Di Sudut Kafe

"Aku mau kita putus aja. Maaf. Kita tidak akan bisa bertahan."

Kamu melangkah pergi menjauh, namun ucapanmu masih terngiang jelas. Begitu mudah bagimu untuk pergi, tidak untukku. Ini akan menjadi hari yang berat. Perpisahan kita ... ah, aku sudah menduganya kalau hari ini akan datang. Meski sudah menyiapkan diri, tetap saja menyakitkan. Dadaku terasa sangat sesak, seolah baru saja ditimpa reruntuhan tembok. Genangan air mata sudah memburamkan pandanganku.

Di sudut kafe, aku terdiam menatap latte yang baru kuteguk sekali. Kamu bahkan tidak memesan minum terlebih dahulu. Orang-orang mulai menatapku bingung. Aku tahu, tapi tangisku mulai menyeruak dan tidak mau berhenti. Meraung-raung seperti anak kecil kehilangan lolipopnya. Aku kehilangan kamu, harapan hidupku, impianku, mimpiku, masa depanku, segalanya itu kamu. Semua hilang ketika kamu memilih berhenti berjuang.

Semudah itukah untuk berpaling? Apakah ini mimpi? Tidak mungkin kamu sekejam itu, ‘kan?

Dulu kita bersama ... saling menyayangi, ‘kan? Semua kebiasaan yang kita lalui, ini terasa berat. Jalan-jalan yang biasa kita susuri bersama, begitu banyak tempat yang kita kunjungi untuk sekadar meninggalkan jejak kenangan kita. Ponsel yang setiap hari berdering. Jam-jam yang dilalui untuk mengobrol. Canda tawa yang selalu terucap. Aku dan kamu. Tidak berbeda dengan sejoli lainnya. Semua itu masih jelas dalam benakku.

Di mana kamu yang katanya akan selalu di sampingku? Rasa percayaku telah hilang, ternyata kata-katamu itu hanya bualan.

Kamu pergi dengan angkuh meninggalkanku, langkahmu besar-besar seolah aku ini makhluk menjijikkan yang harus segera dihindari. Namun, aku tahu kalau perasaanmu belum mati. Tatapan itu, kamu terluka, 'kan? Kenapa? Kenapa tidak mau berjuang denganku? Kenapa memilih membunuh hatimu?  Kembalilah, katakan kalau semua ini bohong.

Sejak kapan? Kapan hubungan ini menjadi kacau? Hingga membuat kita muak dengan hubungan ini. Penekanan yang tiada henti selalu datang.

Aku tahu kamu lelah, aku juga. Namun kamu tidak ingin berusaha lebih jauh, hanya aku. Penolakan dan cacian yang mereka layangkan, kita lelah mendengarnya. Katanya, kita terlalu berbeda. Aku tahu, kamu tahu, mereka tahu, lantas kenapa? Tidak ada manusia yang serupa, ‘kan?

Kata mereka, Tuhan kita berbeda. Begitu menyedihkan. Memang benar, sampai mati pun, aku rasa tidak akan berpaling dari Tuhanku. Sudah kukatakan, kamu harusnya mulai percaya pada Tuhanku. Sayangnya, kamu justru memaksaku untuk berpaling pada Tuhanmu. Kata ironis sekalipun tidak akan bisa menggambarkan situasi kita.

Harusnya, kamu tidak keras kepala. Kenapa kamu tidak mau mengenal Tuhanku? Semuanya, akan lebih mudah kalau kamu mau mengalah. Sudah kukatakan dengan jelas, keyakinanmu keliru, tapi kamu tidak pernah mau percaya.

Pada akhirnya, kita percaya kalau berbeda itu tidak masalah. Lelucon macam apa ini?

Teganya kamu meninggalkanku sendirian, di sudut kafe dengan tatapan memelas dari pengunjung. Aku menangis hingga tersedak, tapi kamu tetap berjalan tanpa menoleh. Katamu, kita harus berjuang bersama. Namun, kenapa kamu yang menyerah? Katamu, agama tidak akan menjadi penghalang. Namun, kenapa kamu pergi? Nyaris saja, aku meluluhkan harga diri dengan memohonmu kembali. “Kembalilah,” pekikku dalam hati.

Dulu kamu tidak akan membiarkanku menangis, dan sekarang menjadi alasan pertama air mataku meleleh. Haruskah aku menghapus semua kenangan ini? Apakah mudah menghapus semuanya? Beberapa hari yang lalu, kita masih menghabiskan waktu berjam-jam lamanya ... di sini. Harusnya, sejak awal kita tidak perlu bertemu, jika akhir kita terlalu menyedihkan.

Rasa sesak memenuhi dadaku hingga terasa sakit. Meski berkali-kali kupukul dada ini, rasanya masih sesak seolah mau mati saja. Awan hitam telah menurunkan rintik hujan di hatiku, mereka selalu tahu kapan harus mengacau hatiku. Perasaan sedih yang tak karuan karena kecewa. Aku nyaris berteriak dan memakimu. Semua pilihan yang ada memang terasa menyakitkan bagi kita, tapi berpisah masih bukan pilihanku ... karena aku percaya pada ucapanmu. Sayangnya, kamu mengacaukan semuanya. Hatiku, harga diriku, semuanya, aku bahkan tidak tahu apa yang tersisa dari diriku.

Ingatkah kamu? Dua tahun yang lalu, kita bertemu di halte bus. Kita menunggu rintik hujan berhenti. Rambutmu basah kuyup terkena hujan. Aku sibuk membersihkan sisa air hujan yang membasahi tasku. Tidak pernah terpikir kalau kita akan terlibat dalam hubungan rumit ini. Harusnya, kita tidak pernah berkenalan.

Bodoh sekali pernah memercayai ucapanmu. Melewati segalanya? Nyaris-nyaris tawaku keluar, mengingat semua bualanmu. Bersama-sama? Dulu aku ingin menyerah tapi kamu mengucapkan berbagai janji konyol yang membuatku percaya. Sekarang? Di mana ucapanmu itu? Di saat aku tidak percaya dengan kata berjuang dan kita, kamu datang memberiku secercah harapan, seperti bintang kecil yang menerangi langkahku. Tergoda aku memercayaimu, dan jatuh sangat dalam di lubuk hatimu. Sampai-sampai sudah tidak tahu jalan keluarnya, terlalu sulit keluar dari perasaan ini. Aku terperosok jatuh dalam lubang terdalam, termakan semua buaianmu.

Andai kamu tahu, aku hanya ingin kita berjuang dan melihat akhir bersama. Bukan menyerah di tengah jalan. Meski bukan denganmu, setidaknya temani aku untuk berjuang, sesuai janjimu. Namun kamu membunuh semua harapan itu. Memangnya, hanya kamu yang tertekan? Yang sedih, kecewa, dan marah? Aku juga! Memangnya, hanya kamu yang tidak disetujui? Aku juga! Namun, aku berusaha ... aku mau bersama denganmu. Aku tidak pernah mengatakan ini mudah, tapi tidak menyerah seperti pecundang, ‘kan?

Di saat aku belum terbiasa tanpa hadirmu, kamu sudah melepasku jatuh. Melepasku untuk hidup mandiri tanpa suaramu, tingkahmu, tatapanmu, dan hadirmu. Bukankah ini terlalu kejam? Aku sudah bisa mengira, jika kamu akan menyerah. Jika kamu akan mengingkari janjimu. Namun, ini terlalu cepat, bukan? Melepasku begitu saja, tanpa mengijinkanku untuk sekadar melihat wajahmu di detik terakhir. Tolong, beri aku waktu untuk melepasmu. Aku bahkan belum menemukan jalan untuk pergi. Aku masih tersesat di sudut hatimu.

Tanpa sebuah lambaian tangan, kamu pergi meninggalkanku. Inilah akhir dari takdir cinta tanpa harapan.

Kepergianmu terasa menyakitkan. Di sudut kafe, aku sibuk memandang dari balik kaca pembatas kafe. Dirimu, ada di sana. Diam-diam melirikku sebelum pergi dengan motor kesayanganmu. Tatapan itu, aku tahu kalau kamu masih mencintaiku, aku tahu kalau kamu tidak ingin perpisahan ini, ‘kan? Berbaliklah dan katakan kalau semua ini bohong. Katakan kalau semua ini hanya tipuan semata. Katakan kalau kamu tidak serius. Kamu tidak pernah menginginkan akhir seperti ini, ‘kan? Kemarilah, katakan semuanya.

"Kembali, kumohon," lirihku pelan. Jarum tajam seolah menghujam hatiku. Meluluhkan semua pertahananku. Aku berlari ke luar kafe, mengejar kamu yang telah hilang dan berteriak seperti orang kesurupan. Memohon, menangis, meraung. Sayangnya, kamu tidak menoleh. Dan seperti itulah aku kehilanganmu.

Hari pertama tanpamu, sangat menyedihkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top