59. Ungkapan Yang Terpendam
Suara berisik itu menarik perhatian Elai. Membuat ia yang sedari tadi meringkuk di lantai yang dingin itu menegang. Dengan sorot mata yang tajam, ia menatap lurus pada pintu. Jantungnya berdebar kencang. Menunggu dengan pengharapan dan juga rasa mustahil yang sama besarnya.
Itu Marcel?
Nggak mungkin. Nggak mungkin itu, Marcel.
Itu pasti Marcel. Dia nggak bakal pergi.
Mana mungkin. Dia---
Lantas pintu itu membuka dengan kasar. Seiring dengan timbulnya satu wajah yang sangat inginkan, suara itu pun terdengar memanggil namanya.
"Elai---"
Namun, hanya itu yang sempat sosok itu katakan. Karena di detik selanjutnya, dengan teramat cepat Elai bangkit. Menghambur dan langsung merengkuh tubuh itu dengan kuat. Jari-jemarinya saling mengunci di balik pinggangnya. Dengan tekad yang ia janjikan di dalam hati.
Aku nggak bakal lepasin kamu lagi, Cel.
Aku nggak bakal biarkan kamu pergi lagi.
Dan itu membuat matanya memanas. Tak peduli serapat apa Elai memejamkan matanya, ia tetap tidak bisa menepis rasa itu. Hingga pada akhirnya pertahanan itu runtuh pula. Bersama dengan air matanya yang menetes, ia pun berujar lirih. Dengan teramat pelan.
"Kamu balik, Cel. Ya Tuhan. Aku mohon, jangan tinggalin aku."
Elai tak berdaya. Pasrah saja ketika membiarkan perasaan itu membuat air matanya semakin deras mengucur. Pun memaksa dirinya terisak. Menumpahkan semua yang menyesak di dadanya dalam pelukan itu. Dan lantas, Elai tertegun. Karena samar, ia merasakan ada sentuhan di punggungnya. Itu adalah ... ketika Marcel balas merengkuh dirinya.
"Maafkan aku, Lai. Maafkan aku."
Elai tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Marcel. Yang ia pedulikan hanya satu. Yaitu suara Marcel di telinganya, aroma Marcel di hidungnya, dan sentuhan Marcel di tubuhnya. Lantaran karena itu adalah bukti bahwa Marcel berada bersama dirinya.
Ini bukan khayalan aku.
Ini bukan mimpi.
Ini benar-benar Marcel.
Maka Elai pun semakin mengeratkan pelukannya. Di dada itu, ia semakin terisak. Kelegaan dan juga ketakutan itu membuat air matanya semakin menderas.
"Aku mohon, Cel. Jangan pernah tinggalin aku lagi. Jangan."
Mendengar itu, Marcel pun meringis. Merasa begitu buruk ketika mendapati ratapan itu. Lantaran ia sadar bahwa dirinya yang menyebabkan Elai menangis dengan teramat tersedu. Ia merasa amat jahat. Dan ia pun mengangguk. Berulang kali.
"Aku nggak bakal ninggalin kamu. Aku janji. Aku nggak bakal ninggalin kamu sampe kapan pun."
Itu seperti Marcel yang akan melenyapkan Elai ke dalam dirinya sendiri. Mempererat pelukannya. Seperti benar-benar ingin membuktikan perkataannya. Bahwa ia tidak akan meninggalkan Elai. Terlebih lagi, tidak akan pernah melepaskannya.
*
Tak terbilang angka seberapa lama waktu yang Elai dan Marcel habiskan untuk saling berpelukan seraya berurai air mata. Keduanya saling merengkuh. Seolah sama-sama ingin membuktikan bahwa keduanya memiliki ketakutan yang sama. Yaitu, kehilangan.
"Please, jangan pernah ninggalin aku lagi, Cel. Kamu nggak boleh ninggalin aku lagi. Cukup sekali kamu ninggalin aku. Aku nggak bakal ngebiarin kamu bisa ninggalin aku lagi."
Elai meracau. Mengatakan semua yang ia katakan walau kata-kata yang keluar dari bibirnya terdengar kacau. Ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanya satu. Adalah supaya Marcel tau bahwa dirinya tidak ingin ditinggal pergi lagi oleh cowok itu.
Dan ketika pada akhirnya mereka berdua duduk di tempat tidur itu, Marcel menangkup wajah Elai dengan kedua tangannya. Sungguh! Hatinya tercabik-cabik saat mengetahui bahwa sebanyak itu air mata yang Elai cucurkan hanya karena takut dirinya ditinggalkan olehnya.
Marcel menggeleng. "Aku nggak bakal ninggalin kamu, Lai," katanya seraya mengusap jejak basah di pipi istrinya itu. "Astaga! Nggak mungkin aku bakal ninggalin kamu."
Demi perkataan itu, kedua tangan Elai lantas naik. Masing-masing berpegang pada pergelangan tangan Marcel. Membuat cowok itu lantas menatap lurus pada mata Elai yang tampak memerah.
"Kamu udah pernah ninggalin aku sekali, Cel. Dan ... dan ... logis banget kalau kamu bisa ninggalin aku untuk yang kedua kalinya."
Dahi Marcel berkerut. Bola matanya bergerak-gerak, tampak berusaha mencari-cari di manik Elai. Bingung.
"Aku?" tanya Marcel tak yakin. "Kapan aku pernah ninggalin kamu?"
Elai mengerjapkan matanya sekali. "Kamu lupa? Dulu ... kamu ninggalin aku. Nggak ngasih tau. Kamu nggak ada SMS aku lagi."
Dan rasa panas itu mendadak hadir kembali. Membuat Elai buru-buru menggigit bibir bawahnya. Berusaha mencegah agar kilasan itu tidak kembali lagi demi menghadirkan air matanya.
"Kamu ... pergi. Kamu mendadak ... hilang dari hidup aku."
Demi hal itu, Marcel lantas tertegun. Terdiam untuk beberapa detik yang singkat hanya untuk berpikir. Hingga kemungkinan itu muncul, ia pun bertanya.
"Waktu kita kecil dulu?"
Elai mengangguk berulang kali. Kali ini tak mampu berbuat apa-apa ketika air matanya kembali merembes.
"Kamu ninggalin aku. Kamu pergi," isaknya. "Aku minta maaf, Cel. Aku minta maaf karena ngebuat kamu pergi. Aku---"
"Tunggu," potong Marcel kemudian seraya sedikit mengguncang wajah Elai, bermaksud agar cewek itu menghentikan racauannya. "Kenapa kamu yang minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf karena udah ninggalin kamu tanpa pamitan dulu ke kamu."
Ada genangan air di kelopak mata Elai. Dan ketika cewek itu berkedip sekali, maka alirannya pun jatuh kembali membasahi pipinya. Dengan mata yang basah itulah Elai lantas menatap Marcel.
"Aku tau ... kamu pergi gara-gara aku. Kamu pergi karena aku yang selalu ngolok-ngolok kamu. Aku minta maaf."
Dan mungkin Elai akan terus mengucapkan kata maafnya andai di detik selanjutnya tidak terdengar dengkusan geli yang sekilas meluncur dari hidung Marcel. Membuat Elai bingung.
"Kenapa? Ada yang lucu?"
Lantas Marcel tersenyum seraya matanya yang berkedip sekali. "Aku pergi dulu itu bukan karena kamu, Lai," ujarnya sembari menggeleng. "Bukan sama sekali. Aku pergi karena orang tua aku nyuruh aku belajar di luar negeri. Dan itu sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu."
Mata Elai membola. "Ma-ma-maksud kamu? Ka-kamu bukan pergi karena aku yang nakal? Bukan?"
Marcel kembali menggeleng. "Bukan. Aku pergi murni karena orang tua aku yang nyuruh. Sama sekali bukan karena kamu," yakin cowok itu lagi. "Dan kalaupun kepergian aku ada hubungannya sama kamu, maka itu adalah hal yang berbeda."
"A-apa?"
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Marcel justru membawa kedua tangannya untuk meninggalkan pipi Elai. Bergerak demi menyentuhnya. Memberi belaian di kepalanya. Lalu melabuhkan usapan di sepanjang tangannya. Ia tersenyum lembut.
"Hubungannya adalah ...," jawab Marcel. "... selama di sana aku selalu mikirin kamu. Selalu ingat aku di mata kamu. Yang jelek ...."
Elai sontak menegang. Tapi, Marcel mengisyaratkan dirinya untuk tidak memotong perkataannya.
"Yang bodoh, yang cengeng, dan yang penakut."
Elai menggigit bibir bawahnya. Merasa berdosa dengan semua yang pernah ia katakan di masa lalu. Tapi, sayangnya Marcel justru tersenyum dengan tulus.
"Karena dengan mengingat itu ... aku jadi giat untuk belajar."
Dan Elai tertegun.
"Aku ingin jadi cowok yang tampan, yang pintar, yang kuat, dan yang pemberani," lanjut Marcel dengan penuh perasaan. "Aku ingin jadi cowok yang bisa kamu andalkan."
"Marcel ...."
"Karena untuk memiliki seorang putri, aku harus jadi ksatria yang gagah berani."
Ketika mendengar itu, Elai tak mampu lagi bertahan. Pada akhirnya ia langsung menghambur untuk memeluk Marcel. Dan tentu saja pelukan itu mendapatkan balasan yang serupa.
Terasa elusan tangan Marcel yang lembut di sepanjang punggung Elai. Membuat cewek itu memejamkan matanya. Meresapi betapa damainya sentuhan itu. Dan tentu saja, rasa damai itu tidak hanya dirasakan oleh Elai. Alih-alih Marcel juga merasakannya.
Adalah satu hal yang tak pernah Marcel kira sebelumnya, bahwa sebenarnya seperti itulah dirinya di mata Elai selama ini. Bukan jeleknya, bukan bodohnya, bukan cengengnya, dan bukan penakutnya yang membuat Elai melihatnya. Bukan itu yang membuat Elai selalu ingat padanya. Melainkan karena kebaikan hatinya.
Bahkan untuk bertahun-tahun lamanya waktu yang telah berlalu, hingga sekarang hal itulah yang selalu Elai ingat akan dirinya. Dan Marcel tidak pernah menduga sebelumnya, bahwa kepergiannya dulu menciptakan luka yang teramat besar bagi istrinya itu. Lebih dari itu, pun meninggalkan rasa bersalah yang seharusnya tak pernah ada.
"Jadi, karena Papa mikirnya aku harus ngambil alih semua tanggungjawab ini suatu saat nanti, makanya aku disuruh belajar ke Inggris."
Dengan santai, seraya Marcel yang bersandar di kepala tempat tidur sementara Elai tenggelam di dalam pelukannya, ia menjelaskan.
"Aku berusaha untuk nggak pergi. Tapi, tentu aja nggak bisa. Toh waktu itu aku cuma anak kecil yang harus nurut omongan orang tua."
Elai mendengarkan seraya membiarkan ujung jari telunjuknya bermain-main di dada Marcel.
"Aku nggak pernah nurut omongan orang tua."
Dan Marcel tergelak mendengar tukasan Elai. Membuat ia gemas dan mengeratkan pelukannya.
"Walau sejujurnya saja, aku nggak pernah ngira kalau kepergian aku dulu bener-bener buat kamu sedih."
"Kamu nggak pamitan ke aku, Cel."
"Aku tau. Dan sebenarnya aku udah mau pamitan sama kamu. Tapi, waktu itu kamu justru nyuruh aku pergi sebelum aku sempat ngomong. Jadi, aku mikirnya kalau aku ngasih tau kamu soal kepergian aku, kamu pasti seneng. Itu bakal buat aku sedih."
"Maafin aku," pinta Elai. "Aku nggak pernah benar-benar serius waktu nyuruh kamu pergi. Karena selama kamu nggak ada, aku rindu kamu." Elai mengembuskan napas panjang. "Berhari-hari aku nggak nafsu makan. Dan kerjaan aku cuma nangis aja. Sejujurnya ..." Ia memejamkan matanya sekilas. "... aku juga nggak tau kalau aku bakal sehancur itu gara-gara kehilangan kamu."
Marcel mengecup puncak kepala Elai. "Maafin aku."
Karena Elai memang tidak pernah mengira bahwa Marcel bisa membuat dirinya merasa teramat terpuruk seperti itu. Tidak tau dari mana asalnya atau bagaimana caranya, semua perasaan itu telah tumbuh di hatinya.
"Tanpa sadar, aku udah punya perasaan untuk kamu dari dulu. Mungkin karena selama ini nggak ada orang yang mau dekat sama aku. Cuma kamu," kata Elai dalam senyumnya. "Selalu deketin aku. Selalu ramah ke aku. Bahkan kalaupun aku jahat, kamu selalu perhatiin aku."
Marcel tak menampik hal itu. Karena memang seperti itulah kenyataannya. Bahkan untuk setiap olokan yang Elai berikan, ia tak pernah merasa benar-benar sakit hati.
"Tapi, apa kamu tau kenapa aku gitu ke kamu? Alasan aku selalu jahat ke kamu?"
Pertanyaan Elai membuat pandangan Marcel yang semula menatap lurus ke depan sana, menjadi tertegun. Ia lantas menunduk.
"Kenapa?"
"Karena aku iri."
Lihat? Seorang gadis cilik yang cantik, manis, dan menggemaskan iri pada bocah berperut buncit, jelek, dan cengeng. Karena jelas sekali, ada sesuatu yang tidak ia miliki. Sesuatu yang membuat kesempurnaan itu lenyap seketika.
"Setiap kita kumpul, kamu selalu diantar dan dijemput sama orang tua kamu," lanjut Elai. "Kalau nggak Mama kamu ya ... Papa kamu. Sementara aku nggak pernah."
Marcel mengusap Elai. "Sekarang kamu nggak perlu iri lagi. Karena ada aku yang bakal antar dan jemput kamu."
Elai tersenyum. Tak mengatakan apa-apa lagi selain meresapi keyakinan yang Marcel ungkapkan melalui sentuhan dan perkataannya. Memercayai itu dengan sepenuh hati. Hingga kemudian, ia pun penasaran akan sesuatu.
Mungkin masuk akal bila dari dulu Elai sudah menyimpan cinta untuk Marcel. Tapi, Marcel? Bagaimana bisa?
"Aku selalu jahat ke kamu. Selalu buat kamu nangis," kata Elai seraya sedikit melepaskan diri dari pelukan Marcel. Demi bisa melihat pada sepasang mata gelap cowok itu. "Tapi, kenapa bisa kamu cinta sama aku? Kenapa dari dulu kamu selalu berusaha deketin aku?"
Dan untuk pertanyaan itu, Marcel lantas tersenyum. Tak hanya di bibirnya. Alih-alih juga di matanya. Karena pada saat itu pula, Marcel seolah tertarik ke belakang. Pada satu hari di mana ia bertanya pada pengasuhnya.
"M-M-Mbak, a-a-anak cewek yang manis itu siapa?"
Karena pada hari itu, bukan karena kecantikan Elai yang membuat Marcel bertanya. Melainkan karena sesuatu. Hal yang teramat manis hingga membuat ia tak mampu melepaskan matanya dari gadis kecil itu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top