47. Gugup Yang Berbeda
Kali itu mungkin untuk pertama kalinya seumur hidup Marcel di mana ia membuktikan ungkapan bumi seolah-olah berhenti berotasi. Pun dengan waktu yang seakan-akan berhenti berputar. Seperti dirinya langsung tertarik pada dimensi lain. Bukan dunia yang selama ini ia kenal. Alih-alih bagian lain yang terasa amat asing baginya. Dan itu lantaran hanya satu sentuhan yang Elai berikan. Di bibirnya. Dengan satu ciuman yang terasa bergetar.
Itu hanya satu sentuhan. Bukan ciuman tanda cinta yang menggebu. Bukan pula ciuman bergairah yang penuh penuntutan. Namun, ajaibnya sentuhan tanpa pengalaman itu justru berhasil membekukan tubuh Marcel dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Dengan mata yang tak berkedip sekali pun, ia layaknya jelmaan patung bernyawa.
Adalah kedipan mata yang kemudian berhasil menjadi pergerakan Marcel selanjutnya. Tepat ketika ia merasakan kehampaan saat bibir Elai melepaskan sentuhannya pada bibirnya. Pun diikuti oleh menjauhinya wajah cantik itu darinya. Perlahan, sepasang kaki Elai pun menjejak seperti sedia kala di atas lantai.
Untuk beberapa detik lamanya, Marcel tertegun. Ia persis seperti orang bodoh yang baru saja melihat fenomena keajaiban dunia. Atau ... memang seperti itu yang tengah terjadi padanya? Mengalami keajaiban dunia?
Lantas ketika Marcel menunduk sementara Elai menengadahkan wajanya, mata keduanya pun bertemu dalam tatapan yang tak terelakkan. Dalam kebisuan beberapa detik, sorot mata itulah yang menjadi satu-satunya bentuk komunikasi yang mereka lakukan. Adalah masing-masing mereka merasakan hal yang sama. Yaitu, ketidakpercayaan.
Elai jelas tidak pernah mengira sebelumnya bahwa akan tiba masa di mana ia seperti orang tidak waras sehingga dengan nekatnya ia mencium Marcel. Pun demikian pula dengan Marcel. Tidak pernah menduga seumur hidupnya bahwa ada saat di mana Elai berinisiatif untuk menciumnya. Bahkan tanpa ada paksaan. Dan demi Tuhan! Hanya Tuhanlah yang tau betapa Marcel saat itu tak ubahnya seperti orang linglung.
"E-Elai ...."
Namun, suara gagap yang diikuti oleh pergerakan samar tangan Marcel yang ingin meraih Elai, justru membuat Elai merasa gemetaran. Layaknya pencuri yang takut akan ditangkap oleh polisi. Hingga membuat ia buru-buru menarik diri. Menelan ludah dan langsung berkata.
"A-aku ... aku mau mandi dulu, Cel."
Dan Marcel hanya bisa melongo. Melihat bagaimana Elai yang lantas langsung berlari meninggalkan dirinya yang tertegun di posisinya berdiri. Sungguh. Hanya karena satu ciuman, Marcel dengan teramat memalukannya tampak seperti bocah yang baru pertama kali mengenal seorang wanita.
"Argh, Elai! Apa yang baru aja kamu lakukan? Bisa-bisanya kamu nyium Marcel?"
Sesampainya di kamar mandi, Elai buru-buru mengunci pintu itu. Bukannya apa. Tapi, Elai sudah cukup hapal dengan sifat Marcel. Mengejar dirinya adalah hal yang masuk akan untuk cowok itu lakukan. Walau jelas sih. Melihat dari ekspresi Marcel tadi rasanya sedikit mustahil Marcel akan melakukan itu. Tadi ... Marcel justru terlihat tidak mampu melakukan apa-apa. Dan itu, membuat rutukan Elai kembali meluncur.
"Lihat? Lagi Marcel aja sampe melongo kayak orang begok gara-gara tindakan kamu tadi, Lai. Udah kebukti kan? Tindakan kamu tadi itu benar-benar tindakan gila!"
Elai meremas rambutnya yang terurai. Berulang kali hingga menimbulkan kusut di sana. Tapi, ia tidak berhenti ketika kembali merutuk.
"Kamu emang harus mandi, Lai. Keramas. Biar otak kamu bisa jernih lagi!"
Meniatkan hal itu di benaknya, Elai lantas mengangkat satu tangannya. Meraih resleting di belakang tekuknya. Perlahan berusaha menarik benda itu. Namun, rasa sakit mendadak menyentak kulit kepalanya. Membuat ia langsung melepas resleting tersebut.
"Aaah ...."
Elai merintih sakit. Menyadari bahwa ada beberapa helai rambutnya yang kusut tersangkut di resleting kebaya. Pelan-pelan, ia pun mencoba untuk melepaskan rambutnya dari sana. Namun, tak bisa.
Meringis, Elai memaksa otaknya untuk berpikir. Berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang sedang menyakiti rambutnya. Tapi, jalan keluar yang terlihat justru membuat ia makin meringis.
"Masa minta tolong sama Marcel? Aaah! Yang bener aja."
Namun, hingga beberapa saat berlalu, nyatanya Elai tidak mendapatkan pilihan lain selain meminta bantuan cowok yang telah resmi menjadi suaminya itu. Maka dengan menahan malu mengingat tindakannya tadi, Elai pun beranjak. Membuka pintu dan memanggil Marcel.
"Cel .... Marcel ...."
Marcel kala itu tengah duduk bersantai di sofa. Melihat pada acara televisi yang sebenarnya tidak benar-benar fokus ia nikmati. Karena jelas sekali, pikiran cowok itu masih tersita oleh tindakan berani yang Elai lakukan padanya tadi.
Memang. Elai selalu menjadi cewek pemberani. Bahkan dari kecil pun keberaniannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Tapi, tentu saja. Bukan keberanian seperti ini yang biasa Marcel hadapi. Menerima keberanian Elai yang mengejar-ngejar dirinya dengan sandal atau sapu, itu biasa. Tapi, menerima keberanian Elai yang mendadak menciumnya? Nah, itu nyatanya membuat ia jadi ragu dengan kewarasan dirinya kala itu. Memalukan, tapi Marcel sempat berpikir bahwa euforia kebahagiaan pernikahan itu memberikan dampak yang tidak main-main terhadap akal sehatnya.
Dan sekarang, mendapati suara Elai yang lembut menyebutkan namanya dari pintu kamar mandi, sontak membuat Marcel meneguk ludahnya. Bayangan ciuman yang belum lenyap dari benaknya seperti makin berulah dengan kenyataan ada Elai yang mengulurkan satu tangannya. Memberikan isyarat pada dirinya agar datang ke sana. Elai memanggil dirinya.
Glek.
Marcel meneguk ludah. Sontak merasakan perubahan suhu pada tubuhnya. Terjadi dengan amat sangat cepat. Dan dengan begitu drastis.
"A-apa?"
Seraya bertanya, Marcel pun bangkit dari duduknya. Beranjak dalam langkah gemetaran. Sontak saja, beberapa imajinasi nakal seputaran kamar mandi langsung membayang di benaknya.
Nggak jadi masalah.
Mandi berkali-kali pun nggak jadi masalah.
Mendapati Elai yang menggigit bibir bawahnya, Marcel lantas menyadari ada hal yang aneh pada cewek itu. Tampak kepalanya berada dalam posisi yang menyiratkan ketidaknyamanan. Dan rasa penasaran Marcel pun mendapatkan jawabannya ketika Elai membiarkan Marcel masuk sementara ia memutar tubuhnya. Menunjukkan penyebab mengapa ia memanggil suaminya itu.
"Rambut aku nyangkut," keluh Elai seraya menahan sakit. "Bisa tolong lepasin?"
Mata Marcel mengerjap. "Lepasin kebaya kamu?"
Sontak Elai memejamkan matanya dengan dramatis. "Rambut," kata Elai cepat. "Rambut aku. Lepasin dari resletingnya. Bukan lepasin kebaya aku."
"Aaah," ringis Marcel salah tingkah. "Bentar."
Tak mengatakan apa-apa, Elai lantas membiarkan Marcel untuk memulai tindakan penyelamatan pada rambut panjangnya. Pelan-pelan menarik helaian rambut itu dari jepitan resleting. Tidak terburu-buru. Hingga kemudian pada akhirnya semua helaian rambut yang terjebak di sana, terbebas pula. Elai mengembuskan napas lega.
"Udah," kata Marcel dengan mata yang tak lepas dari resleting yang telah turun setengah itu. Menampilkan sebagian kulit punggung Elai yang tampak halus. Seketika membuat ia tak berkedip
"Ehm ...," gumam Elai pelan. "Makasih."
Lantas lantaran takut rambutnya akan kembali terjebak di resleting kebaya, Elai pun mengulurkan tangan. Meraih setiap helai rambutnya. Lalu membawanya ke depan dada. Semakin memperjelas pemandangan itu di mata Marcel.
Hingga kemudian, seakan baru menyadari bahwa Marcel masih belum beranjak keluar dari kamar mandi itu, Elai pun buru-buru memutar tubuh. Melihat pada cowok itu dengan mata yang membesar. Melotot dengan wajah yang memerah.
"Kamu nggak mau keluar?" tanya Elai dengan suara yang terdengar meninggi. "Aku mau mandi loh."
Marcel meringis. "Iya iya. Aku keluar."
Menunggu sejenak hingga pada akhirnya Marcel benar-benar keluar dari kamar mandi, Elai pun dengan segera mengunci kembali pintu itu. Dan hal tersebut membuat ia lega. Sekarang, tanpa ada Marcel, ia pun mengembuskan napas panjang. Tepat sebelum ia melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya, beranjak menuju bilik pancuran. Menikmati air hangat yang kemudian membasahi sekujur tubuhnya. Memberikan rasa nyaman yang langsung membuat ia memejamkan mata. Menikmatinya.
Mungkin dibutuhkan waktu sekitar dua puluh menit bagi Elai untuk menuntaskan mandinya, tidak termasuk dengan mengeringkan rambutnya yang basah. Dan lantas ia beranjak menuju pada satu lemari di sana. Di mana telah disiapkan satu pakaian tidur untuk dirinya. Berbahan satin, bewarna krem lembut, berpotongan gaun sederhana dengan renda pemanis, serta dilengkapi jubahnya.
Elai memejamkan mata. Mendapati gaun tidur itu membuat ia merasakan jantungnya kembali berdebar parah. Merasa percuma saja keramas yang ia lakukan tadi. Sekarang, ia lagi-lagi gemetaran.
Menarik napas dalam-dalam, Elai kemudian menyadari bahwa ia tak mungkin menghabiskan waktu sepanjang malam dengan mendekam di kamar mandi. Pada akhirnya, ia pun harus keluar dari sana. Dan itulah yang ia lakukan pada menit selanjutnya. Berusaha untuk tetap tenang, ia menekan daun pintu. Memasang sikap santai, ia seolah tak tau dengan kenyataan di mana Marcel yang menatap lekat padanya. Pada sepasang betis ramping Elai yang melangkah dengan anggun. Tampak polos lantaran gaun tidur itu tepat berada di atas lututnya.
Elai duduk di meja rias. Meraih satu sisir dan berusaha untuk tidak menghiraukan Marcel, ia pun fokus dengan rambutnya yang kusut. Membiarkannya tetap terurai ketika ia bangkit dari sana.
Berencana untuk langsung menuju ke tempat tidur, Elai justru tertegun ketika mendapati Marcel yang telah memadamkan televisi. Pun telah berjalan menuju pada dirinya. Dan di saat itu, Elai berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi terintimidasi oleh setiap perubahan yang ia rasakan menyeruak di sekeliling mereka.
Entah memang udara yang memanas atau sebenarnya tidak, yang pasti saat itu Elai merasakan sebulir keringat mendadak saja tergelincir di sisi wajahnya. Sial! Elai gemetaran. Tepat ketika Marcel berhenti di depannya.
Tak bersuara, Marcel justru membawa tangannya untuk membelai ringan wajah Elai. Terkesan mengusap jejak keringat yang melintas di sana. Dengan kedua bola mata yang tampak bergerak mengamati. Lalu, ia mengerjap sekali.
"Kamu udah mau tidur?"
Suara Marcel terdengar rendah. Namun, juga berat. Dan walaupun sudah tak terhitung berapa banyaknya ia mendengar suara Marcel, kali ini Elai merasakan adanya hal yang berbeda. Suara Marcel sekarang terdengar begitu ... mendebarkan.
"I-iya ...."
Rasa-rasanya Elai ingin mengantukkan kepalanya di dinding ketika mendengar suaranya. Serupa dengan cicit anak tikus yang terjepit. Memalukan sekali.
Namun, berbeda dengan Elai, Marcel justru tampak tersenyum. Walau Elai tak yakin, apakah suara memalukannya yang menjadi penyebab senyum itu atau justru hal lainnya. Hanya saja, yang pasti adalah bahwa sedetik setelah ia menjawab, Elai mendapati Marcel yang lantas mengulurkan tangan. Meraih simpul tali jubah yang terikat di sisi pinggangnya. Dan ketika mata Elai melotot, kedua tangan Marcel sudah berhasil melepaskan jubah itu dari tubuh Elai.
Melihat jubah tidurnya telah mendarat di kursi meja riasnya, gemetar yang melanda tubuh Elai semakin menjadi-jadi. Namun, kali ini justru Marcel yang mengambil sikap seolah abai dengan kegugupan Elai. Alih-alih, tanpa aba-aba sedikit pun, Marcel mendadak langsung meraih tubuh Elai. Untuk kemudian terjatuh dengan mantap di gendongan kedua tangannya yang kokoh.
"Marcel!" pekik Elai kaget seraya buru-buru mengalungkan kedua tangannya di leher cowok itu. "Ka-ka-kamu mau ngapain?"
Marcel semula telah berjalan selangkah, namun ia berhenti seketika tatkala mendengar pertanyaan Elai. Pun dahinya berkerut saat ia menunduk, melihat pada wajah Elai dan tersenyum mendapati ekspresi gugup yang semakin menjadi-jadi di wajah cantiknya.
"Mau ngajak kamu tidur," jawab Marcel santai. "Kamu tadi mau tidur kan?"
Mata Elai membesar. Sial, tapi mendadak saja ada satu pertanyaan memalukan yang melintas di benaknya.
Ini maksud Marcel tidur yang mana coba?
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Elai lantas mendapati dirinya yang tak mampu bersuara ketika merasakan bagaimana tubuhnya sedikit berayun-ayun. Tepat ketika Marcel kembali melangkah. Lalu, perlahan ia merasakan tubuhnya mendarat di kasur yang empuk itu.
Memasang sikap waspada dengan jantung yang berdebar parah, Elai melihat Marcel yang menyelimuti tubuhnya. Sebelum ia memilih duduk di tepi tempat tidur. Hingga kemudian Marcel meraih tangannya. Mengelusnya dengan pelan.
"Besok kita bakal terbang sekitar jam delapan pagi," kata Marcel kemudian. "Jadi, sekarang lebih baik kita tidur dulu. Aku nggak mau kamu kecapekan besok."
"Aaah ...."
Ternyata beneran tidur yang dimaksud.
Elai mengangguk. "Tapi, ngomong-ngomong, besok kita mau pergi ke mana?"
"Ehm ...," dehem Marcel seraya mengulum senyum. "Kamu liat aja besok. Dijamin kamu bakal suka."
Dan Elai baru akan bersuara lagi. Tapi, Marcel tiba-tiba menundukkan wajahnya. Memberikan satu kecupan lembut di dahinya. Yang membuat Elai langsung meremas tepian bed cover di dadanya. Pun dengan memejamnya mata cewek itu. Pada akhirnya, Elai memilih untuk tidak mendebat lagi. Memutuskan untuk benar-benar tidur ketika Marcel pun turut berbaring setelah memadamkan lampu utama kamar itu.
Hingga kemudian, ketika kesadaran Elai benar-benar telah lenyap, Marcel tampak beringsut sedikit dari posisinya. Cowok itu tampak tersenyum ketika menyadari bagaimana kala itu Elai meringkuk dalam pelukannya. Terlihat nyaman sekali. Ehm ... mungkin karena sekarang Elai tidur di pelukan yang istimewa. Pelukan sang suami.
Keesokan harinya, ketika kesadaran kembali datang dan mendorong Elai untuk membuka sepasang matanya, adalah wajah Marcel yang pertama kali dilihatnya. Dan Elai perlu mengingatkan dirinya bahwa itu bukan kali pertama ia menemukan Marcel di sebelahnya. Dulu, sebelum mereka menikah pun hal seperti itu sudah sering ia alami. Tapi, tentu saja. Ada kesan yang berbeda di sini. Kesan yang membuat Elai merasa perlu untuk menarik napas dalam-dalam.
Sekitar lima belas menit kemudian, Elai dan Marcel pun mulai bersiap. Mandi dan berkemas demi penerbangan yang akan mereka lakukan tepat di jam delapan pagi.
Ada satu pesawat jet yang telah disiapkan oleh Marcel untuk perjalanan bulan madu mereka. Tentu saja, itu bukan hal yang aneh di mata Elai. Toh kemewahan dari kecil memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cewek itu. Namun, tetap saja. Masih ada satu hal yang terus menerus mengganjal pikiran Elai setibanya mereka di bandara.
"Kita mau ke mana sih, Cel?" tanya Elai lagi. "Jauh nggak?"
Layaknya itu adalah hal yang biasa, Marcel meraih pinggang Elai. Sekilas membuat cewek itu kaget. Namun, ia tak bisa mengelak ketika tangan Marcel benar-benar merengkuh dirinya. Seolah tak peduli dengan beberapa mata yang melihat ke arah mereka.
Dan selagi berjalan, Marcel berbisik di telinga Elai.
"Rahasia. Lagipula ntar kamu juga bakal tau kok," jawab cowok itu. "Perjalanannya juga nggak terlalu jauh. Mungkin cuma sekitar tujuh tajam gitu." Dahi Marcel tampak berkerut. "Lima atau tujuh jam ya? Ehm ... pokoknya nggak sampe seharian kok."
Tepatnya memang tidak sampai menghabiskan waktu selama tujuh jam untuk kemudian pesawat jet yang membawa mereka mendarat di satu bandara. Membuat Elai yang kala itu nyaris tertidur, menjadi segar kembali. Terutama karena Marcel dengan teramat bersemangat mengajaknya untuk bergegas.
"Ayo."
Turun dari pesawat jet tersebut, nyatanya Elai dan Marcel langsung menuju pada satu pesawat amphibi. Dan itu membuat Elai pun mulai menerka-nerka. Hingga satu nama pun melintas di benaknya.
"Maldives ...."
Marcel tersenyum lebar. "Aku pikir kamu mau berenang. Jadi, silakan kamu berenang sesuka hati kamu."
Seperti bukan Elai, tapi nyatanya perkataan Marcel kali itu membuat ia tertawa dengan teramat lepas. Benar-benar berderai hingga membuat Marcel terpukau karenanya.
"Kenapa kamu nggak sekalian ngajak aku ke Hawaii?"
"Ehm ... lama. Aku nggak mau kamu kecapekan."
Itu memang adalah alasan yang paling utama sehingga Marcel memilih Maldives sebagai tujuan bulan madunya. Pun ketika ia membidik satu resor di pulau terpisah, Marcel meyakini bahwa perjalanan tambahan sekitar tiga puluh menit dari bandara Internasional Ibrahim Nasir bukanlah waktu yang terlalu lama ketimbang mereka pergi ke Hawaii. Lagipula, mengingat kondisi pulau tersebut, pesawat jet yang membawa mereka pun tidak bisa mengantarkan keduanya tepat pada lokasi resor itu.
Maldives atau yang juga dikenal dengan nama Maladewa memang adalah salah satu tempat yang menjadi tujuan bulan madu terkenal di dunia. Memanjakan pengantin baru dengan keindahan villa di atas laut adalah salah satu hal yang menjadi andalan di sana. Pun dengan pilihan Marcel yang jatuh pada satu villa yang terletak di Pulau Kunfunadhoo.
Diklaim sebagai resor terbesar di Maldives, villa yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama enam hari di sana memiliki keunikan berupa lantai yang didesain dengan menggunakan kaca. Hingga terang sekali, Elai tak mampu menahan kesiap takjubnya saat melihat pemandangan bawah laut itu dari kamarnya.
Pun ketika Elai semakin menjelajah keadaan villa itu sementara Marcel membiarkan dua orang petugas menaruh barang-barang mereka, ia dibuat geli saat melihat keberadaan seluncur air meliuk di bagian belakang. Seluncuran yang tentu saja langsung menuju ke laut lepas. Dan ketika Elai menikmati pemandangan itu, angin dan sinar matahari langsung menyambutnya.
"Aku lega kamu senang dengan pilihan aku."
Suara Marcel terdengar. Tepat di sebelah Elai. Dan ketika itu, ia pun menyadari bahwa sudah dari tadi cowok itu berdiri di dekatnya. Setelah kepergian petugas resor pastinya.
Elai tersenyum kaku. "Oh .... Ya ini nggak buruk," katanya dengan gugup.
Sial. Tapi, berdua saja dengan Marcel dengan status yang berbeda jelas membuat perubahan pada sikap cewek itu. Terutama dengan kenyataan di mana semalam Marcel tidak melakukan apa pun pada dirinya layaknya yang biasa dilakukan oleh pengantin pria pada pasangannya.
Sungguh, itu bukannya membuat Elai tenang. Justru sebaliknya, ia semakin gemetaran layaknya tahanan yang sedang menunggu saat eksekusinya. Dan nahasnya, Marcel malah tampak seolah sedang mengulur-ulur masa itu. Bahkan ia pun tidak menyinggungnya sama sekali. Ketidaktauan itu jelas membuat Elai menjadi harap-harap cemas.
Eh?
Harap-harap cemas?
Elai buru-buru menarik napas dalam-dalam. Tangannya terangkat. Menunjuk ke dalam.
"A-a-aku kayaknya mau mandi dulu. Lumayan gerah."
Tak mengatakan apa-apa, Marcel hanya mengangguk sebanyak dua kali. Menyilakan cewek itu untuk masuk. Buru-buru menuju ke kamar mandi sementara dirinya masih menikmati pemandangan laut lepas yang cantik itu.
Ketika malam datang, Elai dan Marcel menikmati makan malam yang lezat di villa mereka. Bernuansa romantis, tentu saja pemandangan malam hari menambah keindahan suasana makan malam mereka.
Selang waktu berganti, berdiri di balkon, Elai lantas menengadahkan kepalanya. Menikmati pemandangan langit malam yang cerah dengan angin laut yang berembus. Membelai wajahnya dan mempermainkan rambutnya yang terurai. Kala itu jujur saja, Elai rasa-rasanya masih setengah tidak percaya bahwa sekarang dirinya tengah berada di satu pulau bersama dengan Marcel. Berdua saja dalam perjalanan bulan madu mereka. Bahkan membayangkan telah menikah saja Elai nyaris tidak percaya, apalagi sekarang.
"Kamu belum mau tidur?"
Satu pertanyaan mendarat di indra pendengaran Elai. Diikuti oleh sentuhan dua tangan yang turut mendarat pula di sekeliling perutnya. Sontak membuat mata Elai membesar, langsung menunduk. Melihat bagaimana tangan Marcel telah merengkuh dirinya.
"Ma-Marcel ...."
Alih-alih menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Marcel, Elai justru refleks menahan tangan cowok itu. Mungkin ia berpikir untuk melepaskan diri. Tapi, sedetik kemudian pemikiran itu lenyap. Lantaran satu kecupan yang jatuh di sisi lehernya, membuat ia bergidik. Dan sekarang, jantung Elai pun mempercepat laju degupannya.
"Seharian ini aku nunggu ..."
Dengan bibir Marcel yang berada di lehernya, memaksa telinga untuk tetap berfungsi adalah hal yang lumayan menyulitkan untuk Elai.
"... kapan kamu mau cium aku lagi."
Sontak saja Elai jadi meneguk ludah karena perkataan Marcel yang satu itu. Sekarang, rasa-rasanya angin yang berembus makin membuat ia gemetaran.
"Dan ternyata, aku justru nggak bisa nunggu lagi."
Elai menahan napas sementara matanya mengerjap-ngerjap dengan kesan gamang. "Ma-Marcel ...."
Hanya saja, layaknya suara Elai adalah hal yang tidak berarti, Marcel justru kembali melarikan bibirnya untuk membelai kulit leher Elai. Pun dengan teramat sengaja menderukan napasnya yang telah memberat di sana. Seiring dengan mengeratnya kedua tangannya di perut Elai. Makin menarik tubuh istrinya itu untuk kian melekat padanya.
Kali ini bukan hanya berusaha mempertahankan kerja telinganya, bahkan Elai nyaris merasa paru-parunya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda gagal fungsi. Bagaimana bisa di saat ia menghirup udara, justru aroma Marcel yang terhirup?
Dan ketika pada akhirnya Marcel membalikkan tubuhnya secara perlahan, Elai menyadari bahwa sekarang semua sistem kerja organ tubuhnya benar-benar terganggu. Tentu, hanya itulah satu-satunya alasan yang tepat untuk menjelaskan semua yang terjadi pada dirinya. Karena di detik selanjutnya, kedua tangan Elai menarik kerah kemeja Marcel. Bersambut dengan sepasang tangan Marcel yang turut meraih pinggangnya. Demi satu tujuan yang sama. Yaitu menyatukan kedua bibir mereka dalam satu ciuman yang teramat dalam.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top