6. Tragedi Atau Rezeki?

"Aaahhh!"

"Dasar mesum!"

Plaaak!

"Awww!"

Braaakkk!

Setelah kedipan pertama, entah mengapa semuanya terjadi dengan teramat cepat. Pertama, ada jeritan histeris Elai. Kedua, ada umpatan penuh amarah Elai. Ketiga, ada tamparan kuat Elai. Keempat, ada dorongan dua tangan Elai. Dan kelima, ada Ares yang terjungkang ke belakang.

Semuanya ... menimbulkan suara yang berbeda.

Sebagai penutup, ada gerabak-gerubuk ketika Elai dengan serta merta langsung berlari menuju ke kamarnya seraya menahan gaun tidurnya. Berusaha agar pakaian tipis dan pendek itu tidak tersingkap ke mana-mana di saat kakinya melangkah dalam gerakan lari yang cepat.

Ternyata aku nggak mimpi!

Di sini emang ada bodyguard yang diutus Marcel buat ngawasin aku!

Dan sialnya, itu cowok bener-bener 'ngawasin' aku!

Braaakkk!!!

Pintu kamar terbanting dengan teramat kuat. Layaknya luapan emosi gadis itu. Dan dengan napas menggebu, Elai mengumpat.

"Dasar, Marcel Begok! Ngapain kamu ngirim bodyguard mesum ke tempat aku?!"

*

"Aaah ...."

Ares meraba bagian belakang kepalanya. Pelan-pelan berusaha bangkit berdiri dengan meringis. Menahan rasa sakit yang ia alami karena dorongan penuh kekuatan dari Elai tadi.

"Ah .... Aduh ...."

Ares bertahan di kitchen island dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengusap-usap kepalanya. Terasa ada sesuatu yang asing. Dan ketika jarinya menyentuh bagian itu, maka ia pun meringis lagi.

"Awww!"

Ares memejamkan matanya dengan dramatis.

"Ini berasa de javu nggak sih?" tanyanya menggeram. "Kenapa dia hobi banget ngedorong aku?"

Mata Ares membuka nyalang.

"Nggak waktu kecil, nggak waktu gede. Kayak yang suka banget dia ngeliat aku telentang nggak berdaya kayak gitu."

Ares menarik napas dalam-dalam. Lalu mengembuskannya dengan penuh irama.

"Fyuuuh!"

Ikrar kesabaran Ares gumamkan di benaknya. Bertekad bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan menyerah.

Sejurus kemudian, setelah berulang kali melewati waktu dengan menarik napas dalam-dalam, Ares mulai merasakan emosinya mereda. Dan setelah ia tenang kembali, tatapannya tertuju pada buah strawberry di atas kitchen island.

Berusaha benar-benar mengenyahkan rasa kesalnya karena perilaku Elai, Ares lantas mengambil sebuah strawberry itu. Bermaksud untuk langsung memakannya, Ares justru tertegun di detik selanjutnya. Yaitu ketika matanya melihat pada ujung buah strawberry itu.

Hening ....

"Astaga!"

Buah strawberry terjatuh dari tangannya sementara matanya membelalak besar.

"Kenapa aku malah mikirin strawberry Elai sih?!"

Mencak-mencak, pada akhirnya Ares memutuskan untuk beranjak dari sana. Menuju ke kamarnya seraya menggeram. Tapi, sayangnya ketika cowok itu tiba di kamarnya, ia bergumam rendah dengan ekspresi seperti menahan frustrasi.

"Ehm .... Kayaknya benjol dikit bisa dibilang setimpal sih buat pemandangan strawberry yang aku liat tadi."

Dasar!

*

Meremas-remas gaun tidur yang tadi ia kenakan, Elai layaknya yang sedang melampiaskan rasa kesal yang rasanya seperti mendidihkan isi di dalam kepalanya. Mungkin sebentar lagi ia akan melihat asap mengepul dari ubun-ubunnya.

"Awas aja! Aku bakalan ngusir itu cowok dari tempat aku yang suci ini!"

Elai sudah mandi. Mengenakan celana pendek sepaha dengan kaos berpotongan sederhana, gadis itu tampak menguncir kuda rambut panjangnya yang hitam. Dengan sorot mata yang tajam, ia melihat ke pintu.

Tak membuang waktu lebih lama lagi, Elai lantas langsung keluar. Ia bertekad akan mengusir Ares. Apa pun caranya. Bahkan kalau perlu, Elai akan menggunakan stik pel yang ada di kamar mandi belakang.

Emangnya kalau gedung ini punya orang tua Marcel, dia bisa semaunya gitu?

Mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, Elai berbelok. Lalu berteriak nyaring.

"Ares! Ares! Ares!"

Tak ada sahutan yang ia terima membuat Elai berjalan menuju dapur. Tempat terakhir kali ia melihat Ares. Walau sedikit mustahil, tapi Elai tidak ingin mengabaikan kemungkinan bahwa Ares pingsan setelah kepalanya terbentur di lantai.

Wajah Elai menunduk. Melihat pada lantai di mana tadi Ares terjungkang. Tapi, matanya lantas menyipit ketika tak menemukan Ares di sana. Alih-alih satu buah strawberry.

"Ehm ...."

Elai menyempatkan waktu untuk membuang buah strawberry itu terlebih dahulu ke tempat sampah sebelum memutuskan untuk kembali mencari keberadaan Ares. Ia keluar dari dapur.

"Ares! Ares! Ares!"

Tidak ada di ruang menonton atau pun ruang tamu, yang mana itu artinya hanya meninggalkan satu ruangan lagi untuk ia periksa. Dan itu ... tentu saja bukan ruangan sembarang ruangan.

Menghentikan langkah kakinya tepat di depan kamar tamu, Elai bersedekap dengan wajah yang mengeras. Tampak menimbang di dalam benaknya.

Ehm ....

Langsung masuk?

Atau perlu ngetok pintu dulu?

Pilihan yang sama sulit untuk gadis itu.

Kalau aku ngetok pintu dulu ..., emangnya ada gitu orang yang lagi marah masih sempat mikir sopan santun?

Tapi, kalau aku nerobos langsung masuk ..., gimana kalau dia lagi ganti baju?

Mata Elai membesar. Ingat dengan benar bahwa tadi ia meninggalkan Ares dengan keadaan cowok itu hanya berbalutkan sehelai handuk.

Eh?

Tapi, itu kan udah lumayan lama.

Ya pasti dia udah pake baju dong.

Orang aku tinggal mandi juga.

"Oke!"

Keraguan Elai menghilang seketika. Dengan tekad yang bulat, ia maju. Mengulurkan tangan dan meraih daun pintu. Bersiap untuk masuk hanya untuk mendengar satu suara di belakangnya.

"Nona salah masuk kamar ..."

Gerakan tangan Elai seketika berhenti. Dan tubuhnya terasa menegang dengan embusan napas hangat di daun telinganya.

"... atau memang ingin masuk ke kamar saya?"

What?!

Elai dengan serta merta langsung langsung membalikkan badannya. Dan retina gadis itu langsung beradu pandang dengan milik Ares.

"Ah, selamat pagi, Nona."

Mata Elai membesar. "Se-se-selamat pagi?"

Di hadapan Elai, Ares tampak mengerjapkan matanya sekali. Ekspresi wajahnya terlihat polos sekali. Dan itu membuat Elai meradang.

Tampang cakep yang polos ini pinter banget ngeliat sesuatu yang polos di balik gaun tidur aku!

Lalu, Elai mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Seperti tersadar akan sesuatu.

Did I say tampang cakep?

Eh?

Dia nggak cakep.

Elai berusaha meralat perkataan spontan yang menggema di benaknya. Tapi, setelah sedetik berlalu dan retinanya makin banyak menyimpan informasi tentang bodyguard itu, makin sadar pula Elai bahwa ....

Ya dia emang cakep sih.

Tapi ....

"Mesum!"

Seruan itu tidak hanya menggema di benaknya saja, melainkan benar-benar Elai ucapkan dengan teramat lantang hingga lidahnya terasa bergetar.

"Eh?"

Ares terbengong. Tak mengira bahwa tak ada hujan tak ada badai, Elai justru menyerukan satu kata itu tepat di depan wajahnya. Tapi, sejurus kemudian cowok itu justru terlihat tenang sekali ketika berkata.

"Sepertinya Nona butuh sarapan."

Satu senyum membentuk di wajahnya. Kali ini, gantian Elai yang terbengong karenanya.

"Saya baru saja keluar untuk membelikan Nona sarapan. Soalnya di dalam kulkas nyaris udah nggak ada apa-apa lagi."

"Sarapan?" tanya Elai refleks. "Kamu beli sarapan apa?"

"Nona mau apa? Saya beli gado-gado dan juga soto ayam. Juga dengan seporsi surabi."

"Aaah .... Kamu beli di resto sebelah ya?"

Ares mengangguk. "Mau sarapan sekarang?"

"Ya ma---"

Elai mengerjap-ngerjapkan matanya. Menahan ucapannya di udara dan lantas melotot pada Ares.

"Eh?"

Kali ini Elai melotot.

"Kamu mau ngalihkan pembicaraan dengan sarapan ya? Nggak bakal bisa!"

Ares mengulum senyum. "Nyaris bisa sih."

Kepala Elai menggeleng sekali. Lalu berkacak pinggang, tampak seperti ingin menantang cowok itu.

"Nggak bakal bisa. Lagipula ... daripada sarapan," kata Elai dengan penuh tekad. "Kepergian kamu dari sini adalah hal yang jauh lebih penting!"

"Kepergian saya?"

Tidak lagi berkacak pinggang, Elai membawa tangannya untuk bersedekap di depan dada. Tapi, jelas. Sikap menantangnya masih terpampang nyata.

Elai tersenyum dengan penuh arti. Tampak ekspresi wajahnya yang seperti ingin menelan Ares bulat-bulat.

"Aku belum gila untuk tinggal satu atap dengan cowok semesum kamu. Baru pagi pertama dan mata kamu udah jelalatan ke mana-mana. Apalagi pagi selanjutnya?"

Ares diam. Untuk beberapa detik lamanya. Seperti sedang menimbang perkataan Elai. Tapi, sedetik kemudian, enteng sekali ia bertanya.

"Apa itu artinya Nona lebih milih untuk tinggal satu atap dengan Tuan Marel?"

"Eh?"

Tak hanya bengong dengan pertanyaan itu, Elai pun bengong dengan posisi tubuh Ares yang mencondong pada dirinya. Sontak membuat gadis itu menyurutkan satu langkahnya ke belakang. Menjaga jarak. Diam-diam hal itu membuat Ares tersenyum tipis.

Mau tinggal sama Marcel atau sama Ares, Lai?

Elai mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Menatap pada Ares dengan kegeraman yang tidak tanggung-tanggung.

"Berapa sih sebenarnya Kura-Kura Gosong itu bayar kamu? Aku yakin kok aku bisa bayar dengan gaji yang lebih besar."

"Nona mau bertanya langsung dengan Tuan Marcel?"

Mata Elai terpejam dengan dramatis. Geram membuat ia menggigit bibir bawahnya yang bewarna merah muda, terlihat cantik bahkan tanpa pulasan lipstik apa pun. Membuat Ares menarik napas dalam-dalam dan lantas berkata demi mengalihkan pikirannya.

"Tapi, kalaupun Nona memang mau bertanya langsung dengan Tuan Marcel, sepertinya itu harus menunggu."

Elai membuka matanya. Melihat bagaimana kedua tangan Ares yang memegang bungkusan sarapan terangkat kompat.

"Ada makanan yang harus segera dinikmati dalam waktu dekat," kata Ares tenang. "Gimana?"

*

Ketika Elai duduk di meja makan, pada saat itulah ia seakan baru menyadari satu hal penting. Yaitu bahwa pagi itu Ares mengenakan pakaian yang berbeda dengan pakaian yang ia kenakan tadi malam, tepat ketika datang ke unitnya. Dan memikirkan hal itu, terang membuat dahi Elai berkerut.

Bukannya kemaren dia datang nggak bawa apa-apa ya?

Meletakkan satu piring gado-gado di hadapan Elai, Ares layaknya mampu mengetahui rasa heran Elai.

"Tadi pagi saya minta orang untuk ngantar barang-barang saya ke sini, Nona," kata Ares membuyarkan pikiran Elai. "Karena itu saya bisa ganti pakaian."

"Eh?"

Elai mengangkat wajahnya. Melihat bagaimana Ares yang turut duduk dengan semangkok soto yang mengepulkan asap.

Ares tersenyum. "Ayo dimakan."

Tak langsung meraih sendok dan garpunya, Elai justru menatap Ares dengan sorot beneran-kamu-bisa-sesantai-ini-?.

"Be ...ntar ...."

Suara Elai yang terdengar lirih menahan gerakan tangan Ares yang akan menyuap sesendok kuah soto ke mulutnya. Kini, alih-alih memulai sarapannya, Ares justru melihat pada Elai. Tanpa sadar membuat cowok itu meletakkan kembali sepasang sendok di tangannya itu. Dan sedetik kemudian, Ares menyadari bahwa pilihannya untuk menunda beberapa saat sarapannya adalah hal yang tepat. Bagaimanapun juga itu lantaran karena pertanyaan Elai selanjutnya.

"Ini beneran kamu bisa sarapan sesantai ini? Setelah yang tadi? Yang tanpa ada rasa bersalah sedikit pun kamu ngeliat ke balik gaun tidur aku?"

Tiga pertanyaan yang sukses membuat Ares berubah membeku seketika.

"Nggak ada otak ya jadi cowok?"

Rasa-rasanya Ares merasa asap soto membelai wajahnya. Itu alasan yang logis mengingat dirinya yang mendadak merasa mukanya terasa panas. Tapi, Ares berhasil mempertahankan sikap tenangnya.

"Tadi itu kecelakaan Nona. Saya nggak sengaja."

Wajah Elai berubah horor seketika. Menyilangkan tangannya di depan dada. "Nggak sengaja aja mata kamu nggak bekedip-kedip," katanya ngeri. "Gimana kalau sengaja?"

Ah ....

Tadi sih Ares tidak memikirkan hal itu. Tapi, setelah Elai menanyakan ya ... mau tidak mau Ares spontan memikirkannya.

Glek.

Kalau sengaja ... kira-kira apa yang terjadi selanjutnya?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top