52. Klarifikasi Rasa
Baru berapa jam sih sebenarnya Marcel tidak melihat Elai? Ehm ... mungkin baru empat jam, kurang lebih. Tapi, lihatnya cowok itu. Tepat sebelum jam menunjukkan angka dua belas, ia sudah beranjak dari ruangannya. Menghampiri meja sekretarisnya sejenak dan cowok itu berkata.
"Saya mau makan siang di luar."
Sekretaris cantik dengan tatanan rambut yang rapi itu memberikan anggukannya. Dengan sopan membalas. "Baik, Pak."
Tak mengatakan apa-apa lagi, Marcel pun tak membuang waktunya. Langsung beranjak dari sana. Memasuki satu lift khusus yang lantas mengantarkan dirinya menuju ke pelataran kantor. Di mana Seno sudah menunggunya.
Membiarkan Seno mengendarai mobil itu dengan tenang, Marcel mengeluarkan ponsel dari dalam saku dalam jas yang ia kenakan. Ibu jarinya bergerak mengusap di layar. Membuka kuncinya. Lantas menyasar pada aplikasi pengirim pesan bawaan ponsel. Berencana untuk mengirim kabar pada Elai, namun gerakan jarinya berhenti.
Ehm ....
Siang ini kira-kira dia lagi ngapain ya?
Aku kasih tau nggak kalau aku mau ngajak dia makan di luar?
Atau ....
Mendadak saja suara Elai seperti mengiang di benaknya.
"Kamu bisa nggak sih kalau ngomong nggak pake acara ngejutin? Mau liat aku mati jantungan apa?"
"Cel! Astaga! Kamu itu beneran mau buat aku jantungan?!"
"Udah aku bilangin jangan suka ngejutin aku, Cel. Astaga."
Senyum simpul terbit di wajah Marcel. Ah, sekarang ia membayangkan bagaimana terkejutnya wajah Elai ketika mendapati kedatangannya.
Dia pasti kaget.
Tapi, kayaknya dia bakal seneng.
Karena sungguh! Sudah memasuki minggu kedua pernikahan mereka, Marcel belum mendapati tragedi sandal melayang ataupun sapu terbang. Alih-alih yang ada justru tragedi pakaian melayang ataupun dalaman terbang. Ckckck.
Sekarang Marcel benar-benar tidak sabar lagi ingin bertemu dengan Elai.
Sengaja menghindari keramaian yang biasa terjadi di pelataran gedung apartemen –terutama saat itu menjelang istirahat siang-, Marcel meminta Seno untuk membawanya ke basement saja. Dari sana ia akan segera---
Tunggu!
Mata Marcel menyipit. Tepat ketika Seno menghentikan laju mobilnya. Ia melihat sesuatu yang samar di seberang sana. Sesuatu yang samar, namun sayangnya sangat familiar di retina Marcel.
E-E-Elai ...?
Ngapain dia dengan bintang laut itu?
Tatapan mata Marcel tentu langsung menuju pada tangan Elai. Yang dipegang oleh Patrick. Dan mereka tampak berbicara.
Perut Marcel rasanya mual-mual ketika melihat bagaimana Patrick yang tampak semringah. Membuat ia langsung turun dari mobil. Berjalan dengan cepat menuju mereka.
"Aku rindu banget sama kamu. Astaga. Gimana kalau ntar malam kita dinner bareng? Aku tau resto baru yang lagi rame akhir-akhir ini."
What?!
Marcel menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tidak langsung menerjang cowok yang jelas-jelas sedang menggoda istrinya itu.
"Dinner bareng? Ehm ... kayaknya nggak bisa deh."
Oke.
Seenggaknya ada hal bagus di sini.
Elai menolak. Itu membuat kemarahan di dada Marcel tidak membesar. Entahlah apa yang akan terjadi kalau Elai justru memberikan jawaban yang lain untuk tawaran itu.
"Kenapa? Kamu udah ada janji? Ehm ... atau kalau besok gimana?
"A-aku ragu deh bisa makan bareng sama kamu."
Kembali mendengar suara Elai, Marcel bisa menarik kesimpulan. Istrinya benar-benar tidak menerima ajakan itu. Maka tentu saja otak Marcel menarik satu kesimpulannya.
Ini cowok perlu banget dikasih pelajaran!
"Lepasin tangan kamu dari Elai nggak?"
Pada akhirnya Marcel bersuara pula. Terdengar tenang. Tapi, anehnya ampuh sekali untuk membuat Elai menarik tangannya. Lantas, mata mereka beradu. Ada syok terpancar di manik Elai yang bening itu.
"Ma-Marcel ...."
Mengalihkan pandangannya dari mata Elai, Marcel langsung membidik Patrick. Senyum lebar di wajahnya sontak menghilang. Tergantikan oleh kerutan di dahinya. Bingung.
"Loh? Kamu?" Patrick berpaling pada Elai. "Kamu bilang udah mecat bodyguard kamu. Kenapa dia muncul lagi?"
Meradanglah Marcel.
"Bodyguard?" tanyanya mengulang satu kata itu. Tak yakin entah ia tujukan pada siapa, Elai atau Patrick. Yang jelas, selanjutnya Marcel kembali menuju pada cowok itu. "Iya. Aku emang bodyguard Elai. Bodyguard 24 jam dia. Dan jangan harap aku bisa dipecat."
Elai meneguk ludah. Sudah dua kali ia melihat bagaimana Marcel yang tidak segan-segan menampilkan sikap menantangnya. Dulu waktu Patrick nyaris memeluknya. Juga saat ada sekumpulan anak remaja yang hampir menabrak dirinya. Lihatlah. Sekarang wajah Marcel sudah mengeras.
Elai buru-buru melangkah. Meraih tangan cowok itu dan bertanya.
"Ka-ka-kamu pulang?"
Namun, kali ini Marcel seolah tidak mendengar pertanyaan itu. Alih-alih, ia tetap bicara pada Patrick.
"Nggak usah sok mau ngajak Elai makan atau apalah. Dia nggak bakal kekurangan makan sama aku."
Ya salam.
Elai memejamkan matanya. Memang, ia tidak ingin menerima ajakan makan malam Patrick. Tapi, bukan berarti Marcel harus mengatakan hal seperti itu.
"Cel. Ya ampun. Kita ke atas aja yuk."
Elai berusaha menarik Marcel. Ingin mengajaknya beranjak dari sana, namun mendadak ia justru mendapati Patrick yang menahan satu tangannya yang lain. Mata Elai melotot.
"Lai, kamu---"
"Dibilangin jangan megang Elai!"
Tidak sampai menuntaskan perkataannya, Patrick mendapati tubuhnya yang langsung didorong oleh Marcel. Membuat ia limbung. Nyaris jatuh ke belakang andai ia tidak sigap memperbaiki posisi kakinya.
Namun, secepat itu Patrick kembali berdiri dengan tegak, maka secepat itu pula Marcel maju dengan kepalan tangannya yang melayang. Mendarat dengan telak di hidung Patrick hingga menimbulkan suara yang mengerikan di telinga Elai.
"Marcel!"
Jerit Elai terdengar menggema di parkiran itu. Dengan kedua tangan yang langsung memegang kepala, Elai melotot. Tak percaya bahwa Marcel dengan terang-terangan menyerang Patrick.
Di sana, Patrick tambah menggeram. Perpaduan antara rasa sakit dan marah yang menjadi satu. Tampak ia mengusap hidungnya sekilas. Ada cairan bewarna merah yang pekat pelan-pelan mengalir di sana.
Elai meneguk ludah. "Marcel, kamu nggak perlu kayak gitu. Astaga! Kamu mau buat keributan?"
Mata Marcel melotot besar. "Dia yang mancing-mancing," katanya seraya menuding Patrick. "Udah dibilangin jangan pegang-pegang kamu. Tapi, dia nggak dengar kan?"
"Tapi, kamu nggak perlu sampe nonjok dia!"
"Itu karena dia berani-beraninya megang tangan kamu!" tukas Marcel. Dan ia beralih pada Patrick. "Lebih dari megang tangan, lebih juga yang bakal kamu dapatkan!"
"Huh!" dengkus Patrick seraya merapikan bajunya yang sedikit kusut lantaran perbuatan Marcel tadi. Ia tampak meringis dengan ekspresi mencemooh. "Kamu ini beneran cowok yang nggak tau diri ya? Cuma bodyguard aja, tapi udah yang kayak punya hak untuk ngatur-ngatur Elai."
"Aku? Nggak tau diri?" Marcel menyeringai. "Kayak yang punya hak? Hah! Apa tinju aku belum cukup?!"
Wajah Patrick mengeras. "Oh, kamu nantangin aku? Kamu pikir aku bakalan takut?"
"Bagus kalau gitu. Ayo kita selesaikan dengan cara rimba!"
Kengerian yang menghinggapi Elai, membuat ia berusaha menahan Marcel. "Marcel, please. Kita pergi dari sini."
Marcel berusaha melepaskan diri dari Elai. Matanya tampak memerah. Pun keringat telah timbul di wajahnya.
"Kamu nggak liat dia nantangin aku? Cari perkara sama orang yang salah dia!"
Elai memejamkan matanya dengan dramatis. Menarik napas, ia tau bahwa keributan benar-benar bisa terjadi. Dan ia tidak ingin terlibat oleh kekacauan itu. Ia tidak ingin satu tonjokan Marcel harus diikuti oleh tonjokan-tonjokan lainnya. Maka pada akhirnya Elai maju. Tampak meringis berkata pada Patrick.
"Dia bukan bodyguard aku, Pat."
Mengabaikan ekspresi mengejek di wajah Marcel, Patrick lantas berpaling pada Elai. "Jadi, dia siapa?"
Elai menarik napas. "Dia Marcel."
Demi satu nama itu, Patrick lantas membeku. Wajahnya tampak memucat dengan sebulir keringat yang mengalir di sisi wajahnya. Dan ia pun seolah baru tersadar, bahwa memang dengan nama itulah Elai memanggil cowok itu.
"Ma-Marcel ...?"
Kepala Elai mengangguk sekali. "Dia suami aku."
Dan ketika Elai sudah menuntaskan kalimatnya, Marcel meraih tangan Elai. Berniat untuk langsung beranjak dari sana. Tepat setelah ia memberikan satu umpatannya pada Patrick.
"Kayak yang punya hak my ass!"
*
"Sekali lagi. Sekali aja lagi dia berani nyentuh kamu, bakal aku iris jadi lima bagian itu bintang laut!"
"Cel, astaga. Udah deh. Perkara kayak gitu aja kamu besar-besarin!"
"Aku udah bilangin, Lai. Aku nggak suka kamu dekat-dekat dengan dia. Tapi, kamu masih juga ngeladenin dia?"
"Hah?! Kamu denger kan obrolan kami tadi? Aku nolak ajakan dia, Cel. Dan please ya. Aku bukannya deket-deket dengan dia. Kami itu kebetulan aja ketemu di lift."
"Kebetulan yang sempurna banget. Apa kalian janjian dulu baru kebetulan ketemu di lift?"
"Kamu nuduh aku? Tuh lihat! Hp aku aja nggak aktif dari kemaren. Dan dia bahkan nggak tau nomor aku yang baru."
"Aku bukannya nuduh. Tapi, liat aja sendiri. Dari sekian banyak orang yang kemungkinan ketemu sama kamu di lift, eh orangnya malah bintang laut itu. Dan ini apa? Kamu mau pergi ke mana sendirian?"
"Ya mana aku tau kalau aku bakal ketemu bintang laut itu di dalam lift? Atau gimana kalau gini? Ini gedung punya mertua aku kan? Ya udah. Siapkan satu lift khusus buat aku. Jadi aku nggak bakal ketemu sama orang lain, kecuali kamu."
Mata Marcel melotot. "Kamu beneran---"
"Bentar," potong Elai kemudian. "Satu hal yang perlu kamu tau. Aku keluar itu mau ke salon. Aku bosan sendirian di rumah. Ini kayak yang kebanting banget tau nggak sih? Semingguan aku deket-deket terus sama kamu. Sekarang aku mendadak ditinggal sendirian di sini. Aku ngerasa kesepian!"
Marcel sontak tertegun. Entah bagaimana sistem kerja otak cowok itu, yang pasti ada kesimpulan lain yang diambil oleh pikirannya. Membuat ia jadi salah tingkah. Dan pelan-pelan, ia malah tersenyum.
"Kamu kangen aku?"
Elai yang dari tadi marah-marah, tidak terima karena dituduh Marcel, sontak melongo. Bingung. Dan beberapa saat kemudian barulah ia menyadari apa yang telah ia katakan tadi.
Mengatupkan mulutnya dengan rapat, Elai tampak cemberut. Untuk kemudian barulah ia mendelik.
"Nggak!" katanya dengan tegas. "Lagian kenapa kamu balik siang ini? Ah, mentang-mentang bos? Jadi seenaknya bisa balik kapan aja?"
Marcel melangkah. Berusaha mendekati Elai, tapi cewek itu justru beranjak. Membanting tasnya di atas sofa. Lalu duduk dengan kesal di sana. Marcel pun menyusul. Meraih tangan Elai walau jelas sekali ada penolakan di sana.
"Aku sengaja banget balik karena mau ngajak kamu makan siang bareng," kata Marcel lembut. Entahlah, mungkin karena perkataan Elai tadi, kemarahan yang dirasakannya perlahan menguap. "Kita makan di luar? Mau?"
Membuang muka ke arah lain, Elai menarik tangannya sekuat tenaga. Hingga terlepas dari pegangan Marcel. Ia bersedekap. Wajahnya tampak masih kesal.
"Nggak. Aku nggak mau makan. Apalagi kalau makan di luar. Siapa yang tau? Kali aja ntar di lift aku ketemu sama orang lain. Terus di resto pasti penuh sama orang-orang. Aku nggak mau jadi pusat perhatian di depan umum kalau mendadak ada terjadi perkelahian."
Omelan Elai membuat Marcel geli. Dengan menggaruk ujung pelipisnya dengan satu jari, ia pun lantas menarik napas dalam-dalam.
"Kamu beneran nggak ada janjian dengan bintang laut itu kan?"
Hening tercipta. Elai memilih untuk tidak menjawab pertanyaan itu. Karena jelas sekali, dari sudut pandangnya, Elai merasa penjelasannya tadi sudah cukup. Ia tidak berbohong sama sekali.
Menarik napas dalam-dalam, Marcel menyadari bahwa cara tercepat untuk mendinginkan kembali suasana yang panas itu adalah dengan mengakui kesalahannya. Lagipula ia pun sadar bahwa memang sewajarnya ia melakukan itu.
"Elai," panggil Marcel lembut. "Aku minta maaf. Aku udah nuduh kamu. Ini bukan pembelaan, tapi sumpah. Aku beneran emosi kalau ngeliat kamu sama cowok lain."
Bergeming, Elai tetap memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Namun, bukan berarti Marcel menyerah.
"Kamu mau kan maafin aku?" tanya Marcel lagi. "Kita nikah belum ada dua minggu loh. Masa udah ribut aja sih?"
Elai masih diam. Dan sekarang, Marcel nyaris frustrasi.
"Elai, aku tau aku salah. Aku beneran minta maaf. Tadi itu cuma spontanitas aja. Aku beneran takut bintang laut itu deket-deket kamu. Aku takut kamu direbut dia."
"Hah?!"
Memang sih Marcel ingin mendengar respon Elai untuk permintaan maafnya. Tapi, bukan dengan ekspresi melongo seperti itu. Terang saja membuat Marcel mengerjap-ngerjapkan matanya. Bingung dengan bagian mana dari perkataannya yang membuat Elai seperti itu.
"Direbut dia?"
Oh, ternyata itu.
"Kamu pikir aku barang? Yang bisa direbut seenaknya?"
Marcel salah tingkah. "Ya ... nggak gitu juga kali, Lai. Tapi---"
"Kalau aku emang ada perasaan sama bintang laut itu," potong Elai seraya mengangkat tangannya. Jari telunjuknya menunjuk ke sembarang arah. "Udah dari dulu aku jadian sama dia. Kamu nggak tau kan? Dia udah ngejar-ngejar aku dari SMA. Tapi, buktinya apa? Aku tetap nikah sama kamu!"
Memaku mata Elai, Marcel lantas meraih tangan Elai yang terangkat. Memegangnya. Kali ini bertekad tidak akan membiarkan Elai melepaskan diri darinya.
"Aku pikir kamu beneran kenal aku, Cel. Kamu tau aku dari kecil. Memangnya selama ini ada orang yang bisa ngedikte aku?" Elai tampak begitu kesal. "Udah. Lepasin tangan aku."
Elai menarik tangannya. Berusaha untuk lepas dari genggaman Marcel. Tapi, tidak berhasil.
"Elai, aku minta maaf."
Elai yang masih berontak, kali ini berhenti bergerak ketika merasakan ada yang berbeda di suara Marcel. Dan di saat ia mengangkat wajah, ia mendapati sorot yang lain di mata cowok itu. Tak mampu ia terjemahkan dengan kata-kata. Seperti perpaduan antara rasa takut dan juga keresahan.
"Tapi, kamu nggak bakal tau rasa khawatir aku, Lai. Aku beneran cinta sama kamu. Jangankan ngebayangin kamu sama yang lain, ngeliat bintang laut itu megang tangan kamu aja aku udah mual-mual."
"Ya ampun. Kamu nggak---"
"Kamu nggak tau, Lai," potong Marcel kemudian. "Ini risiko kalau cinta bertepuk sebelah tangan. Aku---"
"Cinta bertepuk sebelah tangan?"
Kali ini, justru Elai yang memotong perkataan Marcel. Dan itu membuat Marcel menatap lekat pada Elai. Seperti otaknya yang kemudian dengan teramat cepat menyimpulkan sesuatu yang lain lantaran pertanyaan itu.
"Sial," desis Marcel. "Kamu cinta aku?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top