Andika yang hampir tersungkur karena terkejut dibuatnya.

"Kenapa, Bang?" Andika sedikit bergetar.

"Abang nggak nyangka, ternyata adik yang Abang banggakan adalah seorang pengecut! Bersembunyi di balik senyuman saat sudah merampas nyawa orang!"

Gotcha! Kedok Andika telah terungkap. Bayu tak main-main dengan ucapannya.

"Hasil forensik telah keluar. Mereka menemukan serpihan motor di tubuh jenazah, kakek Nanang, korban tabrak lari 1 bulan lalu, dan hasilnya ... DNA-mu ditemukan di serpihan itu," lanjut Bayu sambil memejam mata. Cairan bening keluar dari sudut matanya. Perlahan membasahi pipi yang sedari tadi telah memerah.

"Nggak, Bang. Bukan Andika, Bang. Bukan Andika!"

"Kamu mendekati Kanaya karena rasa berasalah, 'kan?" Suara Bayu semakin tinggi. "Karena kamu kasihan padanya, kini hidup sebatang kara! Jauhi Kanaya, Dik! Jauhi dia! Gadis baik sepertinya tak pantas bersama pembunuh dan pengecut sepertimu!" bentak Bayu, telak menghunjam dada Andika. Bagai ditumbuk puluhan ton baja, Andika melemah. Kalah.

"An–di–ka ... jadi ... kamu ...." Suara parau seorang gadis semakin membuat dadanya bergetar.

Kanaya berlari, tanpa mendengar penjelasan Andika. Seperti menulikan telinga, tak ada yang ia dengar. Selain suara sang Kakek yang telah berbeda dunia.

Klakson panjang dari mobil bak tak ia pedulikan. Tubuh mungil itu akhirnya terhempas, setelah terseret puluhan meter. Terguling bagai sampah, dengan bercak merah di mana-mana. Darah.

***

T

iga minggu setelah kejadian. Jemari Kanaya bergerak, lemah tak berdaya. Menjadikan ia salah satu keajaiban medis, yang berhasil selamat dari kecelakaan meski gegar otak cukup parah, tulang punggung remuk dan tulang kaki yang patah serta kedua mata yang menjadi buta telah merengut tawanya.

Namun, pagi ini Kanaya kembali tersadar. Menemukan Bayu masih berada di sisinya. Ia menjalani cangkok mata, setelah dua puluh hari merasakan kebutaan. Hatinya kembali bergetar. Saat Bayu menyerahkan sepucuk surat bertalikan pita biru muda.

"Andika ...," lirihnya disertai air mata.

Kanaya,

Aku memang bukan pemuda yang baik. Tak lebih dari seorang penjahat yang bersembunyi di balik senyuman malaikat. Aku yang telah merengut nyawa kakekmu. Kehadiranku di pemakaman tempo lalu, bukan karena sedang berziarah. Namun, karena memang sengaja mengikutimu. Karena rasa bersalah telah menjadikanmu sebatang kara.

Kanaya ...

Melihatmu terbujur lemah tak berdaya, koma berhari-hari lamanya lalu terbangun dengan keadaan buta, menjadikan aku sebagai manusia paling berdosa.

Oleh karena itu, terimalah kornea mataku. Dengan begitu, aku akan terus bersamamu. Meskipun ragaku telah terpisah darimu. Dua puluh lima tahun, vonis yang diberikan padaku.

Semoga mampu meluluhkan hatimu,

hingga dapat memaafkanku.

Aku mencintaimu, Nay. Sungguh.

Sampai kapan pun akan terus begitu.

Kanaya terisak. Mendekap erat sepucuk surat yang kini telah basah diterpa air mata.

“Aku juga mencintaimu, Dik. Aku mencintaimu. Sungguh!”

Sore itu, kamar nomor 210 menjadi saksi, kisah cinta tak hanya membuat bahagia, karena terkadang air mata harus berderai, agar kita tahu mana cinta yang harus diperjuangkan.

***
Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top