8. Berbalas Rencana
"Ya nggak dong Elai suka cewek. Dia masih suka cowok. Yakin deh."
Suara Olivia langsung terdengar ketika pertanyaan spontan Ares meluncur begitu saja dari mulutnya. Seperti Ares yang kala itu tidak sadar sedang bicara dengan siapa. Salah-salah, itu bisa saja menyinggung perasaan Olivia. Bagaimana ceritanya ada kakak yang tidak tersinggung kalau adiknya dibicarakan seperti itu?
"O-o-oh, ma-maaf, Ka," kata Ares buru-buru dengan terbata. "Aku nggak maksud buat nyinggung atau apa."
Olivia tertawa.
"So-soalnya ... itu kayak yang nggak mungkin," lanjut Ares lagi. "Bahkan jangankan yang cantik, yang kurang cantik aja kadang dari SD udah pacaran. Lah ini?"
Olivia kembali tertawa. "Kakak rasa itu bukan hal yang aneh deh kalau Elai nggak pernah punya cowok."
Mata Ares membola. "Ya pasti aneh dong. Orang dia---"
"Kan kamu tau sendiri Elai itu gimana."
Suara Olivia memotong perkaaan Ares. Dan mendengar hal itu, Ares sontak mengerutkan dahinya. Mencoba untuk memaknai maksud satu kalimat yang diucapkan oleh Olivia sementara gadis itu kembali menjelaskan.
"Wajar aja sih ngeliat dia nggak pernah pacaran selama ini. Emangnya cowok mana yang bakal betah dengan dia? Ehm ... kayaknya sih nggak ada."
"Aaah ...," lirih Ares kemudian. Dan di benaknya, ia menyadari kebenaran dari perkataan Olivia.
Begitu ternyata.
Yah ... emang sih.
"Bahkan sejujurnya jangankan cowok, Elai juga kayaknya nggak punya temen gitu. Dan dia emang kayak orang yang nggak ada siapa-siapa itu ya nggak apa-apa."
Ares geleng-geleng kepala.
Kalau orang ngomong segalanya bisa berubah seiring waktu berjalan, kayaknya ada beberapa hal yang nggak bakal berubah deh.
Ya contohnya kayak yang satu ini.
Ckckckckck.
Ternyata Elai yang sekarang masih seperti Elai yang dulu.
Aku bisa ngebayanginnya.
Bahkan di pesta yang ramai sekalipun, dia pasti akan menjadi orang yang duduk sendirian di sudut ruangan.
Dan pemikiran itu dengan cepat langsung tayang dalam bentuk imajinasi di benaknya. Elai -cewek super cantik dengan sepasang lesung pipi dan gingsul itu- duduk seorang diri di satu meja. Mengangkat tangannya, berusaha untuk menyapa tamu pesta lainnya, tapi hanya ada dengusan yang ia dapatkan. Pada akhirnya ada segelas minuman yang menemani dirinya.
Aaah!
Harusnya aku nggak usah heran kan kalau dia emang belum pernah punya cowok sampai sekarang?
Toh kayak yang dibilang Kak Via.
Cowok waras mana heh ada yang mau sama cewek menyebalkan kayak dia?
Ckckckck.
Yang mau ya pasti cowok yang lebih nggak waras lagi dong.
Membayangkan hal itu, sontak saja membuat Ares menjadi lebih geli lagi. Karena bukannya apa, tapi di saat itu ia yakin bahwa kalau tidak ada dirinya, bisa saja Elai jadi perawan tua seumur hidupnya.
"Jadi ..., kamu beneran serius kan dengan Elai?"
Suara Olivia kembali membuyarkan lamunannya. Untung saja, walau tidak fokus, tapi telinga Ares masih bisa mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan Olivia padanya. Pertanyaan yang sama dengan yang ia dapatkan selama sepuluh menit terakhir ini. Dan jawaban Ares tidak berubah.
"Ya."
Jawaban itu terdengar menyiratkan penuh keyakinan. Maka dari itu tidak heran sama sekali kalau kemudian Olivia berkata seperti ini.
"Untunglah kalau gitu. Kakak jadi lega dengarnya. Karena bukannya apa, Kakak cuma berharap yang terbaik untuk Elai." Terdengar Olivia menarik napas panjang. "Dan Kakak harap kamu bisa sabar dan kuat hati ya ngadepin Elai?"
Dahi Ares mengerut.
Emangnya dengan keadaan kami yang sekarang, Elai mau ngapain aku lagi coba?
Main fisik?
Ckckckck.
Pasti banget kans aku untuk menang lebih besar segala-galanya ketimbang dia.
"Kakak tau kamu udah kenal Elai dari dulu," ujar Olivia kemudian. "Dan kamu pasti udah tau gimana sifat Elai. Dia keras kepala, nggak bisa diatur, dan menyebalkan."
Tenang aja.
Di dunia ini, kayaknya cuma aku yang tau persis gimana sifat Elai.
"Tapi, Elai itu tetap saja gadis biasa. Dia sebenarnya gadis yang lembut dan penyayang."
Nah!
Untuk kali ini Ares tidak perlu berpura-pura untuk melongo.
Y-y-ya?
Le-le-lembut?
Be-bentar ....
Apanya yang lembut?
Isi di balik gaun tidurnya?
Mata Ares melotot.
Ups!
"Hanya saja ya, firasat Kakak agak nggak enak kali ini."
Mengenyahkan bayang kelembutan di balik gaun tidur Elai, Ares berusaha untuk fokus.
"Nggak enak kenapa, Kak?"
Kembali terdengar tarikan panjang napas Olivia sebelum menjawab.
"Kamu nggak lupa kan? Dia bahkan nekat loh untuk ngebuat pingsan orang hotel agar bisa lari dari pesta kalian. Apa kamu nggak mikir hal apa lagi yang bakal ia lakukan untuk nolak kamu?"
Ugh!
Ares sangat membenci kata yang satu itu.
Nolak?
Okelah.
Dulu aku emang bocah kecil yang nggak tau apa-apa.
Aku dulu bodoh, gendut, pendek, hitam, dan cengeng.
Karena itulah aku sering diejek.
Tapi, belum separah ejekan yang aku terima dari Elai.
Sekarang?
Mendadak saja rahang Ares mengeras.
Aku nggak mau ditolak siapa pun.
Apalagi kalau itu Elai.
"Jadi ...," kata Ares dengan nada yang terdengar tengah waspada. "Menurut Kakak, Elai bakal buat hal aneh-aneh lagi?"
Jawaban Olivia kemudian menyadarkan Ares akan sesuatu yang sangat penting. Hal yang nyaris ia lupakan.
"Justru akan menjadi hal yang aneh kalau dia nggak buat hal yang aneh-aneh."
Oh, Tuhan.
Ironis sebenarnya. Tapi, sayangnya itu benar.
*
Duduk di meja riasnya, Elai bertopang dagu pada satu tangan. Tatapan matanya terarah lurus pada tempat tidur. Tepatnya di titik di mana ia menyembunyikan pisau buahnya.
"Mudah-mudahan aja aku nggak ngigau yang aneh-aneh," lirihnya bergidik ngeri. "Kan nggak lucu kalau aku ngiris diri aku sendiri make pisau yang aku sembunyikan."
Elai mengembuskan napasnya sekilas. Sebenarnya ia tidak ingin sih, tapi entah mengapa lagi-lagi ia merutuki Olivia.
"Seandainya Kak Via beneran nikah sama Kak Max, aku pasti nggak bakal kejebur dalam situasi kayak gini. Kak Via tega amat sih sama aku."
Bibir Elai mengerucut. Tampak cemberut ketika rasa kesal itu pelan-pelan berubah menjadi rasa sedih.
"Lagian punya orang tua juga kenapa harus maksa anaknya buat nikah sih? Kalau ada jodohnya ya pasti aku nikah juga. Nggak perlu dipaksa-paksa. Mana ini dipaksa nikah sama Marcel lagi. Gimana bisa aku nikah sama cowok cengeng dan bodoh kayak dia? Emang Mama dan Papa nggak tau sifat aku apa? Mama dan Papa harusnya nyari cowok pemberani dan pintar. Karena kalau aku berulah, dia bakal bisa buat ngadepin aku."
Mata Elai lantas memejam.
"Apa enaknya nikah sama cowok cengeng dan bodoh? Jangan-jangan aku bentakin dikit dia udah ngacir lagi sama mamanya."
Dan Elai membayangkan, bagaimana Marcel yang tersedu sedan lalu memilih pulang ke rumah orang tuanya. Melayangkan gugatan cerai dengan alasan yang benar-benar luar biasa. Yaitu Elai terlalu ganas di ranjang dan membuat Marcel tak berdaya.
"Aku udah nggak kuat, Lai. Udah. Hiks .... Hiks .... Hiks ...."
"Aku nggak mau tau. Pokoknya aku belum puas! Sini kamu!"
"Jangan, Lai, jangan. Hiks .... Lihat ini. Dia udah lemes."
"Ah! Makanya! Jadi cowok kok punyanya cuma pisang muli sih? Udah pendek, kecil, eh cepat lembek lagi!"
"Elai .... Hiks hiks hiks .... Ntar aku bilangin ke Mama loh. Aku mau kita cerai aja."
"Iya, kita cerai. Biar itu pisang muli kamu nggak aku ulek buat adonan kue godok-godok!"
"Mamaaa ...!!!"
Elai sontak membuka matanya dengan bayangan terakhir yang melintas di benaknya. Yaitu Marcel yang langsung kabur dari kamar mereka seraya membawa celananya. Meninggalkan Elai seorang diri di atas kasur dengan ekspresi frustrasi.
"Yang benar saja!"
Kedua tangan Elai kemudian kompak bergerak di depan wajah. Layaknya sedang mencoba untuk mengusir bayangan yang membuat perutnya mual itu.
"Ah! Aku beneran nggak mau kalau sampe bayangan itu benar-benar jadi kenyataan," lirih Elai merinding. "Pokoknya aku harus bisa membatalkan perjodohan aku dengan Marcel."
Tanpa sadar, Elai kembali menggigit kuku ibu jari tangan kanannya. Berpikir dengan dahi yang berkerut.
"Kira-kira gimana ya caranya bisa perjodohan kami bisa batal?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Masa aku kalah sama Kak Via sih? Orang Kak Via aja bisa batal perjodohannya."
Elai merenung.
"Ehm ... itu kan gagalnya karena Kak Max nemu cewek lain."
Lalu, mata Elai membesar.
"Apa itu artinya kalau aku punya cowok lain ... aku nggak bakal jadi nikah dengan Marcel?"
Ah!
Bener-bener.
Kenapa aku nggak kepikiran gitu ya?
Sepertinya secercah harapan mulai timbul di benak Elai. Ia menemukan cara untuk menolak perjodohannya. Tapi, secepat itu harapan muncul, maka secepat itu pula harapannya sirna. Itu adalah ketika ia menyadari sesuatu.
"Tapi ..., kan aku nggak punya cowok."
Elai meremas rambut panjangnya dengan geram. Merasa bagaimana rasa kesal itu pelan-pelan terasa membuat ia ingin meledak.
"Lagian ... aku bahkan nggak punya kenalan cowok yang bisa aku jadikan gebetan. Aku nggak ada dekat sama siapa-siapa. Gimana bisa mendadak aku minta dipacarin gitu?"
Elai menarik napas dalam-dalam.
"Jangan panik, Lai, jangan panik. Kamu pasti bisa memikirkan jalan keluar dari masalah ini," lirihnya kemudian. "Ah, coba kita lihat sekarang. Kira-kira cowok mana yang bisa kamu goda untuk beberapa hari? Paling nggak yang bisa ngebuat Marcel minder gitu. Cuma buat perjodohan batal doang kok."
Dahi Elai berkerut. Memaksa otaknya untuk berpikir.
"Cowok yang aku kenal sekarang yang sekiranya bisa buat Marcel minder, ehm ...."
Kerutan di dahi Elai semakin bertambah seiring waktu berlalu. Matanya pun memejam dengan makin rapat.
"Yang cakep, yang atletis, yang tinggi, yang nggak cengeng, dan yang pinter. Ehm ... siapa ya?"
Lalu, mata Elai membuka dengan ekspresi melongo.
"Kayaknya aku tau deh siapa."
Setelah mengatakan itu, Elai lantas melihat pada pintu kamarnya. Menelengkan wajah ke satu sisi. Satu seringai membentuk di wajah cantiknya itu.
"Gimana kalau bodyguard Marcel aja yang aku goda?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top