Cintaku dibalas dengan Sandal
Sepasang anak laki-laki dan perempuan terduduk di atas rerumputan hijau, di pinggir danau luas yang ujungnya tampak gelap. Umur mereka masing-masing tak lebih dari lima belas dan tak kurang dari empat belas. Yang satu seorang gadis berkuncir kuda, bercelana longgar, dan berkulit cokelat. Dan yang lain seorang pemuda kota kurus dengan pakaian kasual bermereknya. Tak ada perbincangan penting selama sepuluh menit setelah mereka sampai di sana. Hanya senyap yang bersahutan dengan kicau burung yang berasal dari balik ranting-ranting berdaun lebat. Angin yang datang dari hutan menyapu permukaan air, membuat riak-riak kecil. Satu menutup mata, yang lain malah sibuk mencuri lihat yang lainnya. Lalu, mata si gadis membuka dan memergoki si pemuda menatapnya, membuang muka, dan bersemulah warna telinganya. Si gadis mendengus.
Apa, sih? celotehnya tanpa suara.
Tapi, dalam hening itu, si pemuda dengan takut-takut meliriknya lagi, dan si gadis masih menatapnya geli. Lalu, tanpa segan menonjok bahu kurus temannya. Lumayan keras sampai si pemuda meringis dan menggosok-gosoknya beberapa kali.
“Cepet tanyain! Kamu mau nanya sesuatu ‘kan, Za?”
Pemuda itu, Azza, merengut. Bertindak sok lucu karena berpikir dia mirip marmut—err, mungkin.
“Eum, aku cuma kepikiran. Kita ‘kan udah gede, nih. Kamu nggak mau gitu pacaran, Ti?”
Ti, atau Siti dalam sebutan nama depannya, melotot. “Kenapa? Kamu naksir cewek, ya?”
Dengan malu-malu Azza mengangguk. Kali ini membuat Siti gemas untuk mendorong bahu Azza sampai pemuda itu tersungkur ke samping, “Duh!”
“Noh! Lemes banget, sih, badan kamu kayak penari ballet!” ujar Siti lalu tertawa keras sampai membuat burung-burung mulai terbang dari dahan-dahan, meninggalkan kediaman dengan rasa keberatan, sekaligus membuat Azza cemberut untuk kedua kalinya. “Yang kuat dong jadi cowok! Kalo pengen punya cewek, berarti harus bisa tanggung jawab jaga dia. Kalo cewek kamu diusilin sama si Mamat anak Pak RT yang gendut itu gimana? Disenggol melayang kamu, Za! Hahaha!”
“Jadi, kalo aku jadi kuat, kamu mau jadi pacar aku?”
Celetukan Azza membuat celotehan Siti mogok. Matanya yang besar itu dengan tak elitnya melotot. Mulutnya menganga tak pecaya. Gila! Itu adalah satu kata di pikiran tapi tak bisa langsung diungkapkan Siti.
“Ogah, ah! Pacaran aja sana sama si Marni anaknya Bu Iyem tukang sayur itu loh. Dia kan suka kamu, Za.”
“Tapi kan aku sukanya sama kamu, Ti.”
“NGGAK MAU!” teriak Siti kali ini makin lantang. Saking jengkelnya, tubuhnya—yang bisa dikatakan agak bongsor meski sekurus Azza—sekejap berdiri. “Aku sukanya sama cecep. Titik!”
“Cecep?” ulang Azza sambil bangkit dan bertampang bingung. “Perasaan nggak ada anak namanya cecep di kampung kita, Ti.”
“Ih, masa nggak tahu Cecep. Itu loh, yang ada di tipi. Rambutnya ada tiga berdiri itu. Aslinya dia ganteng. Kan di tipi doang dia jadi bloon.”
“Oh, Anjasmara?”
“Iya, dia!”
“Ih, kamu kok doyannya sama bapak-bapak. Mending sama aku aja,” seru Azza pede sambil menepuk-nepuk dadanya yang kering.
“Dih, om-om, bukan bapak-bapak!” protes Siti jengkel.
“Sama aja, Titi kutayang.”
Siti mengernyit jijik, lalu berbalik untuk memulai langkah menuju jalan setapak yang ada di belakang mereka tadi, yang anehnya justru membuat mata pemuda itu tampak membara oleh sesuatu. Azza mundur, sampai kakinya menapaki tanah yang tak lagi tertutupi rumput, menjadi lumpur, hingga sepatu Eagle-nya setengah tercebur.
“SITI!”
Siti terdiam ketika ia baru saja memasuki jalan setapak di antara pohon-pohon pinus.
“SITI, AKU CINTA SAMA KAMU! AKU NGGAK BISA HIDUP TANPA KAMU! KALO KAMU PERGI, LEBIH BAIK AKU MATI!”
Siti tidak peduli. Lebih memilih memutar mata, lalu melenggang lagi sambil bergumam dalam hati, Lebay deh ih. Dasar anak kota.
Dan—byuuur!
Langkahnya terhenti. Ketika membalik badan, dilihatnya Azza gelagapan nyaris di tengah danau. Kepala dan tangannya yang terangkat tinggi hilang timbul dari permukaan air yang hijau. Gaswat!
“Ti—hah—siti—hahah—ai—lafyu!” ucapnya sambil berusaha mengambil napas dengan susah payah.
Lalu tanpa perlu diberi aba-aba anak perempuan itu berlari, dan melompat ke sungai, berenang. Siti dengan cekatan meraih baju kuning norak Azza, lalu menyeretnya sambil ngos-ngosan ke darat, ke tempat sendal merah mudanya sempat ia tinggalkan.
Setan! Umpat Siti diam-diam. Kata si Mbok, anak cantik tidak boleh berkata kasar. Dan sialnya, si Azza ini malah tidak bangun. Matanya memejam, dan ketika tangan Siti diletakkan di depan hidungnya, tak ada udara yang keluar dari sana.
Mati aku mati mati aku mati mati! rutuknya dalam hati. Bisa masuk tipi ini. Kalo aku terkenal kan bisa berabe! Tapi, emang nggak ada pilihan lain. Cuma itu ... itu!
Siti mau menangis rasanya, karena menyebutkan satu kata saja rasanya mau ikutan mati juga. Tapi dia harus hidup. Hidup demi Cecep tercinta! Karena ketemu cecep—minimal—adalah mimpinya. Semangat!
Dan, Siti dengan jantung bergemuruh mulai mencoba memompa dada Azza, berusaha mengeluarkan air dari paru-parunya. Gagal, dia pun membuka paksa mulut Azza. Tak terlalu sulit. Dia kan hanya perlu menempel ... menempelkan—iya, itu. Hanya mendekatkan bibir lalu—
“Aaargh!”
Bibir Azza itu monyong tak lazim ketika wajah mereka nyaris tak berjeda. Dan, Siti sekonyong-konyong terjerembab ke belakang saking kagetnya. Matanya melotot nyaris menjatuhkan keluar kedua bola matanya. Dadanya berdegup-degup, hampir mati terkena ciuman beracun—err, sorry, romantis Azza.
Kemudian, mendadak seluruh tubuh Siti panas dan menggelegak oleh amarah. Dengan cepat ia bangkit, memungut salah satu sandalnya, dan menampar bibir Azza begitu kencangnya.
“Aww!”
Pemuda itu segera bangkit dari tidur ayamnya dan duduk seperti seseorang yang terbangun dari mimpi buruk. Yah, sebenarnya tidak salah, sih. Bagi setiap pemuda ditabok gadis tercinta memang mimpi buruk, apalagi yang sekuat Siti. Azza dengan hati-hati mengelus bibirnya yang berdenyut-denyut.
“Sakit, Beb,” rengeknya sambil hendak menangis.
“Tonjok, nih! Mau nipu, ya, mau nipu?” omel Siti sambil melotot galak dan dadanya masih kemang kempis saking kesalnya. “Setan!” dan akhirnya bisa diucapkan.
Siti melempar sendalnya lalu kembali berlari menuju jalan setapak yang sempat ia tinggalkan. Tapi, Azza adalah Azza, seorang pejuang cinta yang tidak akan pernah menyerah pada gadis pujaan. Pemuda itu mengejar Siti yang berusaha menjauh.
“Siti! Siti!” teriaknya, Siti menoleh ke belakang. “Sendalnya ketinggalan!” Sambil mengibas-ngibaskan sendal merah muda tinggi-tinggi.
Siti semakin berlari lebih jauh, lebih cepat, sesekali menoleh hanya untuk bergidik, tak pernah menggubris, atau malah tidak bisa lagi mendengar teriakan Azza yang hampir putus asa. Tapi, tidak—tidak boleh! Demi cinta sejatinya, Siti Nur Haliza, dia terus berlari. “Siti! Siti! Sendalnya ketinggalan!”
Siti diam-diam merinding mendengarnya lalu lenyap dalam kelokan jalan setapak di antara pohon-pohon pinus yang tinggi dan rindang. Sekarang, Azza perlahan memelankan ayunan kaki, hingga benar-benar terhenti. Hanya bisa melihat dan kehilangan hati. Pada akhirnya, dengan tangan lemas dan lunglai sandal merah muda peninggalan Siti jatuh ke tanah. Cintanya benar-benar patah.
***
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top