Black Wedding Dress
Cinta ini mempermainkan perasaanku.
Cinta ini mempermainkan hidupku.
Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.
-Cinta Satu Pihak-
***
"Kamu tau apa soal cinta hah?!" Kirena kehilangan kontrol dirinya, matanya merah, air mata mengalir membasahi pipinya, menahan emosi dan rasa sakit yang begitu besar.
"Adek gak tau kak, adek cuma ngerasa nyaman sama Bang Satria. Maaf kak maaf," mendengar cacian kakaknya yang bertubi-tubi Kirana merasakan sesak di dadanya. Bagaimana tidak? Dia bingung, harus memilih cinta atau kakaknya.
Kirena melotot garang pada adiknya itu, dia menyayangi adiknya tetapi dia terluka, hatinya sakit. Satria sosok pria idaman yang ditaksirnya sejak masih menduduki bangku sekolah dasar, pria impiannya, cinta pertamanya yang dalam satu malam direbut kembarannya itu.
Hatinya menangis tersedu-sedu. Hanya sebentar lagi, sebentar lagi semua mimpinya tercapai.
"Lupain dia atau aku mau mati aja!" Ucapan terakhir sebelum dia memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Kirana diam membeku, dilihatnya siluet tubuh kakaknya yang menjauh. Terlihat senyuman samar di bibirnya.
***
Sudah empat hari Kirena tidak keluar dari kamarnya, tidak makan, tidak minum. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana. Keluarganya bungkam, hanya menaruh makanan dan minuman di depan pintu kamarnya setiap hari, berharap makanan itu disentuh. Tetapi tidak, sampai hari berikutnya tetap sama. Kenapa bisa sekacau ini?!
Orang tua mereka bertanya kepada Kirana, tetapi Kirana enggan menjawab, kini ia sibuk entah menyiapkan apa, anehnya ia selalu dijemput Satria. Pria idaman putri sulungnya.
"Nak, bisa kamu bujuk kakakmu untuk keluar dari kamarnya?" tanya wanita paruh baya itu kepada Kirana yang baru saja masuk ke dalam rumah, wajah wanita itu tampak sangat lelah.
"Ibu tenang saja, Kirana udah siapin kejutan buat kakak. Dijamin kakak bakal langsung ceria." Senyumnya merekah, buru-buru Kirana mengeluarkan selembar kertas lalu menunjukkannya pada ibunya, ibunya terengah, wajah lelahnya tersenyum lega. Setidaknya penderitaan mereka akan berakhir. Tak akan ada yang bisa membuat kesedihan lagi. Semua akan bahagia selamanya.
"Sudah ya bu, Kirana mau ke kamar kakak dulu." Ucapnya sambil berlalu.
Kirana mengetuk kamar kakaknya, tetapi tak ada jawaban. Berulang kali diketuknya pintu kamar yang kokoh itu tetapi tetap saja tak bisa, wajahnya yang tersenyum berubah kesal.
"Kak?! Ini Kirana, bisa kakak buka pintu sialan ini?!"
Tak ada jawaban.
"Kakak masih marah?! Kakak gak mau buka pintunya?! Kirana cuma mau ngomong sama kakak."
Kirena mendengar ketukan dan teriakan saudara kembarnya itu, tetapi memilih diam tak bergeming. Keadaannya sangat kacau, tatapannya kosong, menatap pintu kamarnya nanar.
"Kakak!! Segitu bencinya kakak sama Kiran? Enggak mau ketemu mama sama papa lagi?! Kapan kakak berhenti jadi anak kecil?! Sikap kakak ini nyusahin orang tau, kakak bego?! Bukan karena kakak sakit, kakak juga nyakitin orang di sekitar kakak! Itu bukan alasan, buka pintunya kak..." Kirana kehilangan kesabarannya, padahal... ia sudah susah payah.
Kirena tersenyum miring di dalam kamarnya, "Aku gak pernah minta kalian perhatiin, aku gak peduli sama kalian. Kalian bisa hidup tanpa aku, jadi enyah dan berhentiin omongan kamu yang menjijikkan itu! Bego!"
"Oh jadi kakak emang gak peduli sama kami? Kami sayang sama kakak, semua perhatian kami cuma buat kakak! Tapi masih kurang?! Iya kurang?! Selama ini kurang?! Kakak egois."
"Diem kamu manusia laknat! Tau apa kamu soal kebahagiaanku?! Kamu peduli?! Mikir, kamu yang buat aku kayak gini!" Kirena mencicit, tidak habis pikir kenapa semua orang bersikap jahat pada dirinya? Salah apa dia?
"Ok kalo itu mau kakak, Kiran bakal pergi. Jangan menyesali perbuatan kakak, Kiran benci kakak selamanya!" Sambil berurai air mata Kiran menyelipkan selembar kertas ke bawah celah pintu kamar Kirena, ia berlalu pergi.
Di dalam kamar, Kirena hanya menatap malas kertas itu.
Seharusnya ini hari bahagia mereka, tapi kenapa? Rasa sakit tak beralasan ini menghancurkan semuanya.
***
Pagi ini sangat cerah, kicauan burung terdengar sangat nyaring memberikan semangat baru bagi orang-orang yang akan menjalani hari baru mereka. Dengan harapan yang begitu besar, semoga hari ini menjadi hari yang membahagiakan.
Begitu juga dengan Kiran dan ibunya, pagi-pagi buta sudah terbangun untuk menyiapkan segala keperluan. Hari ini, setelah beberapa hari yang kacau, mungkin akan menjadi awal baru bagi kehidupan mereka. Harapan bahagia selamanya pun menjadi satu-satunya doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.
"Bu, sudah siap?" Kirana bertanya pada ibunya sambil merapikan penampilannya.
"Sudah nak, sudah siap semua. Kamu siap?"
"Siap bu, Kiran ke kamar kakak dulu!" Kirana berlalu menuju kamar kakaknya, terlihat kedua sudut bibirnya tertarik mengulas senyuman.
Hatinya berdebar, masih ada sedikit rasa bersalah pada kakaknya. Kejadian itu, mungkin kakaknya sakit hati. Tapi semua akan berlalu, hari ini pernikahan kakaknya dengan pria idamannya-Satria. Semua sudah disusun, kejutan ini akan menjadi pengalaman paling berharga untuknya. Kirana selalu memimpikan dia bisa menjadi adik yang berguna, adik yang bisa mewujudkan kebahagiaan kakaknya. Setelah penantian panjang, akhirnya...
"Kakak? Kakak sudah siap? Bajunya sudah dipakai? Kakak sudah berdandan? Itu baju yang dipilih sendiri sama Bang Satria loh kak, spesial katanya," Kirana mencicit tak sabaran, astaga rasa bahagia apa ini.
Tak ada jawaban, Kirana mengernyit heran.
"Kak? Kakak butuh bantuan Kiran? Kiran masuk ya..." Kiran membuka pintu kakaknya yang ternyata tidak dikunci.
Saat pintu itu terbuka sempurna, "Kakak!!!" Kirana berteriak histeris. Apa ini?! Mimpikah? Ini apa?!
"K-kak? Ka-kak? Kakak ngapain?! Ini hari pernikahan kakak." Kirana membeku di tempatnya berdiri, tubuhnya mati rasa, hatinya bergetar hebat, air mata tak tertahankan.
Kini dilihatnya Kirena yang sudah tak bernyawa, tubuhnya membiru tergeletak di lantai yang dingin. Tangannya penuh goresan-goresan indah yang memaksa keluar darah yang ada di tubuhnya, kini tak ada lagi sisa di dalamnya.
Kirana berjalan gontai menghampiri tubuh kakaknya, mengambil selimut di kasur dan menutup tubuh kakaknya yang kedinginan. Memeluk erat seakan tak mau ditinggal kakaknya. Pribadi yang selalu menyemangatinya, kakak yang sangat dicintainya, kakak yang sangat perhatian padanya, yang mungkin setelah melihat kejutan darinya akan kembali tersenyum hangat. Kakak yang sebelumnya sudah mau makan walaupun tetap berada di dalam kamarnya. Kini apa? Apa yang terjadi? Kenapa? Kenapa harus begini?!
Kertas yang diharapkan dapat menyelesaikan semua kesalah pahaman yang sengaja dibuat demi kejutan besar, kertas itukah? Sumber kesialan hari ini? Tidak tau.
***
Seharusnya, ada banyak tamu-tamu undangan yang datang ke rumah ini, memakai gaun terbaik mereka dengan riasan wajah sepadan. Datang untuk menikmati pesta dan memakan apapun yang ada di sana. Tertawa, berfoto, bersenang-senang menikmati hiburan yang disediakan sambil turut bahagia atas pernikahan pasangan yang membuat iri orang lain.
Tapi, semua itu tidak akan pernah terjadi. Yang ada hanya para tetangga dan kerabat yang datang memakai baju serba hitam untuk turut berduka cita.
Semua merasa terpukul, tak menyangka takdir itu lucu, dalam waktu singkat dapat menghancurkan sebuah keluarga yang tadinya tak kekurangan apapun menjadi hancur lebur ditelan kesedihan.
Kirana diam tak bergeming, dia memilih duduk di samping kakaknya yang sedang tertidur lelap, menatap nanar tubuh kaku kakaknya. Menatap wajah kakaknya yang sama persis dengan wajahnya sekarang, meneliti dari ujung ke ujung, mencari alasan logis untuk semua ini. Mencari alasan kenapa dia harus membiarkan kakaknya nanti dikubur dan ditinggalkan sendirian dalam kegelapan. Hatinya menangis.
Kirana berdiri, gaun hitamnya menjuntai indah melewati mata kakinya. Tak mau menangis lagi, ia menyerahkan mayat kakaknya untuk diurus kerabat dan para tetangga. Matanya kini tertuju pada seorang pria yang tengah memperhatikannya sambil tersenyum manis. Kirana segera menghampiri pria itu sambil mengulas senyuman.
Detik itu juga mereka berdua menikah, dengan tema black wedding dress. Gaun yang menakjubkan, melukiskan kebahagiaan yang tiada taranya.
Semua berakhir bahagia.
***
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top