41. Desakan Jawaban
"Aku nggak tau kalau kamu selama ini ingat aku."
Mendengar hal itu, Elai rasa-rasanya ingin mengantukkan kepalanya di dinding terdekat. Apa bisa? Apa bisa ia bertahan dari rasa malu yang amat memalukan itu? Tentu saja jawabannya tidak bisa.
Sempat terbersit di benak Elai, untuk menampik hal tersebut. Tapi, dengan semua hal yang pernah ia katakan secara gamblang tempo hari, apa bisa? Ck. Alih-alih bisa menyelamatkan mukanya, jangan-jangan ia justru semakin mempermalukan dirinya sendiri. Hiks.
"I-i-itu ...."
Mata Marcel berkedip sekali layaknya memotong ucapan terbata Elai. "Dan untuk itu semua, kamu masih aja belum mau nerima lamaran aku?"
Elai menahan napas tatkala mendengar pertanyaan itu, sementara Marcel justru mengembuskan napas panjang. Terasa samar membelai wajah Elai. Hingga membuat mata gadis itu memejam secara spontan. Dan ketika ia membuka mata, maka membelalaklah ia. Lantaran Marcel yang sudah berada semakin dekat dengan dirinya. Kini, embusan napas Marcel benar-benar terasa hangat di kulitnya. Seketika membuat Elai meremang. Tanpa sadar tangannya pun lantas meremas sofa di bawah tubuhnya.
Bibir Elai terbuka, dalam tujuan akan menyuarakan kesiapnya. Namun, dalam hitungan detik yang teramat cepat, Marcel justru menikmati bibir itu dalam satu kecupan yang menggetarkan Elai hingga ke ujung kaki.
Marcel mengerjap sekali sebelum pada akhirnya menatap kembali mata Elai seraya melepaskan bibir gadis itu dari kecupannya. Menjaga jarak dalam hitungan angkat yang tak seberapa, Marcel dengan teramat sengaja membawa jari tangannya untuk membelai sisi wajah Elai.
Elai menahan napas. Tubuhnya seperti langsung menegang. Dalam antisipasi. Pun juga dalam praduga-praduga mendebarkan. Yang membayangkan ... hal apa yang akan Marcel lakukan selanjutnya.
Namun, nyatanya yang dilakukan oleh Marcel selanjutnya adalah bertanya. Kembali mempertanyakan hal yang sama pada gadis itu.
"Kapan?" tanya Marcel seraya memaku mata Elai. "Kapan kamu mau nerima lamaran aku?"
Terpisah dalam jarak yang tak seberapa, Elai mendapati bahwa kian lama otak dan tubuhnya bekerja dalam keadaan yang tidak seperti biasanya. Ia merasa dirinya yang seperti tidak bisa berpikir. Mungkin karena dua ciuman yang Marcel berikan. Atau mungkin karena aroma maskulin yang terhirup bersama dengan tarikan napasnya. Atau mungkin karena belaian napas hangat yang menerpa kulit wajahnya dari tadi.
Entah apa penyebabnya, yang pasti Elai kemudian memilih jalan aman. Yaitu pelan-pelan beringsut. Menarik diri. Berusaha untuk menciptakan jarak yang cukup untuk dirinya mampu menguasai dirinya kembali. Tapi ....
Mata Elai kembali membelalak ketika mendapati bagaimana Marcel yang dengan terang-terangan turut beringsut. Layaknya ia yang ingin menciptakan jarak di antara mereka, maka begitupun dengan Marcel yang justru menginginkan hal yang sebaliknya. Mengikis jarak yang memisahkan keduanya.
Elai menahan napas. Menyadari bahwa ia tak bisa mundur lagi saat ini. Lantaran ada tangan sofa yang telah mengadang punggungnya!
"Ehm .... Ma-Marcel ...."
Elai mengangkat kedua tangannya. Telapaknya yang terasa telah mendingin karena keringat menahan dada Marcel. Namun, pertahanan yang tak seberapa itu dengan mudah dienyahkan tatkala Marcel kembali menundukkan wajahnya.
Kalau tadi, sebanyak dua kali Marcel hanya memberikan ciuman sekilas pada Elai, maka sekarang cowok itu bertekad melakukan hal lainnya. Karena jelas, ia pun menyadari bahwa pertanyaannya dari tadi tidak mendapatkan jawaban yang pasti dari sang gadis. Sekarang, Marcel berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mendorong Elai ke titik terendah. Memastikan bahwa ia akan mendapatkan jawabannya.
Maka tidak aneh sama sekali bila kemudian Marcel mencium Elai dengan teramat pelan. Seolah-olah sedang mengulur waktu. Dengan teramat sengaja membuka ciuman itu dengan sentuhan ujung lidahnya yang membelai bibir Elai. Dan ketika Elai terkesiap, maka Marcel pun lantas tak segan-segan menekan bibirnya pada keranuman itu.
Elai merasa seperti dirinya terhenyak tatkala mendapati ciuman Marcel kali ini jelas berbeda dengan ciumannya yang tadi. Membuat matanya mengerjap-ngerjap dengan gamang saat merasakan Marcel yang teramat dalam memanggut bibirnya. Dan lantas, seakan itu tak cukup, di detik selanjutnya ada suara-suara asing yang hinggap di indra pendengaran sang gadis ketika Marcel mengubah sentuhannya menjadi lumatan.
Napas seperti tersangkut di tenggorokannya. Membuat Elai tanpa sadar membuka mulutnya hanya demi berusaha menarik udara yang ia butuhkan. Namun, nyatanya bukan hanya oksigen yang ia dapatkan. Alih-alih sebuah sapuan lidah yang hangat dan basah yang kemudian menghampiri saraf perasanya.
Marcel memiringkan kepalanya. Mencari posisi yang tepat sehingga memudahkan dirinya untuk memperdalam ciumannya. Dan sementara bibirnya bergerak menuntut, ada sepasang tangannya yang lantas melaksanakan tugasnya dengan teramat baik. Pelan-pelan mendorong. Menyudutkan Elai hingga tak berdaya. Terbaring tertahankan tangan sofa. Hingga kemudian, Marcel pun merasakan sepasang telapak tangan Elai yang semula menahan dadanya, perlahan berubah fungsi. Bergerak samar dalam remasan yang membuat Marcel tak mampu menahan dirinya sendiri.
Elai tak mampu menahan dirinya untuk tidak meremas kemeja Marcel. Tepat ketika ia merasakan bagaimana di dalam mulutnya, ada lidah Marcel yang bergerak-gerak sensual menghancurkan setiap pertahanan yang ia miliki. Marcel menyentuhnya dengan teramat membuai. Menggoda barisan giginya, hingga kemudian merayu lidahnya. Membelitnya, mengajak milik Elai untuk menari dalam sentuhan yang membuat gadis itu tanpa sadar mengerang.
"Aaah ...."
Lantas Elai merasakan bagaimana rohnya seakan terbetot lepas dari tubuh. Merasakan desakan yang tak tertahankan ketika Marcel dengan teramat intim mengisap lidahnya. Dan tak hanya itu, Marcel pun lantas melumatnya. Memanggutnya. Hingga membuat Elai semakin tidak berdaya.
Napas Elai terengah-engah. Teramat payah. Namun, merasa beruntung karena di detik selanjutnya Marcel melepaskan ciuman mereka. Walau jelas, itu bukan berarti rayuan Marcel berhenti sampai di sana. Karena di detik selanjutnya, Elai merasakan bibir yang hangat nan basah itu pelan-pelan turun. Menyusuri lehernya dan lantas ia memejamkan matanya. Dengan bibir yang membuka dalam tujuan mengerang dan menarik udara, Elai meremas pundak Marcel.
Marcel mengecup sisi leher Elai dengan penuh perasaan. Menghirup aroma kulitnya yang serupa bunga. Lantas menjulurkan lidahnya hanya untuk menjilati kulit leher Elai dengan teramat sensualnya. Kemudian ... lirih suaranya terdengar bertanya.
"Apa aku harus memastikan benih aku hidup di rahim kamu dulu baru kamu mau nerima lamaran aku?"
Terkesiap, mata Elai langsung membuka besar. Tepat ketika dirasakannya tangan Marcel telah mendarat di perutnya!
*
"Argh!"
Elai memejamkan matanya. Kalau ia teringat kejadian sore itu, rasa-rasanya mustahil Elai masih hidup di dunia hingga saat ini. Memalukan.
Namun, kala itu Elai berhasil menyelamatkan dirinya. Berbekal satu janji. Yaitu bahwa dirinya akan memberikan jawaban pada Marcel satu minggu lagi.
"Ka-ka-kasih aku waktu seminggu lagi. Se-setelah itu aku bakal jawab lamaran kamu."
"Seminggu? Ehm ... aku kasih waktu tiga hari."
"Tiga hari? Ka-kalau gitu, tiga hari dengan catatan aku boleh keluar."
"Kamu mau kabur?"
"Nggak, aku nggak bakalan kabur. Tapi, seenggaknya aku mau jalan ke taman."
"Oke. Cuma batas taman."
"Eh? Ma-Marcel!"
"Cuma sebatas taman atau aku buat kamu hamil sekarang juga?"
Mengingat hal itu, terang saja menyebabkan rasa panas yang tak tertahankan seperti membakar wajahnya. Membuat Elai langsung mengangkat satu tangannya. Mengipas-ngipasi kedua pipinya sudah bewarna merah seperti tomat rebus!
"Tumben duduk di sini sendirian. Biasanya keliling mall."
Satu suara wanita membuat aktivitas kipas-kipas Elai terhenti seketika. Alih-alih meneruskan kegiatan aneh itu, Elai sontak menoleh. Melihat pada Pirly yang entah mengapa justru menghampiri dirinya yang tengah mencoba menenangkan diri di sore hari itu.
Elai mencibir. Tak menghiraukan bagaimana Pirly yang dengan jelas bisa melihat ekspresi kusut di wajah cantik gadis itu.
"Aku mau duduk di sini, mau keliling mall, atau bercocok tanam nyemai benih juga bukan urusan kamu," tukas Elai. "Pikirkan aja urusan hidup kamu sendiri deh."
Pirly tampak memutar-mutar bola matanya dengan malas. Tangannya naik dalam rangka memainkan ikal rambutnya di sisi wajah. Lalu tanpa basa-basi, di detik selanjutnya cewek itu justru beranjak duduk. Mau tak mau membuat Elai menggeser duduknya sedikit.
"Ngapain kamu?"
Pirly mengembuskan napas panjang. Berdecak sekilas. "Sorry sorry to say, Lai. Tapi, aku bukannya mau mikirin urusan hidup kamu. Sumpah deh. Beneran. Cuma ...."
"Cuma?" Mata Elai menyipit dalam sorot waspada. "Cuma apa?"
"Ehm ... aku cuma mau tau cowok cakep yang sering ngekorin kamu ke mana-mana itu. Namanya siapa? Tumben dia nggak ada."
Dooong!
Elai melongo dengan mata membesar dan mulut menganga. Terutama karena di detik selanjutnya tampak sekali Pirly yang mengulum senyum malu-malu kucing. Sumpah! Rasa-rasanya nyaris membuat Elai ingin memuntahkan isi perutnya saat itu juga.
Menunggu sejenak, namun tak mendapatkan jawabannya. Alih-alih hanya menerima ekspresi melongo Elai, pada akhirnya membuat Pirly bertanya lagi.
"Siapa namanya?"
Elai mencebik. "Males aku kasih tau."
"Eh?" Mata Pirly membesar. "Dia asisten kamu? Atau apa kamu? Ehm ...." Pirly mengerutkan dahinya, mencoba untuk berpikir. "Perasaan kemaren dia manggil kamu Nona gitu. Jadi, otomatis dia bukan cowok kamu kan? Ah! Tentu aja. Kamu masih deket dengan Patrick? Kenapa nggak jadian aja? Kasian loh. Dia udah lama ngejar-ngejar kamu. Dari kita masih sekolah."
"Astaga," lirih Elai seraya mengangkat kedua tangannya ke atas. Tampak menyerah. "Ini yang kamu bilangin nggk mikirin urusan kehidupan aku? Ckckck. Heran deh aku sama kamu, Pir. Beneran kayak nggak ada kerjaan aja."
"Kalau kamu langsung ngasih tau nama dan nomor cowok itu, aku nggak bakal kok mikirin urusan hidup kamu lagi. Gimana?"
Kali ini ekspresi wajah Elai berubah horor. Terutama ketika dilihatnya Pirly yang dengan penuh percaya diri menyodorkan ponselnya. Seolah yakin bahwa gadis itu akan memberikan apa yang ia inginkan.
Namun, sedetik kemudian, Elai melotot besar.
"Sampai kiamat dunia, aku nggak bakal ngasih tau kamu siapa namanya dan berapa nomor ponselnya. Jangan harap."
Pirly tampak manyun sementara tangannya yang menyodorkan ponsel tampak berangsur turun. Hanya saja, ketika ia akan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas yang ia bawa, mendadak retina matanya menangkan satu pemandangan yang membuat ia terkesiap.
"Astaga, Tuhan. Panjang umur itu cowok. Baru aja dighibahin, eh ... langsung muncul aja wujudnya."
Kesiap Pirly membuat Elai mengerutkan dahi. Lantas ia pun berpaling pada arah yang menjadi fokus mata cewek itu. Dan Elai melotot. Melihat bagaimana Marcel yang masih lengkap dengan pakaian kantornya tampak berdiri di sisi gedung apartemen. Mengedarkan pandangannya. Tentu saja, Marcel pasti mencari dirinya.
Hanya saja, berbeda dengan pemikiran Elai, Pirly justru berniat untuk memanfaatkan kesempatan itu. Alih-alih meminta pada Elai, kali ini ide menarik terbit di benaknya. Membuat ia bangkit berdiri seketika. Melayangkan sindiran pada Elai yang langsung membeku.
"Ini yang namanya jodoh," kata Pirly seraya mengedip-ngedipkan namanya. "Pasti bertemu."
What?!
Elai seperti terhenyak di bangku taman yang ia duduki. Melihat dengan jelas bagaimana Pirly yang seperti anak TK baru pulang tampak berlari-lari kecil dengan ekspresi riang gembira. Tentu saja sambil berseru memuakkan.
"Mas .... Namanya siapa?"
Melihat Pirly yang langsung menghampiri Marcel, sontak membuat Elai melotot. Ia langsung bangkit dari duduknya. Rasanya sih seperti ada arang sate yang mendadak berkobar di dada gadis itu. Panas. Berasap. Tepat ketika dilihatnya bagaimana Pirly yang tampak mencolek-colek Marcel.
"Dia bukannya pergi, tapi malah ngeladenin itu cewek?"
Mata Elai tidak bisa melotot lebih besar lagi ketika melihat dari kejauhan bagaimana Marcel yang kemudian tampak berbicara dengan Pirly. Tentu saja, Marcel mau tak mau harus meladeni Pirly yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Walau jelas sekali, tadi ketika ia tidak mendapati keberadaan Elai di unit, cowok itu langsung mencari tau keberadaan sang gadis. Berkat informasi yang ia dapatkan dari petugas keamananlah sehingga pada akhirnya Marcel tiba di sana. Namun, ketika ia justru mendapati cewek lain yang menemuinya, Marcel pun kaget. Terutama karena Pirly yang terang-terangan melayangkan sikap menggodanya. Dengan satu ponsel yang terulur pada dirinya.
"Mas. Nomor hp-nya dong."
Marcel meneguk ludahnya horor. Ya ampun. Nggak di Bikini Bottom nggak di sini, yang namanya Pirly emang genit buat mules ya?
Tangan Marcel terangkat. Tentu saja bukan untuk menerima ponsel itu. Alih-alih menolak. Hanya saja, sepertinya ada seseorang yang salah mengartikan gestur tubuhnya itu.
"Oh, terus .... Nomor sepatu nggak sekalian kamu kasih?"
Marcel dan Pirly sama-sama berpaling. Pada Elai yang telah berdiri di dekat mereka dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada. Ekspresi wajah gadis itu tampak keras.
Marcel mengerjapkan matanya sekali. "Elai, aku nyariin kamu."
"Huh!" dengkus Elai. "Dan cewek kecentilan ini nyariin kamu."
Horor, Marcel sontak berpaling dan melihat bagaimana Pirly yang mengedip-ngedipkan mata padanya. Ih! Sontak saja membuat Marcel bergidik. Itu jelas bukan tipenya sama sekali.
Mengganti kedipan matanya dengan satu senyuman manja yang tampak sekali dibuat-buat, Pirly lantas mengulurkan tangannya. Menawarkan perkenalan.
"Temen Elai dari SMP dulu, Pirly."
Elai mual-mual. "Aku nggak pernah nganggap kamu temen aku," katanya langsung. Dan berpaling pada Marcel, cewek itu menuding. "Kamu sampe kenalan dengan dia, awas aja."
Hanya itu yang dikatakan oleh Elai dan ditutup dengan satu delikan terakhir sebelum gadis itu lantas menghentakkan kakinya sekali. Memutar tubuh dan langsung berlalu dari sana. Mengabaikan bagaimana Pirly yang dengan terang-terangan melayangkan cemoohan padanya. Seraya berkata dengan tetap mempertahankan uluran tangannya.
"Ck. Emang dia pikir dia siapa. Ehm ... jadi, siapa nama kamu?"
Seolah lupa bahwa di sana ada Pirly, Marcel pun tergugu sejenak. Matanya yang tadi tersihir oleh tindakan Elai, mengerjap sekilas.
Marcel tersenyum pada Pirly, mengabaikan uluran tangan itu. "Sorry, tapi dengar kan apa yang Elai bilang?"
Hanya itu yang dikatakan oleh Marcel. Satu kalimat tanya yang membingungkan. Dan Pirly semakin bingung lagi ketika mendapati bagaimana Marcel yang langsung beranjak dari sana. Tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun lagi pada dirinya.
"Hah? Yang bener aja!"
Bahkan gerutuan itu seperti tidak menjamah indra pendengaran Marcel. Jelas, itu karena dirinya yang langsung berlari menuju ke lift. Dan tak menunggu lebih lama lagi untuk dirinya lantas tiba di unit Elai.
Masuk, Marcel pun lantas langsung mencari keberadaan gadis itu. Dan ia menemukan suara samar televisi yang menyala. Cukup menjadi tanda bagi cowok itu bahwa gadis yang ia cari tengah berada di mana.
Tatapan mata Marcel langsung beradu dengan milik Elai. Gadis itu tampak mendengkus kesal, lalu membuang muka. Hal yang terang saja membuat Marcel menjadi menyeringai geli.
"Jadi ...," lirih Marcel dengan penuh irama sembari menggaruk sekilas ujung pelipisnya. "... kamu nggak mau ngeliat aku kenalan sama Si Ikan Paus?"
Elai melirik dengan ujung matanya. "Pake acara nanya."
"Aku cuma berusaha memperjelas semuanya, Lai," kata Marcel lagi. Kali ini kaki cowok itu melangkah. Tangannya meraih remot di atas meja. Memadamkan tayangan televisi dan menaruh kembali benda itu di tempat semula. "Kamu nggak suka kalau ada cewek lain yang deketin aku?"
Mata Elai membesar. "Eh? Siapa ngomong? Kamu nggak usah GR jadi cowok."
Memilih untuk duduk di kursi yang berbeda, Marcel bisa melihat ekspresi salah tingkah di wajah Elai yang cantik. Membuat ia mendehem untuk beberapa saat lamanya.
"Ehm ... bener gitu? Berarti kalau aku kenalan dengan dia, nggak jadi masalah dong?"
Mata Elai semakin membesar. "Jadi masalah dong."
Nyaris saja Marcel menyemburkan tawanya. Alih-alih, cowok itu justru menahan napasnya sejenak. Sengaja mengulur waktu.
"Masalahnya apa?"
Kali ini mata Elai mengerjap-ngerjap, alih-alih terus membesar. "Masalahnya ... masalahnya ...."
Senyum miring Marcel timbul, seperti tengah menyudutkan Elai yang mulai tampak meringis.
"Masalahnya aku nggak suka!" tukas Elai sejadinya. "Kamu kan udah aku kasih tau kalau aku dan dia itu berada dalam hubungan yang bagus. Jadi, aku nggak mau kamu deket-deket dengan dia."
Diam sejenak, mata Marcel tampak memaku tatapan mata Elai. Membuat gadis itu merasa kikuk dan tanpa sadar mengusap tekuknya yang perlahan menerbitkan keringatnya.
"Cuma nggak suka?"
Elai tak menjawab. Alih-alih mulai memalingkan wajahnya ke tempat yang lain. Walau jelas sekali, sekarang gadis itu merasakan denyutan yang tidak enak. Di dadanya. Teringat dengan jelas bayangan di mana Pirly yang tadi terang-terangan menggoda Marcel di depan matanya.
"Ehm ...."
Deheman Marcel kemudian terdengar. Seiring dengan bangkitnya cowok itu dari duduknya. Tampak mengembuskan napas panjang perlahan, ia terlihat seperti menimbang sesuatu di benaknya.
"Ya ... mengingat aku bakal tinggal lebih lama di sini, kayaknya nggak ada salahnya sih kalau aku punya satu atau dua orang kenalan baru. Ehm ... kayaknya Pirly lumayan baik."
What?
Baik?
Marcel tampak tersenyum pada Elai. "Gimana kalau ntar malam kita makan bertiga di resto gedung? Mau? Ehm ... itu kayaknya ide yang bagus."
"Hah?!"
Kali ini Elai tak segan-segan untuk tidak melongo. Walau jelas, responnya itu bagai tidak berarti di mata Marcel. Karena tepat setelah mengatakan itu, ia pun memutar tubuhnya. Layaknya ia yang akan beranjak dari sana. Jelas sekali membuat Elai menggeram.
Elai mengepalkan kedua tangannya dengan erat di sisi tubuh. Menahan napas sejenak di dada, lalu ia berkata setengah membentak seraya bangkit.
"Berenti!"
Langsung, langkah kaki Marcel berhenti bergerak. Alih-alih terus berjalan, cowok itu justru kembali beralih pada Elai. Mendapati bagaimana wajah sang gadis yang tampak memerah. Dan matanya ... terarah lurus pada Marcel.
"Kenapa?" tanya Marcel. "Kamu nggak suka ngeliat aku makan dengan cewek lain? Cuma sebatas nggak suka?" Mata Marcel mengerjap dengan penuh irama. "Kasih aku alasan yang lebih bagus, Lai."
Menarik napas dalam-dalam, wajah Elai semakin mengeras. Matanya terpejam untuk beberapa saat. Hingga kemudian, ketika mata mereka kembali terhubung dalam tatapan lurus, Elai pun berkata dengan penuh penekanan.
"Iya. Aku mau."
Marcel membeku demi mendengar hal yang diucapkan oleh Elai. "Mau?"
"Iya," angguk Elai sekali. "Aku mau nikah dengan kamu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top