Cinta dan Maaf

“Kanara, belum mau pulang, tidur siang? Tidur sore?” Aku merengut ke layar ponsel yang menyala di genggamanku begitu mendengar suaranya yang sok perhatian. Lelaki itu menyebalkan dengan segala sikap santainya dalam menghadapiku. Jika saat ini ia ada di sampingku, niscaya aku akan berbalik membelakanginya dan melakukan aksi mogok bicara.

“Jangan mengalihkan pembicaraan!” Aku hampir mengumpat saat mengatakan kalimat itu. Sungguh, aku masih beradaptasi dalam menerima kenyataan bahwa dialah yang akan terus membersamaiku hingga akhir hayat.

“Jangan ngambek dong, Sayang.” Suaranya tetap lembut meski kalimatku bernada kasar. Hah, menyebalkan. Kalau begini, aku yang berdosa, dong!

“Ya. Jawab aja, kamu kapan pulang?” tanyaku sekali lagi. Tadinya, aku menanyakan pertanyaan yang sama padanya. Tapi dia malah menjawabnya dengan pertanyaan receh seperti kamu belum mau tidur? “Apa susahnya sih, jawab pertanyaan itu?”

“Nanti aku pulang.”

“Nanti kapan? Nanti-nanti terus! Kamu tuh bukannya kerja jaga perbatasan atau jaga rahasia negara! Masa sampe seminggu belum pulang juga?”  

“Iya, nanti pulang. Pasti pulang kok. Kamu yang sabar, ya?” Suaranya masih sehangat biasanya. Kerapkali aku justru merasa bersalah padanya. Meski aku terus mengobarkan api untuk membakar emosinya, tetap saja ia setenang air danau. Boro-boro terbakar emosi, tersulut sedikit pun tidak.

“Gak tau ah. Aku matiin telpon. Bye!” Kuputuskan sambungan itu secara sepihak tanpa menunggu responnya yang biasanya akan mengatakan, “Waalaikumsalam.”

“Kenapa, Kan?” Aku menoleh dan mendapati muka tengil Fatih, sahabatku sejak SMA. Entah sejak kapan dia duduk di depanku dan menyeruput es kopi yang sengaja kupesankan untuknya.

“Gibran.” Fatih akan mengerti maksud jawaban singkatku itu. “Lo gak ada kerjaan ya, selain curhat ke gue?” ujarku kemudian.

Fatih kembali menyeruput es kopinya sembari memandangku datar. Sebelum aku sempat protes mengenai reaksinya itu, ia buru-buru menjawab, “Bukannya tiap kali gue ajak ketemu buat dengerin gue cerita, yang ada lo malah curhat terselubung ya? Nih sebentar lagi obrolan kita bakal balik ke Gibran nih!”

“Ish!” Aku berencana untuk melemparinya dengan tas kecilku ketika tiba-tiba ia berdiri dan melambaikan tangannya. Aku menoleh dan terlonjak begitu tahu siapa yang disapa oleh Fatih. “Gibrannn!” Kemudian lantas berdiri untuk memeluk lelaki itu dengan erat. “Katanya belum pulang?” Kemarahanku di video call beberapa menit yang lalu seolah tak pernah ada. Kami kembali duduk, dan aku masih bersandar di bahunya, lama. Aku ingin selamanya.

“Biasa aja, woy! Kek gak ketemu berapa tahun aja,” tegur Fatih dengan nada agak sedikit meledek, menurutku. “Tadi aja, galau-galau. Sampe gak sadar gue dateng.”

“Yee sewot! Makanya, nikah,” sahutku sekenanya. Fatih melotot. Sementara Gibran tertawa kecil di sampingku.

“Ini gue juga lagi nyari calon.” Fatih membela diri. Lelaki itu tak sedikitpun berubah sejak pertama kali aku mengenalnya. Playboy, gampang bosan, tapi sialnya, dia tampan. Jadi tak banyak hal yang bisa kulakukan untuk membantunya. Mungkin, jodoh Fatih masih belum lahir. “Kayaknya gue lain kali aja ceritanya deh, Kan.”

“Lah, kenapa emang?” tanyaku bingung.

“Gue gak mau dong, jadi nyamuk laki-bini yang lagi temu kangen. Idih, mending gue nyari jodoh!”

Gibran menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku, lalu berkata, “Kasian amat sih lo, Fat.”

Fatih lantas berdiri dan pamit sebelum lekas berjalan keluar sembari menempelkan ponselnya ke telinga. Kehadiran Gibran bukanlah satu-satunya alasan Fatih membatalkan sesi curhatnya denganku, dia pasti sudah membuat janji dengan orang lain--seorang gadis, lebih tepatnya.

“Jadi, selama aku gak ada, kamu keluyuran kayak gini? Ketemu cowok-cowok?” Gibran membuat jarak satu jengkal dariku, sehingga kepalaku yang masih menyender di bahunya kehilangan sandaran. Sial!

“Itu cuma Fatih,” elakku. “Lagi pula, kamu bohongin aku! Bilangnya masih lama pulang, kalo tau gitu kan mending aku di rumah aja.”

Pantas saja, terakhir kali melakukan videocall, seluruh layar ponselku hanya terpampang mukanya saja. Ia sama sekali tak memberiku petunjuk mengenai keberadaannya. Tidak adil! Sementara dia langsung tahu di mana aku berada hanya dengan melihat jendela di sampingku.

“Iya, pas ketahuannya aja sama Fatih. Yang lain?” Ha, mulai lagi. Satu-satunya hal yang kubenci darinya. Kecurigaan yang berlebihan dan tak beralasan. Padahal dia tahu aku sangat emosional dalam menghadapi tuduhan-tuduhan semacam ini. Waktu aku sudah meledak, dia dengan santainya akan menjawab, “Siapa yang nuduh? Aku Cuma nanya.”

Pada akhirnya, aku selalu kalah. “Kamu ada masalah apa sih, sama aku? Kenapa gini terus? Aku udah ribuan kali bilang sejak kita pacaran ‘kan? Aku gak suka dituduh. Lagipula, yang punya sejarah selingkuh itu kamu, bukan aku!”

“Siapa sih yang nuduh? Aku kan cuma nanya, Sayang. Kalo kamu langsung emosi gini, pasti ada apa-apanya.” Persis seperti apa yang terakhir kali terekam dalam otakku.

“Terserahlah. Aku udah muak ngulangin episode ini terus. Aku pulang!” Kuraih tasku yang tergeletak di atas meja, meninggalkan sejumlah uang, lalu beranjak. Tak peduli Gibran meneriakiku untuk pulang bersamanya, tidak peduli ia memelankan laju mobilnya hanya demi menyejajarkan diri denganku, aku takkan goyah. Aku akan pulang dengan kedua kakiku sendiri.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk hidup bersama. Tapi sepertinya kami masih gagal untuk saling memahami. Aku tak mengerti mengapa akhirnya aku setuju untuk menikah dengannya. Meski tak bisa dibilang menyesal, aku sebenarnya tidak yakin pernikahan kami akan berhasil. Dulu saja ketika pacaran kami sering bentrok. Aku egois, dan menurutku dia juga egois. Aku keras, sementara dia keras dan menyukai wanita yang lembut. Berulangkali kutanyakan mengapa ia masih bertahan denganku dan memilih untuk meminangku, padahal kepribadian kami sering bentrok. Jawabannya tetap saja sekonyol pernyataan cinta itu buta. Aku mencintainya, tapi aku benci dengan pengulangan episode semacam ini. Aku sudah tahu akhirnya! Sudah khatam!

Tapi, dibandingkan itu, hanya dia saja yang mampu bersabar menghadapi kerasnya kepala dan hatiku. Hanya dia saja yang berhasil lolos seleksi alam. Meski sifat cemburuan dan curigaannya itu sangat memuakkan untukku. Meski segenap peraturannya menghalangi kebebasanku, pada kenyataannya hanya dia saja yang tidak menyerah menghadapiku.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil handuk dan lekas mandi. Aku tiba lewat waktu maghrib karena gengsi sudah mengajariku cara pulang ke rumah yang paling bodoh--jalan kaki. Saat itu, aku tak melihat Gibran berkeliaran di mana pun, tapi mobilnya sudah terparkir rapi di depan.

“Kanara, maaf ya sayang?” Suara Gibran menyambut begitu aku keluar dari kamar mandi. Alih-alih membalas ucapannya, aku membuang muka, lalu melewatinya begitu saja. Wow, Gibran sudah resmi menjadi transparan di mataku.

Sudah cukup, perdebatan ini akan terjadi sepanjang hidup. Jadi aku bisa melewatinya untuk hari ini saja. Aku sedang tidak dalam kondisi ingin meladeninya. Maka aku langsung naik ke ranjang, membenamkan diri dalam selimut, lalu terlelap. Melewatkan makan malamku, dan lupa menyiapkan makan malam untuknya.

***

Aku terbangun di pagi hari dan tak mendapati Gibran ada di sebelahku.

Aku terbiasa menjalani sepanjang hari tanpa bertemu Gibran. Aku tahu dia sangat sibuk dan waktu berharga kami hanyalah di malam hari. Kala itu, emosiku sudah reda. Aku ingin memperbaiki kembali hubungan kami. Jadi, aku menunggunya di rumah. Tapi ia tidak pulang hingga hari berikutnya.

Lalu, sebelum berangkat kerja aku menelponnya. Ia langsung mengangkatnya! “Gib, tidur di mana--“

“Duh, Sori ya, Kanara. Aku lagi di jalan, gak bisa lama-lama. Telpon lagi nanti.” Lalu sambungannya diputus begitu saja. Dia mengabaikanku? Tidak seperti biasanya? Biasanya, mau semarah apa pun aku, tetap saja dia antusias saat menerima telepon dariku.

Aku mengiriminya beberapa pesan spam. Kukira ia akan menelponku sesudah itu. Tapi ia hanya mengirim sebaris kalimat, “Jangan ganggu aku.”

What?!

Keras kepala, aku menelponnya sekali lagi. “Udah kubilang jangan ganggu dulu! Gak ngerti kamu?!” semprotnya langsung, tanpa basa-basi.

“Kamu kenapa sih, Gibran?”

“Tolong, Kanara. Aku gak mau diganggu dulu sama kamu.”

“Kenapa?”

“Kenapa kamu bilang?” tanyanya seakan aku baru saja mengucapkan sesuatu dalam bahasa alien. “Ah, sudah dulu ya. Nanti malem aku pulang.”

Tapi dia tidak pulang malam itu. Malah hampir subuh dia baru pulang. Aku tahu karena aku tidak tidur--tetapi aku pura-pura tidur begitu mendengar suara mobilnya.

Biasanya--aku sudah terbiasa--dia akan langsung memelukku begitu naik ke ranjang. Tapi subuh ini tidak. Tak tahan bersandiwara, aku berbalik, dan mataku bersirobok dengan miliknya. Suaranya serak ketika menegurku. “Kenapa belum tidur?”

“Nungguin Gibran. Aku takut kamu gak pulang lagi,” ujarku setengah merengek. Lagi-lagi, biasanya ia akan langsung memelukku saat aku memasang ekspresi seolah akan menangis. Tapi kali ini ia hanya memandangku datar. Kupeluk tubuhnya, erat, menempelkan telinga di dadanya untuk mendengarkan gemuruh aktivitas jantungnya. Tapi ia tak membalas pelukanku. Dingin. Gibran kembali menjadi lelaki dingin yang belum kukenal dahulu.

Akhirnya, “sana, tidur.”

Kupandang ia dengan nanar. Rasanya seluruh harga diriku tengah dicabik-cabik olehnya. Lalu karena kesal aku akhirnya mengatakan, “Kamu mau pisah dari aku?”

“Kamu yang mau pisah dari aku,” balasnya datar.

“Enggak mau.”

“Kamu kan gak mau ngulangin episode yang sama.”

“Iya. Tapi gak mau pisah, aku sayang kamu.” Seluruh hatiku nyeri, membayangkannya saja aku tak mau, apalagi mengalaminya! Tolonglah, buang sifat egois kami, Tuhan! “Gibran, maaf.”

“Sudah, tidur.”

“Gibran ....”

“Nurut sekali-kali kenapa sih, Kan?”

“Iyaaa, tapi senyum duluuu, peluk dulu, sayang duluuu.” Aku merengek di pelukannya, mendongak untuk melihat bulu-bulu halus di dagunya. Bagaimana jika aku tak bisa berada sedekat ini lagi dengannya?

“Cewek bodoh.” Lalu lengannya melingkari tubuhku, kehangatan seketika menjalar. “Tidur dulu ya, sayang. Besok semuanya bakal baik-baik aja. Kemarin-kemarin aku cuma butuh waktu. Aku gak mau kita berantem lagi karena sifatku yang bikin kamu risih. Maaf ya?”

Pelukan itu semakin erat. Beginikah rumah tangga? Berapa banyak batu lagi yang akan menyandung kami? Berapa banyak lagi duri yang menyakiti? Tapi seberapa banyakpun itu, aku yakin, cinta akan selalu memaafkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top