50. Debaran Keyakinan

Baru sepuluh menit berlalu sejak Elai dan Marcel meninggalkan kawasan bandara internasional Soekarno Hatta. Dengan mengendarai satu mobil yang disopiri oleh Seno. Di saat itu Marcel melihat Elai yang tampak menarik napas dalam-dalam seraya melayangkan pandangannya ke luar sana. Pada jalanan melalui jendela yang sedikit ia buka demi mendapatkan angin sepoi-sepoi.

Marcel tak mampu menahan dorongan hatinya. Ia pun mengulurkan tangan. Berusaha merapikan rambut Elai yang tampak beterbangan. Dipermainkan oleh angin yang berembus. Sekilas, tangannya menyentuh sisi wajah Elai. Menarik cewek itu untuk berpaling.

"Ki-ki-kita mau ke mana?"

Elai bertanya dengan sedikit menarik kepalanya seraya melirik sekilas ke depan. Pada Seno yang tampak menyetir dengan mata fokus melihat ke depan.

Mengembuskan napasnya sekilas, Marcel tau pasti maksud pertanyaan Elai. "Sebenarnya aku mau ngajak kamu tinggal di rumah aku. Cuma kemaren lagi direnov dan sekarang belum selesai. Jadi, ya mau nggak mau untuk sementara kita tinggal di unit aja. Kamu nggak keberatan kan?"

"Oh," lirih Elai sekilas. "Nggak apa-apa. Apartemen itu juga nyaman kok."

"Tapi, kita pindah unit loh ya."

Dahi Elai berkerut. "Unit yang kemaren?" tanyanya mengacu pada unit apartemen yang pernah Marcel tawarkan sebelumnya.

"Iya," jawab Marcel seraya mengangguk sekali. "Biar kamu bisa berenang."

Sontak saja cibiran timbul di bibir bawah Elai ketika ia mendengar Marcel mengatakan itu. Terutama karena bisa dilihatnya ekspresi wajah tampan itu yang tampak santai sekali. Sementara di benaknya, Elai tau pasti mengapa justru Marcel yang semangat menyuruhnya berenang.

Ini pasti ada kaitannya dengan bikini.

Mata Elai melirik tajam.

Dasar cowok.

Ketika pada akhirnya mereka tiba di apartemen, keduanya langsung menuju ke unit baru itu. Dan Elai tidak heran sama sekali mendapati semua barang-barangnya sudah tersusun rapi di sana. Bahkan termasuk dengan tumpukan belanjaan yang tempo hari tidak ia buka dari bungkusannya. Ckckckck.

Kaki Elai melangkah di dalam kamar utama itu. Lantas tertegun saat pandangannya membentur satu tempat tidur besar di sana. Otaknya dengan cepat bisa menyimpulkan bahwa di sanalah ia akan menghabiskan istirahat malamnya bersama dengan Marcel.

Sepasang tangan yang mendadak menyusup di sisi tubuhnya, mendarat di atas perut Elai. Membuat ia tersentak kaget, keluar dari alam lamunan yang untuk beberapa detik lamanya menyita kesadarannya. Ada Marcel yang memeluknya dari belakang. Pun dengan kepalanya yang kemudian beristirahat di lekuk pundak cewek itu. Sekilas, Elai merasakan satu kecupan samar di sisi kepalanya. Hingga satu hirupan yang Elai yakini dilakukan Marcel untuk meresapi aroma wangi rambutnya. Sedikit membuat Elai geleng-geleng kepala, tapi ia memang sering mendapati Marcel melakukan hal itu.

"Aku mau ngeliat kerjaan aku bentar."

Suara Marcel kemudian terdengar berbisik di telinga Elai. Embusan napasnya yang hangat terasa membelai kulit wajah Elai. Dan di perutnya, sepasang tangan itu tampak bergerak. Memberikan beberapa kali usapan yang selalu berhasil membuat Elai meremang.

"Kamu istirahat aja."

Tidak memberikan persetujuannya dengan kata-kata, Elai hanya memberikan anggukan kepalanya. Namun, itu sudah cukup untuk Marcel. Dan setelah melabuhkan satu ciuman terakhir di kepala Elai, cowok itu lantas beranjak dari sana. Meninggalkan Elai di kamar seorang diri seraya mengembuskan napas panjangnya.

Ditinggal tanpa tau harus melakukan apa, Elai memilih untuk melakukan apa yang Marcel sarankan tadi. Tepat setelah ia menyempatkan waktu untuk sekadar mencuci wajahnya, Elai lantas duduk di tempat tidur, beristirahat.

Membuang letih seraya bermain dengan ponselnya, Elai nyaris melupakan fakta bahwa sudah seminggu lebih benda itu tidak ia gunakan. Terutama ketika perjalanan bulan madunya. Dan ups! Mengingat hal itu tentu saja membuat Elai mau tak mau teringat dengan seminggu di Maldives.

Ehm ....

Samar, pelan-pelan satu senyum mengembang di wajah Elai. Ingatan itu seperti memiliki kehendaknya sendiri untuk timbul. Menayangkan beberapa kejadian yang langsung membuat Elai merasa panas di wajahnya.

Dan di saat seperti itu, Elai mendapati ponselnya yang berdering. Ada Olivia yang menghubunginya melalui panggilan video. Sontak saja membuat Elai gelagapan.

"Aduh. Bisa-bisanya Kakak ngubungi aku pas aku mengkhayal yang nggak-nggak."

Buru-buru menarik napas dalam-dalam, Elai berusaha untuk menenangkan diri. Untuk kemudian ia pun mengangkat panggilan itu.

"Halo, Kak."

Elai menyapa ketika panggilan video itu tersambung. Wajah cantik sang kakak tampak memenuhi layar ponsel dan ia tampak menyipitkan mata.

"Halo?" balas Olivia dengan kesan yang berbeda di suaranya. "Kamu udah balik?"

Sedikit bingung dengan ekspresi Olivia, Elai memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu dengan satu anggukan.

"Iya. Belum terlalu lama sih. Kenapa?"

Tampak mengembuskan napas panjang di seberang sana, Olivia berdecak. "Kamu nggak kepikiran buat ngabarin gitu kalau kamu udah balik? Ehm ... malah Kakak duluan yang ngubungi?"

"Oooh ...." Elai tampak melirih pelan. Dan kemudian ia terkekeh spontan. "Maaf, Kak. Masih jet lag."

"Jet lag jet lag," gerutu Olivia. "Kayak kamu yang bisa kena jet lag aja. Atau kamu yakin itu jet lag? Bukan karena kamu yang masih kena euforia bulan madu?"

Sudahlah! Ketenangan yang tadi baru saja berhasil ia bangun, seketika langsung luluh lantak hanya berkat satu pertanyaan usil Olivia. Mata membelalak. Wajah sontak memerah. Dan tak butuh waktu lama, tawa Olivia pun meledak.

"Astaga, Elai! Kamu beneran jatuh cinta sama Marcel? Ya ampun. Lihat wajah kamu merah segitunya."

Elai panik. Melihat sekilas ke pintu dan memastikan bahwa keadaannya masih tertutup rapat. Berdoa agar Marcel tidak masuk kalau percakapan memalukan antara ia dan Olivia masih berlanjut.

"Kakak ini ngomong apa coba? A-a-ada-ada aja."

Meneguk ludah, Elai mengusap rambutnya. Tampak menggaruk kepalanya sekilas dengan ekspresi salah tingkah.

Olivia masih tertawa. "Ya akhirnya Kakak tau juga alasan kenapa kamu mau nikah dengan Marcel secepat itu," lanjutnya seraya memutar bola matanya sekilas dengan kesan geli. "Memangnya apa lagi coba alasan kenapa cewek mau nikah cepet-cepet? Ya pasti karena udah cinta banget dong sama cowoknya."

"Astaga, Kakak," jerit Elai salah tingkah. "Siapa yang bilang aku cinta banget sama dia. Hah! Yang bener-bener aja deh."

"Ckckckck. Semakin kamu berusaha ngelak, semakin keliatan loh. Hahahaha. Jadi, gimana perjalanan bulan madu kalian? Apa kira-kira dalam waktu dekat Kakak bakal dapet keponakan?"

"Ya ampun ...."

Kali itu Elai melirih dengan ekspresi horor di wajahnya. Tentu saja pertanyaan yang satu itu menghadirkan banyak sensasi di benaknya.

Keponakan?

Tentu saja maksud Olivia adalah anak Elai dan Marcel.

"Udah ah udah," rutuk Elai kemudian dengan cemberut di wajahnya sementara Olivia yang kembali tertawa. "Kakak ini hobi banget ngangguin adiknya sendiri."

"Hahahaha."

"Aku mau mandi aja."

"Eh? Eh? Eh? Kakak belum selesai ngo---"

Tak peduli, Elai langsung memutus sambungan panggilan video itu. Dan tak cukup dengan itu, ia pun menonaktifkan ponselnya pula. Bahkan menyimpannya di dalam lemari nakas. Tampak badannya gemetaran.

"Masuk akal? Baru nikah seminggu udah ditanyain soal keponakan?" tanya Elai dengan cemberut di bibirnya. "Buat orang jadi ngeri aja."

Tak ingin membiarkan pertanyaan itu membayang-bayang di benaknya, Elai lantas memutuskan untuk mandi. Rencana istirahatnya seketika buyar lantaran gangguan yang ditimbulkan oleh Olivia. Namun, ketika Elai sudah berada di bilik pancuran itu, satu cermin di sana justru memperparah keadaan Elai.

Tak ingin, tapi retina mata Elai sontak melihat pada beberapa bagian yang menarik di tubuhnya. Dengan keadaan yang tidak semestinya. Ada merah, kuning, hijau, walau jelas tidak ada warna biru. Yang ada adalah warna ungu.

Glek.

Elai meneguk ludah. Sekarang melihat semua warna itu membuat ia bertanya-tanya.

Gi-gimana bisa badan aku jadi warna-warni kayak gini?

Elai mempertanyakan, hal apa yang dilakukan oleh Marcel hingga kulitnya beraneka warna seperti itu. Ehm ... mungkin karena isapan mulut Marcel yang kuat. Atau juga karena cengkeramannya yang erat.

Jemari Elai dengan takut-takut menyentuh bagian-bagian bewarna itu. Namun, anehnya tidak ada rasa sakit di sana. Atau mungkin sebenarnya ada, hanya saja ketika itu ingatannya langsung berkelana. Membayangkan tiap hal yang menjadi penyebabnya. Ketika Marcel memeluknya dengan erat. Lalu menindih tubuhnya. Hingga menghunjamnya dengan teramat dalam sampai Elai menjerit panjang. Luapan untuk rasa sakit yang tidak menyakitkan itu.

Eh?

Rasa sakit yang tidak menyakitkan?

Mata Elai mengerjap-ngerjap. Bingung. Tapi, Elai berani bersumpah. Sakit yang itu sama sekali tidak membuat ia takut. Alih-alih sebaliknya. Ia justru---

"Ya ampun. Apa sih yang aku pikirin?"

Horor dengan isi di dalam kepalanya, Elai sontak merinding. Buru-buru menyalakan air. Membiarkan tiap rintiknya yang hangat mulai membasahi tubuhnya. Namun, ketika itu justru muncul bayangan dirinya dan Marcel berciuman di laut lepas. Membayang dan membuat jantungnya berdebar-debar.

"Karena kalau kamu nggak suka, aku bertekad untuk mencoba peruntungan aku kali ini. Kamu ingat kan apa yang aku bilangin waktu itu? Ehm ... setiap buah ada gayanya masing-masing. Dan semalam itu baru pisang. Mungkin justru yang lain yang bisa buat kamu senang. Karena jelas, aku mau ... buat kamu juga ngerasa yang aku rasa."

Suara Marcel ketika menggodanya selepas malam pertama mereka, membuat Elai tertegun. Tak ingin, tapi ada satu pemikiran yang membuat ia merasa darahnya tak mampu lagi untuk mengalir.

I-i-itu baru gaya pisang, terus yang timun dan terong yang gimana emangnya?

Di bawah aliran air yang terus membasahi tubuh polosnya, Elai mengerjap-ngerjapkan mata. Pun menelengkan kepalanya ke satu sisi. Mencoba menduga-duga, tapi ia tak memiliki bayangan sama sekali. Berusaha untuk mencoba menerka dengan tayangan Netflix pun rasanya percuma. Toh terbukti. Yang pernah ia tonton dengan kenyataan ketika merasakannya secara langsung jelas sekali jauh bedanya.

Ups!

"Kamu mandi kok nggak ngomong-ngomong sih?"

Suara berat itu membuyarkan isi pikiran Elai. Membuat ia memadamkan sejenak pancurannya dan berbalik. Mendapati ada Marcel yang beranjak masuk pula ke bilik itu dengan tubuh yang telah polos.

Mata Elai membola. "Udah aku bilangin jangan suka ngejutin aku, Cel. Astaga."

Elai meneguk ludah. Membiarkan Marcel kembali menyalakan air dan bergabung dengannya di bawah pancuran.

Mana kali ini nggak cuma ngejutin.

Datang-datang malah nggak pake baju.

Eh?

Pemikiran itu membuat Elai refleks melihat ke bawah. Pada sesuatu yang tak asing untuknya selama seminggu belakangan ini. O oh.

Elai buru-buru memalingkan wajahnya. Tampak memasang ekspresi sok tidak suka dengan kehadiran Marcel. Walau jelas sekali, ketika cowok itu memeluknya, Elai tak menolak sedikit pun.

Ekspresi sok tidak suka itu layaknya hanyut terbawa oleh aliran air. Cepat sekali tergantikan oleh ekspresi luluh. Terutama karena tangannya pun kemudian menarik leher Marcel. Menawarkan bibirnya. Dan Marcel pun menerimanya.

Sementara air terus mengalir, sepasang pengantin baru itu justru terlena dalam ciuman mereka. Keduanya seolah lupa pada tujuan semula ketika bersama di bilik pancuran itu. Alih-alih mandi, mereka malah membiarkan waktu berlalu dengan saling melumat bibir satu sama lain. Hingga tanpa sadar, satu keyakinan itu mendadak tumbuh di benak Elai. Membuat ia berdebar-debar.

Aku memang cinta dia.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top