60. Semua Di Baliknya
Satu hari di pelataran sebuah rumah yang megah ....
"Jaga baik-baik Marcel ya, Sin. Kalau ada apa-apa, kamu langsung hubungi saya."
Sinta yang mendapat amanah dari majikannya, mengangguk. Menanggapi perkataan Diana dengan sopan.
"Baik, Nyonya."
Setelah memberikan pesannya pada pengasuh putra tunggalnya, Diana lantas beranjak. Turun demi menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan tinggi putranya, ia tampak merapikan sejenak dasi kupu-kupu yang bertengger di bawah dagunya.
"Aduh, anak Mama cakep banget," puji Diana. "Nanti main sama temen-temennya jangan nakal ya?"
Marcel mengangguk. "Baik, Ma. Aku nggak nakal kok. Janji bakal jadi anak yang baik."
"Pinternya. Ih, anak siapa sih?"
"Anak Mama."
Diana tertawa renyah. Hingga kemudian ia melabuhkan satu kecupan sayang di pipi anaknya itu, ia pun lantas beranjak.
Marcel melambaikan tangannya. Yang dibalas oleh Diana, tepat sebelum mobil yang membawa ibunya itu bergerak. Pelan-pelan pergi.
Sinta memastikan bahwa mobil keluarga majikannya itu sudah benar-benar menghilang dari pandangannya untuk kemudian ia langsung meraih tangan kecil Marcel. Ia menunduk dan tersenyum padanya.
"Kita masuk ke dalam yuk, Tuan. Teman-teman Tuan Muda pasti udah nungguin."
Marcel mengangguk. Lantas akan segera melangkah, namun sesuatu menghentikan pergerakan kakinya. Yaitu, seorang gadis yang tampak menarik perhatiannya dengan gaun bewarna ungu muda yang ia kenakan.
Gadis itu jelas sedang melihat padanya. Tapi, ketika tatapan mereka berdua bertemu, gadis itu dengan cepat langsung berpaling. Tergesa-gesa beranjak dari sana hingga tak memerhatikan jalannya. Membuat ia bertabrakan dengan dengan seorang pelayan di sana.
Gadis itu terjatuh. Terduduk di lantai dan mengaduh kesakitan. Dan ia tampak kesal ketika melihat isi tas kecilnya berhamburan.
"No-Nona, maaf. Saya nggak sengaja."
Melihat hal itu, Marcel pun lantas berkata pada Sinta. "Mbak duluan ya? Ntar aku nyusul."
Tentu saja Sinta bingung. Tapi, Marcel dengan cepat melepaskan tangannya dari genggaman Sinta. Dan lantaran mereka berdua sedang berdiri di depan pintu, maka ketika Marcel berlari meninggalkan dirinya, mau tak mau Sinta sedikit beranjak. Agar dirinya tidak menghalangi kedatangan tamu yang lain. Di saat itu, tatkala ia mencari keberadaan Marcel, bocah itu sudah menghilang dari pandangan matanya.
Berlari secepat yang ia bisa, Marcel lantas langsung turut berjongkok demi mengumpulan beberapa barang yang berhamburan di lantai itu. Tepat ketika didengarnya suara gadis itu membentak sang pelayan.
"Lihat? Gara-gara kamu foto Mama, Papa, dan Kakak jadi kotor!"
Marcel melihatnya. Ada sehelai foto di lantai. Berisikan empat orang anggota keluarga yang tampak bahagia. Benda yang tak sengaja justru terinjak oleh pelayan itu.
Marcel meraihnya. Mengembusnya beberapa kali dan mengelapnya dengan jari tangannya. Berusaha untuk membersihkannya. Dan bersamaan dengan pelayan itu yang langsung merapikan semua kekacauan itu, dibantu pula dengan pengasuh sang gadis kecil, Marcel mengulurkan tangannya.
"Ini fotonya udah bersih lagi."
Gadis itu diam. Tak mengatakan apa-apa. Hanya melihat pada fotonya yang memang tampak sudah bersih lagi. Dan ia pun langsung mengambilnya. Buru-buru kembali memasukkan kembali benda itu ke dalam tasnya. Lantas, ia beranjak dari sana. Tanpa mengucapkan terima kasih sekali pun.
"Tuan, makasih untuk bantuannya."
Ucapan terima kasih pelayan itu menyadarkan Marcel dari kebekuannya lantaran melihat kepergian gadis itu. Ia mengangguk sopan dan kembali menemui pengasuhnya. Dan ketika pada akhirnya Marcel duduk di satu kursi, satu pemikiran melintas di benaknya.
Dia pasti sayang banget sama keluarganya.
Maka dari itulah, ketika sore itu banyak anak-anak yang bermain di taman, Marcel justru tetap diam di tempatnya. Hanya untuk melayangkan pandangannya. Pada seorang gadis kecil yang tampak duduk seorang diri di satu meja bundar. Ia tampak menunduk. Melihat sesuatu di tangannya. Dan Marcel tau itu. Ia masih memeriksa fotonya.
Hingga kemudian, rasa penasaran itu membuat Marcel beranjak pada Sinta. Tangannya meraih rok pengasuhnya itu. Bertanya.
"M-M-Mbak, a-a-anak cewek yang manis itu siapa?"
Sinta melihat ke arah mata Marcel memandang. Dan ia menjawab.
"Itu Non Elai, Tuan. Edelai Rawnie."
Mengingat nama itu, Marcel tak peduli dengan Sinta yang kemudian mengatakan beberapa hal lain padanya. Termasuk larangannya agar Marcel tidak berteman dengan Elai mengingat sifatnya yang nakal. Telinganya seperti tidak tersentuh oleh setiap kata yang Sinta ucapkan. Karena setelah nama itu menyapa indra pendengarannya, maka saat itu pula nama tersebut terpateri di benaknya.
Hingga beberapa tahun ke depan. Tak peduli mereka tidak bertemu. Terpisah oleh jarak dan waktu, nama itu tetap bertahan di benaknya.
*
Sekarang ....
Marcel teringat, karena ketika tadi ia membuka ponsel lama Elai, maka ia mendapati foto lama itulah yang muncul pertama kali di layarnya. Hal yang dulu pernah membuat Marcel menganggap betapa manisnya Elai. Sesuatu yang menyadarkannya bahwa Elai teramat mencintai keluarganya.
"Waktu itu, aku iri banget sama kamu. Tapi, aku nggak nyangka justru saat itu kamu mikir lain tentang aku. Malah nganggap aku manis."
Marcel terkekeh. "Karena aku pikir aku belum pernah ketemu orang yang ke mana-mana nyimpan foto keluarga mereka kayak kamu. Karena itu aku nganggap kamu manis."
Ucapan dan sentuhan Marcel membuat Elai tersenyum. Menenangkan perasaannya hingga mendorong dirinya untuk kembali bersandar pada dada suaminya itu. Membiarkan sepasang tangan Marcel yang kekar merengkuh dirinya dalam rasa damai.
"Karena itu juga aku jarang aktif di sosmed."
Marcel mengelus Elai. "Karena kamu iri?"
Di dada Marcel, Elai mengangguk. "Waktu perpisahan teman-teman selalu didampingi orang tua, sementara aku nggak. Cuma ada Kak Via yang nemenin aku. Dan sosmed cuma ngebuat aku kayak mau gila aja. Dan entahlah, aku pikir semenjak kamu pergi, aku mendadak punya ketakutan buat dekat sama orang. Karena aku ingat gimana rasanya pas ditinggal kamu," jelasnya kemudian. "Tanpa sadar, itu ngebuat aku jadi kayak terasing. Nggak punya teman. Dan kalau ada cowok mau deketin aku, aku otomatis langsung buat benteng. Aku cuma mikir ..." Elai menarik napas dalam-dalam. "... kalau kamu aja yang baik bisa ninggalin aku, apa lagi mereka?"
Marcel meremas jemari Elai. Sama sekali tidak menyadari bahwa sebegitu dalam akibat yang ia tinggalkan lantaran ketakutan dirinya di masa lalu. Lagi-lagi membuat ia merasa bersalah.
"Aku minta maaf, Lai. Sekali lagi aku minta maaf. Tapi, kamu bisa pegang omongan aku. Sampe kapan pun, dari sekarang, untuk jangka waktu yang nggak terbatas," kata Marcel seraya melepaskan tubuh Elai. Hanya agar mata mereka bisa terhubung dalam satu tatapan lurus. Agar ia bisa meyakinkan seseorang yang sudah menjadi bagian terpenting di hidupnya. "Aku nggak bakal ninggalin kamu lagi."
Elai tersenyum. Tampak begitu cantik. Hingga membuat Marcel terlupa bahwa beberapa saat yang lalu, mereka berdua bertengkar dengan amat hebat. Tapi, sekarang? Layaknya tidak terjadi apa-apa sebelumnya, mereka kembali berpelukan. Saling tersenyum. Dan saling mendamaikan.
Di wajah Elai yang perlahan kembali mendapatkan ronanya, masih tersisa jejak lembab air mata yang cewek itu keluarkan saat pertengkaran mereka tadi. Bahkan kesan kusut pun masih melekat di sana. Namun, kali ini jelas Elai tampak berbeda. Di mata Marcel, tak pernah ia melihat Elai secerah itu sebelumnya. Dan sepertinya, begitu pula Marcel di mata Elai.
Elai bisa mendapati bagaimana Marcel yang ia kenal telah kembali lagi. Tidak ada gurat emosi di sana. Alih-alih adalah rasa kasih yang memancar di kedua bola matanya. Pun di sana, Elai melihat ada pantulan wajahnya. Sesuatu yang terasa amat sangat menghangatkan jiwanya. Hingga ia pun tak mampu menahan sebongkah rasa yang terasa akan meluap dari dadanya.
"Aku cinta kamu, Cel."
Pada akhirnya, hanya itu yang mampu Elai ucapkan. Tapi, tentu saja hal tersebut tidak akan menjadi sekadar hanya. Ada beragam perasaan yang terwakili oleh satu kalimat itu. Dan tentu saja, Marcel menyadari itu dengan sepenuh hati dan akal sehatnya.
Marcel tertegun. Dengan pengakuan itu. Dengan ketulusan yang ia rasakan di tiap katanya. Berikut dengan pancaran kasih yang melimpah pada sorot matanya.
Demi Tuhan.
Bahkan orang paling buta sekalipun pasti bisa melihat betapa cinta itu benar-benar ada. Tak ada keraguan di sana. Yang ada hanyalah satu kepastian. Keyakinan tak terbantahkan untuk satu rasa yang telah terpupuk sejak lama.
"Ya Tuhan," desis Elai dengan membiarkan satu tetes air matanya jatuh. "Aku cinta banget sama kamu."
Dan Marcel tidak bisa membalas pengakuan itu. Karena di detik selanjutnya, Elai tak mampu menahan dirinya untuk tidak menarik wajah sang suami. Demi melabuhkan satu ciuman di bibirnya. Satu sentuhan yang tentu saja mendapatkan balasannya.
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top