53. Gejolak Ungkapan
"Sial. Kamu cinta aku?"
Desisan itu mendapatkan respon datar Elai untuk beberapa saat lamanya. Bukan kata-kata yang Marcel dapatkan untuk pertanyaannya itu. Alih-alih, sorot tanpa ekspresi Elai yang ia peroleh. Hingga kemudian, setelah Marcel nyaris akan mendesak cewek itu lagi, ia justru melihat bagaimana Elai yang mencibir padanya.
"Nggak. Aku nggak cinta kamu. Aku kan bisa aja nikah sama siapa aja."
Marcel tau pasti. Itu kalimat sindirian. Sarkas. Terutama dengan ekspresi yang tercetak di wajah cewek itu. Marcel mengulum senyum. Dengan kedua tangan yang bergerak, meraih lengan atas Elai. Tapi, cewek itu langsung menggeliat. Pun kembali membawa tubuhnya untuk mengambil posisi sebaliknya. Membelakangi Marcel.
"Udah. Nggak usah pegang-pegang."
Senyum geli Marcel semakin tidak tertahankan lagi. Ia beringsut. Bertanya dengan bisikan di telinga istrinya itu.
"Beneran, Lai? Sejak kapan kamu cinta aku?"
Elai menggerakkan kedua pundaknya dengan abstrak saat mendapati Marcel yang kembali berusaha untuk meraih dirinya.
"Nggak. Siapa ngomong aku cinta kamu? Nggak usah GR jadi cowok."
Tepat setelah mengatakan hal itu, Elai berdiri. Tak membiarkan Marcel untuk menahan dirinya, tangan Elai terulur. Dengan cepat meraih satu vas bunga yang terletak di meja itu. Mengacungkannya tinggi-tinggi.
"Mau aku lempar sama vas bunga?" delik Elai. "Kalau mau, sini. Coba aja megang aku kini."
Glek.
Entah sarkas atau tidak, tapi kalau dilempar dengan vas bunga tentu saja kepala Marcel bisa berdarah.
"Ka-kamu beneran marah, Lai?" tanya Marcel seraya menahan pergerakannya. Tidak ingin mengambil risiko. "Aku kan udah minta maaf."
Tidak menurunkan tangannya, Elai masih mendelik. "Ya itu urusan kamu kalau kamu udah minta maaf. Tapi, bukan berarti rasa kesal aku udah hilang. Dan awas, aku peringatkan kamu. Kalau kamu nggak mau masuk rumah sakit gara-gara kepala bocor kena vas bunga ini, mending jangan coba deketin aku."
Wah!
Marcel benar-benar melongo. Ia tau, Elai tidak main-main. Dan Marcel sungguh tidak ingin kepalanya bocor. Ya kali baru selesai bulan madu eh ia langsung masuk ke rumah sakit. Gara-gara mendapatkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Kan tidak lucu.
Maka Marcel pun mengambil jalan tengah. Mengalah.
"Iya iya. Aku tau aku salah. Kalau kamu nggak mau aku deketin, ya udah. Tapi, jangan lama-lama ya?"
Namun, masalahnya adalah Elai itu anak bungsu. Yang selalu dimanja dan memiliki ego yang tinggi. Dan seharusnya Marcel tau itu. Bahwa membuat kesal Elai merupakan hal yang fatal.
Tak peduli dengan permintaan Marcel, nyatanya Elai tetap memasang benteng pada suaminya itu. Tidak mempedulikan bagaimana berkerasnya Marcel agar dirinya memaafkannya, Elai pun kerap menjaga jarak.
Seperti malam itu, setelah melewati dua malam tanpa memeluk Elai, Marcel merasa dirinya akan gila sebentar lagi. Maka dari itu ia pun bergerak pelan di atas tempat tidur itu. Beringsut perlahan-lahan. Mendekati Elai yang memilih berbaring di pinggiran dengan posisi membelakangi dirinya. Namun, sedikit lagi Marcel berhasil mencapainya, suara Elai terdengar.
"Kamu mau aku pukul sama lampu nakas?"
Marcel langsung berhenti. Tapi, tak urung juga ia mendengkus lelah. Setengah merajuk.
"Lai, mau sampe kapan kamu giniin aku? Ya ampun. Kita ini pengantin baru, Sayang."
"Sayang sayang. Nggak usah manggil aku kayak gitu. Buat geli aja."
Buru-buru Marcel menutup mulutnya. Mencegah tawanya untuk meledak. Sungguh. Ia benar-benar tidak ingin menantang Elai kalau itu menyangkut peralatan rumah tangga dan semua yang menyertainya.
"Dan sekali lagi," lanjut Elai kemudian. "Kalau kamu tetap ngangguin aku tidur, mending aku pindah kamar aja."
Jleb!
"Iya iya iya," kata Marcel buru-buru. "Aku nggak gangguin lagi. Asal kamu nggak pindah kamar."
Ya ... siapa tau saja kan nanti saat tidur justru Elai yang khilaf.
Hihihihihi.
Berbekal pada pengharapan itu, Marcel pun lantas memejamkan matanya. Mulanya sih tidak bermaksud untuk benar-benar tidur. Namun, lama-kelamaan rasa kantuk itu benar-benar datang. Membuat berat sepasang kelopak mata Marcel. Hingga pada akhirnya cowok itu benar-benar tertidur.
Beberapa saat berlalu. Elai yang memeluk guling perlahan membuka matanya. Lalu pelan-pelan ia pun membalikkan tubuh. Melihat pada Marcel. Mengamati wajah damainya. Kemudian memanggil dengan suara lirih.
"Cel .... Marcel ...."
Hening. Tak ada sahutan dari cowok itu. Bahkan sedikit geliat lantaran merasa terusik pun tidak ada. Marcel selayaknya cowok yang benar-benar lelap dalam tidur dan rasa lelahnya. Akibat seharian bekerja.
Namun, merasa belum yakin sepenuhnya dengan kenyenyakan yang membelenggu sang suami, Elai pun mengulurkan tangan. Menyenggol tangan Marcel dengan teramat sengaja. Pun kembali memanggil namanya.
"Marcel ...."
Dan masih hening. Kembali tak ada respon yang Elai dapatkan. Hingga kemudian mata cewek itu tampak mengerjap-ngerjap dengan kesan aneh. Seolah sedang menimbang sesuatu di benaknya. Sampai sedetik berlalu, lantas Elai menarik napas dalam-dalam. Perlahan sedikit bangkit dari posisinya. Teramat pelan demi memastikan bahwa tidak ada bunyi sedikit pun yang timbul, ia menghampiri Marcel.
Bertahan pada kedua sikunya, Elai memilih posisi menelungkup. Sekadar untuk bisa melihat pada wajah Marcel yang tampak damai. Namun, sejurus kemudian ia mengembuskan napas panjang. Seperti orang yang lelah.
"Kamu ini beneran buat orang kesal aja. Emang bakat kamu apa buat aku kesal? Mana pake acara berantem lagi. Kayak aku yang nggak bisa jaga diri sendiri aja."
Bibir Elai tampak mengerucut. Cemberut. Kalau diingat-ingat lagi tentang kejadian itu, sebenarnya banyak hal yang membuat Elai masih kesal pada Marcel. Tapi, tetap saja. Menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kekesalannya adalah ketidakpercayaan Marcel padanya.
"Posesif ya posesif. Tapi, nggak gini juga kali."
Dan kala itu Elai seolah baru menyadari bagaimana Marcel yang terkadang bisa menjadi benar-benar gila. Dulu sebelum pernikahan mereka berlangsung, Marcel pun menyuruh petugas keamanan untuk menjaga lift. Gila kan?
Sekarang? Bahkan hanya satu pegangan tangan yang dilakukan Patrick, berujung pada darah di hidung cowok itu. Wah! Elai tidak berani membayangkan kalau sampai ada yang main mata dengan dirinya. Mungkin besok-besok orang itu justru terpaksa harus melihat dengan mata kaki lagi.
Hiks.
Hanya saja, ketika Elai membayangkan semua bentuk penjagaan yang terkadang terkesan berlebihan itu, dirinya pun mau tidak mau teringat akan sesuatu.
"Tapi, kamu nggak bakal tau rasa khawatir aku, Lai. Aku beneran cinta sama kamu. Jangankan ngebayangin kamu sama yang lain, ngeliat bintang laut itu megang tangan kamu aja aku udah mual-mual."
Untuk seorang cewek yang terbiasa mendapatkan ungkapan cinta dan sayang berupa barang-barang mewah –ya dari kecil Elai memang jarang bersama dengan orang tua-, mendengar hal itu tentu saja adalah hal yang sangat berharga. Membuat ia merasa benar-benar dicinta.
"Segitunya ya kamu cinta aku?"
Pertanyaan itu spontan saja meluncur dari bibir Elai. Dengan senyum yang terkulum. Refleks dari ingatan yang membayang di benaknya.
Namun, ketika itu Elai tidak menyadari satu hal yang penting. Yaitu bahwa dari tadi ada sepasang telinga yang mendengar setiap perkataannya dengan teramat jelas. Hingga wajar saja Elai kaget ketika mendapati satu suara yang menjawab pertanyaannya.
"Segitunya. Amat sangat."
Mata Elai melotot. Kaget. Panik. Membuat ia membeku. Tapi, ketika pelan-pelan Marcel membuka matanya, ia sontak bergerak. Berniat untuk melarikan diri. Yang mana tentu saja ia tidak berhasil. Tangan Marcel dengan cepat menahan tubuh Elai.
"Ma-Marcel," kata Elai gagap. "Kamu nggak tidur?"
Menyunggingkan seringainya, Marcel mengangkat bahunya sekilas. "Tadi sih sebenarnya aku beneran udah tidur. Tapi, karena kamu deket-deket, ya aku bangunlah."
Elai menggeliat di dalam pelukan Marcel yang kuat. Masih mencoba untuk melepaskan dirinya. Walau jelas sekali, itu adalah hal yang mustahil.
"Ya ... ya ... ya udah kalau gitu. Kamu lanjutin lagi tidurnya."
Dengan penuh irama, Marcel menggeleng. "Kamu udah bangunin aku loh. Mana mungkin aku bisa tidur lagi sebelum dibuat capek?"
What?!
Tangan Elai berusaha mendorong. Namun, semua tak berarti dengan kekuatan Marcel yang menahannya. Bahkan sebaliknya. Geliat dan usaha penolakan Elai justru menimbulkan hasrat lain di dada Marcel.
Marcel bergerak. Seraya memastikan Elai tetap tak berkutik dalam rengkuhannya, ia membalikkan posisi mereka. Menahan Elai di bawah tubuhnya, Marcel di atas Elai layaknya sang penguasa.
Marcel membiarkan bobot tubuhnya benar-benar membebani tubuh Elai. Kedua tangannya bergerak. Memegang masing-masing pergelangan tangan Elai di sisi kepalanya. Dengan erat.
"Cel," lirih Elai. "Lepasin aku. Please ...."
Bola mata Marcel bergerak liar. Mengamati wajah Elai yang memerah dengan rambut yang tampak berantakan. Gaun tidur berbahan satin yang dikenakannya tampak tersingkap. Memperlihatkan sebagian payudaranya yang menyembul di baliknya.
Marcel menggeleng. "Nggak. Aku nggak bakal lepasin kamu," katanya dengan suara berat. "Aku udah nahan diri, tapi kamu sendiri yang nyulut aku. Sekarang, kamu tanggung sendiri akibatnya."
Napas Elai memberat. Mendapati bagaimana sorot mata Marcel yang tampak berbeda. Berkabut. Gelap. Penuh dengan gairah. Namun, entah mengapa kali ini ia merasa ada kesan yang asing di sana. Kesan yang membuat alarm di kepalanya berbunyi. Seolah ingin memberikan peringatan padanya. Agar ia waspada.
"Aku nggak mau kamu disentuh sama cowok lain."
Elai meneguk ludahnya. Merasakan bagaimana Marcel yang perlahan membuka kedua kakinya dengan lututnya. Lalu menempatkan dirinya di sana.
"Patrick nggak nyentuh aku, Cel. Di---"
"Ssst," desis Marcel. "Aku nggak mau ada nama cowok lain di sini. Di kamar kita. Di atas tempat tidur kita." Matanya menajam. "Kamu paham?"
Tubuh meremang, Elai pelan-pelan menganggukkan kepalanya. Terbata, ia menjawab. "I-i-iya ...."
Tersenyum, Marcel perlahan tersenyum. "Bagus."
Namun, satu kata itu entah bagaimana justru menghadirkan aura yang berbeda di sekeliling Elai. Membuat ia tetap memasang sikap antisipasi. Untuk semua kemungkinan yang bisa terjadi. Dan semua itu terbukti. Karena di detik selanjutnya, tepat setelah Marcel mengatakan hal itu, Elai mendapati ciuman yang teramat kuat mendarat di bibirnya.
Dua malam tidak bisa menyentuh Elai jelas adalah hukuman terberat yang pernah didapatkan oleh seorang Marcel. Mereka pengantin baru. Dan seperti yang seluruh dunia tau bahwa cowok itu begitu mencintai istrinya. Maka seharusnya Elai bisa mengerti mengapa pada akhirnya Marcel tidak mampu menahan luapan itu.
Bibir Marcel menekan. Tidak memberi celah sedikit pun ketika ia melumat bibir Elai dengan teramat kuat. Lekat. Erat. Lalu berganti dengan dalamnya pagutan. Semua dilakukan Marcel dengan begitu menggebu. Hingga membuat Elai tak bisa bernapas. Mendorong ia untuk berusaha melepaskan diri.
Namun, dengan dua tangan yang masih ditahan Marcel di sisi kepalanya, Elai benar-benar tak mampu menghindar dari ciuman itu. Terutama ketika Marcel menggigit bibir bawahnya. Membuat Elai sontak membuka mulutnya. Ingin menjerit, tapi yang terjadi justru lidahnya yang diisap oleh Marcel. Jeritan pun lenyap di dalam rongga mulut Marcel. Berganti dengan godaan sensual di sana. Perpaduan antara lumatan yang menuntun dan saliva yang hangat.
Hingga ketika Elai merasa dirinya nyaris pingsan lantaran kekurangan udara, ia mendapati genggaman Marcel menghilang. Membuat tangannya bebas. Dan di saat itu, Elai berusaha untuk mendorong Marcel. Ia tampak gelagapan.
"Ma-Marcel---"
"Breeettt!"
Mata Elai melotot. Melihat alasan mengapa Marcel melepaskan tangannya tadi. Itu adalah karena selanjutnya Marcel dengan gelap mata merobek gaun tidur Elai. Menghempaskannya ke sembarang arah.
"Kamu nggak tau takutnya aku kehilangan kamu, Lai."
Di saat Elai masih kaget dengan tindakan Marcel yang merobek gaun tidurnya, beberapa detik kemudian ia mendapati bagaimana suaminya itu sudah melumat daun telinganya. Rasa terkejutnya langsung saja berubah menjadi desahan.
"Kamu istri aku kan?" tanya Marcel setelah melepaskan daun telinga Elai. "Jawab."
Meneguk ludah, Elai berusaha untuk tidak hanyut dalam cumbuan itu. Ia mengangguk. "I-i-iya. Aku istri kamu."
"Istri aku nggak boleh dipegang cowok lain. Aku nggak suka. Apa kamu mau aku kurung lagi?" Marcel tampak meringis. "Tapi, aku nggak suka ngeliat kamu bosan sendirian. Cuma aku nggak punya pilihan. Aku ... aku ...." Marcel berusaha menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak mau kehilangan kamu."
Menggigit bibir bawahnya, Elai lantas melihat ekspresi yang tercetak di wajah Marcel. Dan sungguh! Elai yakin Marcel tidak berbohong sedikit pun tentang apa yang ia katakan tadi. Bahkan Elai bisa melihat di mata Marcel, ada banyak emosi di sana. Kemarahan, ketakutan, dan juga rasa cinta yang teramat dalam.
Itu adalah hal yang sulit. Selama ini Elai tidak pernah berusaha untuk mengerti perasaan orang lain. Tidak pernah. Memangnya ia siapa yang harus memahami orang lain?
Namun, kala itu, untuk pertama kalinya, Elai memikirkan sesuatu.
"Segitunya kamu nggak mau kehilangan aku?"
Mata Marcel tampak memerah. Seperti ia yang akan menangis. "Aku pernah bertahun-tahun nggak ngeliat kamu, Lai. Dan aku nggak mau ngerasainnya lagi."
Kali ini, Elai seperti merasakan bongkahan besar di pangkal tenggorokannya. Nyaris seperti menghambat aliran pernapasannya. Tapi, setidaknya ia masih memiliki tenaga untuk mengangkat kedua tangannya. Demi menangkup pipi Marcel.
Elai berbisik. "Kamu nggak akan kehilangan aku, Cel. Nggak bakal. Karena aku istri kamu."
Dan sebagai penutupnya, Elai menarik wajah Marcel. Memberikan satu ciuman yang teramat manis di bibir cowok itu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top