49. Lautan Gairah

Entah sudah berapa lama Marcel tertidur setelah percintaan mereka. Yang pasti adalah ketika ia membuka mata, ada Elai di sebelahnya. Matanya tampak terpejam. Wajahnya terlihat damai. Nyenyak menikmati istirahat malam itu di dalam tidurnya.

Marcel mengembuskan napas panjang. Melihat pada langit-langit dan lantas menyadari bahwa tenggorokannya kala itu terasa kering kerontang. Membuat ia dengan terpaksa bangkit. Turun dari tempat tidur demi menuntaskan dahaganya dengan segelas air putih yang dingin. Dan ketika ia akan kembali berbaring, ia tertegun. Melihat pemandangan menyejukkan hati yang terpampang di atas tempat tidur itu.

Tampak sedikit menggeliat, Elai mengubah posisi tidurnya. Dengan keadaan yang benar-benar nyenyak, cewek itu tidak sadar bahwa pergerakan yang ia lakukan membuat selimut tersibak dari tubuhnya. Menampilkan pemandangan polos tanpa ada sehelai benang yang menutupinya.

Mungkin di lain kesempatan, di saat ia sadar, Elai akan menjerit malu bila mengetahui Marcel menatap lekat pada dirinya dengan keadaan seperti itu. Tapi, untuk sekarang, Marcel bisa memanjakan matanya untuk beberapa saat. Tidak menyia-nyiakan waktu untuk merekam dalam ingatannya bagaimana menggodanya Elai tanpa pakaian. Kehalusan kulitnya, lekuk rampingnya, hingga rambut panjangnya yang berantakan di atas bantal, benar-benar menjadi hal yang teramat menggetarkan jiwanya. Memaksa Marcel untuk buru-buru menarik napas dalam-dalam demi mendamaikan setitik gejolak yang terasa mulai tumbuh di dadanya.

Marcel menyeringai. Meraih bed cover untuk kembali menyelimuti Elai. Sebelum pemandangan itu semakin memercik gairahnya.

Berbaring kembali bersama Elai, perlahan Marcel menarik tubuh itu ke dalam rengkuhannya. Melabuhkan kecupan di puncak kepalanya dan merasakan sedikit geliat Elai. Namun, sejurus kemudian ia kembali tenang. Pun disusul oleh Marcel yang turut damai tatkala kembali melepaskan kesadarannya.

Ketika rasa gelisah menyentuh kelopak matanya, Elai perlahan mengerjap. Beberapa kali hanya untuk menyadari bahwa keberadaan sinar matahari pagilah yang menjadi penyebabnya. Ia membuka mata, pelan-pelan. Lantas mendapati satu pemandangan asing yang langsung tertangkap retina matanya. Yaitu dada polos seorang cowok.

Ehm ... sepertinya itu sajian pagi yang tidak bagus untuk kesehatan jantung Elai. Terbukti, dalam hitungan detik yang teramat singkat, pemandangan itu membuat jantungnya yang semula damai lantaran tidur yang nyenyak, sontak berubah menjadi bergemuruh seketika.

Ma-Marcel ....

Menguatkan dirinya, Elai mengangkat wajahnya. Dan ia refleks memejamkan mata ketika dugaannya tadi benar. Itu memang Marcel. Cowok tanpa pakaian yang tengah ia peluk, yang ia jadikan sandaran kepalanya saat tidur, yang ia rengkuh tubuhnya, benar adalah Marcel. Cowok yang telah berganti status menjadi suaminya.

Dan berbicara soal status suami, satu kenangan pun lantas melintas di benak Elai. Membuat cewek itu lagi-lagi memejamkan matanya. Walau jelas, kali ini ditambah dengan gigitannya pada bibir bawahnya sendiri.

Ya Tuhan ....

Aku dan Marcel ....

Bahkan di dalam benaknya, Elai tak kuasa untuk meneruskan perkataannya. Kejadian semalam benar-benar tidak ia rencanakan. Namun, apa yang bisa ia lakukan ketika Marcel menggodanya hingga membuat jiwa raganya terasa melayang hingga ke surga? Selain pasrah dan menikmatinya?

Argh!

Hanya saja, melihat bagaimana sikap dirinya yang semula menolak pernikahan itu, terang saja Elai merasa malu. Itu ... benar-benar tidak mencerminkan sikap seorang mempelai wanita yang sempat menghindari pernikahan. Itu bahkan terkesan seperti seorang mempelai wanita yang bernafsu ingin segera dinikahi.

Ugh!

Elai memutuskan untuk tidak akan memikirkannya lagi. Lagipula ketimbang memusingkan hal yang telah terjadi, Elai sekarang lebih pusing lagi dengan keadaan dirinya pagi itu. Tanpa busana seperti Marcel, memeluk cowok itu, dan tak tau cara untuk melepaskan diri dari rengkuhan tersebut.

"Ehm ...."

Hingga gumaman Marcel kemudian membekukan tubuh Elai. Membuat ia seketika terdiam. Panik. Astaga. Elai tidak tau bahwa bangun pagi bisa menjadi hal yang menegangkan.

"Kamu udah bangun?"

Suara Marcel terdengar lirih. Berat. Dan sepertinya teramat dekat. Menyadarkan Elai bahwa ia dan Marcel memang saling merengkuh dalam jarak yang tidak berarti.

Di atas dada Marcel, Elai mengangguk sekali. Sepenuhnya masih bingung bagaimana cara melepaskan dari kekalutan itu. Namun, seperti orang yang tidak bisa melihat situasi, Elai justru mendapati bagaimana Marcel justru menunjukkan sikap sebaliknya. Di saat Elai panik, Marcel malah membawa satu tangannya untuk mengusap punggung Elai yang polos. Berulang kali. Hingga membuat Elai membesarkan matanya spontan saat merasakan sentuhan itu nyaris mencapai bokongnya!

Tangan Elai bergerak. Memberikan satu cubitan di perut Marcel hingga cowok itu terpekik spontan.

"Aw! Kok nyubit sih?"

Usapannya di punggung Elai berhenti spontan. Dengan horor ia melihat pada Elai yang tampak melotot padanya.

"Tangan nggak usah jahil ke mana-mana ya?" delik Elai. "Ini masih pagi."

Abai dengan delikan dan rasa sakit di perutnya, Marcel justru tampak tertarik dengan hal lainnya. Membuat ia bertanya dengan kilat menggoda di matanya.

"Tunggu agak siangan lagi?"

Memerahlah wajah Elai mendengar pertanyaan itu. Jelas sekali ia paham bagaimana liciknya Marcel membelokkan makna dari perkataannya tadi.

"Dasar," gerutu Elai.

Memilih untuk tidak mendebat hal itu, Elai justru memanfaatkan situasi untuk beranjak dari pelukan Marcel. Bangkit duduk dengan mempertahankan bed cover untuk menutupi tubuhnya yang polos. Walau tentu saja, melihat pemandangan punggung itu juga merupakan hal yang menarik di mata Marcel. Depan atau belakang, itu sama menyenangkan untuk cowok itu.

Marcel membawa kedua tangannya pindah ke bawah kepala. Sedikit menopang ketika ia bertanya.

"Kamu mau ngapain hari ini? Mau berenang?"

Masih sedikit kesal lantaran sentuhan Marcel tadi, Elai mendapati pertanyaan itu justru membuat ia semakin ingin mencubit cowok itu. Elai menoleh. Dan dibutuhkan keteguhan hati untuk cewek itu agar tidak tergoda dengan penampilan pagi Marcel.

But, he's so fucking hot.

Lihat saja. Posisi kedua tangan di bawah kepala itu justru dengan teramat jahilnya menampilkan pemandangan otot-otot di sepanjang lengan atasnya. Pun dada bidangnya tampak makin menggoda seperti tengah menjanjikan kenikmatan sandaran tiada tara.

Elai mengerjapkan matanya. Mengingatkan dirinya sendiri tentang topik yang sedang mereka bahas.

"Kamu ini semangat banget sih nyuruh aku berenang. Heran deh. Kapan hari nggak nyuruh aku berenang. Sekarang malah nanyain mulu."

"Hahahaha."

Marcel tergelak hingga matanya terpejam beberapa saat. Tak menyadari bahwa di saat itu Elai justru mencibir padanya. Dan ketika ia membuka mata, Elai sudah buru-buru memalingkan kembali tatapannya ke arah lain. Tepat ketika Marcel justru memutuskan untuk turut duduk.

Melihat pada hal lain, Elai tersentak saat mendapati Marcel yang telah duduk langsung memeluk dirinya dari belakang. Dan tak hanya itu, ia pun lantas mengistirahatkan wajahnya di lekuk pundak Elai. Dengan kedua tangannya yang langsung mendarat di perutnya. Sontak saja Elai meremang saat merasakan sentuhan Marcel di kulit polosnya.

"Marcel ...."

Marcel tersenyum. Bertahan dari niatan Elai yang ingin melepaskan kedua tangannya dari perut cewek itu. Malah makin mengeratkan rengkuhannya.

"Tenang. Aku cuma mau meluk kamu aja kok," kata Marcel setengah melirih di telinga Elai. "Nggak usah panik gitu."

Panik?

Elai merasakan wajahnya memanas. Memikirkan sesuatu di benaknya.

Apa keliatan banget ya kalau aku panik?

Maka Elai pun menarik napas sekilas. Berusaha untuk biasa-biasa saja. Berkata.

"Panik? Hah? Emangnya siapa yang panik?"

Seringai penuh arti langsung terbit di wajah Marcel. Lalu seraya melabuhkan ciuman di sisi kepala Elai, ia pun lantas berbisik.

"Wajah kamu keliatan banget kalau lagi panik atau lagi marah. Ehm ... coba aku tanya. Apa yang ngebuat kamu panik kini?"

Rasa kaku membuat ekspresi Elai terlihat menggelikan di mata Marcel. Tapi, cewek itu berusaha untuk tidak terintimidasi oleh keadaan.

"Ng-ng-nggak ada. Aku nggak panik."

"Bohong," tukas Marcel lagi.

Lantas, seakan ingin membuktikan perkataannya, dengan gerakan yang teramat cepat dan tidak diduga-duga, Marcel meraih tubuh Elai. Membaringkannya dan langsung menindihnya. Seketika saja mata Elai membesar.

"Marcel."

Elai tak mampu meneruskan perkataan ketika merasakan tangan Marcel langsung mendarat di pahanya. Memberikan usapan pelan-pelan yang bergerak ke atas.

"Ka-kamu mau ngapain?"

Menyunggingkan senyum miring, Marcel menatap lekat pada mata Elai. "Aku cuma mau tau. Menurut kamu ... apa punya aku itu ... pisang muli?"

Ya ampun!

Warna merah di wajah Elai sudah tak mampu dijelaskan dengan kata-kata lagi. Sekarang bahkan Elai bukan lagi panik. Ia sudah kebakaran jenggot!

Elai menggeliat, berusaha menarik diri. Namun, Marcel benar-benar menindihnya!

"Jadi?" tanya Marcel seraya menyipitkan matanya. "Apa sesuai dengan harapan kamu?"

Astaga!

Marcel jelas tidak tau tentang mimpi Elai tempo hari. Tapi, sungguh? Bagaimana bisa Marcel menanyakan sesuatu yang seperti dirinya tengah menyinggung Elai?

Argh!

Ini gara-gara aku keceplos ngomong soal pisang muli.

Dasar pisang muli sialan!

Elai menggigit bibir bawahnya. "Ma-Marcel, aku lapar. Gi-gimana kalau kita mandi? Aku mau makan."

"Kamu ngajak aku mandi bareng?"

Ya nggak gitu juga kali nangkap maksudnya.

Elai buru-buru menggelengkan kepalanya. Semakin menggeliat. Tanpa sadar membuat bed cover pelan-pelan merosot dari tubuhnya. Hingga menyilakan kulit polos mereka berdua untuk bertemu. Pun dengan payudara Elai yang langsung tertahan oleh dada bidang Marcel.

"Kenapa?" goda Marcel lagi. "Kamu belum puas dengan yang malam tadi?"

Sekuat tenaga, Elai berusaha untuk bernapas. Ia yakin, Marcel pasti sudah tau dengan pasti sifatnya. Mungkin di luar Elai memang tampak garang. Tapi, kalau sudah menyinggung soal hal yang intim, Elai bisa dipastikan akan lari terbirit-birit.

"Kamu jangan macam-macam deh, Cel," delik Elai. "Bisa nggak sih nggak usah nanya gituan?"

Alis mata Marcel naik satu. "Kenapa memangnya? Aku cuma mau memastikan bahwa yang malam tadi itu ..." Ia kembali menggerakkan tangannya di bawah sana. Hingga menghadirkan keremangan di sekujur tubuh Elai. "... berkesan untuk kamu." Sentuhan berhenti. Tergantikan oleh tatapan matanya yang lurus menuju pada mata Elai. "Karena sumpah. Aku bahkan nggak bisa ngomong sebahagia apa aku malam tadi."

Kalau manusia diberi nyawa sebanyak kucing –menurut dongeng-, Elai bahkan yakin semua nyawanya tetap akan hilang saat itu juga. Bagaimana bisa Marcel menanyakan hal itu padanya? Mengatakan hal itu padanya?

"Karena kalau kamu nggak suka," kata Marcel seraya membidik bibir Elai. "Aku bertekad untuk mencoba peruntungan aku kali ini. Kamu ingat kan apa yang aku bilangin waktu itu? Ehm ... setiap buah ada gayanya masing-masing. Dan semalam itu baru pisang. Mungkin justru yang lain yang bisa buat kamu senang. Karena jelas, aku mau ..." Pelan-pelan Marcel menunduk. "... buat kamu juga ngerasa yang aku rasa."

Kata demi kata yang Marcel katakan membuat Elai membeku hingga ke ujung kaki. Sumpah! Elai nyaris melupakan fakta cowok seperti apa yang menikahinya. Maka sontak saja tangan Elai sontak naik. Menahan dada Marcel. Menahan malu, ia berkata.

"Aku masih capek, Cel. Sumpah. Badan aku rasanya pegal-pegal semua. Dan ..." Elai meneguk ludah. Berusaha menghindari tatapan mata Marcel yang terasa makin gelap seiring waktu berlalu. "... oke oke. Aku jawab." Elai menarik napas dan memejamkan mata. "Iya. Itu bukan pisang muli. Itu benar-benar pisang ambon Curup."

Marcel mengulum senyum. "Apa kamu senang malam tadi? Karena kalau nggak---"

"Kamu nggak liat gimana aku malam tadi?" potong Elai cepat seraya mendelik. "Kurang senang apa lagi aku?"

Cemberut, Elai menuntaskan perkataannya dengan satu dengkusan. Di dalam hati cewek itu merutuk keberadaan ego cowok yang selalu ingin terlihat superior. Dan ketika itu, Marcel lantas merasa geli. Hingga ia tak mampu menahan diri.

"Ma-Marcel ...."

Marcel meraih dagu Elai. Tanpa kata-kata langsung melenyapkan bibir ranum itu dalam ciumannya yang menuntut. Terlalu tiba-tiba. Hingga sejenak membuat Elai gelagapan. Namun, beberapa detik kemudian, ia pun hanyut dalam buaian tersebut.

Marcel mencium Elai dengan penuh irama. Melumatnya. Memanggutnya. Berlama-lama untuk kemudian mengecupnya. Hingga membuat Elai terlena. Pun tanpa sadar, memasrahkan diri untuk turut membalas. Tangannya lantas naik. Demi bisa meraih leher Marcel. Mengalung di sana, menariknya. Agar ia mampu mengecup balik bibir cowok itu.

Ketika pada akhirnya dada Marcel merasakan samar sapuan puting payudara Elai, maka di saat itu pula ia menghentikan ciuman mereka. Pelan-pelan membuka matanya yang entah sejak kapan menutup, ia mendapati Elai yang terengah-engah dengan pipi yang merona.

Sungguh. Dibutuhkan banyak kekuatan bagi Marcel untuk mampu berkata.

"Kita mandi? Biar kita bisa sarapan bentar lagi."

Tak menolak tawaran itu, Elai menganggukkan kepalanya.

*

Sepertinya perjalanan bulan madu itu melebihi ekspektasi Marcel sebelumnya. Yang sempat mengira bahwa Elai mungkin akan uring-uringan, yang akan memusuhinya, atau apalah, lantaran pernikahan mereka juga dilakukan karena kesepakatan sebelah pihak. Ehm ... Marcel tidak akan menampik hal yang satu itu. Cepatnya pernikahan mereka berlangsung tentu saja karena kelicikan dirinya.

Namun, lihatlah sekarang. Mendapati malam pertama mereka sukses tanpa ada tragedi pemaksaan atau berurai air mata, Marcel bisa mengembuskan napas lega. Ah iya, setitik air mata kemaren itu jelas bukan air mata kesedihan. Itu terang sekali air mata penerimaan. Hal yang tentu saja tidak pernah Marcel duga sebelumnya. Ia tak pernah mengira bahwa Elai benar-benar akan menerima dirinya. Terlepas dari bagaimana pernikahan bisa terjadi, tentu saja malam itu menjadi bukti bahwa Elai telah menyerahkan hidupnya pada dirinya. Walau jelas, setelah malam itu Elai seringkali masih menunjukkan sikap kasarnya seperti biasa. Tapi, Marcel tidak masalah sama sekali. Toh walau bagaimanapun juga, pada kenyataannya Elai tetap tidak menolak rayuannya.

Seperti yang sedang Marcel lakukan kala itu. Ketika senja datang dan Elai telah siap dengan bikininya. Memaksa Marcel berulang kali meneguk ludah dan mendapati dirinya yang bergerak di luar kendali. Merengkuh tubuh itu hingga Elai pun memekik kaget.

"Cel! Astaga! Kamu itu beneran mau buat aku jantungan?!"

Mengabaikan pekikan itu, kedua tangan Marcel makin menarik tubuh Elai untuk melekat padanya. Membiarkan Elai merasakan kulitnya menempel dengan kulit Marcel. Berpaling ke belakang, Elai mendapati Marcel yang hanya mengenakan celana pendeknya. Ia mengerutkan dahi.

"Kamu mau berenang juga?'

Lagi-lagi, seperti suara Elai tidak menjamah indra pendengarannya, Marcel justru menyurukkan wajahnya di lekuk leher Elai. Bergerak tak tentu arah. Membuat mata Elai sontak mengerjap-ngerjap salah tingkah. Berusaha melepaskan diri sebelum niatannya semula berganti haluan. Bisa saja kan rencana Elai yang sebelumnya adalah ingin berenang di lautan lepas mendadak berubah menjadi ingin berenang di lautan cinta? Ehm ....

Marcel menikmati wangi kulit Elai. Pun melabuhkan ciuman-ciumannya. Lalu ia mengangguk.

"Sini."

Hanya satu kata itu yang Marcel ucapkan ketika pada akhirnya ia menghentikan rayuannya. Ia meraih tangan Elai. Langsung mengajak istrinya itu beranjak dari balkon tanpa memedulikan kebingungan Elai. Dan ternyata, Marcel membawanya ke seluncuran air.

"Astaga, Cel. Kita udah gede. Ngapain main ginian?"

Menahan tangan Elai, Marcel tersenyum. "Karena waktu kecil aku nggak kesampaian buat ngajak kamu main ginian."

Elai tertegun. Jawaban itu jelas sekali tidak terduga olehnya. Namun, layaknya itu adalah hal yang remeh, Marcel justru memindahkan topik pembicaraan mereka dengan entengnya. Karena ia mendadak teringat dengan alergi Elai.

"Ngomong-ngomong, obat alergi tadi udah kamu minum kan?" tanya Marcel seraya menatap pada Elai yang langsung mengerjapkan matanya sekali.

Kalau ada satu hal yang sangat Marcel perhatikan ketika belakangan ini selalu menyuruh Elai berenang, tentu itu karena Marcel sudah menghubungi dokter keluarganya. Pastinya demi menyiapkan obat anti alergi. Ia tau betapa Elai suka berenang walau terkadang kesukaannya itu justru membuat ia menderita setelahnya. Dan Marcel akan memastikan bahwa Elai tidak akan merasakan sakit lagi.

Sementara Marcel tampak biasa-biasa saja, Elai justru sebaliknya. Kembali tertegun karena pertanyaan itu. Untuk kemudian ia menarik napas dalam-dalam. Memberikan satu anggukan sebagai jawabannya.

Merasa lega, Marcel tersenyum sembari meraih tangan Elai. Dengan penuh semangat ia duduk di pangkal seluncuran air itu.

"Sini. Kamu duduk di belakang aku."

Kali ini Elai tak mengatakan apa-apa selain mengikuti perkataan itu. Duduk tepat di belakang Marcel. Membiarkan cowok itu menuntunnya. Mengambil posisi seperti akan menggendongnya. Pun turut meraih tangan Elai untuk mengalung di sekeliling perutnya. Mau tak mau memaksa Elai mengistirahatnya kepalanya di atas pundak cowok itu.

"Siap?" tanya Marcel seraya menyeringai geli. "Kita mau terbang nih soalnya."

Entah mengapa, tapi kala itu Elai sontak terkekeh. "Ini bukan terbang. Tapi, meluncur."

"Hahahaha. Pegang aku yang erat, Lai. Ntar kamu hanyut."

Dan kemudian, tak lama setelah Marcel mengatakan itu, kedua tangannya yang semula bertahan di seluncuran, lepas. Dengan sedikit dorongan yang ia berikan, tubuh mereka pun kemudian meluncur dengan deras. Hingga menerbitkan jeritan panjang keduanya.

"Aaah!!!"

"Aaah!!!"

"Byuuur!"

Elai dan Marcel jatuh ke air. Sontak membuat pegangan Elai lepas dari cowok itu. Untuk beberapa saat, keduanya lenyap di dalam air. Tapi, tak butuh waktu lama, keduanya pun menampakkan diri di atas permukaan air laut yang jernih itu. Dan mereka tertawa.

"Hahahahaha."

"Hahahahaha."

"Udah dibilangin jangan dilepasin, masih juga dilepasin."

Mengusap sekilas wajahnya, Elai masih tertawa. "Aku nggak lepasin kamu. Kamu yang lepasin aku."

"Mana mungkin," elak Marcel sambil tertawa. "Kamu nggak tau apa? Seumur hidup aku nggak pernah lepasin kamu."

O oh.

Elai perlu mengingatkan dirinya bahwa saat itu ia berada di laut. Kakinya harus tetap bergerak agar ia tetap mengambang. Namun, perkataan Marcel tadi jelas membuat kedua kakinya seperti goyah.

Elai membeku. "Ma-Marcel ...."

Dan Marcel meraih Elai. Membiarkan kebekuan itu lenyap dalam ciumannya yang membara. Hingga air di sekeliling mereka pun tak berdaya dengan kesan panas yang kemudian menguar dari tubuh keduanya. Di sana, di lautan yang jernih airnya, keduanya saling mencium dengan teramat menggebunya. Bahkan saking menggebunya, maka tak heran sama sekali, ketika matahari perlahan tenggelam, ada erangan dan lirihan yang terdengar sahut-menyahut di balkon itu. Di satu ranjang santai, dengan pemandangan bikini dan celana pendek yang telah berhamburan, Marcel tampak menindih tubuh Elai.

"Aaah .... Marcel ...."

Elai memejamkan matanya. Menggigit bibir bawahnya. Merasa tak berdaya. Seperti dirinya akan terbelah. Namun, ia tak menolak ketika Marcel menyelipkan satu bantal di bawah pinggangnya. Menuntun dirinya untuk mengalungkan kedua kakinya di sekeliling pinggang Marcel. Membiarkan cowok itu mendapatkan kemudahannya untuk menghunjam semakin dalam.

"Argh! Argh! Argh!"

Air laut dan keringat telah bercampur. Tak lagi mampu dibedakan. Semua menjadi satu. Pun dengan Elai dan Marcel. Keduanya saling merengkuh. Saling memberi dan menerima. Hingga kemudian riak gelombang tak hanya terjadi di laut sana. Melainkan juga pada mereka.

Gelombang gairah.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top