66. Sang Cinta

Maka bisa dibayangkan sepanik apa Marcel ketika mengetahui bahwa sebenarnya saat itu Elai sedang hamil. Setelah kejadian di unit apartemen mereka tadi? Wah! Elai beruntung saat itu Marcel tidak mendadak gila karena kekhawatirannya terhadap keselamatan bayi yang sedang ia kandung. Dan tentu saja, muara dari semua rasa cemas itu adalah satu.

"Bintang laut itu selamanya nggak bakal keluar dari Bikini Bottom! Awas aja!"

Seharusnya sih tidak lucu, tapi tetap saja umpatan Marcel kala itu membuat Elai terkekeh geli karenanya. Hingga ia pun sebisa mungkin menenangkan suaminya itu.

"Cel, ya ampun. Ini aku baik-baik aja. Dan aku yakin keadaan bayi kita juga baik-baik aja kok."

Namun, tentu saja Marcel tidak ingin mengambil risiko. Hingga tidak menjadi hal yang aneh bila pada akhirnya janji temu dengan dokter ahli kandungan pun langsung dibuat. Untuk melakukan pemeriksaan secara mendalam pada Elai. Untuk benar-benar meyakinkan Marcel bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Karena memang, baik Elai maupun bayi mereka, sama-sama dalam keadaan yang sehat dan kuat.

"Sebenarnya karena itu aku mau ngajak kamu makan di luar siang ini."

Satu kalimat yang Elai ucapkan malam itu membuat Marcel mengerutkan dahinya. Seperti baru menyadari sesuatu yang membuat matanya membesar seketika.

"Sejak kapan kamu tau kalau kamu hamil? Kenapa nggak ngasih tau aku? Astaga, Lai. Bisa-bisanya bapak anak kamu nggak kamu kasih tau?"

Di dalam pelukan Marcel, Elai tertawa dengan teramat lepas. Hingga nyaris mustahil baginya untuk bisa menjawab pertanyaan itu. Yang mana, sebagai pendahuluan, Elai justru menggeleng.

"Bukan. Aku bukannya udah tau kalau aku hamil," kata Elai geli. "Cuma ... aku ngerasa aja kalau ada yang beda akhir-akhir ini sama diri aku. Dan rencananya sih abis makan siang, aku mau ngajak kamu ngecek gitu ke rumah sakit."

Marcel tak percaya dengan perkataan Elai. Tetap menganggap bahwa istrinya itu memang sengaja menyembunyikan hal sepenting itu darinya.

"Tapi, tetap aja. Harusnya kalau kamu ngerasa ada yang beda dikit aja sama diri kamu, ya kamu ngomong ke aku, Lai. Astaga. Ntar kalau ada apa-apa sama kamu, gimana?" tanya Marcel lagi. "Dan tadi apa? Kamu mau ngangkat guci itu kan?" Ekspresi Marcel berubah horor. "Ya ampun. Please. Kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Aku nggak mau kamu kecapekan atau apalah. Pokoknya kamu harus jaga kesehatan kamu."

Elai mengusap dada Marcel seraya angguk-angguk kepala. "Iya, Cel, iya. Tenang aja. Aku malah senang kok nggak ngapa-ngapain," guraunya geli. "Lagian ... akhir-akhir ini kan yang sering buat aku capek ya kamu doang."

O ho!

Perkataan Elai yang satu itu mau tak mau membuat pikiran Marcel melanglang buana. Terutama karena di detik selanjutnya, cowok itu dengan jelas menangkap gerlingan nakal di mata Elai. Sudah! Tidak terbantahkan lagi maksud perkataan Elai yang satu itu.

"Jadi kalau kamu nggak mau liat aku capek," lanjut Elai lagi. "Itu artinya kamu yang harus jaga sikap." Ia tampak mengernyitkan ujung hidungnya dengan ekspresi imut. "Jangan sampe buat aku kerja malam-malam."

Mata Marcel sontak membesar. Tampak syok.

"Eh? Ta-ta-tapi, kalau kerjaan enak ya nggak apa-apa deh kayaknya."

"Hahahaha. Kerjaan enak?"

Tawa itu, yang terdengar renyah di telinga Marcel, berhasil membuat cowok itu tertular. Pun tak mampu menahan desakan dirinya untuk turut tertawa pula. Bersama dengan sang istri.

"Iya kan? Enak kan?" tanya Marcel menggoda, seraya menarik Elai semakin tenggelam ke dalam pelukannya. "Soalnya kalau nggak enak, nggak mungkin dong kamu mau dikerjain terus-terusan."

"Marcel!" pekik Elai malu. Tapi, sejurus kemudian ia justru tertawa. "Bisa-bisanya ya kamu ngomong gitu. Hahahahaha."

Membiarkan dirinya dan Elai menggunakan satu bantal yang sama, pada nyatanya Marcel menikmati beban kepala Elai di tangannya. Dengan teramat intim mereka bergelung di atas tempat tidur. Berpelukan. Seraya terus berceloteh ke sana dan kemari dengan tawa yang menyelinap di setiap pembicaraan keduanya.

"Ini bayi kita pasti beneran kayak kamu, Cel. Padahal udah selama ini, aku belum ada ngerasa mual atau pusing kehamilan. Kalau aku nggak kepikiran sama tamu bulanan aku aja, pasti aku nggak bakal ngira kalau aku lagi hamil."

Marcel tersenyum lebar. Mengusap punggung Elai dengan penuh kasih.

"Kalau gitu, bagus dong. Mudah-mudahan anak kita bakal jadi anak penurut. Nggak nakal kayak mamanya dulu."

Elai tertawa. "Aku juga sih maunya gitu. Biar anak kita mirip kamu aja. Biar aku nggak kena stroke di usia dini. Hahahaha."

"Aku kebayang kalau anak kita mirip kamu, Lai," kata Marcel geli. "Mungkin tiap hari aku harus ngeliat pecahan vas bunga ada di mana-mana."

"Hahahahaha."

"Oh, itu nggak bagus banget. Aku harus nyingkirin benda kaca dari rumah kita. Biar hidup aku lebih aman sentosa."

"Hahahahaha."

Dan begitulah selanjutnya. Layaknya kehamilan di keluarga manapun, kehamilan yang Elai alami juga memberikan kebahagiaannya. Tak hanya untuk ia dan Marcel, melainkan juga untuk kedua keluarga mereka. Terutama bagi orang tua Marcel yang memang hanya memiliki satu putra, menyambut dengan amat bersukacita kabar bahagia itu.

Hingga kemudian, tujuh bulan pun berlalu, Elai dan Marcel mengucapkan selamat pagi mereka yang pertama untuk sang buah hati.

"Selamat pagi, Ares."

*

Karena menjalani hari-hari bersama dengan orang yang dicintai ... adalah cara paling ampuh untuk melewati waktu tanpa terasa. Setidaknya, itulah yang Marcel yakini hingga saat ini. Bagaimanapun juga, cowok itu sudah terlatih untuk membandingkan dua masa kehidupannya. Yaitu, menjalani hari-hari tanpa Elai dan bersama Elai. Hasilnya? Fantastis!

Membiarkan ingatannya untuk kembali ke masa dulu, Marcel tau dengan pasti bagaimana tersiksanya ia menjalani hari-hari tanpa Elai. Ketika ia masih kecil, belum bisa memutuskan sendiri jalan hidupnya, berpisah dengan Elai adalah takdir yang paling tidak ia sukai. Dan siapa yang menyangka? Bahwa sama seperti dirinya, ada Elai yang juga merasakan hal yang sama. Bahkan tanpa ia sadari, ia menderita tanpa ada Marcel di sisinya.

Sekarang, setelah melewati bertahun-tahun tanpa berjumpa. Tanpa berkirim kabar berita. Tanpa saling tau keadaan. Pada akhirnya Marcel dan Elai kembali bersama. Dalam satu dunia yang disebut ... rumah tangga. Pun dengan dilengkapi oleh buah hati yang sekarang telah memasuki usia lincahnya.

Betapa waktu yang amat cepat berlalu.

Karena memang, bersama dengan orang yang dicintai, semua akan secepat itu.

Itulah yang Marcel rasakan. Seperti baru kemaren ia melihat Elai untuk pertama kalinya. Pun diusili olehnya hingga ia menangis dengan rasa malu. Tapi, juga dibuat menangis lantaran perpisahan menciptakan seutas rasa rindu.

Hingga kini, semua telah berganti. Bertukar oleh kenyataan di mana Marcel mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang merasakan itu semua. Alih-alih, juga Elai.

Memangnya siapa yang pernah menduga bahwa selama ini, Elai ternyata juga mencintai dirinya? Bahkan sejak dulu sebelum mereka tau apa itu arti cinta, Elai telah memendam rasa itu untuknya. Bertahun-tahun menunggu. Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan dan mengikat mereka berdua. Dalam mahligai cinta yang teramat suci. Lantas menghadirkan sosok malaikat itu pada keduanya. Yang mereka berdua namai Aresandy Ario Dharma.

Ares, begitulah bocah itu dipanggil oleh orang-orang di sekitarnya. Tumbuh dengan sehat dan normal layaknya bocah seusia dirinya. Bermain dan belajar, Ares benar-benar menjelma menjadi replika Marcel. Persis seperti yang ia dan Elai dambakan sejak dulu. Maka tidak mengherankan sama sekali bila sore itu, Marcel seperti tertarik ke masa lalu saat mendapati pemandangan itu di dapur. Kala Elai yang tengah menyiapkan masakan untuk makan malam, harus menjeda kegiatannya lantaran tangis yang pecah ke udara. Diiringi oleh derap langkah yang langsung menuju padanya.

"Mama!"

Di tempatnya berdiri, Elai tersentak mendapati sepasang tangan langsung memeluk kakinya. Nyaris membuat pisau terlepas dari tangannya. Fyuh! Beruntung benda tajam itu tidak melukai siapa pun.

Menyisihkan pekerjaannya sejenak, Elai menunduk. Melihat bagaimana putranya tampak mengangkat wajah dengan berlinang air mata.

"Loh?" kesiap Elai seraya memilih untuk turun, mengambil posisi sejajar dengan Ares. "Pulang main kok malah nangis?"

Ares tak langsung menjawab pertanyaan itu. Alih-alih, ia hanya sesegukan saat air matanya tak juga berhenti mengalir. Dan ketika Elai mengusapnya, tangisnya semakin pecah.

"Kenapa aku jelek, Ma?"

Elai melongo. "Eh?"

"Mama cantik. Hiks! Papa ganteng. Hiks! Tapi, hiks! Kenapa aku jelek?"

Dari sekian banyak kemungkinan yang menjadi alasan Ares menangis, Elai sama sekali tidak mengira bahwa itu yang menjadi penyebabnya. Nyaris saja membuat Elai tak mampu menahan tawanya untuk meledak. Tapi, untung. Elai yang masih aktif di kelas parenting-nya ingat dengan benar bagaimana fatalnya menertawai tangis anak kecil.

Maka alih-alih menertawai, Elai berusaha untuk menenangkannya. Dan itu dimulai keyakinannya selama ini.

"Menurut Mama, Ares nggak jelek kok," kata Elai pelan. "Ares anak yang baik, penurut, dan patuh sama orang tua. Itu nggak jelek. Dan semua orang sayang sama Ares."

Belum berhasil. Air mata Ares masih mengalir. Bahkan kali ini tampak bibirnya yang semakin manyun.

"Tapi, aku jelek, Ma," kata Ares lagi. "Lihat ini." Tangannya naik, mendarat di perutnya. "Aku buncit. Aku gemuk. Aku hitam. Aku juga pendek. Aku jelek."

Karena ketika doa Elai dan Marcel dikabulkan Tuhan, maka itu menjelma kenyataan yang nyaris serupa duplikat. Bahkan bukan hanya sifat Marcel yang diwarisi oleh Ares. Alih-alih juga penampilannya. Ares ... persis seperti Marcel ketika ia masih kecil. Dan itu membuat Elai benar-benar takjub.

Tangan Elai bergerak. Menarik Ares demi melabuhkan satu ciuman di pipinya yang berisi.

"Ares tau? Walau orang ngomong Ares jelek, tapi Mama sayang Ares. Kalau Ares? Sayang Mama juga nggak?"

Mata Ares mengerjap-ngerjap. Sedikit memberi jeda pada tangisnya. Dan ia mengangguk. Dengan tangannya yang berisi, ia menangkup pipi Elai. Membalas memberi ciuman di pipi ibunya.

"Sayang, Ma."

Ketika itu, hanya menjadi penonton jelas merupakan hal yang menjemukan untuk Marcel. Hingga pada akhirnya, ia pun beranjak dari tempatnya. Seraya bersuara.

"Terus ... yang sayang Papa siapa?"

Elai dan Ares sama-sama berpaling. Ke sumber suara dan mendapati Marcel menghampiri mereka berdua. Dengan senyum geli yang tersungging di wajahnya dan berpura-pura sedang merajuk karena tidak terlibat dalam percakapan sayang-sayangan tersebut.

Dan Ares langsung memeluk Elai. Layaknya ia yang sedang menjaga ibunya dari sang pencuri.

"Mama cuma boleh sayang Ares. Nggak boleh sayang Papa juga."

Marcel mencubit sekilas ujung hidung Ares. Di matanya terpancar sorot sayang yang hanya bisa diberikan oleh seorang ayah pada anaknya.

"Kalau Mama nggak boleh sayang Papa," kata Marcel kemudian. "Ntar Papa nggak kasih tau deh cara biar temen kamu nggak ngangguin kamu lagi."

Dahi Ares mengerut. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi bingung. "Papa tau ada yang ngangguin aku?" tanyanya. "Tau dari siapa?"

Marcel menggerling pada Elai dengan raut geli. Dan istrinya itu hanya geleng-geleng kepala. Terutama karena selanjutnya Marcel berkata.

"Ehm .... Papa cuma ngerasa kayak pernah ngalamin hal yang sama sih. Digangguin sama cewek cantik."

Kalau tadi Ares tampak bingung, maka sekarang sebaliknya. Ia tampak syok.

"Papa tau sama Cecillia?"

Pertanyaan yang sontak membuat Elai dan Marcel saling bertukar pandang. Hanya untuk hening sejenak. Sebelum pada akhirnya kedua sudut bibir mereka sama-sama tertarik ke atas. Membentuk senyum geli yang diiringi oleh gelengan kepala tak percaya keduanya.

"Cecil memang cantik, tapi dia suka gangguin aku, Pa. Katanya aku jelek."

Marcel meringis. Begitupun dengan Elai. Tentu saja ... karena pemikiran yang sama melintas di benak mereka.

"Mama yakin Cecil nggak bener-bener jujur waktu ngomong kamu jelek," kata Elai kemudian. "Itu ... cuma cara Cecil biar bisa main sama kamu."

Marcel manggut-manggut. "Kamu harus dengar nasihat dari ahlinya, Res. Papa yakin nggak ada yang paham soal ini selain Mama kamu."

"Sayang ...."

Ups!

Marcel langsung menutup mulutnya dengan ekspresi geli. Bukannya takut atau apa, tapi saat itu mereka sedang berada di dapur. Dan semua orang tau bahwa dapur adalah wilayah kekuasaan istri. Hihihihi.

Beralih pada putranya kembali, Elai lantas terpikirkan satu ide.

"Gimana nanti kamu ajak Cecil main ke rumah? Mama yakin setelah kalian main, dia nggak bakal ngusilin kamu lagi."

Mengembuskan napas panjang, Ares mengangguk. "Nanti aku chat dia, Ma. Walau dia sebenarnya nggak pernah balas sih."

Ah, satu informasi lain yang membuat Elai dan Marcel sama-sama membesarkan matanya. Bahkan setelah kepergian Ares bersama dengan pengasuhnya, mereka tampak sama-sama masih tak percaya dengan kenyataan itu.

"Ini mah namanya bukan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi, ini namanya buah jatuh dan nyangkut di dahan pohonnya."

Elai sontak tertawa mendengar perkataan Marcel. Hingga ia yang semula berniat akan melanjutkan pekerjaannya, menjadi mengurungkan kembali niatannya.

"Kamu lihat?" tanya Marcel kemudian. "Gimana bisa Ares ngalamin hal yang sama persis dengan yang aku alamin?"

"Hahahahaha."

Tawa Elai semakin berderai. Membuat ia tak berdaya selain mengikuti tarikan alamiah yang mendorong dirinya untuk mendarat di dada Marcel. Tak peduli bahwa mereka saat itu tengah berada di dapur. Tempat di mana asisten rumah tangga bisa melihat keduanya.

"Tapi, kalau Ares memang bakal ngalamin apa yang kamu alamin, itu artinya aku bisa bernapas lega dong."

Marcel diam. Menunggu kelanjutan perkataan istrinya.

"Karena itu artinya ... nanti Ares bakal menemukan seseorang yang cinta dia. Persis seperti kamu."

Untuk hal yang satu itu, tentu saja Marcel tidak menyangkalnya. Bahkan ia tidak memiliki kalimat persetujuan yang paling sesuai dengan kenyataan tersebut. Selain ungkapan ....

"Aku cinta kamu, Lai."

Ehm ... pernyataan yang tiba-tiba. Hingga membuat Elai memutar mata melihat ke sekeliling. Demi memastikan bahwa tidak ada asisten rumah tangga yang sedang berada di sekitar mereka. Agar dirinya merasa tenang. Dan tanpa malu membalas dengan ungkapan yang serupa.

"Aku juga cinta kamu, Cel."

Karena ternyata, sebanyak apa hari yang telah Elai dan Marcel lalui bersama, itu memang tidak menyurutkan perasaan di antara keduanya. Malah yang terjadi justru perasaan itu yang semakin terpupuk tiap waktunya. Menumbuhkan kebersamaan yang berakar dengan kuat. Layaknya yang membangun pondasi di hati mereka.

Dan perasaan cinta itu, tak hanya dirasakan oleh Elai dan Marcel. Melainkan juga Ares. Buah cinta yang tau dengan persis betapa dirinya dicintai oleh kedua orang tuanya.

Karena bagi seorang anak, tidak ada kebahagiaan yang lebih mewah lagi ketimbang hidup penuh kasih sayang bersama dengan ayah dan ibunya. Karena bagi seorang anak, kasih sayanglah yang akan menjadi harta yang paling berharga. Harta yang pasti akan selalu ingin ia lihat dan ia rasakan setiap harinya. Sama persis seperti ketika Ares yang akan kembali ke dapur, justru tertegun di ambang pintu. Melihat pada Elai dan Marcel yang berpelukan seraya tertawa-tawa. Hingga pada akhirnya, mereka menyadari kehadiran Ares. Memanggilnya dan mengajaknya untuk bergabung dalam pelukan yang sama.

Itulah orang tua dan anak, di dalam cinta.

*Tamat*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top