63. Kecamuk Emosi
Jangan heran bila setelah percintaan yang teramat menggairahkan itu Marcel seperti merasa nyawanya melayang separuh. Nyatanya, tepat ketika pada akhirnya bukti cintanya itu tertumpah tanpa sisa, Marcel pun laksana kehilangan kekuatannya. Seketika saja ia ambruk. Seperti seorang prajurit yang kalah perang. Mendarat tanpa daya di punggung Elai yang terasa lembab lantaran keringat.
Untuk beberapa saat lamanya, baik Marcel ataupun Elai sama-sama tak ada yang bersuara. Hanya ada deru napas mereka yang menggebulah yang menjadi tanda bahwa keduanya masih bernyawa. Tampak mengenaskan, namun sayangnya itu adalah hal mengenaskan yang paling menakjubkan.
Marcel tak mampu menahan senyum lebarnya untuk merekah. Dengan mata yang memejam, layaknya ia yang mendadak buta karena terpaan kenikmatan tadi, bibir cowok itu bergerak. Acak dan abstrak. Hanya untuk melabuhkan ciuman di sela-sela riak rambut Elai yang wangi.
Tangan Marcel bergerak. Mengusap sepanjang tangan Elai demi mendarat di pinggulnya. Memberikan satu sentuhan nakal pada pita di sana.
"Ini ...," lirih Marcel dengan suara yang serak. "... bukan kamu pelajari di kelas memasak kamu kan?"
Tentu saja, Elai sontak tertawa mendengar pertanyaan itu. Pun refleks memberikan pukulan kecil di tangan Marcel yang menggoda pitanya.
"Soalnya bukan apa sih ...."
Marcel kembali melanjutkan perkataannya seraya masih menciumi rambut Elai. Bahkan sekarang ia tampak berlama-lama demi menghirup aroma wangi di sana. Pun tak segan untuk mendaratkan kecupan-kecupannya di setiap tempat yang mampu bibirnya jangkau.
"Aku ngerasa terong aku beneran udah masak kali ini. Beneran udah empuk."
Bahkan Marcel bisa merasakan punggung Elai yang bergetar lantaran tawa yang tak mampu ia tahan. Hingga kemudian, cowok itu pun pada akhirnya beranjak dari tubuh Elai, ia mendapati istrinya itu yang memilih untuk tetap meneruskan tawanya.
Marcel meraih bantal. Menaruh satu tangannya di bawah kepalanya agar ia bisa melihat Elai dengan lebih leluasa.
Oh, lihatlah istrinya itu.
Tampak begitu acak-acakan. Namun, jelas sangat menggoda.
Elai beringsut. Sedikit merangkak hingga mata Marcel fokus pada kedua payudara itu. Namun, ia tak bisa berlama-lama menikmati pemandangan itu lantaran Elai yang langsung memeluk dirinya. Turut berbaring di sebelahnya.
"Ehm ... aku nggak suka terong yang lembek. Hahahaha. Nggak bakal kerasa."
Seringai nakal terbit di wajah Marcel. Seiring dengan bergeraknya kedua tangan cowok itu untuk menarik Elai, semakin mengeratkan sang istri dalam rengkuhannya, ia berbisik.
"Aku janji bisa buat dia keras lagi. Gimana?" tanya Marcel seraya terkekeh geli. "Dijamin bakal kerasa banget."
Tawa Elai kembali berderai. Bersusah payah untuk berkata.
"Aku udah capek ah. Udah masak. Terus nyiapin makan. Eh, terus diajak ke kamar lagi."
"Tapi, kamu suka kan?"
Mata Elai menyipit ketika ia kembali terkekeh. Dan ketika ia belum menjawab, ia mendapati Marcel yang menunduk. Menyasar pada lehernya. Mengusap-usap ujung hidungnya di sana, bergantian dengan kecupan-kecupannya.
"Suka nggak?"
Menahan tangan Marcel di perutnya, Elai mengangkat wajahnya. Karena jelas, walau geli, ia tak menampik bahwa ia menyukai sentuhan yang sedang Marcel lakukan padanya.
Elai mengangguk. Dan Marcel menyeringai.
"Jadi, mana yang lebih kamu suka?"
Mata Elai mengerjap. Tampak menerka dengan ekspresi tak percaya di wajahnya. "Antara pisang, timun, dan terong?" Ia tertawa. "Ehm ... aku suka semuanya."
Menghentikan rayuannya, Marcel menarik. Sedikit bangkit dan bertahan pada satu siku untuk melihat Elai yang justru menyamankan diri dalam posisi berbaringnya.
"Suka semuanya?"
Geli, tapi Elai mengangguk. Lalu memutar bola matanya dengan raut malu-malu. "Ya ... tinggal disantap sesuai dengan selera aja. Hahahaha."
"Kamu ini. Bisa-bisanya ngomong kayak gitu," gemas Marcel seraya mencubit sekilas puncak hidung Elai. Lantas kembali berbaring lagi seraya menarik selimut demi menutupi tubuh polos mereka berdua. "Udah. Sekarang waktunya untuk tidur."
Tak menolak, Elai kembali hanyut dalam pelukan Marcel. Walau jelas, untuk beberapa saat lamanya, cewek itu belum juga memejamkan matanya. Seperti ia yang ingin menghabiskan waktunya hanya dengan merasakan belaian Marcel di tubuhnya. Di balik selimut, kulit mereka saling menempel tanpa ada celah.
"Kamu tau?"
Suara Elai yang mendadak menyapa indra pendengarannya membuat kesadaran Marcel yang mulai lenyap, menjadi pulih kembali. Walau redup, tapi ia memaksa matanya untuk membuka. Bertanya.
"Apa?"
Elai menarik napas seraya mendaratkan tangannya di dada Marcel. Hanya untuk merasakan damai dengan sentuhan itu.
"Tiap selesai kita berhubungan, aku selalu bertanya-tanya," jawab Elai kemudian. "Kapan aku bakalan hamil."
Oh, sekarang sepertinya Marcel benar-benar sadar. Matanya seketika saja jernih kembali berkat topik yang satu itu.
Senyum Elai merekah dalam pelukan Marcel. Tepat ketika ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dalam bentuk belaian yang menyapa dada Marcel.
"Aku berharap nanti punya anak yang kayak kamu."
Marcel mengerutkan dahinya. "Yang hitam, buncit, bodoh, cengeng, dan penakut?" tanyanya spontan. "Harusnya kamu berdoa biar anak kita nanti kayak kamu."
"Ehm ...." Elai menggeleng. "Kamu tau bukan? Aku jatuh cinta sama kamu, bukan sekarang, Cel. Aku jatuh cinta sama kamu itu dulu. Ketika kamu masih hitam, buncit, bodoh, cengeng, dan penakut. Karena cinta ... emang nggak pernah mandang gitu. Aku cinta kamu karena kebaikan kamu."
Mata Marcel sontak mengerjap. Berusaha untuk melihat Elai, tapi cewek itu menunduk di dadanya.
"Daripada punya anak yang cantik," lanjut Elai kemudian. "Aku lebih baik punya anak yang baik hati. Karena saat itu, yang mencintai dia pasti karena benar-benar cinta."
"Ehm ... kamu bukannya lagi meragukan cinta aku kan?"
Elai terkekeh pelan. Tapi, menggeleng. Karena dia jelas ingat penyebab Marcel mencintainya. Cowok itu mencintai gadis kecil yang selalu sayang pada keluarganya.
"Lagipula, aku juga nggak mau anak aku ntar nakal kayak aku. Ehm ... ngurusnya pasti buat repot."
Untuk hal yang satu itu, Marcel pun tak kuasa menahan tawanya. Hingga cowok itu pun menggodanya dengan istilah karma yang mungkin saja bisa didapatkan Elai melalui anak mereka. Hingga untuk beberapa saat, tawa mereka pun masih berderai. Sampai pada akhirnya, kesadaran mereka pun menghilang. Menyisakan keduanya yang tertidur pulas seraya saling memeluk satu sama lain. Dan begitulah yang terjadi di tiap harinya.
*
Mungkin memang tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah bertahun-tahun dan masih saling menguatkan satu sama lain, tapi setidaknya Marcel bisa merasa bahagia untuk pernikahan dirinya sendiri. Masih beberapa bulan, tapi ia mendapati bagaimana sikap Elai padanya semakin hari semakin membuat ia berharap agar mereka berumur panjang. Ia sungguh ingin menikmati tiap waktunya selalu bersama dengan istrinya. Terutama sekarang, setelah resepsi pernikahan mereka diselenggarakan. Kini semua orang tau bahwa Elai telah menjadi miliknya. Tidak terkecuali untuk Patrick dan Pirly.
Memikirkan beberapa hal, dalam waktu dekat Marcel akan mengajak Elai untuk pindah. Ke rumahnya yang telah selesai direnovasi. Menilik dari perkataan Elai beberapa waktu yang lalu, sepertinya mereka memang harus tinggal di rumah untuk menyambut kehamilan dan kelahiran yang sedang mereka rencanakan. Di sana, Elai akan merasa lebih nyaman. Pun halamannya yang luas bisa sekali dijadikan tempat bermain anak-anak mereka nantinya.
Dan sepertinya, pikiran Marcel akan semakin liar berimajinasi ke mana-mana. Andaikan satu dering di ponselnya tidak menyadarkan dirinya.
Buru-buru merogoh saku dalam jas yang ia kenakan, Marcel tersenyum mendapati ada Elai yang menghubunginya. Ia pun segera mengangkat panggilan itu.
"Halo, Sayang."
Marcel merasa beruntung saat itu menaikkan sekat pembatas mobilnya. Karena sungguh! Sapaan lembut yang Elai ucapkan jelas membuat senyumnya mengembang semakin lebar lagi.
"Kamu udah di jalan?"
Belum lagi Marcel sempat membalas sapaan itu, Elai sudah melayangkan pertanyaannya.
"Soalnya aku udah siap. Gimana?"
Dan ketika Marcel belum menjawab pertanyaan yang pertama, maka pertanyaan yang kedua pun telah menghampiri dirinya pula. Membuat ia geleng-geleng kepala dengan ekspresi geli.
"Iya, Lai. Aku udah di jalan," jawab Marcel kemudian seraya melayangkan pandangannya ke luar. Hanya untuk menerka sudah di mana dirinya saat itu melaju. "Kayaknya sih bentar lagi sampe. Paling lima menitan doang."
"Oh, kalau gitu aku turun aja ya? Aku tunggu di lobi. Jadi, ntar kita langsung pergi aja. Ehm ... soalnya aku udah laper."
Marcel tertawa. "Akhir-akhir ini kamu emang mudah laper ya?" tanyanya geli. "Kalau gitu, ya udah. Aku tunggu di lobi aja. Biar kita bisa langsung ke resto."
Siang itu, Elai yang mendadak malas memasak padahal sebelumnya sangat rajin memasak –berkat kelas memasaknya-, mengajak Marcel untuk makan di luar. Ketimbang menyuruh asisten rumah tangga mereka untuk memasak.
"Oke. Oke. Aku turun sekarang."
Marcel mendengar suara di seberang sana ketika Elai membuka pintu. Bertepatan dengan dirinya yang kemudian berkata pada Seno melalui interkom.
"Pak, kita ke lobi aja ya."
"Baik, Pak."
Dan setelah Marcel kembali memutuskan sambungan interkom, ia mendapati Elai yang bertanya padanya.
"Marcel, kamu masih di jalan kan?"
Marcel mengerutkan dahinya. "Iya. Kenapa?"
Mobil yang membawa Marcel berhenti bergerak. Itu adalah ketika Seno harus menjeda sejenak laju mobil yang ia kendarai ketika melewati portal keamanan. Prosedur wajib gedung untuk menjaga privasi dan kenyamanan penghuninya.
"Tapi, kok ada lift yang naik ke atas ya? Siapa yang datang?"
"Eh?"
Marcel pun bingung. Karena jelas unit tempat mereka tinggal berada di lantai tertinggi. Juga hanya ada satu unit di tiap lantainya untuk kelas VIP dan VVIP. Maka terang saja mengapa Elai dan Marcel heran ketika mendapati ada lift yang bergerak menuju ke lantai mereka.
"Siapa yang datang ya--- Patrick?"
Tubuh Marcel terasa menegang. "Elai, di sana ada Patrick?"
"Marcel, kamu di mana? Patrick, kamu--- Aaah!"
Elai tak bisa meneruskan perkataannya. Alih-alih, selanjutnya Marcel mendapati jeritan itu disusul oleh suara gedebuk halus. Lantas, suara Elai terdengar menjauh.
"Patrick! Kamu kenapa ada di sini?"
"Ya Tuhan, Lai. Aku cinta banget sama kamu. Kenapa kamu harus nikah sama dia? Selama ini aku selalu berusaha ada untuk kamu."
Mata Marcel mengerjap. Rasa panas seketika menyelimuti dirinya ketika mendengar dengan jelas setiap perkataan yang dilontarkan Patrick pada istrinya.
"Patrick, lepasin aku."
"Aku nggak bakal lepasin kamu, Lai. Kamu harus jadi milik aku."
Ini bukan rasa panas biasa. Itu adalah bara yang dalam sekejap mata terasa membakar diri Marcel dari luar hingga dalam. Membuat ia mengepalkan tangannya dengan kuat.
"Lepasi aku. Kamu gila. Marceeel!!!"
Jeritan Elai membuat ketegangan Marcel semakin meningkat. Ekspresi wajahnya seketika berubah panik. Hanya butuh hitungan detik yang teramat singkat untuk keringat muncul di sisi wajahnya. Pun dengan matanya yang memerah. Respon alamiah tubuhnya ketika ketakutan mendadak menjalari dirinya.
"Elai! Elai! Elai!"
Namun, tak ada sahutan yang ia dengar. Membuat ia menggeram. Dan cowok itu pun langsung keluar dari mobil tepat ketika lajunya berhenti di depan lobi gedung apartemen.
Marcel segera berlari menuju lift. Panik hingga nyaris tak bisa berpikir apa-apa lagi. Jeritan Elai jelas membuat ia rasanya ingin menghancurkan lift yang terasa lambat membuka. Ia tak bisa menunggu dengan bayangan menyeramkan yang bisa saja terjadi pada istrinya.
Ketika pada akhirnya lift membuka, Marcel dengan serta merta masuk. Menekan tombol dan seraya berdoa agar tidak ada hal yang buruk terjadi pada istrinya. Karena kalau tidak ....
Lift membuka. Marcel segera berlari dan menemukan ada ponsel Elai yang tergeletak di lantai lorong. Tapi, Marcel tidak punya waktu untuk mengurusi sekadar ponsel.
"Elai .... Elai .... Aku mohon, Tuhan."
Dari kejauhan Marcel bisa melihat pintu unit mereka yang sedikit terbuka. Membuat ia berlari dengan sekuat tenaga. Masuk. Meneriakkan nama Elai.
"Elai!"
Dan ketika langkah kakinya mengantarkan dirinya ke dalam unit, Marcel seketika tertegun. Tubuhnya terasa mendingin. Dan jantungnya seperti tidak berdetak lagi. Lantaran matanya melihat sesuatu yang terjadi di hadapannya. Ia hanya bisa melirih.
"Elai ...."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top