58. Sudut Yang Berbeda

 "Marcel udah pergi. Dia ke luar negeri buat belajar. Dan itu pasti gara-gara kamu. Kamu yang ngebuat dia pergi. Kamu selalu ngejek dia. Selalu buat dia sedih. Kamu itu jahat. Kamu itu nggak seharusnya berteman dengan Marcel."

Marcel pergi gara-gara aku.

"Dia bakal ninggalin kamu lagi."

Suara itu menggema di benak Elai. Suara Alice, kesimpulan dirinya, dan peringatan Patrick, semuanya memantul berulang kali. Hingga tak ada satu detik pun terlalui tanpa rasa ngeri yang semakin menjajah dirinya. Membuat Elai gemetaran dengan satu kemungkinan yang paling ia takuti. Membuat ia tak memiliki pilihan lain.

Elai masih berusaha membuka pintu kamar, tapi tentu saja tidak akan terbuka. Sekuat apa pun ia berupaya, maka sekuat itu pula pintu tersebut bergeming. Secara logika, jelas. Elai tak akan mampu keluar dari sana. Tapi, tetap saja Elai tidak berhenti. Walau ia sadar bahwa semua yang ia lakukan adalah satu hal yang sia-sia.

Maka di detik selanjutnya, seraya tetap menggerak-gerakkan daun pintu itu dengan menggebu, tangan Elai yang satunya justru memukul-mukul pintu. Lalu, ia pun berteriak.

"Marcel! Jangan pergi! Marcel!"

Elai terisak. Air mata bercucuran di kedua pipinya yang mulus. Namun, ia tak berhenti. Tetap berusaha. Pun tetap menjerit.

"Marcel! Marcel!"

Tak terhitung berapa lamanya Elai berusaha. Namun, sungguh tak ada hasil yang ia dapatkan. Jangankan Marcel yang datang kembali menemuinya, pintu itu membuka pun tidak. Hingga membuat satu kemungkinan menjajah benak Elai. Membuat tubuh cewek itu sontak melemah. Dan tak mengherankan, bila pada akhirnya Elai merosot. Terduduk tak berdaya di lantai yang dingin itu.

Tak ada lagi isak tangis ataupun jeritan, Elai bergeming. Membiarkan air matanya tetap jatuh seperti tanpa ada rasa. Matanya berkedip sekali. Lirihan pelan keluar dari bibirnya.

"Marcel ...."

*

Marcel mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha untuk menyingkirkan keringat dan juga air mata yang sudah bercampur menjadi satu di sana. Mencoba menarik napas dalam-dalam, ia justru menyadari bahwa saat itu dirinya teramat kacau.

Kedua tangan Marcel naik. Mendarat di kepalanya dan lantas meremas rambutnya sendiri dengan sekuat tenaga. Jeritan panjang pun meluncur dari tenggorokan. Menyiratkan semua emosi yang mendadak saja meledak di dalam dirinya.

Marcel menggeram. Pening oleh rasa panas yang terasa membakar dadanya dari dalam. Itu adalah panas cemburu, panas takut kehilangan, serta ... panas rendah diri.

"Udah gendut, pendek, hitam lagi. Kamu beneran manusia kan? Hahahaha."

"Padahal udah gede, tapi iiih .... Hobinya nangis."

"Marcel kayak kura-kura gosong kan? Hahahahaha."

Dan benaknya pun lantas menampilkan kenyataan. Betapa berbedanya ia dengan Patrick. Cowok yang Elai kenal dari semasa sekolah. Terlihat sempurna. Tidak seperti dirinya. Maka wajar saja bila ....

Marcel meringis. "Kamu nggak cinta aku ...."

Tangan Marcel turun. Menutup wajahnya. Seolah ia malu untuk bertemu dengan dunia lagi ketika satu pemikiran itu kembali melirih dari lidahnya.

"Kamu mau nikah sama aku karena kasihan? Karena nggak bakal ada cewek yang mau sama aku?"

Marcel memejamkan matanya dengan teramat kuat. Namun, ia tak mampu bertahan lagi. Hingga jeritan pilu itu pun kembali menggema di sana.

"Aaargh!!!"

Napas Marcel menggebu. Dengan kasar ia mengelap wajahnya. Dan ia beranjak. Ia pikir ia akan meledak di sana bila ia tetap memutuskan berada di sana.

Langkah Marcel tak seperti biasanya. Terseok-seok. Tak tentu arah. Seperti tidak ada kendali manusia yang menggerakkannya. Dan entah, mungkin keajabainlah yang membuat ia pada akhirnya bisa tiba di parkiran beberapa saat kemudian.

Pikiran Marcel saat itu kalut. Penuh dengan semua hal yang tidak ia inginkan. Untuk beberapa tahun yang lama, sepertinya baru kali ini Marcel menjadi seperti ini. Entah bagaimana, pertengkarannya tadi dengan Elai membuat satu kerendahan diri yang selalu ia tutup rapat-rapat, terbongkar. Kembali muncul ke permukaan. Hingga membuat ia---

"Ah! Aduh, Mas Ganteng. Kok nabrak sih?"

Langkah gamang Marcel terpaksa berhenti ketika menyadari ada Pirly yang tampak mengaduh di depannya. Seraya memegang satu tangannya yang baru saja beradu dengan Marcel, cewek itu tampak sedikit meringis.

Marcel mengerjapkan mata. "O-o-oh, maaf. Aku nggak sengaja."

Pirly mengusap sekilas tangannya. Memastikan bahwa ia tidak terluka untuk kemudian melayangkan sorot aneh ketika melihat keadaan Marcel kala itu.

"Mas?" tanya Pirly kemudian. "Mas baik-baik aja? Kok Mas keliatan kayak yang kusut gitu?"

Marcel menarik diri. Berusaha untuk langsung pergi dari sana, tapi Pirly dengan rasa penasaran yang semakin membesar, malah tidak membiarkan Marcel untuk menghindar. Hingga satu pemikiran pun melintas di benaknya.

"Aaah! Mas pasti ribut dengan Elai kan?" tanya Pirly menebak. Dan tanpa menunggu jawaban Marcel, Pirly tampak angguk-angguk kepala. "Well .... Saya nggak heran kalau Mas ribut dengan Elai. Dia kan emang kayak gitu. Sukanya nyari keributan aja."

Mata Marcel memejam. Sungguh! Di saat suasana hatinya sedang tidak bagus dan ketika emosinya sedang terganggu, hal terakhir yang ingin ia temui adalah seorang cewek cerewet. Apalagi kalau cewek cerewet itu bertingkah kecentilan pula. Persis seperti Pirly.

"Makanya itu aku heran, kok cowok-cowok pada ngejar-ngejar dia sih? Nggak cuma Mas. Tapi, bahkan Patrick juga."

Rahang Marcel mengeras. Mendengar satu nama cowok yang paling tidak ingin ia dengar membuat emosinya semakin bergejolak. Untuk itulah ia kemudian memutuskan untuk segera mengucapkan permisinya.

"Sepertinya aku har---"

"Padahal jelas banget," lanjut Pirly tanpa menghiraukan Marcel yang jelas-jelas menunjukkan gestur akan pergi. "Dari dulu Elai sama sekali nggak bakal nerima cinta dia. Heran deh. Udah lama banget dia ngejar-ngejar Elai, bahkan nekat juga untuk pindah ke apartemen ini demi bisa deket-deket terus sama dia. Tapi, cewek itu bener-bener keras kepala. Jangankan mau nerima cinta Patrick, eh ... dia tetap aja keukeuh buat nolak. Jadi buat aku kasihan sama Patrick."

Dan kala itu, Marcel sontak mengerutkan dahinya. Entah mengapa, mendengar Pirly yang mengoceh panjang lebar justru membuat ia teringat akan perkataan Elai. Berbulan-bulan yang lamanya. Ketika untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Pirly dan Elai memberikan ultimatum padanya.

"Dia itu tipikal ibu-ibu di FTV ikan tenggelam. Aku potong rambut direcokin. Aku panjangin rambut direcokin. Aku malam mingguan direcokin. Aku nggak malam mingguan direcokin. Ehm ... nggak tau deh ada masalah hidup apa itu cewek."

"Jadi, kamu harus ingat, Res. Kamu nggak boleh dekat-dekat dengan Pirly."

"Dia selalu kayak gitu. Kayaknya semacam terobsesi dengan kehidupan aku."

Melihat Marcel yang terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Pirly yang memindahkan tas tangannya ke sikunya, menepuk halus tangan cowok itu. Memasang wajah simpatik, ia berkata.

"Aku tau Elai emang cantik. Tapi, kalau kamu mau ngejar-ngejar Elai juga, mending nggak usah deh. Timbang ngejar dia, ehm ... mending kamu ngejar aku aja."

Mata Marcel membesar. Dan itu membuat Pirly tergugu seraya kembali menyerocos.

"Ma-maksud aku, percuma kamu mau ngejar-ngejar Elai. Tuh liat. Patrick yang dari SMA ngejar dia aja nggak dia terima. Mana alasannya buat geleng-geleng kepala lagi. Kamu tau? Elai itu udah kadung jatuh cinta sama temen masa kecilnya. Jadi, saran aku. Mending kamu nggak usah ngarepin dia lagi. Dia itu keras kepala. Lagi Patrick yang udah lama deketin aja ditolak mentah-mentah, apalagi kamu yang baru berapa bulan kenal dia."

Karena ketika Pirly sibuk bicara, Marcel hanya terpaku pada satu hal. "Ka-kamu udah kenal lama dengan Elai?"

Pertanyaan itu membuat Pirly mengangguk. Memberikan jawabannya. "Dari SMP. Makanya aku kenal banget sama dia. Lagian ya ... kayaknya semua teman kecil Elai tau deh kalau dari dulu Elai deket sama yang namanya ... Mar-Marcel." Dahi Pirly tampak mengerut. Seperti ia yang berusaha mengingat. "Marcel bukan ya namanya?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ah, pokoknya gitu deh namanya."

Sibuk dengan hal itu, Pirly tak menyadari bagaimana perkataannya membuat cowok di hadapannya membeku. Tubuhnya seperti tanpa rasa. Dingin pun seolah bukan kata yang tepat untuk mewakili keadaan yang saat ini tengah menyelimuti tubuh Marcel dari atas hingga bawah.

"Ma-Marcel?"

Suara terbata itu membuat Pirly berpaling. Dan lagi-lagi ia mengangguk. "Iya, kayaknya sih Marcel. Ehm ... bahkan ya saking dekatnya, Elai punya satu ponsel khusus untuk cowok itu."

Mata Marcel tak berkedip melihat pada Pirly. Dan cewek itu tersenyum lebar. Seperti baru saja menemukan satu hadiah tersembunyi.

"Itu ponsel lama. Pake kartu dia yang lama. Dan cuma ada satu nomor yang tersimpan di sana. Nomor itu cowok," kata Pirly lagi. "Jadi, sampai di sini kamu bisa nyadar kan? Seberapa kuatnya kamu buat ngejar-ngejar Elai, itu nggak bakal berguna. Mau kamu ataupun cowok yang lain, itu pasti bakal Elai tolak. Yang dia mau cuma satu."

"Ma-maksud kamu ...."

Bahkan Marcel seperti tak memiliki kekuatan untuk melanjutkan perkataannya. Karena jelas, di detik selanjutnya justru Pirly yang menuntaskan kalimat itu untuk mereka berdua.

"Tentu saja," sambung Pirly. "Marcel." Cewek itu tampak geleng-geleng kepala. "Padahal yang aku dengar dari orang-orang, Marcel itu jelek, bodoh, cengeng, dan penakut. Tapi, heran aja kenapa dia justru suka sama cowok yang kayak gitu. Terutama karena itu kisah masa kecil." Bola mata Pirly berputar sekali. "Hellow! Kalau aku jadi dia, mending aku cari yang pasti-pasti aja deh."

Di saat itu, suara Elai seperti terngiang lagi. Terasa memenuhi kepala Marcel. Seolah ingin menyadarkan ia akan sesuatu yang lalai ia cermati.

"Marcel! Berenti! Aku cinta kamu. Aku nikah sama kamu karena aku cinta kamu."

Karena kalaupun ia meragukan perkataan itu, maka suara Elai yang lain pun menggema pula.

"Dia selalu kayak gitu. Kayaknya semacam terobsesi dengan kehidupan aku."

Karena kali ini justru orang yang tak mengenal dirinya yang mengatakan itu. Pirly yang sedari dulu juga telah mengenal Elai. Yang selalu memperhatikan setiap hal yang dilakukan cewek itu. Hingga mengatakan sesuatu yang selama ini tak diketahui oleh Marcel.

Tak lagi menghiraukan Pirly yang entah mengatakan apa lagi, tangan Marcel pelan-pelan bergerak. Masuk ke saku celananya dan mengeluarkan satu ponsel keluaran lama dari sana. Dan di saat itu, kesiap Pirly terdengar.

"Itu bukannya ponsel Elai?"

Namun, Marcel tak menjawab pertanyaan itu. Alih-alih langsung membuka ponsel itu. Demi membuktikan kebenaran perkataan Pirly yang perlahan telah berubah menjadi satu pengharapan di benaknya. Dan ada satu nama di sana. Satu nama yang membuat semua kenangan masa lalu menjadi terlihat dari sudut pandang yang berbeda.

Nama itu adalah: Kura-Kura Baik Hati.

Karena pada saat itu, kemarahan dan kekalutan, yang dibalut oleh rasa cemburu sangat ampuh membelenggu akal sehat yang Marcel miliki. Membuat ia abai untuk setiap hal yang telah mereka lalui selama ini. Bertahun-tahun. Walau tanpa bertemu. Tapi, nyatanya ada sesuatu yang telah terpupuk subur hingga tumbuh dengan mengakar kuat.

Satu persatu kenyataan yang kemudian akhirnya pelan-pelan menampilkan wujudnya.

"Kamu sampai ngasih tau nomor aku ke orang lain, awas saja."

Hanya dirinya yang memiliki nomor ponsel Elai. Dan itu, hingga sekarang. Sesuatu yang abai untuk ia sadari.

"Mau aku bentak atau aku maki-maki, dia tetap ngekorin aku. Berusaha ngebujuk aku biar aku nggak nangis lagi. Sebaik itu bos kamu dulu."

Karena tak mungkin akan ada yang mengingat seseorang untuk jangka waktu yang lama, andai ia bukanlah orang yang istimewa. Sesuatu yang lagi-lagi nyaris terlewatkan oleh dirinya.

Dan bila itu masih tak cukup meyakinkan dirinya, maka ada waktu-waktu kebersamaan yang telah mereka lalui, dan itu lebih dari untuk membuktikan betapa dirinya yang selama ini diharapkan oleh Elai. Tiap detik yang berlalu saat mereka saling memeluk, saling mencium, dan saling menatap, itu jelas adalah hal yang tak mampu untuk disangkal.

Hingga pada akhirnya, ketika kekalutan itu pelan-pelan terurai, layaknya satu cercah cahaya yang kembali menyinari kegelapan, Marcel mampu menarik napasnya dengan tenang kembali.

"Elai ...."

Pirly mengerutkan dahi. Namun, belum lagi ia sempat untuk kembali bicara, ia justru mendapati Marcel yang langsung berlari dari sana. Meninggalkan dirinya seorang diri yang lantas menjerit.

"Mas! Percuma kamu ngejar-ngejar Elai! Dia cuma cinta sama Marcel! Aku ulangin lagi. Elai cuma cinta sama Marcel!"

Namun, tentu saja teriakan Pirly memberikan efek lain pada Marcel. Karena selanjutnya cowok itu semakin cepat berlari. Semakin tak sabar untuk kembali Elai kembali. Ia akan meminta maaf. Bahkan kalau perlu mengiba untuk semua kemarahan yang telah ia luapkan dengan gelap mata. Apa pun akan ia lakukan.

Dan tepat ketika tangannya mendorong daun pintu itu, ia bertekad akan memohon pada Elai. Tak peduli dengan harga diri atau apa pun lagi, yang ia inginkan hanya satu.

"Elai---"

Namun, belum lagi ia menuntaskan perkataannya, Marcel justru membeku. Merasakan ada satu rengkuhan yang teramat kuat melingkari pinggangnya. Disusul dengan mendaratnya satu wajah di dadanya. Pun ditutup oleh satu ratapan yang menyayat jiwanya.

"Kamu balik, Cel. Ya Tuhan. Aku mohon, jangan tinggalin aku."

Ada rasa panas dan basah yang menyentuh kemeja yang ia kenakan. Rasa panas dan basah yang sama dengan yang ia rasakan di kedua matanya. Dan lantas Marcel memejamkan matanya. Dengan kedua tangan yang pelan-pelan naik. Demi membalas rengkuhan itu dengan sama kuatnya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top