48. Sentuhan Sang Pengantin

"Ma-Marcel ...."

"Ehm ...."

"Oh, astaga."

Bola mata Elai berputar sekali, tepat sebelum pada akhirnya kelopaknya memejam. Ia merasa pusing. Seolah lantai tempat kakinya berpijak mendadak bergoyang-goyang. Seperti tengah terjadi gempa lokal. Walau jelas, gempa yang satu ini tidak menakutkan. Alih-alih ... mendebarkan.

"Aaah ...."

Elai seketika membuka mata saat bibirnya tak kuasa menahan lirihan penuh gairah itu. Tepat ketika ia merasakan ada lima jari yang bergerak ke depan dadanya, menangkup payudaranya, lalu meremasnya dengan teramat menggebu.

Sekarang ... Elai benar-benar merasa dirinya sudah tak tertolong lagi. Bahkan untuk sekadar menarik udara demi kelangsungan hidupnya pun ia seperti tak mampu. Dan karena itulah, lantas Elai mengangkat kedua tangannya. Berusaha mendorong dada Marcel. Demi bisa menenangkan dirinya.

Marcel menggeram. Dengan amat terpaksa menjeda cumbuan yang tengah ia lakukan di sepanjang leher Elai. Lihatlah, kulit halus di sana tampak basah dan membekaskan warna-warna merah.

"Kenapa?" tanya Marcel dengan napas menggebu. Matanya yang gelap melihat bagaimana meronanya wajah Elai.

Berusaha untuk tetap berpegang pada tiang di belakang tubuhnya, Elai menarik napas dengan terburu-buru. Mencoba untuk sedikit menenangkan dirinya.

"A-aku ... nggak bisa napas."

Dari sekian banyak kemungkinan jawaban yang mungkin saja akan ia dapatkan dari Elai, jelas sekali 'aku nggak bisa napas' tidak pernah Marcel kira sebelumnya. Semula Marcel menduga bahwa Elai merasa keberatan dengan rayuan yang ia berikan. Atau mungkin malah Elai ingin menundanya dulu dengan alasan lelah. Tapi, 'aku nggak bisa napas'? Ehm ... itu seperti mengindikasikan hal lain di benak Marcel.

Bibir Marcel bergerak. Mencetak satu senyuman miring nan memikat. Perpaduan antara bentuk godaan dan juga rasa tak percaya. Pun merasa geli dengan kenyataan betapa pengantinnya itu benar-benar belum tersentuh sebelumnya.

Elai ..., ia jelas adalah wanita yang cantik. Teramat cantik malah. Namun, melihat beberapa kenyataan yang telah ia dapatkan belakangan ini, mau tak mau membuat Marcel berdecak kagum untuknya.

Olivia mengatakan bahwa karena kepribadian Elai sehingga ia tak memiliki teman. Memang, siapa yang tahan dengan sikap menyebalkan Elai? Namun, tetap saja. Hal tersebut membuat Elai bagai tertarik dari pergaulan anak muda. Membuat ia menghabiskan waktunya seorang diri. Berkurung di unit apartemennya. Nyaris bisa dikatakan bahwa hanya Olivia satu-satunya teman yang ia miliki. Dan itu ... justru membuat ia menjadi seorang wanita yang tidak tersentuh.

Sekarang kenyataan itu menimbulkan satu ide di benak Marcel. Ide yang nakal. Ide yang rasa-rasanya akan menjadi permainan yang teramat menggairahkan.

"Kamu nggak bisa napas?" tanya Marcel seraya memaku mata Elai dengan lekat. "Aku bisa ngebuat kamu bisa bernapas lagi."

Karena selanjutnya yang terjadi adalah tangan Marcel langsung meraih pinggang Elai. Menariknya. Bahkan cenderung mengangkat tubuh itu demi melekat erat pada tubuhnya. Nyaris membuat kaki Elai tidak menjejak pada lantai lagi.

Dan ketika Elai berusaha untuk berpegang pada Marcel, ia justru mendapati bagaimana bibir cowok itu yang langsung menyasar pada bibirnya. Melabuhkan satu ciuman yang teramat dalam. Hingga membuat Elai merasakan sesak pada dadanya.

Tangan Elai meremas kemeja yang dikenakan Marcel. Mencoba berpegang di sana. Berusaha untuk tetap bertahan. Namun, sentuhan bibir Marcel dengan teramat lihainya menghancurkan semua pertahanan yang ia coba bangun.

Marcel melumat bibir Elai. Dengan jenis sentuhan yang tak pernah Elai rasakan sebelumnya. Lantas disusul dengan belaian ujung lidahnya yang hangat. Memberikan jejak basah nan sensual yang membuat Elai seketika membuka bibirnya. Dan di sana, di atas bibir Elai yang merekah, senyum kemenangan Marcel pun terbit. Mendorong ia untuk semakin memperdalam ciumannya.

Marcel menelengkan kepalanya ke satu sisi. Mengubah sedikit posisinya tatkala desakan itu membuat ia ingin semakin memanggut bibir Elai. Pun mengecupnya bergantian. Hingga lantas ia pun membuktikan dari kebenaran perkataannya. Memberikan Elai napas yang ia butuhkan. Dengan cara yang teramat intim yang pernah ada di dunia.

Satu tangan Marcel menahan tekuk Elai. Menengadahkan wajah cantik itu dan lantas semakin membuka mulutnya. Hingga membuat Elai semakin merasa sesak. Namun, di detik selanjutnya dada Elai mengembang. Dorongan alamiah saat menarik napas Marcel demi memenuhi rongga paru-parunya.

Ciuman semakin dalam. Erangan dan lirihan terdengar bergantian. Dan di sela-sela itu ada napas yang saling bertukar. Ketika Elai menghirup napas Marcel, maka selanjutnya Marcel pula yang melakukan hal yang serupa. Ternyata, ciuman memang bukan hanya sekadar sentuhan bibir belaka. Nyatanya saling memberi dan menerima udara adalah salah satu permainannya. Sekarang, merona bukan lagi kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Elai. Cewek itu tampak benar-benar telah ... bergairah.

Marcel menarik diri. Mengurai ciuman mereka dan dapat dengan jelas melihat bagaimana menggodanya Elai. Hingga ia tau, bahwa malam itu dirinya tidak akan cukup dengan hanya sebatas ciuman. Tidak. Marcel jelas menginginkan yang lebih.

Maka tangan Marcel bergerak. Meraih pinggang Elai dan mengangkatnya. Membiarkan sepasang kaki Elai yang jenjang itu melingkar di sekeliling pinggangnya. Pun tak menolak ketika dengan inisiatifnya sendiri, Elai justru balik mencium Marcel.

Sepuluh jari tangan Elai meremas rambut Marcel. Dorongan alamiah ketika ia merasakan bagaimana ciumannya mendapat sambutan yang teramat menggebunya. Bahkan lebih lagi. Karena di detik selanjutnya, Elai mendapati sepasang tangan Marcel telah berpindah di bokongnya. Menggodanya. Mengusapnya. Membelainya. Dan lalu melakukan segala macam rayuan yang tak pernah Elai bayangkan seumur hidupnya selama ini.

Berjalan dengan kesan terburu-buru, Marcel pada akhirnya mencapai tempat tidur yang ia tuju. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun menjatuhkan tubuh mereka berdua di sana. Di atas kasur empuk yang memantul untuk beberapa kali hingga pada akhirnya, Marcel mengurai ciuman mereka.Namun, jelas sekali bahwa cumbuan Marcel tidak berhenti sampai di sana. Karena selepas menikmati ciuman yang dalam itu, Marcel lantas melarikan bibirnya yang basah untuk menyusuri sisi wajah Elai.

Dengan teramat sengaja membuka bibirnya, Marcel membiarkan jejak-jejak itu tertinggal di kulitnya yang halus. Membuat Elai seketika memejamkan matanya. Tanpa sadar mengerang lirih. Menikmati cumbuan yang terasa makin memabukkan. Semakin turun. Lantas bermain-main di lehernya.

Elai mengangkat wajahnya. Memberikan akses yang Marcel butuhkan untuk dapat menikmati leher jenjang itu sesuka hatinya. Mengecupnya. Menjilatnya dengan ujung lidahnya. Lantas mengisap kulitnya. Hingga menarik erangan Elai untuk melantun. Memenuhi seisi kamar itu. Pun diikuti oleh gelisahnya kedua kaki Elai di bawah sana.

Melayangkan lirikan sekilas ke atas, Marcel bisa melihat bagaimana Elai yang memejamkan mata seraya menggigit bibir bawahnya. Dan tak hanya itu, sepasang tangannya pun lantas berpindah. Mendarat di bantal dan meremasnya dengan pelan. Menampilkan ekspresi terbuai yang membuat hasrat Marcel kian melecut.

Meninggalkan bekas merah di leher Elai, Marcel kembali melanjutnya penjelajahannya. Dan sekarang, tak hanya bibirnya, melainkan juga tangannya turut bekerja.

Adalah jemari Marcel yang lantas pelan-pelan beranjak menuju pada kancing-kancing di gaun selutut yang Elai kenakan. Mengeluarkan benda itu satu persatu dari lubangnya. Dan Marcel pun spontan turut memejamkan matanya. Tepat ketika bibirnya mendarat di gundukan halus dan menggairahkan itu.

Ada beberapa bayangan nakal yang langsung berkelebat di benak Marcel. Mengingatkan cowok itu tentang menggodanya payudara Elai. Lalu betapa sempurnanya rasa payudara itu di genggaman tangannya. Dan sekarang, payudara itu tepat berada di depan bibirnya. Sungguh! Marcel mendapati dirinya tidak mampu untuk bersabar lagi.

Marcel bangkit. Dengan amat terpaksa meninggalkan Elai sejenak. Namun, tampaknya bukan hanya Marcel yang merasa berat. Nyatanya Elai langsung membuka matanya. Sorot di manik yang bening itu menyiratkan rasa kehilangan akan sentuhan yang mampu melenakannya itu.

"Marcel ...."

Di dalam hati, Marcel berdoa. Semoga dirinya tidak mendadak mati dan langsung terbang ke surga. Karena sungguh! Suara Elai ketika melirihkan namanya dengan kesan bergairah seperti itu benar-benar melemahkan jantungnya. Membuat ia tak berdaya.

Buru-buru Marcel melepaskan gaun itu dari tubuh Elai. Melemparnya bahkan tanpa memalingkan matanya dari Elai. Lalu, tatapannya turun. Pada tubuh Elai yang terbaring dalam keadaan nyaris polos. Hanya menyisakan pakaian dalam yang menutupi payudara dan juga kewanitaannya di bawah sana.

Elai menahan napas. Jelas sekali cewek itu bisa melihat perubahan pada Marcel. Diawali oleh menggelapnya wajahnya yang tampan. Lalu diikuti oleh kabut-kabut gairah yang kemudian memenuhi matanya yang tajam. Sekarang, Elai merasa dirinya tak ubah seperti rusa yang sedang diintai oleh sang predator. Hanya menunggu waktu saja bagi Marcel untuk kemudian benar-benar memerangkap dirinya. Memenjarakan ia di dalam terali hasrat yang tak terbendung lagi.

"Marcel ...."

Suara Elai kemudian terdengar lagi. Seperti ingin menyadarkan Marcel dari keterpanaan yang cowok itu rasakan tatkala terpukau melihat pada tubuh Elai. Ia tampak pasrah. Tidak menunjukkan sedikit pun penolakan untuk sentuhannya. Bahkan lebih dari itu. Elai justru seperti memberikan sinyal pada Marcel. Melalui tangannya yang pelan-pelan terulur. Layaknya ingin meraih cowok itu. Menunjukkan bahwa ia membutuhkan Marcel saat itu juga.

Marcel tersenyum samar. Membawa satu tangannya untuk menyambut uluran tangan Elai. Lalu memberikan satu kecupan lembut di punggung tangannya. Pun lantas membawa telapak itu untuk mendarat di pipinya. Merasakan kelembutan tersebut di kulitnya.

Sejurus kemudian, melepaskan tangan Elai, Marcel memaku tatapan matanya. Sementara jelas sekali, kedua tangannya lantas bergerak. Beranjak menuju ke sisi tubuh Elai. Lalu menyusup ke bawahnya. Dengan sedikit menundukkan tubuhnya, jemari cowok itu berusaha untuk meraih kaitan bra Elai.

Elai menahan napasnya. Namun, ia tak menolak sedikit pun ketika Marcel berniat untuk mengenyahkan pakaian dalam itu dari dirinya. Pun kalau ingin ditambahkan, samar Elai justru cenderung sedikit mengangkat tubuhnya. Memberikan kemudahan untuk cowok itu.

Udara dingin menerpa kulit Elai. Membuat ia meremang dalam keadaan yang nyaris mendorong ia ingin melenyapkan diri. Tampil hanya dengan sehelai pakaian yang masih tersisa di tubuhnya? Terbaring dengan ekspresi pasrah? Pun tampak tak menolak ketika Marcel menyentuh payudaranya? Elai tidak pernah mengira bahwa dirinya benar-benar tidak waras lagi. Bagaimana bisa ia membiarkan Marcel melakukan itu semua pada dirinya?

Hanya saja, ketika Elai berpikir untuk melarikan diri dari sentuhan itu, maka sebagian dari dirinya di dalam sana mencegah. Sentuhan itu ... entah sejak kapan telah berubah menjadi candu. Mendorong Elai untuk merasakan lebih. Elai tidak ingin kehilangannya. Dan mungkin candu itulah satu-satunya alasan mengapa pada akhirnya Elai tak kuasa untuk menahan dorongan demi memasrahkan dirinya. Membiarkan Marcel untuk kembali menyentuhnya. Hingga ia hanya bisa menerima. Terbuai dalam rayuan yang melayangkan perasaannya.

Tak mampu mengelak dari hasrat itu, Marcel tak ingin menunggu lagi. Kembali menghampiri Elai. Dan tentu saja saat ini tujuannya adalah sepasang payudara yang tampak menggodanya.

Membelai sejenak. Merasakan kehalusan payudara Elai, Marcel pun lantas meneguk ludahnya. Menuntaskan rasa penasarannya selama ini. Akan seperti apakah rasa payudara itu di mulutnya. Dan kemudian ... tatkala puting yang sudah menegang itu lenyap ke dalam kehangatan mulutnya, Marcel menyadari bahwa fantasinya selama ini tidak ada yang menyamai rasa nyatanya.

Itu adalah sensasi yang tak terungkapkan. Erotis. Bahkan nakal. Membuat dirinya tak mampu menahan desakan untuk mengulumnya. Melumatnya. Dan menikmati puting itu sesuka hati. Hingga Marcel merasakan kaki Elai bergerak tak tentu arah di bawah tubuhnya.

"Aaah .... Cel ...."

Desahan bernuansa gairah itu bagai musik yang teramat merdu. Membuat Marcel semakin berani untuk menjajah payudara itu. Tak hanya dengan mulutnya, melainkan juga dengan tangannya.

Menangkup payudara itu. Meremasnya. Dan lalu menggoda puting itu dengan permainan jarinya yang nakal. Berganti-gantian Marcel lakukan pada tiap payudara Elai. Hingga napasnya menderu. Merasakan tubuhnya yang memanas dan Marcel pun mengenyahkan kemejanya dengan teramat cepat. Pun berikut dengan setiap pakaian yang melekat pada mereka berdua. Membiarkan keduanya bersama-sama dalam keadaan polos yang tak terelakkan lagi.

Di saat Marcel terpana oleh kemolekan tubuh Elai, maka di saat itu pula Elai merasakan hal yang sama. Terpukau oleh kegagahan tubuh Marcel. Hingga lantas satu pemandangan itu membuat ia tercekat. Dan Marcel menyadarinya. Membuat seringai sombong terbit di wajahnya.

Dengan pemikiran nakal di benaknya, Marcel lantas menarik satu tangan Elai. Menuntun cewek itu untuk bangkit duduk sementara dirinya mengambil posisi berlutut di atas kasur itu.

Pelan-pelan, Marcel terus membawa tangan Elai. Dan ia merasakan sedikit keragu-raguan Elai. Namun, cowok itu menggeleng seraya tersenyum.

"Ini ... bukan pisang muli, Lai."

Wajah Elai memerah. Salah tingkah. Namun, tak kuasa menolak ketika Marcel kembali menuntun tangannya. Untuk menyentuh bagian intim cowok itu. Merasakan keras dan lembutnya sensasi tersebut. Hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Elai meneguk ludah. "Marcel ...."

Tak membiarkan Elai untuk bicara lebih lanjut lagi, Marcel lantas mendorong lembut tubuh ramping itu. Untuk kembali berbaring seraya berbisik nakal.

"Bener kan?"

Namun, tak benar-benar mengharapkan jawaban untuk pertanyaan nakal itu, Marcel lantas turut berbaring bersama Elai. Menindihnya. Membiarkan Elai merasakan bobot tubuhnya, Marcel dengan teramat sengaja mengambil posisi yang tepat. Di antara kedua kaki Elai yang sudah membuka dan samar merasakan kelembaban yang nyaris bisa membuat ia gila. Lantas melanjutkan kenakalannya berupa sentuhan malu-malu kejantanannya di bawah sana. Sontak membuat Elai menahan napasnya. Dengan jantung yang berdebar-debar dalam imajinasi yang seketika langsung memenuhi pikirannya.

Tersenyum penuh arti, Marcel lantas mencium Elai. Dengan teramat menggebu sementara satu tangannya turun ke bawah. Tak mampu mengelak dari desakan untuk menyentuh bagian intim yang satu itu. Dan lantas, Marcel menggeram. Tepat ketika merasakan bagaimana jari telunjuknya menyapa kelembaban surgawi itu. Sementara di detik selanjutnya, Elai yang makin gelisah justru berusaha menutup kedua kakinya.

"Elai .... Elai ...."

Suara berat Marcel melirihkan nama itu. Seiring dengan terlepasnya ciuman mereka dan Marcel menarik turun dirinya. Membiarkan bibirnya untuk kembali melanjutkan penjelajahan yang beberapa detik yang lalu sempat terjeda.

Bibir Marcel memberikan kecupan-kecupan kecil di sepanjang kulit Elai. Semakin turun. Melewati tulang selangka Elai yang tampak seksi. Hingga penjelajahan cowok itu kembali bermuara di puting Elai.

Menangkup kedua payudara Elai dengan tangannya, Marcel bisa melihat cewek itu memejamkan matanya di saat ia mengulurkan lidahnya. Lalu dengan nakalnya Marcel memainkan puting itu dengan ujungnya. Bergantian. Dan lalu menggoda dengan jilatan panjangnya di sekitaran payudara itu. Hanya untuk kembali menenggelamkan putingnya. Lantas mengisapnya dengan sekuat tenaga.

"Aaah ...."

Dorongan alamiah membuat Elai meremas bantal seraya melengkungkan tubuhnya dengan teramat sensual. Seolah memberikan penawaran yang lebih lagi pada Marcel. Hal yang tentu saja tidak akan disia-siakan oleh cowok itu.

Mengulumnya. Meremasnya. Lalu memanggutnya dengan kuat dan melepaskannya. Membiarkan puting itu merekah dengan keadaan yang benar-benar menyiksa hasratnya, Marcel pun turun. Kali ini memutuskan untuk menggoda perut ramping Elai dengan kecupan-kecupan yang ia taburkan di sana.

Elai semakin gelisah. Makin merasa dirinya tak berdaya. Sentuhan yang ia terima, terutama ketika bibir Marcel mendarat di atas pusarnya, membuat ia merasa terombang-ambing. Hingga kedua kakinya pun makin bergerak tak tentu arah. Merasakan desakan yang membuat ia makin tak karuan.

Marcel menahan kaki Elai. Bersama dengan bibirnya yang melabuhkan satu kecupan lainnya tepat di atas kewanitaan Elai. Dan itu membuat Elai sontak membuka matanya. Kali ini ia melihat horor pada cowok itu.

"Marcel ...."

Namun, Marcel mengabaikan lirihan Elai. Alih-alih, ia justru mendorong kedua kaki Elai untuk menekuk. Membuka di hadapannya. Dan ketika Elai akan bersuara kembali, Marcel dengan tanpa aba-aba langsung menyapa bagian itu. Memberikan sentuhan pertamanya pada kewanitaan Elai.

"Ah ...."

Lirihan tertahan bagai tercekat di pangkal tenggorokan Elai. Antara malu dan takut, ia justru mendapati bahwa sentuhan itu membuat ia mendesah panjang. Memejamkan matanya, Elai tak percaya bahwa dirinya menyukai hal tersebut. Hingga penolakan yang sempat terbersit di benaknya pun lenyap. Tergantikan oleh desahan demi desahan yang semakin mengalun di sekeliling mereka.

Menahan kedua kaki Elai untuk tetap membuka, sungguh! Marcel tidak pernah mengira bahwa Elai semanis itu. Menyadarkan Marcel bahwa tak ada gula ataupun madu yang bisa menyamai rasa manis Elai. Sungguh tidak ada. Hingga Marcel merasakan desakan untuk kembali mencicipi. Kembali merasai. Kembali mengisap. Membuat Elai semakin menggelinjang karenanya. Semakin gelisah. Terdorong oleh hasrat yang makin membara.

Dan Marcel tak mampu menunggu lebih lama lagi. Gairahnya benar-benar telah memuncak. Hingga memaksa ia untuk meninggalkan keintiman Elai di bawah sana. Lantas kembali memerangkap tubuh Elai dalam kungkungan tubuhnya.

"Elai ...."

Suara Marcel terdengar amat berat. Menyiratkan desakan yang tak mampu ia tahan lagi. Hingga menghadirkan kegugupan yang menyapa Elai.

Elai memejamkan matanya. Berusaha untuk mengalihkan pikirannya dari bayangan yang sebentar lagi akan menyapa dirinya. Berusaha untuk menikmati ciuman demi ciuman yang kembali Marcel labuhkan pada dirinya. Di lehernya, di pipinya, dan juga di bibirnya.

Lantas Elai merasakannya. Bobot tubuh Marcel yang benar-benar membebani dirinya. Terasa asing, namun anehnya juga terasa menyenangkan. Hingga rasa senang itu lantas menguap. Tergantikan oleh kebekuan yang timbul tatkala ia merasakan sentuhan jari tangan Marcel di belakang lututnya. Membuat Elai menahan nafasnya.

Perlahan, Marcel membuka kaki Elai. Seraya tetap membuai dengan ciumannya, Marcel pun mulai memposisikan dirinya. Dengan tepat. Dengan kejantanannya yang telah menegang dengan sempurna. Lalu ... Marcel pun memasuki Elai.

Ketika merasakan sentuhan asing itu, Elai tak kuasa menahan degup jantungnya untuk makin riuh. Ia tak ingin, tapi tubuhnya refleks menegang. Lantas semua seperti membeku dalam penglihatan Elai.

Jantungnya terasa berhenti berdetak.

Napasnya terasa berhenti berembus.

Waktu pun seperti berhenti berputar.

Semuanya seakan lenyap ketika satu sentuhan itu menyapa jauh ke dalam dirinya.

"Argh ...."

Pada akhirnya, lirihan tertahan itulah yang pertama kali Elai berikan sebagai respon untuk sentuhan yang Marcel berikan padanya. Bahkan tanpa sadar, setitik air mata timbul di ujung matanya. Membuat Marcel tertegun. Merasa bersalah.

"Ssst .... Maaf, Lai."

Elai berusaha menarik napas dalam-dalam sementara Marcel menenangkan dirinya. Membelainya. Mengusapnya. Merayunya. Dan Marcel menunggu. Memutuskan untuk tidak bergerak sedikit pun bila itu masih menyakiti Elai.

"Kamu nggak apa-apa?"

Marcel tau ia tidak akan pernah merasakan sakitnya. Tapi, ia merasa perlu mendapatkan jawaban itu. Hanya Tuhanlah yang tau betapa tak inginnya Marcel melihat Elai menangis. Dan tentu saja, juga hanya Tuhanlah yang tau betapa bergemuruhnya dada Elai ketika melihat sepasang mata Marcel. Di sana, tersirat ribuan rasa yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ada khawatir. Cemas. Dan semuanya yang tak pernah Elai temukan pada cowok lain.

Elai lantas menggeleng perlahan. Berusaha untuk menjawab dengan suara yang teramat serak. "Nggak apa-apa."

Dan bila ada sedikit saja keraguan Marcel untuk jawaban yang Elai berikan, maka tindakan Elai selanjutnya pastilah berhasil menyingkirkan hal tersebut. Adalah kedua tangan Elai yang kemudian bergerak. Mengalung di leher Marcel. Menariknya. Demi memberikan satu ciuman di bibir itu. Satu ciuman pemicu yang membuat Marcel sadar bahwa dirinya memang tak lagi mampu untuk menunggu.

Marcel membalas ciuman Elai. Melumat bibir itu dengan teramat menggebu. Lantas perlahan mulai bergerak.

Memulai buaiannya dengan pergerakan yang lembut nan penuh irama, Marcel mendapati bagaimana perlahan ekspresi wajah Elai berubah. Bila tadi tampak syok di sana, seiring waktu berjalan maka raut penerimaanlah yang Marcel dapatkan. Hal yang terang saja membuat perasaan lega itu memenuhi benaknya.

Terus bergerak, Marcel merengkuh pinggang Elai. Menahan tubuh itu ketika gairah yang ia rasakan makin melayangkan dirinya.

"Aaah .... Aaah .... Aaah ...."

Lirihan demi lirihan terdengar mengalun dari bibir Elai. Dengan matanya yang memejam, suara itu layaknya bukti nyata betapa Elai hanyut dalam setiap pergerakan yang Marcel ciptakan. Menyulut ego prianya untuk makin membuai. Mendorong ia untuk makin melenakan.

Marcel menggeram. Mengubah sedikit posisi tubuhnya, lalu ia menghunjam dengan dalam. Tepat menyentuh titik di mana Elai lantas membelalakkan matanya. Pun menggigit bibir bawahnya. Mengerang dalam lantunan yang teramat menggairahkan.

"Oh, Marcel ...."

Tangan Elai bergerak. Makin menarik Marcel untuk makin menindih tubuhnya. Memberikan isyarat bahwa betapa ia menikmati setiap detik yang berlalu di antara mereka. Pun tanpa sadar meremas rambut Marcel ketika ia merasakan desakan asing yang membuat ia merasakan perbedaan aneh pada dirinya.

"Ma-Marcel ...."

Sedikit menarik diri, Marcel melihat pada Elai tatkala merasakan ada yang berbeda pada suara cewek itu. Tersendat. Tercekat. Seperti menyiratkan sesuatu yang tak biasa.

Dan Marcel lantas mendapatinya. Bagaimana wajah Elai yang berubah. Napasnya yang kian memendek. Lantas disusul oleh rengekan yang membuat ia semakin direngkuh erat oleh Elai.

"Marcel. Marcel. Marcel. Cel ...."

Marcel membalas rengkuhan Elai dengan tak kalah eratnya. Berusaha untuk menahan pergerakan tubuh Elai yang semakin tidak terkendali. Bergerak semakin tak tentu arah.

"Iya, Lai. Aaargh ...."

Geliat tubuh Elai di bawahnya memercik Marcel untuk bergerak semakin menggebu. Menekan tubuh Elai. Menghunjamkan kejantanannya sekuat dan sedalam mungkin. Menarik erangan Elai untuk kembali mengalun.

Dan hunjaman demi hunjaman yang Marcel berikan, menyentuh Elai tepat pada titik di mana ia merasa kian terdesak. Makin tersudutkan oleh rasa yang mulai menyelingkupinya. Dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Menggetarkan jiwa dan raganya. Hingga ia tak mampu menahan semuanya. Melepaskan semua gejolak itu dalam satu erangan tertahan. Berikut dengan satu gigitan yang ia labuhkan di pundak Marcel.

"Aaah!!!"

Marcel merengkuh Elai dengan teramat kuat. Tidak mengendurkan sedikit pun pergerakannya. Justru mendesak dengan makin dalam. Demi memberikan percikan warna-warna yang seumur hidup baru dirasakan oleh Elai.

Dan kenikmatan yang menerpa Elai, lantas memberikan dampaknya pada Marcel. Membuat cowok itu merasakan adanya remasan otot-otot kewanitaan Elai di dalam sana yang memanjakan dirinya. Erat. Kuat. Liat. Dan juga hangat. Membuat ia menggertakkan rahang. Berusaha untuk menikmati semua sensasi itu lebih lama lagi.

Namun, semua rasa yang mengelilingi dirinya benar-benar membuat Marcel tak berdaya. Pun termasuk dengan gigitan Elai di pundaknya. Hal yang justru membuat gairahnya semakin terlecut. Mendorong ia untuk bergerak semakin membabi buta. Menghunjam dengan sekuat tenaga. Sedalam yang ia bisa. Tak peduli bagaimana Elai yang telah tak berdaya hanya bisa pasrah saja menerima tiap desakan yang Marcel lakukan padanya.

Hingga kemudian, pada satu titik Marcel pun menahan tubuh Elai. Didahului oleh geramannya, Marcel lantas menghunjam untuk yang terakhir kalinya. Menenggelamkan kejantanannya sedalam mungkin di kewanitaan Elai. Membiarkan bukti kenikmatannya tercurah di sana. Tumpah dan terperas tanpa sisa. Tepat sebelum pada akhirnya Marcel ambruk. Jatuh tanpa daya di atas tubuh Elai.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top