56. Percikan Pemicu
Marcel tidak yakin, tapi ia merasa ada yang berbeda. Di siang hari itu, ketika seperti biasanya ia pulang sejenak ke unit demi melewati makan siang bersama dengan Elai, ia mendapati bagaimana cewek itu yang tampak murung. Tidak seperti biasanya. Karena jelas, setelah beberapa hari resmi menjadi suami istri, sikap Elai pada dirinya mulai berubah. Sering memeluknya, bergelayut manja, atau melakukan hal lainnya. Namun, berbeda dengan yang terjadi sekarang. Alih-alih menyambut dirinya seperti biasa, Marcel justru mendapati bagaimana wajah Elai yang tampak menekuk lesu.
"Kamu kenapa?"
Pada akhirnya Marcel pun tak mampu menahan rasa penasarannya. Maka setelah mereka menuntaskan makan siang itu, tepat ketika Elai meneguk habis segelas air putihnya, Marcel pun bertanya. Kedua tangan cowok itu naik di atas meja, memasang sikap menunggu untuk jawaban yang ia harapkan akan ia dapatkan. Namun, nihil. Elai tidak memenuhi harapannya. Alih-alih, cewek itu justru menggeleng.
"Aku nggak apa-apa."
Jelas sekali Marcel tau kalau itu bohong. Di lihat dari sudut mana pun, Marcel bisa merasakan bahwa ada yang disembunyikan oleh Elai. Tapi, sungguh! Pelajaran untuk Marcel. Ia tidak ingin mendesak Elai. Berkaca dari pengalaman tempo hari, ia menyadari bahwa menantang emosi Elai adalah satu hal yang teramat berisiko. Dan Marcel tidak ingin mengambil risiko itu. Hanya saja ....
"Kamu keliatan murung."
Marcel mencoba untuk mencari peruntungannya. Siapa tau kali ini Elai akan luluh. Tidak ada salahnya mencoba kan?
"Kamu kenapa?" tanya Marcel lagi. "Lagi suntuk? Bosan di sini? Atau kamu mau liburan lagi?"
Untuk pertanyaan yang bertubi-tubi datang padanya, Elai hanya mengembuskan napas panjang. Seraya menaruh kembali gelasnya yang telah kosong, ia tampak mengerjapkan matanya sekali. Tanpa menatap pada Marcel, ia berkata.
"Nggak kok. Aku cuma lagi malas ngapa-ngapain aja."
Dahi Marcel berkerut. Jelas semakin bingung.
Elai?
Cewek yang biasanya sanggup mengelilingi mall sepuluh kali sehari mendadak malas ngapa-ngapain?
Ehm .... Jujur saja, itu membuat Marcel segera memindahkan mode penasarannya ke mode waspada. Ada sesuatu yang sedang terjadi pada istrinya.
Untuk beberapa saat, Marcel membiarkan waktu berlalu dengan keheningan. Sebelum pada akhirnya ia mendehem. Memasang ekspresi biasa-biasa saja seperti tengah berpikir.
"Akhir bulan ini ada libur panjang. Kamu mau nggak kalau kita liburan ke mana gitu. Kamu mau ke mana? Ada tempat yang mau kamu kunjungi?"
Lagi-lagi, Elai mengembuskan napas panjangnya. Ia memberikan gelengan singkat sebagai jawabannya. Dan ketika Marcel masih ingin berusaha mencairkan suasana, ia justru mendapati istrinya yang langsung bangkit dari kursi.
"Udah ya, Cel. Aku mau ke kamar aja. Aku ngantuk."
Elai langsung beranjak. Tak memedulikan tanggapan Marcel, ia memutuskan untuk segera menuju ke kamarnya. Namun, ketika kakinya baru bergerak sebanyak tiga langkah, ia mendengar suara kaki kursi yang bergesekan dengan lantai. Lalu diikuti oleh derap langkah yang cepat. Hingga hanya butuh waktu dalam hitungan detik saja, Elai merasakan satu cekalan di siku tangannya.
Marcel memutar tubuh Elai. Melakukannya dengan ketegasan yang tak mampu ditolak oleh cewek itu. Dan ketika matanya beradu dengan mata suaminya itu, satu tangan Marcel yang lainnya sudah naik. Membelai sisi wajahnya.
"Kalau gitu, kamu istirahat aja. Ntar kalau bisa, aku bakal balik cepat."
Elai mengerjap. Sekilas, Marcel bisa melihat ada sekelebat emosi di sorot matanya yang bening. Dan itu membuat Marcel tersenyum. Dengan lembut diraihnya Elai demi melabuhkan satu kecupan di dahinya.
"Aku cinta kamu."
*
Sepeninggal Marcel, tentu saja Elai menjadi gundah gulana. Sungguh! Bukan niat hati Elai ingin bersikap dingin seperti itu pada Marcel. Tapi, Elai tidak akan menampik bahwa perkataan Patrick terus mengiang di benaknya.
"Dia Marcel, Lai. Dia Marcel. Kamu masih ingat kan dia siapa?"
"Dia Marcel ...."
"Cowok yang udah ninggalin kamu. Yang buat kamu sedih selama ini. Dan kamu justru nikah sama dia?"
"Dia bakal ninggalin kamu lagi, Lai."
"Dia bakal ninggalin kamu lagi."
Namun, sesering itu suara Patrick terngiang, maka sesering itu punya keseriusan Marcel bergema di benaknya.
"Aku cinta kamu, Lai."
"Apa kamu juga ngerasain perasaan yang aku rasa, Lai? Apa kamu juga cinta aku? Karena sumpah. Aku beneran cinta sama kamu."
Membiarkan pernyataan itu terus menggema di pikirannya berulang kali, membuat tubuh Elai perlahan merosot di atas tempat tidur. Mencari posisi yang nyaman, ia lantas memikirkan sesuatu.
Apa mungkin Marcel bakal ninggalin aku lagi?
Apa memang dia benar-benar cinta aku seperti yang selalu dia bilang?
Apa dia cuma bohongan kalau cinta aku?
Tapi, masa iya dia bohong dengan senyata itu?
Kalau dia memang jujur, kenapa bisa dia cinta aku?
Dengan semua yang udah aku lakukan ke dia dulu ... bukannya itu mustahil?
Membiarkan semua hal itu mengisi kepalanya, membuat Elai geram sendiri. Itu bagaikan ada satu kemungkinan yang langsung dipatahkan oleh kemungkinan lainnya dan kemudian justru dipatahkan oleh kemungkinan berikutnya. Seperti itulah siklusnya. Hanya berputar-putar di dalam pikirannya. Membuat Elai merasa akan meledak sebentar lagi. Karena ada satu kenyataan valid –menurut dirinya. Yaitu, memangnya ada yang mencintai dirinya? Toh, orang tuanya pun bersikap nyaris seperti tidak memiliki perasaan. Lantas bagaimana mungkin orang luar justru bisa merasakan hal sedalam itu?
"Ting!"
Suara halus yang berasal dari ponselnya membuat pandangan Elai berpindah. Menuju ke atas nakas di mana benda itu berada. Dengan mengembuskan napas panjang, terkesan malas, ia pun beranjak walau dengan enggan. Meraihnya dan mendapati ada pesan dari Patrick yang kembali masuk ke akun instagramnya.
[ patrick___ ]
[ Lai, kamu lagi pergi? ]
[ Aku ke unit kamu. ]
Elai menarik napas dalam-dalam. Masih seolah tanpa tenaga, kedua ibu jari tangannya bergerak. Mengetik tiap huruf di keyboard virtual ponselnya. Membalas pesan itu.
[ patrick___ ]
[ Aku udah nggak tinggal di unit aku yang lama, Pat. ]
[ Sekarang aku tinggal di lantai 45. ]
Elai hanya menjawab seperti itu. Tapi, tentu saja Patrick tidak akan salah menebak di mana Elai tinggal. Toh, dari lantai tiga puluh lima, hanya ada satu unit di tiap lantainya. Lebih dari itu, sepertinya Patrick juga cukup pintar untuk bisa menebak penyebab pindahnya Elai dari kediamannya semula.
[ patrick___ ]
[ Gimana kabar kamu sekarang? ]
[ Dia nggak nyakitin kamu kan gara-gara kemaren? ]
Mata Elai mengerjap. Memfokuskan matanya pada satu kata itu. Lantas bergumam dengan nada rendah.
"Nyakitin?"
Elai ingat benar bahwa satu-satunya kejadian di mana Marcel terkesan menyakitinya adalah ketika memegang tangannya hingga memerah. Dan itu pun bukan karena Patrick. Melainkan karena dia yang berniat untuk kabur dari Marcel ketika dulu menciumnya saat masih memakai identitas sebagai Ares. Tentu saja, itu juga bukan karena ia sengaja. Marcel hanya terlampau kuat memegang tangannya. Saking takut Elai akan melarikan diri darinya.
[ patrick___ ]
[ Nggak kok. ]
[ Marcel nggak gitu orangnya. ]
[ Dia nggak nyakitin aku gara-gara kemaren. ]
[ Malah dia yang minta maaf sama aku. ]
Dan Elai menyadari itu. Dengan jelas. Bahwa terlepas dari keributan mereka tempo hari, justru Marcel yang meminta maaf padanya. Alih-alih sebaliknya.
[ patrick___ ]
[ Aku khawatir dengan keadaan kamu. ]
Tak butuh waktu lama, Elai pun membalas pesan itu.
[ patrick___ ]
[ Nggak perlu. ]
[ Aku baik-baik aja. ]
[ Marcel nggak bakal nyakitin aku. ]
Elai melihat bagaimana pesannya sudah dibaca oleh Patrick, tapi menunggu untuk beberapa saat, ia tidak mendapati balasan lagi dari cowok itu. Hingga pada akhirnya Elai menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Berpikir bahwa mungkin Patrick sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Suntuk, tidak tau harus melakukan apa, pada akhirnya membuat Elai memilih untuk beristirahat saja. Mengambil posisi yang nyaman dan membiarkan keheningan itu membuai dirinya. Hingga tak butuh waktu lama, mata cewek itu pun memberat. Membuat kesadarannya perlahan menguap. Tergantikan oleh ketidaberdayaan saat kantuk mulai menjelma menjadi tidur yang nyenyak.
Sementara itu, teringat dengan perkataannya tadi sebelum kembali ke kantor selepas makan siang bersama Elai, Marcel memutuskan untuk pulang lebih cepat. Sungguh! Berusaha untuk mengabaikan perasaan tak nyaman yang ia rasakan adalah hal yang sulit. Terutama karena itu menyangkut Elai.
Maka tidak mengherankan sama sekali, bila hanya satu jam lamanya Marcel berada di kantornya siang itu. Dan tepat ketika jam setengah tiga sore, suara Marcel sudah menggema di unit itu. Menyerukan nama Elai.
"Elai? Elai ...."
Marcel menyempatkan waktu sejenak untuk menaruh tas kerjanya di ruang kerja. Untuk kemudian, seraya melepas jas yang ia kenakan, ia membuka pintu kamar. Masuk dan melemparkan jas itu dengan asal hingga mendarat di satu kursi yang tersedia di sana.
Langkah kaki Marcel berhenti seketika saat mendapati Elai yang tampak tidur. Terlihat nyenyak. Wajah cantiknya sungguh damai.
Pelan-pelan, tidak ingin menimbulkan sedikit suara pun yang bisa mengganggu kepulasan tidur Elai, Marcel duduk di tepi tempat tidur. Senyum Marcel mengembang seiring dengan bergeraknya tangan cowok itu. Memberikan belaian seringan bulu di sisi wajah cantik Elai.
Hingga beberapa saat kemudian, keterpanaan Marcel akan pemandangan itu, terusik dengan satu denting halus yang berasal dari ponsel Elai. Menarik perhatian cowok itu. Untuk mengulurkan tangan, meraihnya. Dan lantas melihat pemberitahuan itu. Pesan dari Patrick.
Patrick: Elai, aku nggak tau. Kamu beneran nggak tau atau kamu nggak mau tau? Aku cinta kamu, Lai. Selama ini aku selalu cinta kamu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top