65. Di Balik Peristiwa

"P-P-Pak. Aduh! Aaah!"

"Pelan-pelan, Pak."

"Aaah!!!"

Elai dan Marcek meringis ketika beberapa petugas medis berusaha memindahkan Patrick ke atas ranjang ambulans. Setelah memastikan tidak ada pecahan kaca yang masih menancap di tubuh cowok itu pastinya. Iiih!

Patrick kembali mengaduh kesakitan ketika tubuhnya mendarat di ranjang ambulans itu. Mata terpejam erat dan tangan mengepal. Seolah sedang berusaha menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Menyedihkan. Bahkan ia tak peduli bahwa ada banyak mata yang melihat dirinya kala itu.

Oh, tentu saja. Bukan hanya petugas medis yang ada di unit apartemen Elai dan Marcel saat itu. Tercatat ada pula petugas keamanan apartemen serta aparat kepolisian. Yang tentu saja bersiap untuk mendapatkan informasi tentang kejadian kala itu.

Namun, ketika seorang petugas yang memiliki nama Sudarsono di seragamnya itu akan mendekati Elai dan Marcel, bertepatan dengan ranjang ambulans yang akan bergerak meninggalkan tempat itu, terdengar suara Patrick berseru.

"Pak! Tangkap dia! Marcel yang buat saya babak belur kayak gini! Penjarakan dia!"

Sontak saja mata Marcel melotot. Sudut bibirnya berkedut. Tanpa sadar ia bergumam merutuk.

"Emang harusnya aku presto dulu itu bintang laut sebelum manggil orang-orang."

Elai tersentak. Refleks melihat pada Sudarsono yang jelas kaget. Terutama karena selanjutnya, Marcel bahkan bangkit dari duduknya. Menuding pada pasien mengenaskan itu.

"Sekali lagi ngomong, kamu beneran nggak bakal bisa ketemu Spongebob lagi, dasar penghuni rumah batu!"

Tak menghiraukan yang terjadi, petugas medis bergerak. Mulai mendorong ranjang ambulans. Walau Patrick masih berteriak.

"Pak! Lihat kan? Dia ngancam saya! Melakukan tindakan tidak menyenangkan! Dia main hukum sendiri!"

Mungkin saja Marcel akan benar-benar membuktikan perkataan Patrick. Yaitu, main hukum sendiri. Andaikan Elai tidak buru-buru menahan tangannya dan mata cowok itu bersirobok dengan Sudarsono. Hingga mau tak mau ia membuang napas kesal. Jengkel harus membiarkan Patrick tanpa mengirisnya menjadi lima bagian terlebih dahulu.

Menunggu suasana sedikit kondusif, barulah kemudian Sudarsono melakukan pekerjaannya. Melayangkan beberapa pertanyaan yang dijawab sekenanya oleh Marcel. Hingga ujungnya, Sudarsono menanyakan perihal kerusakan yang terjadi di sana.

Pertama pandangan Sudarsono tentu saja tertarik pada bunga tulip bewarna kuning yang berserakan di lantai. Ia pun menunjuk.

"Jadi, Patrick berusaha untuk melecehkan Ibu Elai dengan kekerasan? Apa Patrick memukul Ibu Elai dengan vas bunga?"

Elai meringis. "I-itu saya yang mukul dia pake vas bunga, Pak."

"Aaah ...."

Sudarsono angguk-angguk kepala. Lantas ia beralih pada pecahan meja kaca. Menunjuk lagi.

"Dan meja kaca ini pecah," lanjut Sudarsono lagi. "Apa karena dia nekat menyerang Pak Marcel sehingga terjadi perkelahian?"

Marcel mendengkus. "Perkelahian apa? Ngangkat tinju aja dia nggak bisa," tukasnya. "Itu meja kaca pecah karena saya yang banting dia di sana. Biar dia tau rasa!"

Dooong!

Tentu saja jawaban itu membuat Sudarsono melongo. Hingga satu pertanyaan konyol muncul di benaknya.

Ini sebenarnya siapa korban siapa pelaku?

Seakan mengetahui ujung pemikiran Sudarsono, Marcel lantas berkata.

"Itu namanya membela diri, Pak. Emangnya mau nunggu polisi datang dan kami diem aja gitu? Biar ntar polisi bisa tinggal buat berita kejadian kalau kalian datang terlambat ke lokasi kejadian perkara?!"

Sudarsono mengembuskan napas panjang. "Tapi, Pak. Kan seharusnya bisa memanggil pihak keamanan dulu. Biar ini tidak sampai terjadi hal seperti ini."

"Wah!"

Marcel terkesiap dengan ekspresi tak percaya. Lalu wajahnya justru menampilkan raut seperti tengah mencemooh. Ia geleng-geleng kepala.

"Emangnya kalau istri Bapak akan dilecehkan, Bapak bakal balik ke kantor dulu manggil anak buah Bapak, terus baru balik lagi ke lokasi?" tanya Marcel satire. "Berani bertaruh saya, Pak. Pasti Bapak bakal langsung nyabut pistol Bapak juga."

Mata Sudarsono memejam dramatis. Tak mampu membalas argumen yang satu itu. Karena memang, yang dikatakan oleh Marcel dan apa yang telah dilakukannya, adalah hal yang teramat logis.

Sementara Marcel, merasa sudah cukup muak dengan semua yang terjadi kala itu, memutuskan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi sekretarisnya.

"Halo, Rachel! Kamu segera ke unit apartemen saya. Sekarang juga. Bawa pengacara! Dan ingat, batalkan semua jadwal saya hari ini. Makasih."

Mendengar itu, Sudarsono pun tau bagaimana akhir kasus pelaku percobaan pelecehan yang meregang nyawa di tangan korbannya. Ckckckck.

*

Meninggalkan kekacauan di unitnya, Marcel tadi tidak lupa berpesan pada Rachel dan Daniel, pengacaranya.

"Pastikan kali ini Patrick bukan hanya dapat pinalti! Tapi, kalau perlu kartu mati!"

Dan selanjutnya, Marcel pun membawa Elai untuk ke rumah sakit. Seraya masih merutuk.

"Masuk akal? Penjahat dibawa ke rumah sakit, eh ... korban malah diinterogasi!"

Elai yang sedari tadi mendapati bagaimana emosi Marcel tidak terkendali, berusaha untuk menjaga sikapnya. Walau terang, perdebatan antara suaminya dengan pihak polisi tadi sempat membuat ia ketar-ketir. Ia tidak ingin justru Marcel yang nantinya akan mendapat masalah. Yang mana itu sebenarnya tidak mungkin terjadi. Ada CCTV yang jelas merekam tindakan yang Patrick lakukan pada Elai di lorong lantai. Dan bahkan kalau perlu, Marcel memastikan Elai akan melakukan visum untuk memperkuat barang bukti kejahatan Patrick.

Hanya saja, menyingkirkan soal visum, Marcel sendiri pun merasa cemas dengan keadaan Elai. Hingga ketika Seno mengemudikan mobil demi membawa kedua orang majikannya ke rumah sakit terdekat, Marcel pun sibuk memeriksa tubuh Elai.

"Kamu nggak apa-apa kan? Apa ada yang luka?"

Elai membiarkan kedua tangan Marcel meraba dan memeriksa dirinya. Tak menghentikannya. Karena ia tau pasti, Marcel tentu sangat mengkhawatirkannya.

"Nggak apa-apa," geleng Elai kemudian. "Aku nggak ada yang luka."

Kelegaan itu benar-benar membuat Marcel mengucapkan syukurnya. Mendorong Marcel untuk menangkup kedua pipi Elai. Menariknya dan melabuhkan kecupan di dahinya. Lantas memeluknya. Memberikan usapan berulang kali di punggungnya.

"Di telepon tadi," kata Marcel seraya tetap memeluk Elai. "Aku udah takut banget. Aku khawatir aku datang terlambat. Aku khawatir kamu kenapa-napa."

Elai tersenyum di dalam pelukan itu. Menikmati sentuhan itu dengan mata yang memejam. Rasanya damai dan amat menenangkan.

"Tapi, untunglah. Kamu nggak apa-apa. Ya Tuhan. Makasih kamu nggak apa-apa, Lai."

Elai berusaha mengangguk. "Iya, Cel, iya. Aku beruntung karena tadi ada vas bunganya."

Tak mau, tapi ucapan lucu Elai membuat Marcel terkekeh pula. Hingga pelukan mereka terurai, Marcel benar-benar tak mampu mengucapkan terima kasihnya. Pada Tuhan yang telah memberikan bakat emosi pada Elai dari kecil dulu. Ehm ... sepertinya bakat yang satu itu diberikan Tuhan pada tangan yang tepat. Elai jelas bukan sekadar cewek yang mudah emosi. Tapi, ia benar-benar menggunakan emosi itu untuk melindungi dirinya sendiri.

Sesampainya di rumah sakit, Elai pun lantas diperiksa. Secara menyeluruh. Sebab Marcel perlu diyakinkan dengan data yang akurat bahwa istrinya tidak mengalami luka dalam.

Membutuhkan waktu yang tidak sebentar pastinya –termasuk dengan rontgen-, hingga kemudian Marcel bersama dengan Elai berbincang-bincang dengan dokter yang menangani Elai.

"Tidak ada cedera. Patah tulang juga tidak. Hanya memar di beberapa tempat yang akan sembuh dalam beberapa hari. Dan yang paling penting. Janin yang baru berusia tujuh minggu ini juga dalam keadaan yang sehat dan kuat."

Marcel melongo sedetik. Seperti dirinya yang mendadak linglung dengan informasi terakhir. Yang terang saja amat sangat mengejutkannya. Karena pada saat itu, ia pun menyadari bahwa Elai tidak memberikan reaksi yang sama seperti dirinya.

Elai tidak tampak terkejut. Tidak tampak syok. Alih-alih, ia mengangkat kedua bahunya dengan tersenyum lebar. Jelas, ia bahagia sekali.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top