57. Ketakutan Masa Lalu

Elai tidak tau kalau dirinya benar-benar jatuh tertidur siang itu. Hanya saja ketika kesadaran perlahan datang kembali menyapa dirinya, sayup-sayup ia mendengar suara Marcel yang tengah bicara. Dengan irama yang cepat dan terdengar menggebu. Seakan cowok itu sedang emosi.

Eh?

Marcel?

Tentu saja Elai meragukan keberadaan Marcel di kamar. Mengingat baru beberapa waktu yang lalu mereka bertemu untuk makan siang. Dan di antara kesadarannya yang masih berada di awang-awang, Elai bisa merasa bahwa saat itu belum waktunya untuk Marcel pulang.

Namun, ketika Elai pada akhirnya benar-benar membuka mata, ia menemukan Marcel yang ternyata memang sudah pulang. Dan lebih dari itu, tanpa kehadiran jas di tubuhnya, cowok itu terlihat berantakan dengan dasi yang mengendur dan kancing baju yang keluar dari lubangnya. Marcel tampak menderu saat bicara dengan seseorang di sambungan telepon selulernya.

"Oke oke. Jadi, ingat. Kalau dia sudah ada di Jakarta, saya mau dia tidak lagi tinggal di sini. Berapa pun pinalti atau segala macam, urus! Saya nggak peduli! Pokoknya penghuni nomor 3802 itu harus angkat kaki dari gedung ini! Dan jangan biarkan ia sesenti pun menginjakkan kakinya lagi di sini! Paham?!"

Dengan pandangan yang masih belum terlalu fokus, Elai mengerutkan dahi. Tampak gamang dengan kenyataan di mana dirinya yang baru bangun tidur langsung disuguhi oleh adegan Marcel yang marah-marah. Lihat saja. Cowok itu tampak mondar-mandir dengan wajah yang memerah. Dan keringat pun sudah bercucuran di wajahnya yang tampan. Persis seperti ada bara api yang sedang membakar di dalam kepalanya.

Menggeliat sedikit, Elai pun refleks mengerang. Satu kebiasaan alamiah yang mayoritas dilakukan oleh semua orang ketika baru bangun tidur. Dan itu, tentu saja menarik perhatian Marcel. Buktinya, cowok itu langsung menghentikan laju mondar-mandirnya. Berpaling pada Elai yang terlihat mengangkat kedua tangannya. Melakukan perenggangan singkat.

"Kamu udah balik?"

Tersadar akan situasi itu, Marcel lantas mengerjapkan mata. Sebelum ia menanggapi pertanyaan Elai, ia pun memilih untuk menyelesaikan terlebih dahulu percakapannya di telepon.

"Oke. Saya tunggu kabar selanjutnya."

Elai bangkit dari tidurnya. Seraya mengusap rambutnya, ia bertanya dengan nada acuh tak acuh.

"Kamu abis nelepon siapa? Berisik banget."

Tak terlihat oleh Elai, wajah Marcel tampak mengeras. "Aku nelepon manajer gedung ini."

"Oooh ...," lirih Elai singkat. Terkesan tak peduli. Dan ketika ia turun dari tempat tidur, berniat untuk keluar demi mendapatkan segelas air minum penyejuk tenggorokan, ia justru mendapati bagaimana ponselnya yang berada di atas nakas tampak dalam posisi mencurigakan.

Langkah kaki Elai berhenti. Dengan dahi mengerut, di benaknya mendadak saja terngiang perkataan Marcel yang tadi sayup-sayup ia dengar. Percakapannya di telepon yang semula tidak Elai pedulikan.

"Oke oke. Jadi, ingat. Kalau dia sudah ada di Jakarta, saya mau dia tidak lagi tinggal di sini. Berapa pun pinalti atau segala macam, urus! Saya nggak peduli! Pokoknya penghuni nomor 3802 itu harus angkat kaki dari gedung ini! Dan jangan biarkan ia sesenti pun menginjakkan kakinya lagi di sini! Paham?!"

Mata Elai membesar. Horor, ia melihat pada Marcel.

"Kamu mau ngusir Patrick dari sini?" tanya Elai dengan ekspresi ngeri. "Iya, Cel?"

Rahang Marcel tampak kaku. Bahkan bunyi giginya terdengar bergemeletuk. "Iya. Kenapa? Kamu mau ngelarang aku?"

Jawaban tanpa tedeng aling-aling Marcel jelas membuat Elai syok. Hingga untuk beberapa saat lamanya, cewek itu tampak seperti tak bisa mengucapkan satu patah kata pun.

"Wah!" kesiap Elai tak percaya. "Aku pikir kita udah selesai bahas soal ini, Cel. Tapi, kenapa kamu malah kayak gini? Ya ampun. Kamu childish banget sih, Cel."

"Aku? Childish?" ringis Marcel. "Childish? Hah?! Childish mana sama cowok yang ngungkapin cintanya sama cewek yang jelas-jelas udah punya suami? Mana yang lebih childish?!"

Elai menganga. Dahinya mengernyit. Tampak tak mengerti. "Ngung-ngungkapin cinta?"

Tak menjawab pertanyaan itu, Marcel justru mendengkus. Berpaling ke arah lain seraya membetot lepas dasi yang melingkar longgar di lehernya. Lantas membantingnya ke lantai. Seolah ingin melampiaskan kemarahannya. Karena jelas sekali, kalau Patrick sekarang berada di tempat, maka sudah bisa dipastikan bahwa Patrick-lah yang akan Marcel banting di lantai!

Tadi setelah Marcel mendapati pesan yang membuat panas jiwa dan raganya itu, ia segera turun. Menuju ke unit di mana Patrick tinggal. Namun, tidak ada yang membuka pintu untuk bel yang ia tekan berulang kali itu. Hingga kemudian ia tau dari resepsionis bahwa Patrick sedang keluar kota demi pekerjaannya. Dan dari situlah mengapa pada akhirnya ia justru membelokkan rencananya. Yaitu, alih-alih menghajar Patrick, sekarang ia ingin memastikan bahwa cowok itu tidak akan bisa menemui Elai lagi.

Sementara itu, Elai yang syok dengan pernyataan Marcel, terpikir akan sesuatu. Pada ponselnya di atas nakas. Maka ia pun dengan segera meraih benda itu. Dengan cepat melihat pada pesan yang dikirimkan oleh Patrick. Dan Elai merasakan jantungnya yang seperti berhenti berdetak. Benar-benar syok. Tak percaya bahwa Patrick sungguh menyatakan cintanya. Dan di titik itu, Elai menyadari sesuatu. Adalah yang manusiawi bila Marcel tampak berang saat itu. Pria mana yang tidak akan marah kalau istrinya mendapatkan pernyataan cinta dari cowok lain?

Elai meneguk ludah. Melihat bagaimana Marcel yang berkacak pinggang dengan napas yang terdengar menderu, serta keringat yang membasahi wajahnya, ia tau. Pastilah cowok itu sedang terbakar api kemarahan saat itu.

"Ma-Marcel ...."

Hanya itu yang sanggup diucapkan oleh Elai. Tapi, sepertinya sangat ampuh untuk membuat cowok itu berpaling. Walau jelas, bukan berarti Elai siap menghadapi semua emosi Marcel yang mengancam akan meledak dalam waktu dekat.

"Mau sampai kapan sih kamu nggak nurutin omongan aku? Aku udah ngomong. Jangan deket-deket dengan dia, tapi kamu justru masih ngeladenin dia?! Emangnya aku beneran nggak ada artinya apa sampe kamu nggak mau dengerin dikit aja omongan aku?!"

"Ma-Marcel ...," lirih Elai pelan-pelan, khawatir dengan kemarahan Marcel yang mulai menampakkan wujudnya. "Aku nggak ada deket-deket dengan dia. Aku---"

"Please! Jangan ladenin dia. Dalam bentuk apa pun!"

"Astaga, Cel. Aku bukannya ngeladenin dia. Aku cuma balas pesan dia."

"Tapi, kamu liat kan akibatnya apa? Dia pasti mikir kamu ada perasaan sama dia! Makanya dia dengan berani ngomong cinta ke kamu!"

"Aku nggak ada perasaan apa pun ke dia, Cel! Dan aku sama sekali nggak tau soal perasaan dia kayak gimana. Itu bukan salah aku!"

Marcel mendengkus. Ekspresi wajahnya tampak meringis. "Beneran kamu nggak tau?" tanyanya dengan terkekeh sarkas. "Bahkan dia sendiri meragukan kalau kamu beneran nggak tau. Apa kamu justru pura-pura nggak tau? Ah, jadi sebenarnya ada apa di sini? Apa kamu sebenarnya juga cinta sama dia? Makanya kamu nggak pernah mau denger omongan aku buat jauhin dia?!"

"Marcel!" jerit Elai. "Kamu ini apa-apaan sih?! Aku udah ngomong, aku cuma nganggap dia itu teman!"

"Tapi, dia nganggap kamu lebih dari teman!" potong Marcel cepat. "Dia nganggap kamu lebih dari teman. Kamu tau itu?!"

Elai diam. Tak menjawab pertanyaan itu, ia justru fokus dengan keadaan Marcel. Di mana cowok itu tampak kacau. Dada naik turun dan napasnya kian lama kian memberat.

"Kamu tau itu dan harusnya kamu jauhi dia! Jangan buat dia mikir kamu ada sedikit aja perasaan sama dia!" lanjut Marcel menggebu. "A-a-atau ..." Wajah Marcel tampak meringis. "... sebenarnya kamu memang ada perasaan sama dia?"

Mata Elai memejam dramatis. Tak percaya bahwa lagi-lagi Marcel menanyakan hal yang serupa pada dirinya. Dan ketika Elai masih berusaha untuk menarik napas dalam-dalam, cewek itu justru merasakan bagaimana kedua lengan atasnya mendadak diraih dengan kasar. Oleh Marcel. Yang tiba-tiba saja sudah berada tepat di depannya!

"Ma-Ma-Marcel ...."

Embusan napas panas Marcel yang menggebu terasa membakar wajah Elai. Wajah cowok itu tampak mengerikan. Basah dan merah. Sarat dengan amarah.

"Jujur ke aku. Kenapa kamu mau nikah sama aku? Kamu kasian sama aku?"

Elai menganga. Tampak syok dengan pertanyaan itu. "Ma-Ma-Marcel ...."

Itu tidak seperti Marcel yang ia kenal. Ekspresi yang terbentuk di wajah Marcel, tidak pernah dilihat oleh Elai sebelumnya. Tidak pernah sekali pun di dalam hidupnya, Elai melihat Marcel seperti itu.

"Kamu kasian sama aku? Makanya kamu mau nerima lamaran aku?" tanya Marcel lagi. Dan kali ini, matanya yang memerah tampak mulai tergenang air mata. "Karena aku jelek. Karena aku bodoh. Karena aku penakut. Makanya kamu kasihan sama aku?! Iya?!"

Elai menggeleng. Refleks menggeleng. Tapi, mungkin pergerakan itu tidak mampu ditangkap oleh retina mata Marcel yang telah kabur dengan air mata.

"Kamu lebih cinta sama dia? Karena dia lebih tampan dari aku? Karena dia lebih pintar dari aku? Karena dia lebih berani dari aku? Iya?!" bentak Marcel. "Kalau iya, kenapa kamu mau nikah sama aku?! Harusnya kamu nikah sama dia!"

"Plaaakkk!"

Karena mungkin Marcel akan terus mengocehkan hal lainnya. Akan terus mengatakan hal-hal yang membuat rasa sesak timbul dan meremas dada Elai. Andai satu tamparan itu tidak Elai layangkan ke pipinya. Karena jelas, setelah telapak tangan Elai mendarat di sana, cowok itu terdiam. Tak mengatakan apa-apa lagi.

"Kamu sadar apa yang kamu katakan, Cel? Kamu sadar nggak?!"

Napas Elai berembus dengan menggebu. Dengan dada yang naik turun dengan teramat melaju. Tapi, sungguh! Sekarang ia merasa udara tak lagi cukup untuk membuat ia tetap hidup. Rasanya saat itu, Elai benar-benar sesak!

Hingga kemudian, pelan-pelan wajah Marcel yang meneleng lantaran tamparan Elai, bergerak kembali. Membawa tatapannya untuk beradu pada tatapan Elai. Dan di sana, Elai bisa melihat tekad yang tak terbantahkan.

"Aku nggak peduli. Aku nggak peduli walau kamu nggak cinta aku. Tapi, kamu udah jadi istri aku. Aku nggak bakal ngebiarin dia ataupun cowok lain buat ngerebut kamu dari aku!"

"Marcel! Berenti!" jerit Elai. "Aku cinta kamu. Aku nikah sama kamu karena aku cinta kamu."

Marcel meringis. Tampak air matanya jatuh setetes, walau jelas. Berbanding terbalik dengan itu, ada senyum tersungging di wajahnya.

"Dengan kura-kura gosong ini? Kamu cinta dengan kura-kura gosong ini?" tanyanya pilu. "Iya? Hahahaha. Mana mungkin."

Perkataan Marcel layaknya paku tak kasat mata yang membuat Elai bergeming di tempatnya. Tubuhnya membeku. Terasa amat dingin. Tapi, belum terlalu dingin hingga Marcel kembali berkata.

"Aku bahkan berani bertaruh. Kalaupun aku nggak ada, kamu nggak bakal ingat aku sedikit pun."

Lantas Marcel terjatuh di lantai. Bertahan di keramik yang dingin itu. Membiarkan air matanya jatuh dengan pemikiran-pemikiran kusut yang memenuhi otaknya. Mengabaikan Elai yang gemetaran. Bibirnya tampak memucat.

"Ka-ka-kamu mau ninggalin aku lagi?"

Pada saat itu, ketakutan Elai pun datang. Dalam bentuk bayangan masa lalu yang mengingatkan dirinya pada kenangan itu. Hari-hari di mana Elai merasa semuanya seperti bewarna kelabu.

Tersurut ke belakang, dengan langkah terseret, Elai menggeleng. "A-aku nggak bakal ngizinkan kamu buat ninggalin aku lagi," lirihnya pelan. Dan ia menggeleng lagi. "Lebih baik aku yang pergi!"

Kepala Marcel langsung terangkat. Melihat bagaimana Elai yang beranjak. Kakinya melangkah. Menuju ke pintu. Namun, cowok itu dengan teramat cepat mengambil tindakannya.

Marcel bangkit berdiri dan langsung berlari. Hingga tak butuh waktu lama untuk dirinya mampu menangkap Elai. Lantas merengkuh tubuh itu. Mengabaikan jeritan Elai, ia membawanya. Menuju ke tempat tidur.

"Marcel! Lepasin aku!"

Tak tergoyahkan, Marcel mendudukkan Elai di kasur yang empuk itu. "Nggak bakal. Aku nggak bakal lepasin kamu. Kamu istri aku, Lai. Dan di sini adalah tempat kamu."

Tak membiarkan Elai sempat mengatakan apa pun lagi padanya, Marcel dengan cepat bangkit. Mengambil ponsel Elai di atas nakas dan juga menarik-narik laci di sana. Memeriksa dengan kacau, hingga ia menemukan ponsel lama Elai. Turut mengambilnya.

Mata Elai membesar. "Ma-Marcel ...."

"Aku nggak bakal biarin kamu bisa berhubungan dengan cowok mana pun, Lai. Kamu itu istri aku. Selamanya istri aku."

Dan setelahnya, Marcel langsung keluar dari kamar itu. Tak lupa menarik kuncinya untuk kemudian ia mengunci pintu kamar itu dari luar. Meninggalkan Elai yang sontak histeris. Dengan langkah terseok-seok, ia mencapai pintu. Berusaha untuk membukanya. Tapi, tidak bisa. Hingga ia hanya bisa menjerit.

"Marcel! Jangan pergi! Marcel!"

Namun, tak ada apa pun yang Elai dapatkan. Hanya ada keheningan yang diselingi oleh isak tangisnya sendiri.

"Jangan tinggalin aku, Cel!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top