55. Ada Kemungkinan
Entah mengapa, tapi spontan saja tawa itu berderai dari bibir Marcel. Walau dengan kesan payah tentunya, mengingat betapa menguras tenaganya permainan intim mereka tadi. Dan itu, terang saja membuat Elai yang masih berbaring di atas tubuh Marcel, menjadi bingung. Mendorong ia untuk sedikit menarik diri. Bertahan pada satu tangan di dada Marcel dan menatap pada cowok itu.
"Kenapa ketawa?" tanya Elai. "Ada yang lucu?"
Memperbaiki sedikit posisi bantal di bawah kepalanya, Marcel justru kembali terkekeh. Alih-alih langsung menjawab. Hingga kemudian, pada akhirnya ia pun menarik napas dalam-dalam, menghentikan tawanya, dan mengubahnya menjadi satu senyuman. Seraya satu tangannya yang lantas mendarat di lekukan atas bokong Elai, ia pun menjawab.
"Kamu benar-benar ...."
Elai menunggu. Namun, Marcel justru menggantung ucapannya di saat yang teramat tepat. Terutama dengan ekspresi wajahnya yang tampak seperti bingung. Layaknya ia yang sedang berusaha untuk mencari kosakata yang tepat untuk mewakili perasaan yang sedang memenuhi benaknya kala itu. Hingga pada saat Marcel nyaris menyerah, ia hanya mampu mengucapkan satu kata itu.
"Waw!"
Dahi Elai mengernyit. Sekarang keadaan tampaknya berbalik. Dirinya yang bingung. "Waw?"
Namun, Marcel lagi-lagi tergelak. Hanya saja, tidak ingin Elai tersinggung atau salah menafsirkan perkataannya, ia buru-buru menahan tubuh Elai. Dengan kedua tangannya yang mengerat di seputaran pinggang cewek itu. Lantas menatap lurus pada matanya.
"Kalau aku ngomong yang barusan itu bener-bener amazing," kata Marcel dengan senyum lebar yang masih bertahan di wajahnya. "Kira-kira kamu bakal ngomong aku lebay nggak? Ngomongin aku norak?"
Sontak saja, senyum malu-malu terbit di wajah Elai. Lebih dari itu, warna merah turut hadir meronakan kedua pipinya. Ia tampak salah tingkah. Hingga lantas melayangkan satu pukulan yang amat sangat tidak terasa di dada Marcel. Dan untuk itu, Marcel tertawa lagi.
"Berenti deh, Cel."
Marcel melihatnya dengan teramat jelas. Bagaimana Elai tersipu ketika mengatakan itu. Hingga membuat ia bergerak. Seperti ingin melepaskan diri. Tapi, tentu saja tidak dibiarkan oleh Marcel. Ia masih ingin menuntaskan kerinduannya selama dua hari ini.
"Tapi, aku nggak bohong deh, Lai," kata Marcel lagi. "Tadi itu kamu beda banget. Jadi, buat aku pengen---"
"Nggak usah macem-macem deh ya," ucap Elai memotong perkataan Marcel seraya mendelik. "Kita baru aja selesai."
Marcel tergelak. "Ih, nethink banget sih sama suami sendiri. Orang aku cuma mau ngomong kalau aku pengen peluk kamu doang kok. Hahahaha."
"Kayak yang aku bakal percaya aja omongan kamu," dengkus Elai.
Setelah mengatakan itu, Elai tampak akan melepaskan diri. Namun, oleh Marcel dirinya justru dibawa untuk berbaring. Tanpa melepaskan tangannya dari tubuh Elai. Bertukar posisi, Marcel lantas membelai sisi wajah Elai.
"Aku beneran cinta kamu, Lai," ungkap cowok itu dengan lembut. "Aku minta maaf untuk kejadian kemaren. Dan kamu, juga ingat. Jangan deket-deket dengan bintang laut itu. Ah, sama cowok lain juga nggak boleh."
Mata Elai mengerjap. Hingga di titik itu, ia sebenarnya tidak mengerti. Mengapa bisa Marcel mencintai dirinya seperti itu. Namun, menyingkirkan hal tersebut, Elai lantas berkata.
"Jangan ngomongin cowok lain di sini, Cel. Apalagi di kamar kita. Di atas tempat tidur kita."
Ekspresi geli tercetak di wajah Marcel. Dan ia tak mampu menahan desakan untuk melabuhkan satu kecupan kecil di ujung hidung Elai yang meruncing.
"Semenjak nyoba gaya baru, kamu makin pinter ya?" tanya Marcel menggoda. Dan ia mendapati bagaimana untuk kali ini, Elai turut tertawa bersamanya. "Kenapa? Kamu suka gaya yang tadi?"
"Hahahaha."
Tak menjawab, Elai justru kembali tertawa. Kali ini bahkan sampai matanya terpejam dan dagunya terangkat. Menampilan lehernya yang jenjang dengan warna kemerahan di sana. Hasil karya bibir Marcel tentunya.
Marcel terpana dengan tawa itu, tersenyum. "Loh? Malah ketawa? Ehm ... kalau suka, ntar kapan-kapan kita bisa pake gaya yang tadi. Gimana?"
Tentu saja, bukannya jawaban yang Marcel dapatkan, alih-alih justru tawa Elai yang makin tak terbendungkan. Hingga tak pelak lagi, ada buliran air mata di ujung mata Elai. Walau pasti, itu bukan air mata kesedihan. Malah sebaliknya, air mata tawa.
"Kamu ini bener-bener deh. Harus ya kamu bahas soal gituan?"
Marcel menyeringai. "Loh? Soalnya aku perhatiin kamu jadi berseri-seri banget," ujarnya seraya meneliti paras Elai yang di matanya tampak lebih bersinar. "Kamu suka nggak?"
Tau dengan pasti bagaimana sifat Marcel, Elai lantas mendehem dengan penuh irama. Bola matanya tampak berputar. Bergerak ke sana dan kemari berulang kali. Menyiratkan bahwa ia yang sedang berpikir.
"Apa ini yang kamu bilang dengan timun?"
Terlalu tidak terduga, tentu saja Marcel tidak mengira bahwa Elai justru akan menanyakan hal itu. Maka tidak aneh bila pada akhirnya Marcel kembali tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa?" tanya Marcel geli di sela-sela tawanya. "Karena keliatan lurus kayak timun gitu? Hahahaha."
Mata Elai membesar, tampak malu. Tapi, mau tak mau ia turut tertawa juga.
"Mungkin," kata Elai walau dengan kesan tak pasti. "Cuma ... ya yang tadi itu rasanya seger aja sih. Ups!"
Elai buru-buru menutup mulutnya. Tapi, tetap saja apa yang ia katakan sudah tertangkap oleh indra pendengaran Marcel.
"Eh eh eh?"
Marcel berusaha menahan Elai yang tampak ingin melepaskan diri dari rengkuhannya. Tentu saja, ia tak akan membiarkan cewek itu melarikan diri. Terutama setelah mengucapkan hal seperti itu.
"Tadi kamu ngomong apa?"
Elai memejamkan matanya. Menolak untuk melihat Marcel yang geli lantaran perkataannya tadi. Salah tingkah.
"Nggak ngomong apa-apa," kata Elai. "Udah ah. Aku mau tidur. Aku capek."
Marcel tertawa. Masih tertawa untuk beberapa saat hingga pada akhirnya Elai lelah sendiri menutup matanya. Dan justru menggantinya dengan satu delikan.
"Kalau masih ketawa, aku tidur di kamar lain loh."
Ajaib. Tawa Marcel langsung berhenti. "Oke. Kita tidur sekarang?"
Setuju, Elai pun mengangguk. "Iya."
Maka Marcel pun lantas berbaring dengan benar di sebelah Elai. Namun, tak luput untuk meraih tubuh polos istrinya itu ke dalam rengkuhannya. Di dalam selimut yang sama, mereka saling memeluk.
"Jadi ..."
Ketika sebentar lagi kesadaran meninggalkan dirinya, Elai mendapati suara Marcel kembali mendarat di indra pendengarannya. Mau tak mau membuat ia membuka mata, melihat pada cowok itu.
"... kamu suka timun?"
"Hahahaha."
"Padahal kamu belum nyoba yang terong loh."
"Marcel, berenti nggak? Aku beneran tidur di kamar lain nih. Hahahaha."
"Hahahahaha."
*
Sekarang, Elai menyadari bahwa hari-hari ia lalui dengan berbeda seperti dahulu. Hal yang mungkin terlambat ia sadari. Namun, setidaknya pelan-pelan kebiasaan baru itu pun lantas telah terbentuk.
Pagi hari, setelah Elai menikmati sarapan bersama dengan Marcel, cewek itu terbiasa akan mengantar kepergian Marcel ke kantor. Memang hanya sebatas pintu unit sih. Tentu saja itu karena Marcel yang tidak menginginkan Elai keluar dari sana kalau tidak perlu. Tapi, tetap saja. Elai bisa menikmati beberapa detik kebersamaan mereka dengan berpelukan manja. Dan menerima kecupan sayang yang selalu Marcel labuhkan di dahinya.
Di siang hari, persis seperti hari di mana terjadi keributan dengan Patrick, Marcel pun pulang andai tidak ada pekerjaan yang mendesak. Sekadar untuk menikmati makan siang yang telah disediakan oleh asisten rumah tangga mereka. Dan kemudian, Marcel pun kembali ke kantornya.
Dan malam harinya, setelah makan malam, sepasang suami istri itu akan bercengkerama dengan nyaman di kamar. Dan biasanya, obrolan-obrolan jenaka bernuansa nakal itu kemudian akan berlanjut pada praktek percintaan yang menguras tenaga.
Hingga di hari itu, Elai tidak tau entah sudah berapa lama sebenarnya pernikahan mereka berlangsung. Nyatanya, hari berganti hari nyaris tidak terasa baginya. Toh, ia tidak melakukan apa pun. Hanya bersantai. Khusus di akhir pekan, Marcel menyempatkan waktu untuk mengajaknya berkeliling. Sumpah! Marcel benar-benar memperlakukan dirinya bak putri raja. Yang mana sejujurnya, itu sempat membuat Elai sering bertanya-tanya. Mengapa bisa Marcel mencintai dirinya seperti itu? Terasa aneh sebenarnya.
Namun, mengabaikan rasa penasaran itu, Elai lantas beranjak untuk mengambil ponselnya dari dalam nakas. Alat komunikasi yang sudah lama ia nonaktifkan itu pada akhirnya menyala kembali. Dan entah mengapa, kala itu mendadak saja terngiang suara Patrick di benaknya.
"Aku mau ngubungi kamu. Tapi, aku baru sadar nomor kamu udah nggak aktif lagi. Dan dm aku juga nggak dibalas-balas."
Memikirkan itu, Elai lantas membuka aplikasi Instagram. Pada akunnya yang hanya memiliki tiga postingan. Dan ia langsung menuju pada kotak pesan. Di mana memang ada pesan dari Patrick yang belum ia baca.
[ patrick___ ]
[ Lai, kamu baik-baik aja? ]
[ Udah berapa lama ini aku nggak ngeliat kamu. ]
[ Kamu sehat kan? ]
[ Kirim nomor kamu yang baru, aku mau nelepon. ]
Dan entahlah, mungkin karena kebetulan yang sangat aneh, di saat Elai baru akan mengetik balasan pesan itu, mendadak saja Patrick menghubungi dirinya melalui panggilan video. Hingga karena terlalu kaget, tanpa sadar spontan saja Elai mengangkat panggilan itu. Tepat ketika wajah Patrick muncul di layar ponselnya, Elai merutuk dalam hati seraya sekilas melihat pada jam dinding.
Mudah-mudahan nggak keburu Marcel balik buat makan siang.
"Elai!"
Suara Patrick menarik perhatian Elai kembali. Membuat cewek itu langsung berpaling pada layar ponselnya dengan ekspresi salah tingkah. Dengan kejadian tempo hari, tentu saja saat ini aura di antara mereka berdua terasa berbeda. Tapi, pada akhirnya Elai berusaha untuk tetap bersikap seperti biasanya.
"Ha-halo, Pat," sapa Elai. "Kenapa?"
Sejenak, Patrick justru terdiam ketika mendengar Elai bertanya pada dirinya. Sempat membuat Elai berpikir bahwa saat itu sedang terjadi gangguan jaringan. Hingga ia kembali memanggil.
"Pat? Patrick?"
Jeda sejenak, kemudian pelan-pelan senyum mengembang di wajah Patrick. "Akhirnya aku bisa ngubungi kamu lagi."
"Ehm ... itu ...."
Perkataan Patrick tentu saja membuat Elai salah tingkah. Terutama jelas karena ia masih teringat tentang perbuatan Marcel padanya. Sedikit banyak membuat ia merasa tak enak. Maka dari itu, ia pun lantas meminta maaf.
"Aku minta maaf, Pat," ujarnya. "Untuk kejadian tempo hari. Marcel emang orangnya kayak gitu."
Tampak ada kesan terluka di sorot mata Patrick saat Elai mengatakan itu. Ia meringis. "Kamu beneran udah nikah sama dia?" tanyanya seraya menarik napas dalam-dalam. "Di-dia ... Marcel?"
Tanpa berkedip, Elai lantas mengangguk. "Pernikahan kami emang mendadak. Tapi, nanti pas resepsi, aku pasti bakal ngabarin kamu."
Dahi Patrick mengernyit. Kali ini sorot perih benar-benar terpancar dari sepasang bola matanya. Ia tampak terluka.
"Kamu nikah dengan cowok yang udah ninggalin kamu bertahun-tahun?" tanya Patrick menyeringai perih. "Sementara aku yang selalu ada untuk kamu selama ini justru kamu ...."
Tampak seperti tak mampu menyelesaikan kata-katanya, Patrick pada akhirnya justru mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Matanya terpejam untuk beberapa saat. Hingga ketika mata itu membuka, Elai mendapati warna merah di sana.
"Patrick, aku minta maaf," kata Elai cepat. "Tapi, dari dulu aku sudah jelasin ke kamu. Aku cuma nganggap kamu temen. A-a-aku---"
"Dia Marcel, Lai. Dia Marcel. Kamu masih ingat kan dia siapa?"
Ucapan Patrick yang memotong perkataannya membuat Elai tertegun. Ia tau maksud pertanyaan itu. Tau dengan pasti. Karena tepat setelahnya, Elai merasakan bagaimana ada gumpalan besar yang terasa menyumbat pangkal tenggorokannya. Membuat ia nyaris tak mampu menarik oksigen lagi.
"Dia Marcel ...."
Suara Patrick kembali terdengar. Membuat mata Elai berkedip dengan nanar. Mendengar perkataan Patrick selanjutnya.
"Cowok yang udah ninggalin kamu. Yang buat kamu sedih selama ini. Dan kamu justru nikah sama dia?"
"Pat-Patrick, aku---"
"Dia bakal ninggalin kamu lagi, Lai."
Dan Elai membeku. Tubuhnya mendingin karena vonis Patrick. Wajah cowok itu tampak mengeras ketika kembali berkata.
"Dia bakal ninggalin kamu lagi."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top