42. Jawaban Dan Kejutannya
A-apa?
Wah!
Berani-beraninya Pirly ngajak Marcel kenalan di depan muka aku!
Mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Elai berusaha menahan desakan perutnya. Seperti ada dorongan yang membuat ia ingin muntah saat itu juga. Mual-mual melihat kelakuan Pirly yang terang-terangan sedang berusaha menggoda Marcel!
"Aku nggak pernah nganggap kamu temen aku," kata Elai dengan penuh penekanan pada Pirly. Sementara pada Marcel, ia pun tak segan-segan memberikan peringatannya. "Kamu sampe kenalan dengan dia, awas aja."
Elai memastikan bahwa Marcel melihat delikan matanya yang penuh ancaman sebelum pada akhirnya ia menghentakkan kakinya sekali. Tak mengatakan apa-apa lagi, ia pun lantas memutar tubuh. Meninggalkan tempat itu seraya menggerutu di dalam hati.
Awas aja.
Kalau dia sampe beneran kenalan, apalagi kalau dia sampe ngasih nomor ponselnya ke cewek itu, beneran nggak bakal aku maafkan!
Lantas ketika Elai berhenti di depan lift, menunggu benda itu untuk membuka, ia pun tak mampu menahan desakan dirinya untuk berpaling. Sekadar mencari tau, apakah Marcel menyusul dirinya atau tidak. Dan ternyata ....
"Dia bukannya nyusul aku? Tapi, malah sibuk ngobrol sama itu anak Mr. Krabs?"
Kedua tangan Elai mengepal dengan teramat kuat di sisi tubuh. Ketika telinganya mendengar denting halus lift yang terbuka, ia pun tak membuang waktu lebih lama lagi. Langsung masuk dan membiarkan lift bergerak membawa dirinya ke lantai tempat unitnya berada.
Masuk ke unit apartemennya, Elai melepaskan raungan penuh kesal miliknya. Menjerit dengan sekuat tenaga. Beruntung sekali bangunan itu kedap suara, kalau tidak, mungkin saja resepsionis di bawah sana bisa mendengar suara Elai saking kuatnya ia menjerit.
"Hah! Lihat! Emang cowok tuh di mana-mana sama aja. Kemaren aja ngebet mau ngajak aku nikah, eh ... timbang baru dirayu buat kenalan langsung dong matanya ijo. Kayak ngeliat setumpuk dolar."
Membuang napasnya kasar, Elai mengusap wajahnya yang terasa panas dan basah. Sungguh! Dadanya sekarang terasa terbakar oleh api tak kasat mata. Hingga membuat ia tak tau harus melakukan apa. Tanpa sadar membuat ia justru berakhir di depan televisi yang menyala. Mengira bahwa menyibukkan otaknya dengan tayangan di sana bisa membuat rasa kesalnya berkurang.
Sekalian.
Aku mau nunggu.
Kapan itu Marcel naik.
Apa dia langsung haha hihi sama anak Mr. Krabs itu hah?!
Namun, tak lama dari gerutuan itu meluncur di benaknya, sama telinga Elai mendengar suara wanita. Interkom kunci apartemen yang terbuka lebih tepatnya lagi. Cukup menjadi tanda bagi Elai bahwa ada seseorang yang masuk. Dan itu pasti adalah ... Marcel.
Mendapati kedatangan Marcel, Elai refleks mendengkus kesal. Lalu membuang mukanya. Seolah tak peduli dengan cowok itu. Walau jelas sekali, di dalam hati Elai berkata hal lain.
Bagooos.
Udah mau ganti iklan berapa kali baru muncul.
Puas deh puas itu ngobrol sama anak Mr. Krabs.
"Jadi ... kamu nggak mau ngeliat aku kenalan sama Si Ikan Paus?"
Sedetik setelah pertanyaan itu mendarat di telinganya, Elai langsung melayangkan lirikan tajam dengan ujung matanya. Menukas dengan kesal. "Pake acara nanya."
Marcel tampak mengembuskan napasnya sekilas seraya melangkah. Meraih remot di atas meja demi memadamkan tayangan televisi yang sebenarnya tidak Elai tonton dari tadi. Barulah kemudian menaruk kembali benda itu di tempat semula.
"Aku cuma berusaha memperjelas semuanya, Lai. Kamu nggak suka kalau ada cewek lain yang deketin aku?"
"Eh?" Elai sontak terkesiap dengan mata yang membesar. "Siapa ngomong? Kamu nggak usah GR jadi cowok."
Marcel mendehem sejenak setelah terlebih dahulu memilih untuk duduk di kursi yang berbeda. "Ehm ... bener gitu?" tanyanya dengan kesan sedikit menantang. "Berarti kalau aku kenalan dengan dia, nggak jadi masalah dong?"
"Jadi masalah dong," tukas Elai dengan mata yang kian membesar.
"Masalahnya apa?"
"Masalahnya ... masalahnya ...." Elai mengerjap-ngerjapkan matanya ketika mendapati dirinya yang tak mampu menjawab pertanyaan itu. Hingga ia pun putus asa ketika kembali menukas. "Masalahnya aku nggak suka!" Sekarang Elai kembali mendelik. "Kamu kan udah aku kasih tau kalau aku dan dia itu berada dalam hubungan yang bagus. Jadi, aku nggak mau kamu deket-deket dengan dia."
Dan tepat setelah mengatakan itu, Elai sontak menggigit bibir bawahnya. Merasa geram terhadap dirinya sendiri lantaran mendapati sikap Marcel yang membuat ia justru merasa kikuk. Marcel menatap matanya dengan begitu lekat, hingga membuat Elai merasakan keringat mulai terbit di tekuknya.
"Cuma nggak suka?"
Pertanyaan itu tak langsung mendapatkan jawabannya. Alih-alih, justru membuat Elai berpaling. Entah mengapa, tapi pertanyaan Marcel membuat ingatannya kembali ke belakang. Menyaksikan Marcel dan Pirly jelas menghadirkan rasa yang tidak enak di dadanya. Berdenyut dan menimbulkan rasa sesak.
"Ehm ...."
Deheman Marcel membuat Elai menegang. Seperti tubuhnya yang tengah memberik peringatan padanya. Mau tak mau membuat Elai kembali berpaling pada cowok itu. Marcel tampak bangkit dari duduknya.
"Ya ... mengingat aku bakal tinggal lebih lama di sini, kayaknya nggak ada salahnya sih kalau aku punya satu atau dua orang kenalan baru. Ehm ... kayaknya Pirly lumayan baik." Marcel tampak tersenyum pada Elai. "Gimana kalau ntar malam kita makan bertiga di resto gedung? Mau? Ehm ... itu kayaknya ide yang bagus."
"Hah?!"
Elai terkesiap tak percaya. Tak percaya dengan apa yang cowok itu katakan. Terutama karena di detik selanjutnya Marcel tampak memutar tubuh. Berniat untuk beranjak dari sana. Dan itu terang saja membuat Elai menggeram. Bangkit dan berseru.
"Berenti!"
Tepat setelah Elai menyerukan satu kata itu, langkah kaki Marcel langsung berhenti. Pun langsung berpaling lagi pada Elai. Mendapati mata sang gadis yang tampak menatapnya lurus tanpa kedip.
"Kenapa? Kamu nggak suka ngeliat aku makan dengan cewek lain? Cuma sebatas nggak suka? Kasih aku alasan yang lebih bagus, Lai."
Elai menarik napas dalam-dalam. Semua emosi itu membuat ia berpikir bahwa dirinya akan meledak sebentar lagi. Dan ia pun tau. Marcel sengaja memojokkan dirinya. Tapi, lagi-lagi. Bayangan memuakkan di mana Pirly merayu Marcel membuat ia menyerah.
"Iya. Aku mau."
Bahkan bukan hanya Elai, Marcel pun lantas seperti tak percaya dengan apa yang gadis itu ucapkan. Hingga suaranya kemudian terdengar bertanya, seolah ingin memperjelas ucapan Elai.
"Mau?"
"Iya," jawab Elai seraya memberikan satu anggukannya. "Aku mau nikah dengan kamu."
Lalu, hening. Marcel tampak tak bergerak di posisinya. Hanya menatap Elai untuk beberapa saat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan, cowok itu nyaris tak bergerak. Sontak membuat Elai salah tingkah.
"Ka-kamu---"
Ucapan Elai sontak terputus ketika dengan teramat cepat Marcel sudah berpindah tepat di hadapannya. Membuat ia kaget dan nyaris melonjak dari tempatnya berdiri. Tapi, Marcel memastikan bahwa Elai untuk tidak beranjak sedikit pun dari posisinya. Kedua tangannya yang kokoh langsung menahan lengan atas Elai. Dan ketika Elai akan kembali bersuara, cowok itu sudah terlebih dahulu bicara. Dengan sorot mata yang jelas sekali berbeda dengan sorot matanya beberapa saat yang lalu.
"Apa kamu bilang?" tanya Marcel dengan kesan serius di suaranya. "Kamu mau nikah dengan aku?"
Di saat itu, Elai merasa paru-parunya tak lagi bisa bekerja dengan baik. Ia seperti merasa kesulitan bernapas.
"Kamu terima lamaran aku? Kamu mau nikah dengan aku?"
Menelan ludahnya, Elai merasakan tubuhnya gemetaran. Sungguh! Sorot mata Marcel membuat ia benar-benar tak bisa berkutik. Dan pada akhirnya ... Elai pun menyerah ketika kepalanya bergerak dalam satu anggukan samar.
"I-i-iya," jawab Elai gagap. "Aku terima lamaran kamu. Aku mau nikah sama kamu."
Namun, layaknya jawaban itu tak cukup, Marcel belum melepaskan tubuh Elai. Seperti dirinya yang masih perlu untuk meyakinkan kenyataan itu.
Marcel menatap lekat-lekat pada mata Elai. "Jangan main-main dengan aku, Lai. Sekali kamu nerima lamaran aku, itu artinya kita memang bakal nikah. Jangan pernah mikir kamu bisa nerima lamaran aku sekarang dan justru ngebatalinnya besok."
Tatapan dan sorot tajam itu membuat Elai merasa lemas. Kakinya seperti tak memiliki tenaga lagi. Hingga ia pun buru-buru berpegang pada dada cowok itu. Meremas jas hitam yang masih meletak di tubuhnya yang kokoh.
Elai menarik napas. "A-aku nggak main-main. Kamu cukup tau gimana aku, Cel," ujarnya seraya mengerjapkan sekali matanya. "Aku nggak pernah ngomong iya kalau aku nggak suka."
Ah, tentu saja.
Bahkan cewek itu rela melakukan apa pun untuk menghindari diri dari hal yang tidak ia suka. Dan apa itu artinya ....
"Aku tau kamu suka aku dari dulu."
Elai terhenyak oleh perkataan itu. Namun, ketika ia merasa perlu untuk menjernihkan kesimpulan yang mendadak diambil oleh Marcel, ia justru mendapati bagaimana tubuhnya yang ditarik oleh cowok itu. Tak mampu mengelak, Elai justru memilih untuk memejamkan mata ketika merasakan bagaimana bibir Marcel telah jatuh di bibirnya.
Bahkan kalaupun Elai akan mengatakan argumennya, maka jelas semua kata-katanya akan lenyap. Teredam sempurna dalam lumatan demi lumatan yang Marcel labuhkan pada Elai.
*
Keesokan harinya, ketika Elai bangun, tak ada lagi Marcel di sebelahnya. Dan itu tentu adalah hal yang melegakan untuknya. Karena jelas Elai merasa bingung juga harus menghadapi Marcel seperti apa setelah kejadian kemaren sore. Di mana ia menerima lamaran itu dengan penuh kesadaran.
Elai pikir, pagi itu kalau ia menemukan Marcel masih di sebelahnya ketika ia bangun, mungkin saja ia akan merasakan malu yang tak tertahankan. Dan bukannya apa, hanya saja setelah kejadian tempo hari, Marcel dan dirinya memang selalu tidur di kamar yang sama. Memang, tidak ada hal apa pun yang terjadi, tapi sekarang Elai menyadari bahwa penerimaannya akan lamaran pernikahan itu membuat beberapa perubahan otomatis terjadi. Seperti ... malu misalnya. Mengingat ia menerima lamaran itu karena alasan yang teramat aneh.
Ini semua gara-gara anak Mr. Krabs!
Memutuskan untuk tidak berlama-lama larut dalam rasa malu itu, pada akhirnya Elai turun dari tempat tidur. Semula gadis itu berencana untuk ke kamar mandi, hanya saja dering ponsel membuat ia terpaksa mengurungkan niatan hatinya itu. Ada panggilan video dari Olivia.
Bola mata Elai berputar malas dengan kesan menyindir ketika mengangkat panggilan itu. Tepat ketika wajah Olivia muncul di layar ponselnya, ia pun menyeletuk.
"Halo, Sayonara."
Ups!
Olivia mengerjap salah tingkah. Bahkan ia tampak menggaruk kepalanya. Sebelum pada akhirnya ia berkata.
"Kakak denger kamu nerima lamaran Marcel."
Wah! Hilang sudah kata sayonara dari benak Elai. Sekarang justru cewek itu tampak melongo.
"Kakak udah tau?" tanya Elai tak percaya. "Wah! Cepat banget berita beredar."
"Kamu ini beneran nggak ada duanya dalam ngebuat kejutan, Lai," ucap Olivia seraya geleng-geleng kepala. "Dan gara-gara kamu, Kakak terpaksa harus harus buru-buru nyari tiket buat balik. Untung aja dapet."
Nah, kali ini Elai mengernyit bingung. Tak mengerti.
"Hubungannya apa, Kak?" tanya Elai seraya berusaha berpikir. "Aku baru nerima lamaran Marcel loh. Belum ...."
Lantas, bola mata Elai membesar. Kengerian itu membayang dengan alasan mengapa sepagi itu Marcel sudah tidak ada lagi di kasurnya. Sudah bangun dari hari yang masih teramat pagi.
"Jangan ngomong ...."
Olivia meringis. Tampak aneh sekali ekspresi wajahnya ketika ia berkata seperti ini.
"Marcel ngomong minggu depan kalian bakal nikah."
Kali ini, Elai benar-benar terlonjak dari tempatnya. Mata melotot seperti akan meloncat dari rongganya. Dan wajahnya benar-benar tampak horor ketika menjerit histeris.
"What?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top