43. Kabar Bahagia!

Marcel membuka matanya di pagi itu dengan berbinar-binar. Heran. Tapi, ia seperti merasa ada kilau cahaya di mana-mana yang nyaris bisa membutakan matanya. Padahal jelas sekali loh bahwa hanya ada lampu nakas yang menerangi kamar Elai. Lampu utama? Dipadamkan dong. Jadi, kok bisa? Atau mungkin itu ada kaitannya dengan suara yang mendadak saja menggema di benak Marcel?

"Iya. Aku mau nikah dengan kamu."

Ah, sepertinya memang itu penyebabnya. Jawaban Elai yang ia dapatkan kemaren.

Dan sekarang, ketika Marcel bangun, ia pun langsung berpaling. Melihat pada bantal guling yang memisahkan mereka, lalu pada Elai yang memilih berbaring di pinggir tempat tidur. Membuat cowok itu geleng-geleng kepala seraya mengenyahkan guling itu.

Perlahan, Marcel beringsut. Meraih tubuh Elai dengan pelan agar tidak sampai membangunkan sang gadis. Dan Elai menggeliat. Secara ajaib justru membalikkan tubuhnya dan bergerak menuju pada Marcel.

Marcel menyusupkan tangannya di lekuk leher gadis itu. Lantas membelai punggungnya dengan lembut. Menenangkannya agar tak terbangun di saat dirinya yang masih ingin menikmati beberapa menit kebersamaan itu.

"Ehm ...."

Terdengar lirihan sekilas dari bibir Elai sebelum pada akhirnya gadis itu nyaman kembali dalam tidurnya. Menerbitkan satu senyuman di bibir Marcel, tepat ketika ia mengecup puncak kepala Elai.

"Elai ...."

Lantas terdengar lirihan Marcel memanggil nama gadis itu. Dengan tangannya yang masih membelai dengan lembut pastinya.

"Minggu depan kita nikahnya gimana? Kamu keberatan nggak?"

Hening. Tidak ada suara apa pun. Karena jelas, Elai masih tertidur. Namun, itu membuat senyum Marcel semakin lebar lagi.

"Oh, ya udah kalau kamu nggak keberatan. Kalau gitu, biar ntar semuanya aku urus ya. Kamu tinggal terima beres aja pokoknya."

"Ehm ...."

Kembali terdengar lirihan suara deheman Elai. Tampak menggeliat sedikit di rengkuhan Marcel. Dan cowok itu angguk-angguk kepala.

"Iya iya. Tenang aja. Pokoknya semua bakal aku urus. Kamu tinggal duduk manis aja ntar di depan penghulu."

Maka setelah memastikan Elai tetap tidur dengan nyenyak, Marcel melabuhkan satu ciuman di dahi gadis itu. Lalu barulah ia pelan-pelan turun dari tempat tidur. Pun merapikan sejenak bed cover yang menyelimutinya. Barulah kemudian ia bersiap dan menuju ke kantor.

Sepanjang perjalanan, Marcel yang duduk dengan nyaman di kursi penumpang belakang sementara Seno melajukan mobil dengan tenang, mendadak saja teringat satu hal yang penting. Maka dari itulah ia mengeluarkan ponselnya. Buru-buru menghubungi Diana, sang ibu.

"Ma, ntar siang aku pulang ke rumah. Ada hal penting yang mau aku omongin dengan Mama dan Papa."

Tidak banyak hal yang dikatakan oleh Marcel selain mengatakan niatannya untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Untuk kemudian, ia pun tak lupa menghubungi Olivia.

"Kak," kata Marcel dengan senyum lebar yang tak mampu ia tahan untuk tidak mengembang di wajahnya. "Lamaran aku diterima dan Elai sudah setuju untuk menikah minggu depan."

"Hah?! Nikah minggu depan?"

"Iya. Jadi aku pikir, lebih baik Kakak secepatnya balik ke Indonesia. Kakak nggak mau melewatkan pernikahan satu-satunya adik yang Kakak miliki kan?"

Dan tentu saja, kehebohan Olivia kala itu tidak berbeda jauh dengan kesiap kaget Diana dan Widodo. Saat siang itu, setelah mereka bertiga menikmati makan siang bersama, Marcel pun mengutarakan niatannya. Nyaris membuat Diana syok saking tak percayanya.

"Mi-mi-minggu depan?" tanya Diana gagap. "Kalian mau nikah minggu depan?"

Dengan penuh percaya diri, Marcel menganggukkan kepalanya. "Elai sudah setuju buat nikah minggu depan. Jadi, dari pada lama-lama kan? Ya lebih baik kami nikah secepatnya saja."

Jawaban Marcel membuat kedua orang itu menarik napas dalam-dalam. Diana dan Widodo tampak bertukar pandang dengan dahi berkerut. Hingga kemudian Widodo tampak berkata pada putra tunggalnya itu.

"Kamu serius mau menikahi Elai? Kamu nggak lupa kalau kemaren dia pernah lari dari pertunangan kalian?"

Marcel mengembuskan napas panjangnya sejenak sebelum menjawab. "Itu murni kesalahan aku, Pa, kalau Elai sampai kabur dari pertunangan kami." Mata cowok itu bergerak, berpindah-pindah melihat pada orang tuanya bergantian. "Cewek mana yang nggak bakal ketakutan kalau harus mendadak bertunangan dengan cowok yang udah lama nggak dia lihat? Harusnya sebelum pertunangan itu aku menemui dia dulu."

Lagi-lagi, jawaban Marcel membuat Diana dan Widodo saling pandang. Seolah sama mengetahui bahwa sepertinya keputusan Marcel tidak akan bisa diganggu gugat. Bahkan kalau mau ditarik kesimpulan, yang mana itu adalah kesimpulan yang mengerikan bagi kedua orang tua itu, bahwa sepertinya Marcel benar-benar menginginkan Elai untuk menjadi istrinya. Memangnya cowok waras mana yang masih ingin menikahi cewek yang jelas-jelas sudah lari dari pesta pertunangannya kalau cowok itu tidak cinta mati pada sang cewek? Ckckckck. Bagaimana bisa?

Bahkan dari pertunangan yang gagal itu, kalau Marcel sedikit saja masih waras, tentu saja ia tidak sampai nekat untuk mengejar Elai. Bahkan sampai berpura-pura menjadi bodyguard cewek itu. Dan sekarang? Rasanya justru ajaib tidak melihat Marcel yang tidak ingin menikah besok lusa!

"Tapi ...."

Suara Diana kemudian terdengar setelah jeda beberapa saat. Wanita paruh baya yang tampak maklum dengan perasaan anak sematawayangnya itu terlihat menatap mata Marcel dengan penuh kasih.

"Kamu tau pernikahan nggak bisa dilakukan secepat itu, Cel. Kamu putra kami satu-satunya. Sementara Elai adalah anak bungsu. Pernikahan kalian seharusnya menjadi hal yang meriah. Semua orang harus diundang. Dan seminggu? Bagaimana mungkin semua relasi keluarga kita dan Elai bisa datang semua? Salah-salah itu bisa menyinggung perasaan mereka semua."

Ah, tentu saja. Pernikahan orang-orang berada tidak pernah menjadi hal yang sederhana. Seharusnya Marcel ingat itu.

Namun, bukankah semua masalah ada jalan keluarnya? Dan sepertinya itulah yang dilakukan oleh Marcel. Mencari jalan keluarnya.

"Tenang saja, Ma. Aku dan Elai bisa menikah minggu depan. Lalu untuk pestanya bagaimana kalau bulan depan?"

Kembali, Diana dan Widodo saling pandang setelah mendengar jawaban itu. Membuat Diana kembali bertanya, seolah benar-benar ingin meyakinkan sang putra untuk keputusannya.

"Kamu serius ingin menikahi Elai?"

Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Marcel lantas menatap orang tuanya bergantian untuk beberapa saat. Kemudian memberikan satu anggukannya dengan mantap. Di matanya, tampak sorot keyakinan yang tak terbantahkan.

"Aku serius."

*

Dan tak hanya membuktikan keseriusannya dalam bentuk menemui orang tuanya, Marcel pun menyempatkan diri untuk menghubungi orang tua Elai yang kebetulan sama-sama tidak berada di tempat. Baik Pamela maupun Bramanto sedang dalam perjalanan bisnisnya. Tapi, untunglah. Teknologi zaman sekarang amat bisa diandalkan. Melalui fasilitas tatap muka di laptop, Marcel pun menyampaikan niatan hatinya itu.

"Aku dan Elai sudah sepakat untuk menikah bulan depan, Tante. Sementara untuk pestanya sendiri mungkin akan diselenggarakan bulan depan."

Pamela dan Bramanto pun sama terkejutnya seperti Diana dan Widodo. Tapi, layaknya seorang pengusaha yang handal, Marcel terbukti teramat pintar bernegosiasi dengan orang tua Elai. Meyakinkan calon mertuanya itu bahwa semua akan menjadi tanggung jawabnya. Pun termasuk meyakinkan Pamela bahwa dirinya benar-benar serius ingin menikahi dan membahagiakan putri bungsunya itu. Hingga membuat Pamela berpikir seperti ini di benaknya.

Memangnya kapan lagi ada cowok yang dengan warasnya mengatakan bakal menerima Elai dengan semua sifatnya itu?

Menyedihkan, tapi bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau Elai memang menyebalkan dari kecil?

Hingga kemudian, ketika semua orang-orang terdekatnya sudah ia kabari, sore itu, Marcel memikirkan hal lainnya dalam perjalanan pulangnya. Tentu saja. Bagian terpenting dari pernikahan.

Terserah deh orang mau ngomong apa.

Baru seminggu masuk kantor terus cuti lagi.

Toh selama berpura-pura menjadi bodyguard kemaren Marcel sebenarnya tidak benar-benar melepaskan tanggungjawabnya. Ia layaknya yang sedang menjalani work from home kok. Widodo bahkan hanya sesekali saja melihat keadaan kantornya. Selebihnya tetap dikerjakan oleh Marcel setiap malamnya.

Maka dari itu, Marcel sama sekali tidak berniat untuk menunda bulan madunya.

Pesta pernikahan boleh ditunda sebulan.

Ya kali bulan madu juga ditunda.

Sebulan?

Bisa mati berdiri punya Marcel!

Dengan senyum di wajahnya, Marcel lantas turun dari mobil. Langsung masuk ke gedung apartemen dan menuju ke lantai di mana unit Elai berada.

Seraya melangkah di lorong, Marcel sudah berencana akan mengabarkan semuanya pada Elai. Bahwa semua hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka sudah ia urus. Toh apa gunanya uang yang banyak kalau menyiapkan pernikahan dalam waktu seminggu saja tidak bisa kan?

Namun, alangkah kagetnya Marcel ketika ia masuk ke unit apartemen dan mendapati jeritan Elai. Tak tanggung-tanggung, suara melengking itu membuat semua kata-kata di benaknya lenyap seketika. Terutama ketika dilihatnya Elai yang tampak mengerikan berdiri tepat di depan sana.

"Marcel!!!"

Wajah Elai yang putih cantik berubah warna menjadi merah gelap. Dengan cuping hidung yang kembang-kempis seperti orang kena asma, Elai bernapas dengan kasar. Layaknya seekor naga yang mampu menyemburkan api dari hidungnya. Dan tentu saja, sebagai pelengkap, ada satu buah sapu yang terancung di tangan kanannya.

Glek.

Tas kerja di tangan Marcel sontak terlepas dari tangannya, jatuh di lantai. Matanya mengerjap-ngerjap seraya meneguk ludah dengan gugup.

"Ka-ka-kamu ngapain bawa sapu?" tanya Marcel gagap. "Ma-ma-mau nyapu?"

Tangan Elai tampak memegang gagang sapu dengan teramat kuat. Bibirnya pun mengatup rapat. Seperti tengah menahan emosi yang mengancam akan meledakkan tubuhnya.

"Iya. Aku emang mau nyapu," kata Elai dengan penuh penekanan. "Aku mau nyapu otak kamu yang isinya benar-benar ngebuat aku rasanya mau nelan orang hidup-hidup hari ini."

Glek.

Kedua tangan Marcel naik ke depan dada. Perlahan kakinya bergerak ketika dilihatnya Elai melangkah sekali. Menuju pada dirinya. Tentu saja, dengan sapu di tangannya!

Astaga!

Tempo hari aja sandal bisa buat aku kalang kabut.

Apalagi kalau sapu?

Yang benar saja.

Berusaha untuk menenangkan dirinya, Marcel tersenyum samar.

"E-E-Elai, tenang," kata Marcel kemudian. "Nggak baik mudah marah-marah. Ntar cepat tua. Wajah cantik kamu bisa mengalami pengerutan dini."

Namun, wajah Elai tampak mengeras. Sama sekali seperti tidak tersentuh dengan gurauan yang Marcel coba katakan. Dan itu terang saja membuat alarm di kepala Marcel berbunyi. Elai sedang dalam mode serius!

"Se-semua bisa kita bicarakan baik-baik," kata Marcel tetap sambil menjaga jarak yang aman dari perkiraan serangan sapu itu. "Oke?"

Elai mendengkus. "Oke?" deliknya. "Oke menurut kamu kalau aku yang bakal jadi mempelai wanita justru nggak tau kalau kita bakal nikah minggu depan?"

Glek.

Marcel berusaha untuk tetap bernapas. Berusaha untuk tetap tenang walau jelas itu adalah hal yang sulit. Terutama karena di detik selanjutnya, teriakan Elai kembali menggelegar dengan sekuat tenaga.

"Siapa yang ngomong mau nikah minggu depan?!"

Dan setelah itu, tak sempat membela diri dengan kata-kata, Marcel harus buru-buru berlari. Menghindar dari serangan sapu yang berusaha untuk mendarat di tubuhnya berulang kali.

Marcel merutuk di dalam hati.

Mampuslah aku.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top