40. Tanpa Celah
Setelah sedikit menenangkan diri dari kejutan demi kejutan yang ia dapatkan, Elai bangkit dari tempat tidur. Ke kamar mandi demi mencuci wajahnya agar lebih segar dan lantas merapikan dirinya di meja rias, Elai kemudian memutuskan untuk pergi dari unit itu.
Aku harus menyelamatkan diri.
Dari rasa malu tiada henti!
Elai mengangguk sekali, lalu membuka pintu. Tapi, alangkah terkejutnya gadis itu. Tatkala ia melangkah keluar sekali dan ia melayangkan tatapannya ke seberang sana, maka ia mendapati ada dua orang petugas keamanan yang berdiri tepat di depan lift!
Glek.
Mu-mungkin cuma prosedur keamanan gedung yang baru.
I-i-iya, cuma prosedur keamanan gedung aja.
Setelah menerbitkan aura positif itu di benaknya, Elai menarik napas dalam-dalam. Menarik pintu di belakang punggungnya hingga tertutup, lantas gadis itu melangkah. Berusaha untuk tetap tenang ketika makin lama ia semakin dekat dengan lift.
Tangan Elai terulur. Ingin menekan tombol lift, namun satu suara dan tangan petugas keamanan yang menghalanginya membuat ia tertegun.
"Maaf, Nona. Tapi, Nona dilarang untuk meninggalkan tempat ini. Kalau ada yang Nona butuhkan, kami akan menyediakannya."
Mata Elai mengerjap. Berusaha untuk tetap tenang dengan ekspresi wajah polos yang ia pasang.
"A-aku ... mau berenang."
Argh.
Saking gugupnya Elai melihat pengadangan itu, bahkan otaknya pun memerintahkan dirinya mengatakan alasan yang teramat memalukan seperti itu. Ingin berenang? Iya, Elai rasanya ingin berenang-renang ke tepian.
Elai meringis. "Boleh kan?"
Namun, pertanyaan Elai langsung mendapatkan penolakan yang teramat tegas.
"Maaf, Nona. Tapi, kami diperintahkan untuk menjaga Nona. Nona tidak bisa meninggalkan lantai ini tanpa ada urusan yang teramat mendesak."
Kali ini Elai mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ingin mengumpat, tapi ia mendadak saja merasakan sesuatu ketika ia semakin lama melihat petugas keamanan yang bicara padanya.
"Eh," kesiap Elai seraya menunjuk petugas keamanan itu. "Mas ini yang kemaren diam aja pas aku digendong Marcel dari kolam renang tempo hari kan ya?"
"Ehm ...."
Tak membutuhkan jawaban untuk pertanyaannya, Elai mendengkus. Membuat gadis itu langsung putar badan. Kembali masuk ke dalam unitnya saja ketimbang mendadak merasa kesal lantaran teringat kejadian waktu itu.
"Percuma aku nyoba buat ngerayu itu petugas," gerutu Elai. "Lah orang tempo hari aku digendong Marcel di depan umum aja dia nggak mau bantuin. Apalagi sekarang?"
Berjalan dengan langkah kesal, mencak-mencak, Elai lantas membanting tubuhnya di sofa ruang tamu. Gadis itu menggeram dengan kesal. Mengacak-acak rambutnya frustrasi.
"Terus gimana aku mau pergi dari sini kalau itu petugas keamanan ngejaga lift? Huh! Aku kan nggak mungkin loncat dari lantai 41. Ya kali aku sebangsa Jane yang mau loncat demi ngejar Tarzan."
Sementara Elai yang masih misuh-misuh di unitnya seorang diri, Marcel yang hari itu kembali ke kantor langsung disuguhi oleh banyaknya pekerjaan. Memang, selagi tidak berada di tempat, Widodo mengambil alih tanggungjawab itu walau tidak sepenuhnya. Dan sekarang, Marcel perlu meninjau secara langsung.
Perusahaan yang sedang dipercayakan oleh Marcel adalah perusahaan yang bergerak di bidang agraris. Bernama Royal Flora Nusantara atau yang lebih akrab dikenal dengan sebutan Rofnus, perusahaan ini menyediakan bahan pangan yang berkualitas. Menyasar pada kalangan menengah ke atas atau komunitas yang menjunjung tinggi kesehatan pangan untuk dikonsumsi sehari-hari.
Produk Rofnus diklaim bebas pestisida berbahan kimia sintetik. Oleh karena itu, mudah sekali bagi hasil panen perusahaan ini masuk ke supermarket-supermarket besar. Dan tentu saja, orang-orang penting di Indonesia tidak segan mempercayakan sayuran dan buah mereka pada Rofnus.
Menjunjung tinggi hasil pangan yang berkualitas dari segi kesehatan, Rofnus hingga saat ini juga melebarkan sayapnya. Setidaknya sekarang Rofnus memiliki bagian khusus yang memperkerjakan para ilmuwan sebagai peneliti. Untuk mengembangkan benih-benih tanaman yang potensial. Tidak hanya memiliki prospek tinggi berupa hasil, namun juga memiliki ketahanan genetik terhadap cekaman lingkungan maupun gangguan organisme pengganggu tanaman.
Secara garis beras, Marcel memiliki tanggungjawab yang amat besar. Bukan hanya terhadap perusahaannya, alih-alih dalam jangka waktu panjang. Di mana gaya hidup yang berkembang semakin lama semakin menuntut untuk kesehatan pangan untuk dikonsumsi. Toh sebagian orang merasa percuma bila menjalani hidup sehat sementara makanan yang dinikmati justru tidak sehat kan?
Kala itu, Marcel sedang menghadiri rapat dadakan yang dihadiri oleh orang-orang penting dari Divisi Perencanaan dan Pengembangan. Adalah Yulian sebagai ketua divisi yang sedang memaparkan perkembangan pekerjaan yang sedang diemban oleh orang-orangnya.
"PT Rofnus Seed sudah melaporkan hasil penelitian tahun ketiga mereka, Pak. Untuk laboratorium molekuler, sepertinya masih perlu didatangkan orang-orang yang benar-benar kompeten di bidang ini. Rencananya, akhir tahun ini pihak Rofnus Seed akan membuka lowongan pekerjaan untuk teknisi laboratorium molekuler."
Marcel mengangguk. "Bukannya tahun kemaren Rofnus Seed sudah membuka kesempatan magang untuk mahasiswa? Sepertinya bisa dimanfaatkan untuk menarik minat para alumni di sana."
"Benar, Pak."
Perlu diketahui bahwa Rofnus Seed adalah anak perusahaan Rofnus. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang agraris, selama empat tahun belakangan ini Marcel memang fokus untuk mendirikan cabang yang berfokus pada penyediaan benih-benih unggul. Sebagai direktur umum Rofnus, Marcel jelas paham bahwa bahan pangan dihasilkan dari benih yang berkualitas. Benih yang bagus menjadi penentu awal tingginya hasil dan ketahanannya terhadap lingkungan. Maka dari itu, Marcel mendirikan Rofnus Seed. Bahkan dalam jangka panjang, Marcel pun berencana untuk memasok kebutuhan benih berkualitas secara umum.
Pertemuan itu menghabiskan waktu nyaris sekitar tiga jam lamanya. Marcel meninjau proposal pengadaan alat-alat laboratorium serta hal lainnya yang berkaitan dengan itu. Hingga ketika menjelang sore, tepat ketika pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang, di dalam mobil mewahnya yang dikendarai oleh sopirnya yang bernama Seno, Marcel pun tergerak untuk menghubungi Elai.
Entah mengapa, mungkin euforia semalam membuat Marcel melupakan sesuatu. Yaitu Elai tidak pernah mengangkat panggilannya. Dan sepertinya itu masih berlaku hingga sekarang. Membuat Marcel geleng-geleng kepala.
Sejurus kemudian, Marcel memutuskan untuk menghubungi petugas keamanan yang ia perintahkan untuk berjaga-jaga di lift tepat sebelum ia pergi kerja pagi tadi.
"Nona Elai tadi ingin pergi dengan alasan ingin berenang."
Hah?
Berenang?
Masih mikirin berenang aja ini cewek ya?
"Tapi ...."
Suara di seberang sana membuyarkan lamunan sedetik yang menyita kesadaran Marcel.
"Kami berhasil mencegahnya."
Tidak lama panggilan itu tersambung, lalu Marcel pun memutuskannya. Ia menarik napas dalam-dalam ketika memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku dalam jas yang ia kenakan. Dan selagi menikmati perjalanan pulang itu, Marcel tak mampu menahan keinginan ingatannya untuk mengulang kembali bayangan semalam.
Ehm ....
Seumur hidup, jujur saja, Marcel tidak pernah mengira bahwa Elai akan sepasrah itu pada dirinya. Ya bukannya Marcel tidak suka. Alih-alih, suka sekali malah. Tapi, tentu saja. Semua itu diluar ekspektasinya selama ini. Walau jelas, satu hal membuat Marcel dongkol juga.
Udah kayak gitu, dia masih pake acara perlu waktu buat nerima lamaran aku?
Huh! Dasar!
Dan bukan tanpa alasan bila sekarang Marcel merasa geregetan dengan sikap Elai dalam menyikapi lamarannya. Pasalnya, ayah Marcel bukanlah hal yang sabar. Widodo kerap kali meminta Marcel untuk melupakan perjodohannya dengan Elai. Namun, Marcel bersikeras mempertahankannya. Menurut Marcel, Widodo hanya belum bisa melupakan kejadian memalukan tempo hari dan ia memaklumi itu.
Tiba di gedung apartemen itu, Marcel langsung turun dari mobil. Terkesan sedikit tergesa-gesa ketika dirinya melintasi lobi dan menuju pada lift yang tersedia. Dan ketika ia tiba di lantai yang dituju, Marcel menyuruh petugas keamanan yang berjaga untuk beristirahat. Setidaknya, ketika ada dirinya maka Elai bisa ia pastikan tidak akan bisa kabur.
Masuk ke dalam unit, Marcel dibuat kaget ketika mendapati Elai yang tampak berbaring di sofa ruang tamu. Bibirnya manyun sementara di meja tampak beberapa toples camilan yang isinya telah kosong. Tanpa aba-aba, Elai bangkit. Langsung menuding pada cowok itu.
"Kamu kebangetan banget, Cel. Ngurung aku di sini seharian kayak ayam kampung aja."
Marcel mengembuskan napas panjangnya. Menaruh tasnya di atas meja sementara dirinya yang langsung beranjak. Ingin duduk di sebelah Elai, namun ia justru dibuat geleng-geleng kepala ketika gadis itu justru menarik diri. Beringsut menjauhinya.
Marcel menoleh seraya melepas jas yang ia kenakan. Berikut dengan melonggarkan dasi di lehernya.
"Kalau kamu nggak dikurung," kata Marcel santai. "Kamu pasti mau kabur kan? Iya kan?"
Elai menarik napas dan menahannya di dada untuk beberapa detik lamanya sementara bibirnya tampak mengatup rapat. Matanya yang bening tampak membola. Ironis, bahkan memasang ekspresi seperti itu nyatanya Elai tetap saja cantik.
"Lagian, Cel, wajar kalau aku mau kabur. Menurut kamu ... setelah semua penipuan yang kamu lakukan ke aku, apa nggak wajar kalau aku mau kabur?"
Dahi Marcel mengerut. "Penipuan?" Lalu ia mendengkus. "Seandainya malam itu kamu nggak salah ngira aku, aku nggak bakal nipu kamu selama ini, Lai."
Elai terdiam.
"Salah kamu sendiri yang justru ngebuang album foto aku timbang mau ngeliat sebentar aja isi di dalamnya."
Masih diam, Elai lantas memindahkan fokus matanya ke tempat yang lain. Di mana saja asal tidak melihat pada Marcel. Karena dia tau sekali bahwa percakapan itu bisa menyudutkannya. Dan terbukti, karena di detik selanjutnya Marcel kembali terdengar bersuara.
"Memangnya ... aku beda banget ya dengan aku yang dulu pas masih kecil?" tanya Marcel seraya menggeser duduknya, mendekati Elai. "Sampai kamu beneran nggak kenal aku lagi?"
Beruntung pada saat itu Elai sudah memalingkan wajahnya, karena kalau tidak pasti akan sangat memalukan bagi gadis itu ketika dirinya sontak memejamkan matanya dengan dramatis. Hingga setelah menguatkan dirinya, Elai berpaling. Melihat pada Marcel, menghadapinya.
"Kita udah berapa tahun nggak ketemu, Cel. Wajar kalau aku sampe nggak kenal kamu lagi. Aku masih ingat nama kamu aja itu udah hebat banget. Tau kan?" delik Elai. "Kamu tuh nggak penting banget buat diingat."
Masalahnya adalah ketika Elai mengatakan itu, sepertinya ia melupakan satu fakta yang teramat penting. Bahwa dulu, ia pernah menceritakan sesuatu pada seorang cowok yang mengaku bernama Ares. Maka wajar sekali bila Elai justru mendapati Marcel yang menyeringai padanya setelah mendengar hal tersebut. Alih-alih rasa kesal yang semula gadis itu pikir akan ia dapatkan.
Mata Marcel tampak berkedip sekali. Lantas memaku mata bening itu untuk beberapa saat lamanya.
"Oh ya? Aku nggak penting buat diingat?" tanya Marcel dengan penuh irama di suaranya. "Kayaknya bukan itu deh yang terjadi sebenarnya."
Kali ini, Elai yang mengerjap-ngerjapkan matanya. "Maksud kamu?"
"Ehm ... bukannya jelas ya? Selama ini kamu selalu ingat aku." Bola mata Marcel tampak berputar sekali, seperti tengah berpikir. Mengingat dengan pasti kata-kata yang digunakan Elai waktu itu. "Sebaik itu bos kamu dulu."
Oh-My-God!
Elai sontak memejamkan matanya. Kali ini, rasa panas itu benar-benar terasa membakar kedua pipinya. Elai tidak akan heran kalau warna tomat kalah dengan warna wajahnya sekarang.
Dan melihat Elai yang memejamkan matanya karena malu, Marcel langsung tersenyum geli. Menahan napasnya sejenak, mencegah agar senyum itu tidak berubah menjadi kekehan lucu.
Namun, di detik selanjutnya Marcel mendapati bagaimana matanya yang fokus memandangi wajah memerah Elai mulai menghadirkan sesuatu yang asing. Seketika saja membuat cowok itu menjadi tertegun. Merasakan dorongan tak kasat mata yang tak mampu ia tahan. Hingga tangannya pun bergerak. Meraih pinggang sang gadis sementara wajahnya menunduk dengan mata yang turut memejam pula.
Elai sontak membuka matanya. Tepat ketika ia merasakan ada permukaan yang hangat mendarat lembut di bibirnya. Mendapati ada Marcel yang mencium dirinya sekilas.
Di saat ciuman itu terpisah, Elai mendapati bagaimana sorot mata Marcel yang berubah menatap pada dirinya. Dengan tangan lainnya yang bebas, cowok itu membelai sisi wajah Elai. Memaku gadis itu untuk terpana pada dirinya. Membuat Elai seperti terhipnotis ketika ia berkata.
"Aku nggak tau kalau kamu selama ini ingat aku."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top