61. Sambutan Hari
Pagi itu, sekitar jam sembilan Elai tampak keluar dari unit dengan pakaian yang rapi. Dengan bersenandung kecil, cewek itu memasuki lift. Namun, tidak menekan tombol basement di mana area parkiran berada, ia justru memilih tombol berangka tiga puluh satu.
Sesampainya Elai di lantai yang dituju, ia pun keluar. Berjalan dengan tenang menyusuri koridor dan lantas berhenti di unit bernomor 3101. Dan ia pun langsung menekan belnya.
Tak butuh waktu lama untuk Elai hingga pintu unit itu membuka. Menampilkan satu wajah cewek yang jelas menyiratkan kebingungan dengan kedatangan Elai sepagi itu di unitnya. Maka bukan hal yang aneh bila Elai mendapati satu sapaan tak yakin sebagai penyambutnya. Alih-alih sapaan ramah khas tuan rumah seperti biasanya.
"Ngapain kamu sepagi ini datang ke tempat aku?"
Elai mendengkus geli. Geleng-geleng kepala. "Ya ampun, Pirly. Kamu nggak ada niatan buat nyuruh aku masuk dulu sebelum nanyain maksud kedatangan aku gitu?"
Cewek itu, yang tentu saja adalah Pirly adanya, mengerutkan dahinya. Semakin tidak mengerti. Malah kalau ingin ditambahkan, Pirly merasa sedikit ngeri melihat sikap Elai yang tampak berbeda kala itu. Hingga membuat ia memasang sikap waspada. Antisipasi untuk setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Ehm ....
Mungkin Elai masang jebakan buat ngerjain aku.
Pirly menyipitkan matanya. "Nggak usah sok ramah," sengitnya. "Ngapain kamu ke sini?"
Mendehem dengan penuh irama untuk beberapa saat, Elai lantas membawa kedua tangannya untuk bersedekap di depan dada. Matanya tampak berkedip sekali seraya ia memamerkan satu senyuman. Hal yang bukannya membuat Pirly merasa tenang, justru sebaliknya. Semakin waspada.
"0227."
"0227?"
Elai mengangguk. "Itu password unit Who Joon di drama So I Married An Anti-fan. Password yang juga aku jadiin buat password unit aku."
"Terus?" tanya Pirly dengan dahi yang semakin mengerut.
"Aku tau waktu kamu pindah ke sini, unit VIP udah habis. Dan karena itu, unit aku sekarang jadi milik kamu."
Mata Pirly sontak melotot. "A-a-apa?"
"Untuk surat-suratnya ntar bakal pengacara aku kasih ke kamu. Kapan pun kamu mau pindah, itu urusan kamu. Itu unit udah jadi milik kamu," lanjut Elai santai. Dan mendadak ia teringat sesuatu. "Ah, ntar kalau kamu pindah cek dulu di tempat tidur. Kayaknya kapan hari aku ada nyembunyiin pisau buat jaga-jaga."
"Pi-pisau?"
"Oke. Aku udah ngomong semuanya. Sekarang aku mau pergi. Aku ada kelas masak jam sepuluh pagi ini."
Namun, tentu saja Pirly tidak akan membiarkan Elai pergi secepat itu sementara dirinya masih dilanda kebingungan. Tangannya mengulur. Meraih tangan Elai. Membuat langkah kaki Elai berhenti seketika.
"Apa lagi?"
Dengan dahi yang bertambah berkerut, Pirly berusaha untuk tidak terbata ketika bertanya.
"I-itu maksud kamu apa? Ka-kamu ngasih unit kamu ke aku?"
Tak menarik tangannya dari genggaman Pirly, Elai mengangguk. "Iya."
"Kenapa?"
"Kenapa?" ulang Elai seraya menarik napas dalam-dalam. "Kenapa? Ehm ... anggap aja itu sebagai ucapan terima kasih aku." Elai menatap Pirly. "Aku nggak tau gimana cara ngucapin terima kasih. Jadi, seenggaknya itu bukti kalau aku bener-bener berterima kasih sama kamu."
Bukannya membuat rasa penasaran Pirly hilang, yang terjadi justru sebaliknya. Jawaban Elai jelas membuat Pirly semakin bingung lagi.
"Te-terima kasih? Emangnya aku ngapain?"
Karena jelas sekali Pirly telah melakukan hal yang teramat penting untuk Elai. Dan kalau mau Elai pikir dengan cermat, Pirly adalah sosok di balik berhasilnya hubungannya dengan Marcel.
Dulu, ketika Elai masih enggan untuk menerima lamaran Marcel, Pirly datang sebagai bentuk kecemburuan yang menyulut dirinya untuk langsung menjawab penantian Marcel. Hingga pada akhirnya mereka menikah, itu tentu karena Pirly.
Sekarang, ketika Elai dan Marcel bertengkar untuk hal yang teramat krusial, Pirly datang lagi sebagai penyelamat. Walau mungkin niat Pirly bukan untuk membantu, tapi Elai tidak peduli. Nyatanya berkat Pirly-lah sehingga Marcel kembali datang padanya dengan sosok yang percaya diri.
Elai tersenyum. "Karena kamu sudah menyatukan aku dengan Marcel."
Dan ketika Pirly masih berusaha mencerna perkataan Elai, ia justru mendapati Elai yang beranjak. Mendekatinya. Membuat ia terbelalak dengan satu pelukan tiba-tiba nan bersahabat yang Elai berikan padanya. Lalu ia berbisik.
"Makasih udah buat aku dan Marcel baikan lagi."
Sungguh! Pirly tidak mengerti mengapa pagi itu Elai harus membuat ia bingung bertubi-tubi. Tiap penjelasan yang Elai berikan bukannya membuat kebingungannya mendapat jawaban, eh ... yang ada justru mendapat pertanyaan lainnya. Dan puncaknya sekarang.
"Marcel?"
Menarik pelukannya, Elai mengangguk. "Iya. Kalau misalnya kamu nggak ada, aku pikir hubungan aku dan Marcel nggak bakalan kayak gini sekarang."
"Ya ampun!" histeris Pirly. "Sumpah. Aku sama sekali nggak paham maksud kamu apa. Bisa kamu ngomong pake bahasa manusia?"
Ekspresi geregatan Pirly sontak membuat Elai terkekeh geli. Menyadari bahwa memang wajar sekali bila gadis itu merasa bingung. Hingga kemudian, menghentikan kekehannya, Elai pun menarik napas sekilas.
"Kamu tau siapa cowok yang sering ngekorin aku ke mana-mana itu?" tanya Elai kemudian. "Yang kamu bilang cakep itu? Kamu tau namanya siapa?"
Diam sejenak, lalu mata Pirly tampak membesar. Dan Elai langsung mengangguk.
"Dia adalah Marcel," lanjut Elai mengabaikan ekspresi syok di wajah Pirly dan ia terus bicara. "Kami sempat ribut gara-gara salah paham. Tapi, berkat kamu akhirnya kami baikan lagi." Elai tersenyum tulus. "Makasih banyak."
Mendengar penuturan Elai, sontak saja Pirly terdiam. Wajahnya terlihat tanpa ekspresi. Hingga kemudian, dengan terbata ia bertanya. Demi meyakinkan dirinya sendiri.
"Cowok cakep itu? Ya-yang aku tanyain namanya kapan hari? Yang selalu ngikutin kamu ke mana-mana? I-i-itu ... Marcel?"
Tersenyum, Elai mengangguk. "Iya. Itu Marcel. Temen aku dari kecil. Yang selalu aku tunggu kepulangannya."
Dan mendengar jawaban penuh kepastian itu, Pirly pun membeku. Seperti jiwa raganya yang tak bisa bergerak lagi. Lantaran ada satu suara yang menggema di benaknya.
"Ka-kamu udah kenal lama dengan Elai?"
"Dari SMP. Makanya aku kenal banget sama dia. Lagian ya ... kayaknya semua teman kecil Elai tau deh kalau dari dulu Elai deket sama yang namanya ... Mar-Marcel. Marcel bukan ya namanya? Ah, pokoknya gitu deh namanya."
"Ma-Marcel?"
"Iya, kayaknya sih Marcel. Ehm ... bahkan ya saking dekatnya, Elai punya satu ponsel khusus untuk cowok itu."
"Itu ponsel lama. Pake kartu dia yang lama. Dan cuma ada satu nomor yang tersimpan di sana. Nomor itu cowok. Jadi, sampai di sini kamu bisa nyadar kan? Seberapa kuatnya kamu buat ngejar-ngejar Elai, itu nggak bakal berguna. Mau kamu ataupun cowok yang lain, itu pasti bakal Elai tolak. Yang dia mau cuma satu."
"Ma-maksud kamu ...."
"Tentu saja. Marcel. Padahal yang aku dengar dari orang-orang, Marcel itu jelek, bodoh, cengeng, dan penakut. Tapi, heran aja kenapa dia justru suka sama cowok yang kayak gitu. Terutama karena itu kisah masa kecil. Hellow! Kalau aku jadi dia, mending aku cari yang pasti-pasti aja deh."
"Mas! Percuma kamu ngejar-ngejar Elai! Dia cuma cinta sama Marcel! Aku ulangin lagi. Elai cuma cinta sama Marcel!"
Ketika suara itu berputar-putar di ingatannya, Pirly merasa tubuhnya kehilangan tenaga. Membuat ia melongo dengan ekspresi yang jelas saja membuat Elai merasa geli. Hingga wajar saja bila cewek itu terkekeh.
"Jadi, sekali lagi terima kasih. Dan jangan lupa buat pindah ke unit aku ya?"
Pirly tak bereaksi apa-apa untuk perkataan Elai. Mungkin karena dirinya amat syok dengan kenyataan yang baru saja ia tau.
Dan Elai sudah akan beranjak, ketika ia teringat sesuatu hal penting lainnya. Hingga ia kembali menghampiri Pirly dan berkata.
"Ah, hampir lupa. Bulan depan aku dan Marcel bakal ngadain resepsi pernikahan kami. Dan untuk kehormatan, aku mau kamu jadi salah satu bridesmaid aku."
"What?!"
Elai tersenyum dengan amat manis. "Kan kita temen dari SMP," katanya. "Iya kan?"
Lantas, Elai pun sontak terkikik ketika mendapati Pirly yang justru mencak-mencak dengan ekspresi yang teramat kesal.
"Elai!"
Tentu saja, untuk jeritan histeris itu, Elai hanya tertawa-tawa seraya mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Hingga kemudian, ketika lift yang ia naiki perlahan beranjak menuju ke basement, tawa geli itu pada akhirnya berubah menjadi senandung kembali. Seperti dirinya yang sangat senang menjalani harinya kala itu. Dan tentu saja, di dalam hati Elai tidak henti-hentinya mengucapkan satu kalimat itu.
Makasih, Pirly.
Karena sungguh, Elai tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada pernikahannya andai saat itu Marcel tidak bertemu dengan Pirly. Dan untungnya lagi, hingga saat itu, Pirly yang belum tau nama Marcel justru melakukan tindakan yang justru menjadi jembatan untuk hubungan mereka berdua. Maka jangan heran, ketika Marcel menceritakan itu padanya, Elai bertekad untuk berterima kasih pada Pirly.
Elai ingat dengan jelas. Satu-satunya alasan mengapa Pirly tinggal di gedung yang sama dengannya karena cewek itu yang memang hobi mencari tau tentang kehidupannya. Dan Elai menyadari, walau Pirly berasal dari keluarga yang terpandang, cewek itu tidak sebanding dengan dirinya dari segi materi. Maka dari itulah mengapa Elai terpikir untuk memberikan unit apartemennya. Itu jelas tidak sebanding dengan hari-hari menyenangkan yang ia dapatkan berkat bantuan tak sengaja Pirly. Hihihihi.
Sekarang, dengan langkah ringan tanpa bebas sama sekali, Elai bersiap untuk menyongsong hari-harinya bersama dengan Marcel. Dengan perasaan yang lega, ia pun menyadari bahwa perubahan yang menyenangkan itu mendorong dirinya untuk melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
Termotivasi oleh beberapa adegan di drama dan serial yang sering ia tonton, Elai memutuskan untuk masuk kelas memasak. Dan berkat jernihnya masalah mereka, Marcel pun tak keberatan membiarkan istrinya itu pergi. Lantaran pada akhirnya ia mengerti, bahwa Elai mencintainya dari dulu.
Dan kalau saja Marcel sempat meragukan perasaan Elai, maka tindakan-tindakan yang istrinya lakukan padanya di tiap harinya membuat ia semakin merasa yakin.
Elai menyadari bahwa Marcel pencemburu. Maka ia pun memutuskan untuk mengirimkan pesan maaf terakhir pada Patrick sebelum memblokir akun sosial media cowok itu. Tentu saja, Elai mengatakan bahwa mereka tetap berteman. Bila mereka bertemu, mereka akan saling sapa. Tapi, bukan berarti Elai ingin Patrick tetap memberikan perhatiannya sementara Marcel sudah menjadi suaminya. Logis saja, Elai juga tidak ingin Marcel mendapatkan perhatian yang serupa dari cewek lain.
Selanjutnya, Marcel pun melihat bagaimana setelah pengungkapan cinta yang dramatis pasca pertengkaran mereka, Elai lantas menunjukkan perhatiannya. Ia tampak mulai tertarik dengan kehidupan Marcel. Dan itu, persis seperti kotak pandora. Yang ketika Elai membukanya dengan pengakuan perasaannya, hal tersebut menarik hal-hal lainnya untuk terjadi dengan teramat alamiahnya.
Elai membantunya untuk bersiap di pagi hari. Mengingatkannya untuk pulang di siang hari. Dan kemudian menemaninya di malam hari.
Persis di saat itu, ketika pekerjaan membuat Marcel harus pulang sedikit terlambat, ia yang kaget dengan nuansa gelap di ruang tamu yang menyambutnya, justru dibuat terpana ketika mendapati satu sajian romantis di meja makan. Dan ketika ia masih tak bisa berkata apa-apa, ada sepasang tangan yang menyusup di sisi tubuhnya. Lalu mendarat di perutnya. Seiring dengan terdengarnya satu bisikan.
"Selamat datang, Sayang."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top