7. Masing-Masing Antisipasi

Ini nggak bisa dibiarin kayak gini.

Nggak mungkin banget aku tinggal berdua di sini dengan cowok asing.

Elai yang dari selesai sarapan tadi mondar-mandir di kamarnya, mendadak menghentikan laju kakinya itu. Berdiri tepat di tengah-tengah kamar, ia berkacak pada satu pinggang. Sementara tangan kanannya terangkat ketika ia menggigit kuku ibu jarinya.

Apalagi ini cowok jelas-jelas adalah suruhan Marcel coba.

Lalu mata Elai membesar. Tepat ketika satu bayangan muncul di benaknya.

Gi-gi-gimana kalau mendadak aja pas malam-malam gitu Marcel datang ke sini?

Dan aku nggak bisa kabur dong!

Elai seketika membeku. Tepat ketika bayangan menakutkan itu muncul di benaknya. Dirinya yang tengah tidur dengan lelap justru mendapati satu usapan di pipinya. Ternyata, Ares dengan sengaja mempersilakan Marcel untuk datang ke unitnya secara diam-diam. Kemudian ... menyuruh pria berperut buncit dengan kumis tebal itu masuk ke kamarnya.

"Ya Tuhan!"

Elai seketika terkesiap dengan rasa takut yang benar-benar bukan mainan. Bulu kuduknya meremang. Tubuhnya merinding. Dan kengerian itu terasa amat nyata.

"Astaga! Siapa yang bisa meyakinkan aku kalau aku bakal aman?"

Kemungkinan buruk itu benar-benar membuat Elai seperti merasakan tubuhnya tak bertenaga lagi. Hingga wajar saja kalau pada akhirnya tubuh gadis itu melorot. Jatuh terduduk di lantai.

Kedua tangan Elai menekan lantai yang dingin. Nyaris sama dinginnya dengan tubuhnya saat itu.

"Kalau mendadak aku diperkosa dengan kura-kura gosong itu gimana?" tanya Elai kemudian. "Aku yakin banget dia bisa nekat kayak gitu."

Lalu untuk beberapa saat, Elai hanya melewati waktu yang berganti tiap detiknya dengan menghirup udara dalam-dalam. Dan ketika ia menegakkan kembali wajahnya sementara rambut panjangnya menguntai di kedua sisi pipinya, ia menguatkan tekadnya.

"Dia berani macam-macam sama aku," geram Elai. "Bakal aku letusin perut dia!"

Selesai mengucapkan itu, Elai pun bangkit. Dengan langkah yang mantap langsung keluar dari kamarnya.

Elai menuju ke dapur. Langsung menarik satu laci di meja kompor. Tempat di mana tersimpan beberapa jenis pisau beraneka bentuk dan ukuran.

Dengan sedikit menyipitkan matanya, Elai lantas melihat satu persatu pisau di sana. Meneliti dan mempertimbangkannya dengan masak-masak.

Pisau daging?

Dahi Elai berkerut.

Kalau pake pisau daging aku harus ngangkat tangan tinggi-tinggi kan ya?

Apa nggak keburu tangan aku ditangkap dulu sama dia?

Ehm ....

Sepertinya Elai tidak akan memilih pisau daging yang menurutnya tidak efektif. Hingga ia pun berpindah pada pilihan lainnya.

Atau pisau sayur?

Ehm ....

Bentuknya cenderung lebih kecil dari pisau daging sih ....

Tapi, bakal aku simpan di mana?

Di nakas?

Mata Elai mengerjap-ngerjap.

Kalau aku lagi tidur dan tiba-tiba itu Kura-Kura Gosong nyerang aku gimana?

Ya kali aku bilang gini: tunggu bentar, aku ambil dulu pisau di nakas buat ngusir kamu.

Oke, pisau sayur walau bentuknya lebih sederhana, nyatanya masih memiliki kekurangan dari segi penyimpanan.

Pisau sebesar itu tidak mungkin Elai taruh di bawah bantalnya kan? Salah-salah, malah kepalanya yang bocor karena senjata rahasianya sendiri.

Atau aku simpan di celah antara kasur dan kepala tempat tidur?

Lalu, mata Elai membesar. Tepat ketika ia mendapati satu pisau buah. Memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, panjang matanya mungkin hanya sepanjang jari telunjuk orang dewasa.

Elai mengambil pisau buah itu. Mengangkatnya ke depan wajahnya. Membolak-balikkan benda itu beberapa kali hanya untuk meneliti keadaannya.

Tampak tajam dan kuat.

Tapi, berukuran kecil.

Aku bukannya mau ngebunuh Marcel.

Tapi, yang penting bisa buat ngusir dia kalau macam-macam.

Itulah tekad Elai ketika pada akhirnya ia kembali masuk ke kamarnya. Dengan teramat berhati-hati menyelipkan pisau itu di atas tempat tidurnya. Tepat di celah sempit antara kasur yang empuk dan kepala tempat tidur yang kokoh.

"Ha ha ha ha ha."

Elai tertawa seraya berkacak pinggang. Matanya lurus menatap pada pintu kamarnya yang menutup dengan erat.

"Kalau pun kamu bisa masuk ke kamar aku," janji Elai kemudian. "Aku yakinkan kamu nggak bakal bisa keluar dari sini dengan selamat."

*

Sementara di kamarnya Elai tampak berusaha untuk membantengi diri dari kemungkinan buruk yang bisa terjadi, hal sebaliknya terjadi di kamar tamu. Ruangan di mana Ares akan tinggal selama beberapa waktu yang akan datang.

Ares baru saja merapikan perlengkapannya.

Tadi pagi, tepat sebelum ia membeli sarapan untuk dirinya dan Elai, pria itu menyempatkan diri untuk menghubungi kepala pelayan rumahnya. Meminta agar beberapa keperluan dirinya diantarkan ke apartemen Elai. Tepatnya, yaitu pakaian, perlengkapan sehari-hari, dan juga laptop.

Ares sadar bahwa tindakan dadakan yang ia ambil saat ini benar-benar berisiko. Bahkan ia dengan terpaksa meminta bantuan sang ayah untuk menggantikan dirinya sejenak. Yang mana tentu saja itu menimbulkan kemurkaan Widodo. Tapi, sayangnya Ares teramat keras kepala hingga pada akhirnya mampu meluluhkan hati ayahnya itu. Walau jelas, ketidakhadiran dirinya di kantor tidak serta merta membuat ia terbebas dari tanggungjawab. Ada satu dua hal penting yang tetap harus diperhatikan oleh dirinya.

Selesai membereskan beberapa perlengkapannya, Ares memandang sekitar pada tiap sudut di kamar itu. Manggut-manggut seraya berkata pada dirinya sendiri.

"Oke, Cel. Untuk beberapa waktu ke depan yang belum ditentukan entah sampai kapan ..., sepertinya kamu bakal tinggal dulu di sini."

Lagipula Ares sudah bertekad. Apa pun caranya, ia akan membuat Elai bertekuk lutut di hadapannya. Ia akan melihat bagaimana sorot mata Elai yang menatap dirinya dengan penuh kekaguman, sama persis seperti yang ia lakukan dulu. Tapi, ia juga akan menghempaskan Elai, pun sama persis seperti yang ia alami dulu. Hingga ia akan mendapati rasa sakit hati Elai, lagi-lagi ..., sama persis seperti yang ia rasakan dulu.

"Dan untuk itu ...," kata Ares kemudian. "Aku harus tau tentang Elai selama delapan belas tahun yang lalu."

Ares lantas mengerutkan dahinya.

"Apa sudah selama itu aku nggak pernah bertemu dengan dia?" tanya Ares dengan nada tak percaya. "Delapan belas tahun? Wah wah wah."

Ares merenung sejenak. Mungkin berusaha untuk berpikir. Kembali mengingat. Tapi, ternyata ia tak salah menghitung total tahun yang telah berlalu. Tepat setelah kejadian Ares yang dipermalukan oleh Elai di depan umum waktu itu.

Kali ini Ares mendengus, lalu geleng-geleng kepala.

"Aku jadi nggak heran juga sih kalau dia nggak ingat aku sama sekali," lirih Ares lagi. Kali ini tanpa sadar kakinya melangkah. Membawa dirinya untuk beranjak pada satu meja rias yang tersedia di sana.

Tentu saja, itu adalah meja rias yang dirancang khusus untuk wanita. Model dan juga desainnya sama sekali tidak ditujukan untuk pria seperti dirinya. Tapi, Ares tidak memiliki pilihan lainnya.

Menundukkan tubuhnya, kedua tangan Ares menekan meja rias itu. Bercermin dan menatap pada pantulan di sana. Tepat pada objek berupa wajahnya sendiri. Lalu, seringainya terbit.

"Dengan keadaan kamu sekarang yang kayak gini, Cel," gumam Ares kemudian. "Mana mungkin Elai bisa nebak kamu itu Kura-Kura Gosong yang dulu pernah ia permalukan?"

Ares lantas beranjak. Beralih untuk meraih ponsel dan mendudukkan bokongnya di tepi tempat tidur. Berniat menghubungi seseorang.

"Kalaupun aku mau tau tentang Elai selama delapan belas tahun ini," kata Ares seraya melihat pada nama kontak yang ia panggil. "Aku cuma harus menghubungi Kak Via."

Ares manggut-manggut.

"Toh semua orang tau kalau itu cewek paling deket sama kakaknya."

Tangan Ares terangkat. Menahan ponsel itu di telinganya dan mendengar nada tunggu panggilan yang masih setia berbunyi. Hingga tak butuh waktu lama, pada akhirnya panggilan itu tersambung pula.

"Marcel?"

Ares mengembuskan napas lega ketika mendengar suara Olivia di seberang sana. "Iya, Kak Via. Ini aku, Marcel."

Terdengar suara sedikit berisik di seberang sana hingga tak mampu menahan rasa penasaran Ares untuk bertanya.

"Kakak lagi di mana sekarang? Kok kayak yang berisik gitu?"

"Oh ...," lirih Olivia di seberang sana. "Sorry, Cel. Ini Kakak emang lagi jalan ke mall sih. Bareng temen Kakak, Ecca. Kebetulan rencananya lusa Kakak kan mau terbang lagi ke Tokyo."

"Aaah ...."

Ares mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan jelas mengerti bahwa bukan hal yang aneh bila Olivia tampak selalu tidak betah berlama-lama di Indonesia. Wanita itu teramat suka dengan negara Jepang. Bahkan saking sukanya sampai mengambil sekolah doktornya di sana pula.

"Kamu kenapa, Cel, nelepon?" tanya Olivia membuyarkan lamunan Ares. "Apa ini ada hubungannya dengan Elai?"

"Oh, itu ...."

Ares tidak yakin harus menjelaskan situasi saat itu pada Olivia dengan cara seperti apa. Bingung dan canggung. Karena walau hubungan dirinya dan Olivia baik, tapi bukan berarti dalam level akrab.

"Kakak udah dengar cerita kalian dari Mama."

Mendadak saja Olivia duluan yang mengangkat topik itu.

"Kamu sekarang tinggal di unit Elai ya?"

"Iya, Kak," jawab Ares langsung. "Sebenarnya ini mendadak banget. Aku nggak merencanakan ini. Tapi, malam tadi itu dia benar-benar ...."

Ares menahan laju lidahnya. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin menjelek-jelekkan seorang gadis di depan kakak kandungnya sendiri. Ares pun jelas tau, Olivia benar-benar menyayangi Elai.

"Hahahahaha."

Di luar dugaan Ares, tawa Olivia justru berderai di seberang sana.

"Harusnya kamu nggak kaget kan ya?" tanyanya kemudian. "Sifat Elai kan emang ditujukan untuk menjadi bahan cobaan kesabaran manusia."

Nah kan!

Mata Ares membesar.

Ini kakak dia sendiri loh yang ngomong.

Bukan aku.

"Tapi ...."

Suara Olivia lagi-lagi membuyarkan lamunan Ares. Dan entah mengapa, kali ini Ares merasakan ada sesuatu yang berbeda pada nada Olivia saat bicara.

"Walau gimanapun juga, Elai itu adek Kakak loh. Kamu ke sana nggak ada niat buruk kan?"

Deg!

Ares meneguk ludahnya.

Apa balas dendam termasuk niat buruk?

"Tentu saja nggak, Kak," jawab Ares santai. "Aku cuma mau meyakinkan dia untuk tetap menikah dengan aku. Lagipula aku sudah memutuskan. Cuma Elai yang akan aku nikahi."

Kapan lagi coba ada pengungkapan cinta seromantis ini?

Memang bukan ditujukan ke orang yang bersangkutan, tapi entah kenapa rasanya lebih menyentuh.

"Ehm!" Olivia mendehem. "Ju-jujur saja, sebelumnya Kakak nggak percaya kalau kamu bener-bener serius dengan Elai."

"Aku serius," ujar Ares dengan nada yang berusaha untuk dapat meyakinkan wanita itu. "Dan menghubungi Kakak siang ini adalah salah satu bentuk keseriusan aku yang lainnya."

"Maksud kamu?"

Ares menarik napas dalam-dalam. Menahan sejenak di dada ketika ia menguatkan diri untuk bertanya.

"Elai nolak perjodohan kami bukan karena dia punya cowok kan?"

Yah ... walau bagaimanapun juga, tentu saja ajang balas dendamnya akan terhambat kalau kenyataannya Elai udah punya cowok.

Benar kan?

"Aaah itu ...," lirih Olivia dengan berirama. "Kamu nggak perlu khawatir. Dia nggak punya cowok kok."

Ares baru akan bertanya lagi, tapi ternyata Olivia sudah lanjut bicara kembali.

"Bahkan kalau mau jujur, sebenarnya dia belum pernah punya cowok."

Mata Ares membesar. Tampak syok dan tidak percaya dengan informasi yang ia dapatkan dari Olivia.

"Be-belum pernah? Belum pernah?" tanyanya gagap. "Yang benar aja, Kak. Masa secantik itu belum pernah punya cowok?"

Kali ini Ares sontak berdiri.

"Dia bukannya suka cewek kan?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top