44. Ungkapan Dan Yang Tak Terungkapkan
"Wadawww!"
Ciiit!
Marcel berhasil menghentikan langkah kakinya tepat sebelum tubuhnya menabrak satu guci. Tapi, nahas. Demi menyelamatkan guci yang tak bernyawa, punggungnya harus menjadi korban selanjutnya.
"Buuukkk!"
Marcel sontak meraung. "Aaah!"
Namun, itu belum cukup sampai di sana. Ketika sapu terangkat dari punggung Marcel, benda itu seperti memiliki tenaga tambahan untuk kembali terayun. Berikut dengan lengkingan suara Elai.
"Ciiiaaat!"
Hanya saja, seperti adegan di drama kolosal, Marcel dengan sigap memutar badan. Dengan satu tangan yang terangkat secara otomatis, sapu pun kemudian tertahan dalam genggaman tangannya yang kokoh.
Elai melotot. Berusaha sekuat tenaga untuk menarik sapu itu agar terlepas dari genggaman Marcel. Namun, yang ia dapati adalah bagaimana sapu itu yang bergeming. Tak bergerak sedikit pun. Dan ketika ia berpaling pada Marcel, mendelik, ia justru melihat bagaimana senyum miring tercetak di wajahnya yang tampan.
"Lepasin sapu aku."
"Nggak bakal," balas Marcel. "Kalau aku lepasin, terus kamu nyapu mah enak juga. Ini aku lepasin, eh ... kamunya malah mau nyiksa aku. Ya kali, Lai. Kita belum nikah, kamu udah yang KDRT aja sama aku."
Bibir Elai tampak mengatup rapat. "Masih bisa bahas soal nikah kamu, Cel?!" bentaknya tak ingin kalah. "Bisa-bisanya kamu bahas soal nikah setelah kehebohan yang kamu buat? Hah! Seminggu lagi? Kenapa kamu nggak nyuruh besok aja kita nikah?"
Mata Marcel mengerjap-ngerjap. "Kamu mau?"
Mendidihlah darah Elai. Membuat ia sontak berteriak sekuat tenaga hingga kedua matanya terpejam dengan teramat kuat.
"Nggak mau!!!"
Marcel merinding atas bawah mendengar teriakan itu. Membuat ia langsung lirik kanan lirik kiri. Lagi-lagi di dalam hati ia memuji tukang bangunan yang dipilih ayahnya.
Wah wah wah!
Ini pasti kontraktor yang ngerjain udah teruji klinis di ITB.
Setidaknya, keyakinan itu membuat Marcel bisa sedikit tenang menghadapi Elai. Sepertinya tidak akan ada tragedi bangunan yang mendadak roboh kalau tiba-tiba Elai menghajar dirinya dan mengantukkan kepalanya di dinding dalam waktu dekat. Hiks.
"Emangnya kenapa sih kamu nggak mau nikah minggu depan?"
Masih mempertahankan sapu di tangannya itu, pada akhirnya Marcel bertanya. Dan itu tentu saja membuat Elai merasa isi perutnya bergejolak. Bagaimana bisa ada cowok yang masih tidak mengerti kepanikan Elai saat itu? Menikah mendadak? Hanya dalam waktu seminggu?
"Wah!"
Ironis, tapi Elai merasa seperti dirinya yang benar-benar takjub tatkala mendengar balasan pertanyaan Marcel. Membuat ia mendengkus tak percaya.
"Menurut kamu aja, Cel. Baru kemaren aku nerima lamaran kamu dan kamu langsung ngasih tau ke semua orang kalau kita bakal nikah minggu depan?" tanya Elai dengan ekspresi tak habis pikir. "Misi? Kamu udah ngubungi pihak stasiun televisi swasta? Kali aja berita ini perlu disiarkan juga secara nasional."
Selepas mengatakan itu, alih-alih mendapati raut tersinggung di wajah Marcel, Elai justru menyadari sesuatu. Yang menjadi lawan bicaranya adalah Marcel. Cowok yang sekarang ia cap adalah cowok gila! Baru saja dirinya menerima lamaran, eh tau-tau berita pernikahan mereka sudah tersebar. Sontak saja Elai merasa ngeri dengan satu pemikiran itu.
"Ja-ja-jangan sampe kepikiran buat bayar stasiun televisi untuk nyiarin pernikahan kita, Cel," kata Elai horor dengan terbata. "Jangan sampe."
Karena jelas sekali, setelah Elai mengatakan itu, ekspresi wajah Marcel berubah. Layaknya ia yang baru saja diberi ide yang cemerlang.
"Kalau kamu mau a---"
"Nggak!" jerit Elai sekuat tenaga. "Aku nggak mau! Cukup aja aku mau nikah sama kamu. Nggak perlu sampe disiarkan di televisi, Cel. Pleaseee!"
Marcel menatap Elai dengan lekat untuk beberapa detik lamanya. Seperti mendapatkan satu hal yang menguntungkan dirinya.
"Mau disiarkan atau berenti mukulin aku?"
Ajaib, hanya dengan satu pertanyaan itu, Elai sontak melepaskan pula sapu di tangannya. Ia memohon.
"Please, jangan sampe disiarkan ya? Aku nggak mau jadi tontonan orang-orang se-Indonesia Raya."
Menyisihkan sapu itu di dinding terdekat, Marcel mau tak mau terkekeh mendengar rengekan Elai. Ckckck. Tau seperti itu, harusnya ia bisa menyelamatkan tubuhnya dari serangan sapu lebih cepat.
"Emangnya kenapa kamu nggak mau masuk TV? Semua orang pada mau masuk TV."
Elai manyun. "Nggak mau. Pokoknya aku nggak mau."
"Ehm ...." Mata Marcel menyipit. "Terus apa yang kamu mau? Nikah sama aku?"
Mulut Elai membuka. Ekspresi wajahnya tampak seperti ingin mendebat hal itu. Tapi, pada akhirnya ia menyerah. Dengan memejamkan matanya, layaknya ia yang tidak ingin melihat masa depannya, ia berkata.
"Iya. Aku mau nikah sama kamu."
Marcel refleks menjentikkan sekali jarinya hingga menimbulkan suara nyaring. "Nah, gitu kan enak. Kalau jujur kan semua masalah selesai."
"Kamu ...." Elai tampak menarik napas dalam-dalam, kedua tangannya mengepal di sisi badan. "Kan kemaren aku emang udah ngomong kalau aku mau nikah dengan kamu. Kenapa malah jadi masalah lagi sih?"
"Nah itu dia," balas Marcel. "Kamu udah nerima lamaran aku, terus kenapa jadi masalah kalau kita nikah minggu depan?"
Kala itu wajah Elai sudah tidak tau lagi bentuknya seperti apa. Hingga ia meringis. Menghentakkan kaki dan lalu memilih untuk duduk di sofa dengan kedua tangan yang langsung naik ke depan dada. Bersedekap dengan ekspresi yang teramat kesal.
Mengembuskan napasnya sekilas, Marcel pun lantas langsung menyusul Elai. Kali ini ia berniat untuk bertanya dengan lebih lembut.
"Apa lagi masalahnya?"
Menggigit bibir bawahnya sekilas, Elai berpaling ke sebelah. Pada Marcel yang telah duduk di dekatnya.
"Aku emang nerima lamaran kamu, Cel. Aku emang mau nikah dengan kamu. Tapi, ya nggak secepat ini juga kali. Kamu ... kamu ...." Elai tampak tak mampu menemukan kata-kata yang mampu ia ucapkan. "Wah!"
Pada akhirnya, cewek itu menuntaskan perkataannya dengan satu dengkusan. Membuat Marcel meraih tangan gadis itu dan menahannya ketika Elai berusaha melepaskannya. Tidak membiarkannya.
"Aku nggak tau kalau tren zaman sekarang udah berubah. Tapi, terakhir yang aku tau, cewek-cewek selalu suka kalau dinikahi secepatnya oleh calonnya," kata Marcel dengan penuh percaya diri. "Apa kamu nggak termasuk dalam golongan cewek-cewek ini?"
Membalas tatapan Marcel yang terarah lurus padanya, Elai mengerutkan dahi. Bermaksud untuk menyindir dengan hal yang serupa.
"Aku nggak tau kalau tren zaman sekarang udah berubah. Tapi, terakhir yang aku tau, sebelum nikah itu ada acara lamaran, ada acara tunangan, atau acara segala macam," balas Elai. "Dan kita langsung loncat ke acara nikahan?"
Marcel mengembuskan napas panjangnya sekilas. "Jangan nambah-nambah syarat nikah deh, Lai. Yang dibutuhkan itu cuma penghulu, saksi, dan mas kawin. Sama wali kamu. Untuk apaan itu tunangan, lamaran, mandi kembang atau segala macam. Yang penting kita nikah. Udah. Selesai. Beres."
Elai tentu saja melongo. Seakan tak percaya bahwa semudah itu Marcel mengatakan hal tersebut.
"Kamu ... ngomong seperti nikah itu adalah hal yang gampang banget."
Entahlah, karena jelas bahwa sistem otak cewek dan cowok adalah dua hal yang berbeda. Cewek dengan segala macam kerumitannya tentu saja tidak bisa menjamah segala macam kesederhanaan cowok. Pun sebaliknya. Setidaknya, itulah hal yang berusaha untuk ditenangkan oleh Marcel.
"Elai, kamu jangan sampe salah paham," kata Marcel kemudian. "Aku ngelakuin ini bukan karena aku nganggap pernikahan adalah hal yang remeh. Bukan. Nggak sama sekali." Ia menarik napas dalam-dalam, masih mempertahankan tangan Elai di genggamannya. "Justru sebaliknya. Ini cuma cara aku buat ngebuktiin sama kamu kalau aku benar-benar serius."
Hanya saja, mungkin di lubuk hati Elai yang paling dalam, ia juga ingin merasakan hal yang biasanya terjadi pada gadis lainnya. Meriahnya acara lamaran, bahagianya acara pertunangan, hingga harunya hari pernikahan. Tapi, selamat untuk Marcel. Berkat kegilaan cowok itu dalam membuktikan betapa agresifnya ia, semua ritual itu bisa ia pangkas tak tersisa.
Marcel meneguk ludah. Melihat ekspresi wajah Elai yang sekejap mata langsung berubah. Kalau tadi ia tampak merah membara, maka sekarang ia justru tampak pucat seperti tak lagi ada darah. Menimbulkan rasa bersalah yang perlahan muncul menyusupi relung hati Marcel, membuat tubuhnya seperti tak bertenaga lagi. Hingga kemudian dimanfaatkan oleh Elai. Cewek itu sontak menarik tangannya lepas dari genggaman Marcel.
Elai bangkit, berniat untuk beranjak pergi dari sana. Namun, Marcel tau bahwa dirinya tidak boleh membiarkan Elai meninggalkannya dalam keadaan salah paham seperti itu. Maka Marcel pun mengulurkan tangannya. Berusaha untuk meraih jemari Elai, namun ia justru meringis.
"Aaah ...."
Pergerakannya yang mendadak dengan posisi yang tidak tepat membuat satu rasa sakit timbul di punggungnya. Mendorong Marcel untuk mengernyit. Begitu pun dengan Elai yang sontak menghentikan langkah kakinya. Ia berpaling kembali pada cowok itu yang tampak berusaha meraih punggungnya sendiri. Alih-alih pada tangannya.
"Kamu kenapa?" tanya Elai menghampiri Marcel. Melihat pada punggung cowok itu dan menerka. "Apa gara-gara sapu tadi?"
Tak menjawab, Marcel pelan-pelan berusaha menggerakkan pundaknya ke belakang. Dan wajahnya kembali mengernyit karena rasa sakit yang kembali datang.
Demi melihat Marcel yang diam saja, Elai lantas langsung mengambil tindakannya. Meraih tubuh Marcel dan berusaha mendorong jas yang cowok itu kenakan.
"Eh eh eh?" kesiap Marcel dengan mata yang melotot. "Kamu mau ngapain?"
Masih tetap berusah melepaskan jas dari tubuh Marcel, ia menjawab lirih. "Mau ngeliat punggung kamu bentar. Apa luka?"
Namun, Marcel menahan tangan gadis itu. "Nggak apa-apa. Paling cuma nyeri dikit. Ntar juga baikan."
Setelah mengatakan itu, Marcel berniat untuk bangkit. Hanya saja Elai dengan cepat menahan tangannya dan menariknya untuk kembali duduk. Dan ia melotot.
"Aku mau liat bentar."
Mengabaikan larangan Marcel, Elai tetap berusaha melepas jas itu. Termasuk dengan menarik lepas dasi yang melingkari leher sang cowok demi bisa membuka satu persatu kancing di kemeja Marcel. Lantas, Elai melihatnya. Ada dua garis bewarna kemerahan itu punggung lebar itu.
Marcel mengembuskan napas. "Ya ... ini bukti kalau aku nggak perlu khawatir ninggalin kamu di rumah kalau kita udah nikah ntar," katanya seraya menoleh melalui punggung, berusaha untuk melihat pada Elai di belakangnya. "Kamu terbukti bisa mempertahankan diri dengan alat-alat rumah tangga."
Lantas Marcel terkekeh. Hanya sekilas memang, karena tak lama setelahnya, ia melihat Elai yang bangkit. Beranjak setelah memberikan peringatannya.
"Jangan ke mana-mana."
Marcel hanya melihat kepergian Elai. Tidak mengatakan apa-apa hingga kemudian ia tertarik memandangi pakaiannya yang sudah berserakan di sana.
Terakhir kali aku ngebayangin Elai bakal ngelepas pakaian aku, ditinggalkan kayak gini bukan jadi ending-nya.
Ckckckck.
Tak berapa lama kemudian, Elai kembali datang. Dengan satu baskom yang berisi es batu dan kain pembungkusnya. Ia langsung mengambil tempat di belakang tubuh Marcel. Mengompresnya.
Perlahan Marcel merasakan dingin yang menyentuh kulit punggungnya. Membuat ia menahan napas. Lantaran samar merasakan sentuhan jemari Elai di kulitnya.
"Nggak perlu, Lai. Ini ntar juga bakal--- Auuu!"
Horor, Marcel menoleh ke belakang saat mendapati bagaimana dengan teramat sengaja Elai justru menekan memar di punggungnya itu. Bahkan matanya pun tampak melotot pada Marcel.
"Diem nggak sih?"
Marcel meneguk ludah. "Iya iya. Aku diem."
Timbang badan aku tambah memar kan.
Enak juga kalau memarnya karena yang lain.
Eh, ini gara-gara sapu dong.
Dan ketika pikiran Marcel sibuk dengan hal-hal yang tak tentu arah, Elai justru masih dengan telaten mengompres memar itu. Berharap agar es mampu meredakan rasa nyeri dan juga warna merahnya. Hingga tanpa sadar, untuk beberapa saat lamanya, hanya ada keheningan yang berada di antara mereka. Dengan diselingi oleh beberapa kali ringisan Marcel tentunya.
Ketika pada akhirnya Elai merasa sudah cukup mengobati Marcel, ia pun lantas mengembuskan napas panjang. Berbicara dengan nada yang terdengar berbeda seperti biasanya.
"Kamu benar-benar serius mau nikahi aku? Kenapa bisa?"
Mendengar pertanyaan itu, Marcel langsung membalikkan badan. Melihat bagaimana Elai yang masih memangku baskom itu tampak menatap padanya dengan sorot yang tak mampu ia artikan.
Marcel mengambil alih baskom, menaruhnya di atas meja sementara ia kemudian meraih kedua tangan Elai. Seolah abai dengan penampilannya yang kala itu tanpa baju, ia balas menatap pada Elai.
"Kamu beneran mau tau alasannya?" balik bertanya Marcel. "Serius?"
Menciptakan jeda untuk beberapa saat, pada akhirnya jawaban yang diberikan oleh Elai adalah satu anggukan kepalanya yang samar. Hanya itu. Tapi, tentu saja sudah lebih dari cukup bagi Marcel untuk menarik napas dalam-dalam. Meremas jemari Elai di genggamannya.
"Sejujurnya ..."
Dan Elai bersiap untuk semua kemungkinan jawaban yang akan Marcel katakan padanya. Apa pun itu. Ia akan mendengarkannya.
"... saat kamu kabur dari pertunangan kita," lirih Marcel dengan kesan lelah di suaranya. "Aku benar-benar marah. Apalagi dengan fakta kalau kamu bahkan nggak ngenalin aku pas aku berdiri tepat di depan wajah kamu."
Elai diam. Pada saat itu ia menyadari bahwa mungkin dirinya juga akan marah bila berada di posisi Marcel. Bahkan untuk album foto yang sudah ia dapatkan, Elai justru memilih untuk membuangnya tanpa berniat untuk melihatnya sedikit pun saja.
"Waktu itu, ketika aku berpura-pura jadi bodyguard kamu, tujuan aku cuma satu."
Tanpa kedip, Elai memilih untuk tetap diam menunggu setiap penjelasan Marcel. Tampak tidak seperti Elai biasanya.
"Yaitu ..." Mata Marcel tampak menatap lekat pada mata Elai. "... ingin ngebuat kamu jatuh cinta sama aku. Tergila-gila sama aku."
Dan ketika tampak bibir Elai bergerak, layaknya gadis itu yang akan bicara, Marcel justru lanjut berkata. Kali ini dengan mimik meringis di wajahnya.
"Tapi, entah kenapa yang aku rasakan justru sebaliknya. Aku ngerasa yang terjadi malah seperti aku yang ... tergila-gila sama kamu."
Mata Elai sontak memejam. Seperti dirinya yang mengeluhkan betapa hari itu adalah hari yang penuh dengan kejutan. Dari tanggal pernikahannya yang justru ia ketahui dari kakaknya. Hingga diakhiri oleh pernyataan perasaan oleh Marcel. Dan ketika ia membuka mata, Marcel tampak tersenyum samar.
"Apa kamu juga ngerasain perasaan yang aku rasa, Lai? Apa kamu juga cinta aku?" tanyanya pelan. "Karena sumpah. Aku beneran cinta sama kamu."
Pundak Elai naik. Gerakan alamiah ketika ia berusaha menarik udara dalam-dalam. Ia seperti gamang dengan keadaan itu.
"Marcel ..., aku ...."
Pada akhirnya, Elai tak mampu mengatakan apa-apa. Wajahnya tampak lelah. Seperti prajurit yang memilih menyerah.
"Aku tau. Mungkin kamu ragu karena kita sudah lama nggak ketemu," kata Marcel dengan penuh pemakluman. "Tapi, seenggaknya ada hal baiknya di sini. Selama ini ... kamu nggak ada dekat dengan cowok mana pun kan?"
Untuk hal yang satu itu, Elai bisa dengan mantap menganggukkan kepalanya. "Nggak ada."
Senyum merekah di wajah Marcel. Membuat ia mengangkat kedua tangan Elai, mengecup punggungnya.
"Dan kamu juga pasti tau kan? Di malam pertunangan kita yang gagal itu ...," lirihnya kemudian. "... ada cowok yang kamu harapkan datang kan?"
Semua ekspresi menghilang dari wajah Elai, tepat ketika Marcel berkata.
"Itu ... aku."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top