51. Adaptasi Euforia

Euforia pengantin baru memang benar-benar masih menyelingkupi Elai dan Marcel. Dan sepertinya, seminggu di Maldives tidak cukup untuk memuaskan pengantin baru itu. Lihat saja, pagi itu di saat Marcel harus pergi ke kantor, ia masih sibuk menahan Elai di pelukannya. Bergelung manja di balik selimut.

Gelagapan, Elai berusaha menahan dada polos Marcel. Dengan mata yang tak fokus, ia mencoba untuk mengingatkan suaminya itu.

"C-Cel .... Kamu belum mau siap-siap ke kantor?"

Namun, Marcel merespon pertanyaan itu hanya dengan gumaman gairahnya. Tepat di lekuk leher Elai. Sembari menebar kecupan demi kecupan. Dengan tangan yang bergerak liar di balik selimut itu. Meraih pinggang Elai. Lantas turun ke bawah. Membelai satu tempat di mana Elai langsung tersentak karenanya.

"Kamu basah, Lai."

Elai menggigit bibir bawahnya. Berusaha untuk menutup kedua kakinya, namun Marcel dengan teramat sengaja justru membawa ibu jarinya untuk mempermainkan klit Elai. Sontak saja membuat cewek itu menahan napas.

"Ma-Marcel," ucap Elai dengan tersengal. "Gimana aku nggak basah kalau kamu giniin aku?"

Bibir Marcel yang semula sibuk memberikan rayuannya di sepanjang leher Elai, berhenti bergerak. Alih-alih melanjutkan rayuannya, ia justru tersenyum di sana. Hingga kemudian pelan-pelan ia mengangkat wajah, melihat pada Elai yang sudah terengah-engah.

"Jadi gimana?" tanya Marcel menggoda. "Mau kita terusin nggak? Soalnya aku juga udah bangun nih."

Mata membesar. Mulut menganga. Itu adalah ekspresi yang langsung terpampang di wajah Elai ketika mendengar perkataan tersebut. Dan itu belum ditambah dengan tindakan Marcel yang lantas membawa satu tangan Elai. Menyelinap ke bawah sana. Menuntunnya untuk menyentuh kejantanannya yang sudah menegang.

Glek.

Persis seperti yang ia katakan tadi.

Memaku tatapan Elai, Marcel lantas membiarkan tangan cewek itu benar-benar mendarat di kejantanannya. Membiarkan waktu berlalu untuk beberapa detik, Marcel memilih untuk menunggu. Apakah Elai tetap akan mendesaknya agar segera bersiap ke kantor atau---

Satu usapan Marcel rasakan. Sontak membuat ia menggeram. Dan mendengar suara berat itu, Elai tersentak. Membuat pergerakan tangannya berhenti. Namun, dengan ekspresi meringis, Marcel berkata lirih.

"Please, jangan berenti. Terusin, Lai."

Tampak tenggorokan Elai naik turun ketika meneguk ludah yang terasa menggumpal di pangkal tenggorokannya. Ada sorot keragu-raguan di matanya yang bening. Karena bagaimanapun juga, Elai tak pernah menyentuh seorang pria seperti itu. Tapi, rasa penasaran itu timbul. Mendorong ia untuk akhirnya menggerakkan jemarinya. Pelan-pelan, terasa membelai. Dan ia melihat bola mata Marcel berputar. Lalu ia memejam. Semakin menggeram dengan kasar.

"Aaargh ...."

Dahi Elai mengernyit. Ketika secara tak sengaja jarinya menyentuh satu kelembaban di ujung kejantanan itu. Namun, sejurus kemudian ia justru membawa kelembaban itu untuk menyelimuti keseluruhan kejantanan Marcel. Hingga sesaat setelahnya, ia mendapati Marcel menahan tangannya.

"Aku nggak bakal bisa ke kantor sebelum bercinta dengan kamu, Lai."

Itu layaknya kalimat pemberitahuan. Sama sekali bukan kalimat permintaan izin. Jelas sekali. Karena tepat setelah Marcel mengatakan itu, tangannya langsung menyibak selimut yang terasa mengganggu. Demi mempermudah dirinya untuk meraih kaki Elai, mengangkatnya hingga membuka celah kewanitaan Elai. Dan lantas ia pun langsung menghunjamkan kejantanannya.

"Aaah ...."

Elai terpekik kecil. Perpaduan antara rasa kaget dan penuh yang membuat ia merasa membuncah. Sementara Marcel, seakan tak bisa menunggu lagi, ia pun langsung bergerak. Membawa kejantanannya untuk keluar dan masuk berulang kali, menikmati buaian kewanitaan Elai yang melayangkan perasaannya.

Tak butuh waktu lama untuk Elai, pada akhirnya cewek itu pun mengganti pekikan kagetnya menjadi desahan dan lirihan. Jelmaan dari rasa hanyut yang terasa bagai simfoni indah di telinga Marcel. Membuat cowok itu semakin bersemangat. Semakin bergairah. Semakin terpacu untuk menggerakkan pinggangnya berulang kali.

Elai mengangkat kedua kakinya, mengalungkannya di pinggang Marcel. Mempermudah keinginan cowok itu untuk masuk semakin dalam. Membiarkannya menuntun mereka berdua untuk mencapai kenikmatan itu bersama.

Marcel merengkuh Elai dan Elai pun membalas dengan tak kalah eratnya. Pasrah ketika merasakan hunjaman demi hunjaman yang Marcel berikan membuat ia seperti terbang ke angkasa. Terutama ketika Marcel mencumbu daun telinganya. Sungguh! Perasaan Elai tak mampu ditahan lagi.

Hingga kemudian, napas Elai pun berubah pendek-pendek. Ia merengek. Nyaris seperti orang yang ingin menangis ketika merasakan desakan di kewanitaannya. Membuat ia semakin menarik Marcel. Dan cowok itu mengerti. Maka dari itu Marcel menghunjam semakin cepat dan semakin dalam. Membiarkan benturan demi benturan terjadi di dalam sana. Sampai pada akhirnya Elai pun memekik panjang. Menyebutkan namanya.

"Marcel!!!"

Dan ledakan kenikmatan yang menerpa Elai membuai kejantanan Marcel. Otot-otot di dalam sana seperti bergerak mencengkeram. Memberikan sensasi liat, erat, dan juga hangat. Membuat Marcel terlena. Semakin terpacu.

Marcel menahan Elai. Menindihnya kuat-kuat. Dan lantas memberikan hunjaman terakhir sebelum pada akhirnya ia meledak. Membiarkan kejantanannya memuntahkan benih cintanya di dalam rahim sang istri.

*

Beruntung sekali di hari pertama setelah melalui perjalanan bulan madunya Marcel tidak terlambat datang ke kantor. Walau memang tidak akan ada yang memarahinya, sedikit banyak hal itu lumayan bisa memberikan keresahan untuk Marcel. Menduga seperti apa dirinya akan dipandang karyawannya sendiri. Ck.

Namun, berbicara mengenai ketepatan waktunya pergi ke kantor, Marcel sedikit merasa lega karena bangun lebih cepat tadi pagi. Dan itu membuat Marcel berencana untuk selalu bangun lebih awal dari biasanya. Sungguh! Mendapati Elai dalam keadaan polos di tiap pagi pasti mengusik kewarasan dirinya. Walau Marcel tidak berniat, tubuhnya seolah memiliki pikirannya sendiri.

Dan tentu saja, kepolosan Elai di pagi hari tidak lepas dari tindakan Marcel yang selalu memastikan sang istri untuk tidak berpakaian setiap mereka akan tidur. Ehm ... bukan rahasia lagi bila sebelum tidur mereka melakukan satu dua aktivitas suami istri yang menyenangkan. Lalu setelah kegiatan percintaan itu selesai, Elai yang kelelahan pasrah saja membiarkan tubuhnya tetap polos di balik selimut. Sementara Marcel, tentu saja sangat menyukainya. Yang mana sepertinya, diam-diam Elai pun menyukainya juga. Setidaknya itu terpancar dari ekspresi wajahnya seharian itu.

Ditinggal Marcel seorang diri di apartemen, Elai mendapati dirinya yang hanya bermalas-malasan. Tidak melakukan apa pun selain membiarkan ingatannya memutar semua adegan kemesraan yang telah ia dan Marcel lalui bersama. Dan Elai berani bersumpah. Setiap ia membayangkan hal itu, jantungnya selalu berdebar-debar dengan teramat parah. Memaksa ia untuk buru-buru meneguk segelas air dingin demi kembali mendamaikan gemuruh itu. Namun, sayangnya. Elai justru mendapati dirinya yang mendadak saja merasakan rindu pada Marcel. Hingga kemudian, suara Olivia seperti terngiang di benaknya.

Euforia bulan madu.

Sepertinya mau tidak mau Elai membenarkan perkataan kakaknya itu. Malu sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Marcel telah berhasil melakukan semua hal yang menjadikannya candu untuk Elai. Sekarang ia mendapati dirinya yang jadi tidak bisa jauh dari suaminya itu. Membuat Elai menyadari bahwa satu dua hal yang sering ia dengar seputar pengantin baru memang benar adanya. Tidak bisa berjauhan, eh ... sekalinya berdekatan selalu saja berakhir dengan tanpa pakaian.

Sekarang, ditinggal seorang diri di unit membuat Elai menyadari bahwa tempat itu sepi sekali. Membuat ia mengembuskan napas. Teringat bahwa beberapa bulan belakangan ini, dirinya secara tidak sengaja justru selalu ditemani oleh Marcel. Ya ... walau saat itu Marcel dalam posisi membohonginya sih.

Mereka selalu sarapan bersama. Pun dengan makan siang ataupun makan malam. Bahkan terkadang tak jarang mereka pergi jalan. Sekadar untuk keliling mall atau Elai yang minta diantarkan ke salon.

Dan ketika kata salon melintas di benaknya, Elai buru-buru beranjak ke meja riasnya. Becermin dan seolah baru menyadari efek liburan pada tubuhnya, ia terkesiap kaget.

Bukan. Ini bukan soal aneka warna yang didapatkan dari cumbuan Marcel. Alih-alih tentang kesehatan kulitnya. Astaga! Elai nyaris lupa bahwa selama seminggu tubuhnya nyaris tidak benar-benar berpakaian ketika menikmati sinar matahari di Maldives. Memang sih ia menggunakan sunblock. Namun, bukan berarti kulitnya benar-benar terlindungi. Ada sedikit bagian tubuhnya yang tampak kering dan itu terasa mengganggu.

Mempertimbangkan beberapa saat di benaknya, Elai lantas beranjak. Bersiap dan memutuskan bahwa terlepas dari keadaan kering kulitnya, ia merasa memang perlu memanjakan sejenak tubuhnya di salon. Sekadar untuk pijatan mungkin. Demi mengusir letih yang tersisa di sana.

Elai menemukan kunci mobilnya. Di laci meja riasnya. Dan ia tidak membuang waktu lebih lama lagi untuk kemudian keluar dari unit itu.

Langsung masuk ke lift, Elai menuju ke parkiran. Membiarkan lift itu pelan-pelan turun melewati tiap lantainya. Hingga kemudian, lift berhenti sebelum Elai mencapai area basement. Lantaran ada penghuni lainnya yang akan turut menaiki lift itu.

"Elai .... Astaga, akhirnya aku ketemu kamu."

Elai yang kala itu masih sibuk dengan bayangan-bayangan intim di benaknya, tersentak. Kaget ketika mendapati ada Patrick yang masuk ke lift dengan ekspresi wajah yang tampak berbinar-binar. Pintu lift menutup dan perlahan kembali bergerak.

"Patrick. Oh." Elai melirih tak yakin. "Kamu nyariin aku?"

Patrick mengangguk. Senyum senang tampak mengembang dengan lebar di wajahnya yang tampan itu.

"Aku udah lama banget nggak ngeliat kamu. Astaga. Udah berapa lama sih kita nggak main?"

Mata Elai mengerjap-ngerjap. "Ehm ... itu."

"Aku mau ngubungi kamu. Tapi, aku baru sadar nomor kamu udah nggak aktif lagi. Dan dm aku juga nggak dibalas-balas."

Elai tampak meringis. Sekilas melihat pada running text di atas pintu lift sebelum berkata.

"Sorry. Aku emang ganti nomor. Dan entahlah, kayaknya aku udah lama nggak buka sosmed. Boro-boro buka sosmed, orang hp aku kini aja aku tinggalin di atas. Aku nonaktifkan juga malah."

Patrick terkekeh. "Kamu ini bukan kayak cewek zaman sekarang aja. Nggak ada orang yang bisa hidup tanpa hp loh sekarang ini."

"Ehm ... kadang hp cuma ngebuat aku depresi sih," lirih Elai.

Patrick mendapati suara Elai yang terdengar lesu. Dan kali ini, cowok itu yang melirik pada running text. Untuk kemudian ia menyadari sesuatu.

"Ngomong-ngomong," lanjut Patrick. "Tumben kamu keluar sendirian. Mana bodyguard kamu itu? Siapa namanya? Ehm ... Ares?"

Ekspresi aneh sontak tercetak di wajah Elai. Membuat ia tampak salah tingkah. Namun, sepertinya itu justru dianggap berbeda di mata Patrick.

"Udah kamu pecat ya?" tanya cowok itu menebak. Lalu ia tampak angguk-angguk kepala. "Ya ... wajar sih kamu pecat dia. Bukannya dia keterlaluan banget nggak sih? Aku masih ingat banget soal kejadian di kolam renang kemaren. Tindakan dia kayak nggak mencerminkan bodyguard aja."

Elai tidak tau harus merespon perkataan itu seperti apa. Dan untungnya, ketika Elai bingung, ada suara lift yang sekilas terdengar. Pintunya membuka. Mereka pun keluar beriringan.

Menuju ke parkiran, Elai mendapati Patrick yang masih terus berbicara.

"Sekarang, ngeliat kamu sendiri gini, aku jadi lega juga. Seenggaknya nggak bakal ada orang yang ngerecokin kalau aku mau ngajak kamu ke mana-mana."

Mata Elai mengerjap. Lantas merasakan tangannya dipegang. Sontak membuat ia mengerutkan dahi. Mendapati Patrick yang menatapnya lekat.

"Aku rindu kamu, Lai."

Elai melongo. Dan belum lagi ia bisa meraba situasi, Patrick justru kembali berkata.

"Aku rindu banget sama kamu. Astaga. Gimana kalau ntar malam kita dinner bareng? Aku tau resto baru yang lagi rame akhir-akhir ini."

"Dinner bareng?" tanya Elai dengan ragu seolah menujukan kalimat itu pada dirinya sendiri. "Ehm ... kayaknya nggak bisa deh."

Patrick mengerutkan dahi. "Kenapa? Kamu udah ada janji? Ehm ... atau kalau besok gimana?

Dan di saat seperti itu, entah bagaimana bisa, tapi sesuatu melintas di benaknya. Yaitu perkataan Pirly beberapa saat yang lalu. Tepat sebelum ia menerima lamaran Marcel.

"Ah! Tentu aja. Kamu masih deket dengan Patrick? Kenapa nggak jadian aja? Kasian loh. Dia udah lama ngejar-ngejar kamu. Dari kita masih sekolah."

Elai menarik napas dalam-dalam. Rasanya tak enak melihat sepasang mata Patrick yang menatapnya dengan binar-binar itu. Tapi, makan malam berdua dengannya? Wah. Elai tak yakin. Terutama karena ia menyadari sesuatu.

Biasanya akhir-akhir ini kalau abis makan malam, aku dan Marcel kan ....

Elai menarik napas dalam-dalam. Segera menyingkirkan pikiran itu yang datang di waktu yang benar-benar tidak yakin.

"A-aku ragu deh bisa makan bareng sama kamu."

Suara Elai kemudian terdengar pelan. Tampak seperti bimbang. Tapi, ketika ia baru akan mengatakan kenyataan yang baru saja terjadi pada dirinya, satu suara berat terdengar.

"Lepasin tangan kamu dari Elai nggak?"

Deg!

Jantung Elai terasa berhenti berdetak. Refleks ia menarik tangannya. Dan bersama-sama dengan Patrick, ia menoleh. Ke sumber suara. Di mana tampak Marcel berdiri dengan wajah yang memerah.

"Ma-Marcel ...."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top