4. Rencana B
Satu hari di taman samping sebuah rumah yang megah ....
"M-M-Mbak, a-a-anak cewek yang manis itu siapa?"
Bertanyalah Marcello Alfarezi pada pengasuhnya yang bernama Sinta. Dengan tangan yang menarik-narik rok gadis muda itu, tatapan mata Marcel tetap terarah ke depan. Pada seorang gadis kecil yang tampak duduk seorang diri. Di satu meja bundar, teduh dari sinar matahari sore yang masih menyengat. Didampingi oleh pengasuhnya pula.
Gadis kecil itu cantik. Dengan sepasang kaos kaki tinggi, ia terlihat anggun. Pun dengan rambutnya yang disisir rapi, diberi pemanis berupa pita bewarna merah muda.
Sinta mengembuskan napas panjang. Memandang ke arah yang dituju oleh mata majikan kecilnya. Lalu geleng-geleng kepala seraya menekuk kakinya, turun. Hingga tingganya sejajar dengan Marcel. Dengan penuh kasih, Sinta merapikan dasi kupu-kupu Marcel yang tampak sedikit miring.
"Itu Non Elai, Tuan," jawabnya. "Edelai Rawnie."
Marcel angguk-angguk kepala. "Aku nggak pernah lihat dia sebelumnya, Mbak."
"Memang. Dia baru ikut gabung lagi sih. Soalnya banyak orang tua yang nggak suka sama dia." Sinta beranjak sedikit demi bisa berbisik di telinga sang majikan. "Dia itu anaknya nakal."
Tak percaya dengan perkataan pengasuhnya membuat Marcel melongo hingga tanpa sadar mendorong ia untuk mengusap perutnya yang membuncit. Hal yang terang saja membuat Sinta geli dan menurunkan tangan Marcel.
"Ih, Tuan. Ntar jadi kebiasaan loh ngusap-ngusap perut."
Mengabaikan raut geli pengasuhnya, Marcel justru mengatakan hal lain. Bertanya lebih tepatnya.
"Masa anak secantik itu nakal, Mbak?"
Sinta kembali melihat ke seberang sana. Lalu mengembuskan napas panjang dan geleng-geleng kepala.
"Tuan lihat aja sendiri," katanya kemudian. "Anak-anak yang lain pada ngumpul, eh ... dia sendirian aja. Itu karena nggak ada yang mau main dengan dia."
Marcel diam. Tapi, dalam diamnya ia melihat ke tempat lain. Di mana ada anak-anak lainnya yang saling bercengkerama dan tertawa-tawa. Hal yang jauh berbeda dengan yang terjadi di meja Elai. Lalu, tersadar dari lamunannya, adalah ketika Sinta meraih kedua pipinya yang berisi. Berkata dengan penuh kasih.
"Saya harap Tuan jangan main dengan Non Elai ya? Saya nggak mau Tuan dijahilin sama dia."
Pada titik itu, Marcel hanyalah anak kecil. Yang mana layaknya anak kecil pada umumnya, Marcel pun memiliki kecenderungan untuk melakukan apa pun yang telah dilarang. Termasuk di antaranya bermain dengan Elai. Dan tak butuh waktu lama, hingga pada akhirnya Marcel merasakan kejadian di mana dirinya menjadi pusat tontonan orang banyak dengan keadaan yang memalukan. Itu adalah ketika dirinya kesulitan untuk bangun dari rerumputan hangat itu.
"Argh .... Argh .... Argh ...."
Marcel menggeram. Berusaha bangkit di antara deraian air mata dan rasa malu yang mencoreng mukanya. Tapi, dari sekian banyak hal yang terjadi di hari itu, Marcel hanya mengingat satu yang pasti. Yaitu ....
"Lihat dia! Anak cowok. Udah gede, tapi penakut! Sama serangga aja nangis. Huuuh!!! Mana jelek lagi. Dasar, Kura-Kura Gosong!"
*
Dan sekarang ....
"Oke ..., kita lihat saja nanti. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?"
"Nama?"
"Karena aku punya hobi untuk ngumpatin orang yang nggak aku suka. Termasuk kamu."
Rasa-rasanya, malam itu adalah malam yang penuh dengan kejutan. Tak hanya cukup dengan satu kejutan. Seiring waktu yang berjalan, kejutan yang terjadi semakin banyak lagi.
Nggak cuma kabur dari pertunangan kita, tapi kamu bahkan nggak ngenalin aku sama sekali, Elai?
Lebih dari itu, foto-foto aku pun kamu buang.
Dan sekarang, dengan entengnya kamu nanya nama aku?
Oh, Tuhan.
Elai, aku tau kamu dulu nakal.
Tapi, bukannya ini udah kelewatan ya?
Dan tadi apa kamu bilang?
Kamu mau tau nama aku biar bisa ngumpatin aku gitu?
Yang benar aja!
Pada titik itu, Marcel lantas menghirup udara dalam-dalam. Menyadari bahwa semua rencana yang sempat ia susun buyar seketika.
Jujur saja, Marcel memang menginginkan pertunangan ini lebih dari siapa pun. Sebagian orang yang mengenal dirinya dari kecil mungkin mengatakan kalau ia adalah pria yang bodoh. Mau-maunya bertunangan dengan cewek yang jelas-jelas pernah mempermalukannya di masa lalu. Tapi ..., justru di sana poin pentingnya.
Aku bakal buat kamu tergila-gila sama aku, Lai.
Aku bakal buat kamu ngejilat ludah kamu sendiri.
Aku bakal buat kamu jatuh cinta sama aku.
Itu adalah janji yang dibuat Marcel. Tepat ketika orang tuanya menawarkan beberapa orang gadis yang akan dijodohkan pada dirinya. Dan pilihan Marcel membuat semua orang menganga lebar.
Ya, Marcel ingin bertunangan dengan Elai lantaran satu alasan.
Balas dendam.
Tapi, ketika Marcel berada di hadapan Elai, alih-alih akan melancarkan balas dendamnya, yang terjadi justru sebaliknya.
Elai!
Kamu benar-benar keterlaluan!
Dan sangat susah bagi seorang Marcel untuk tidak lantas garuk-garuk kepala. Mempertahankan sikap tenang dan kerennya, itu adalah hal yang susah. Lebih lagi ketika Elai menanyakan namanya. Marcel sangat ingin mencak-mencak di depan muka gadis itu. Tak terima kerja keras dirinya untuk berganti-ganti pose demi mendapatkan satu album foto ekslusif ternyata tidak memberikan hasil seperti yang ia harapkan.
Nama .... Nama .... Nama ....
Topik satu itu berputar-putar di benak Marcel. Hingga ia menarik satu kesimpulan yang membuat ia menyeringai di benaknya.
Ah ..., rencana A gagal? Tenang saja.
Aku bisa buat rencana B.
Yang penting adalah ... kamu tetap bakal kena karma kamu, Lai.
Kamu bakal jatuh cinta ke aku.
Jatuh cinta sama cowok yang kamu bilang Kura-Kura Gosong!
Mata Marcel melihat lekat-lekat pada Elai. Tampak gadis itu yang menengadah. Memperlihatkan garis lehernya yang tampak menarik. Menyadarkan cowok itu bahwa walau Elai masih mengesalkan sepeti dulu, ternyata gadis itu tetap menarik. Persis seperti dulu pula. Bahkan keadaan rambutnya yang acak-acakan entah mengapa tidak menjadi hal yang mengganggu sama sekali. Tapi ....
Bisa-bisanya dia ngebuka pintu cuma dengan pake jubah mandi?!
Dibutuhkan beberapa detik hingga Marcel sadar dengan situasi kala itu. Mengingatkan dirinya berulang kali bahwa di hadapannya ada Elai yang menanyakan namanya. Jadi, ketimbang ia mempersoalkan pakaian yang Elai kenakan saat membuka pintu, Marcel justru memikirkan hal lain.
Nama?
Rencana pertama yang melibatkan nama aslinya 'Marcel' jelas adalah rencana yang gagal. Maka Marcel pun menyadari bahwa ia hanya perlu merancang rencana kedua yang tidak akan gagal. Yang pasti adalah rencana itu tidak akan melibatkan nama aslinya lagi.
Marcel berpikir dengan cepat. Menggumamkan namanya sendiri di benaknya.
Marcello Alfarezi.
Marcello ... Alfarezi ....
Alfa ... rezi ....
Al ... farezi ....
Alf ... arezi ....
Arezi?
Arez?
Ah!
Maka lantas mata Marcel berkedip sekali. Setelahnya justru menatap pada Elai dengan teramat lekat. Hingga cowok itu yakin bisa melihat bagaimana pergerakan halus itu tercipta di leher sang gadis. Ketika Elai meneguk ludah saat menunggu Marcel berkata.
"Ares."
Marcel kembali mengikis jarak antara mereka berdua. Hal yang mau tak mau membuat Elai semakin mengangkat wajahnya. Menyedihkan. Tapi, perbedaan tinggi antara mereka membuat Elai tak bisa berbuat apa-apa.
"A-A-Ares?"
Suara Elai terdengar terbata-bata ketika menyebut nama itu. Terkesan seperti ingin meyakinkan indra pendengarannya.
Marcel mengangguk. "Iya. Nama saya Ares. Dan saya harap di unit Nona ini memiliki kamar tamu. Karena bagaimanapun saya akan tinggal di sini mulai malam ini."
Elai melongo. "Ti-ti-tinggal di sini?"
"Iya," angguk Marcel. "Nona nggak lupa kan? Saya ini diutus untuk menjaga Nona. Otomatis saya harus tinggal di dekat Nona selama dua puluh empat jam dalam sehari."
Mata Elai melotot. "Gila! Gimana bisa cewek dan cowok tinggal di tempat yang sama selama dua puluh empat jam?!"
"Ah ...." Marcel melirih dengan penuh irama. "Kalau begitu, Nona ingin mempertimbangkan tinggal di tempat yang sama selama dua puluh empat jam dengan Tuan Marcel? Biar kita tidak perlu melakukan ini semua?"
Marcel menyeringai.
Hayo, Lai.
Kamu mau tinggal sama Marcel atau sama Ares heh?
Elai tampak memucat. Dengan mata yang mengerjap-ngerjap.
"Ti-tinggal selama dua puluh empat jam dalam sehari dengan Marcel?" tanya Elai bergumam. "Aku ... nggak bakal nikah sama Kura-Kura Gosong itu!"
Rahang Marcel mengeras. Tapi, berusaha untuk tersenyum.
"Oke. Kalau gitu, Nona lebih memilih untuk tinggal dengan saya di sini."
Elai membeku.
"Aku emang nggak mau tinggal sama Marcel, tapi bukan gitu juga kesimpulannya!" jerit Elai histeris. "Aku bakal ngubungi pihak apartemen buat ngusir kamu." Mata Elai melihat pada tangannya yang masih ditahan. "Lepasin aku. Aku mau aduin kamu."
Mau ngadu, tapi malah ngomong-ngomong.
Marcel menggeram.
"Memangnya Nona nggak tau di gedung milik siapa Nona tinggal saat ini?"
Elai membeku lagi. "Punya Marcel?"
Seringai Marcel terbit. Dengan sorot penuh kemenangan.
"Ya bukan sih."
Dooong!
"Tapi," lanjut Marcel kemudian. "Gedung ini punya Pak Widodo. Calon mertua Nona. Dengan kata lain ya ... bisa dibilang punya Tuan Marcel juga."
Elai melongo.
Ternyata dari awal aku udah berada di sarang keluarga Marcel.
Melihat keadaan Elai yang diam tak berkutik, membuat kesenangan tersendiri terbit di benak Marcel.
Ha ha ha ha.
Baru nyadar kamu sekarang, Lai?
Baru nyadar?
Lalu, Marcel layaknya memberikan jeda beberapa saat untuk Elai bisa merenungi nasib buruk yang kira-kira akan menghampirinya. Hingga setelah ia rasa cukup, tangan Marcel yang masih menahan siku Elai, bergerak. Menyadarkan sang gadis dari lamunan menakutkannya dan kembali memfokuskan mata pada manik Marcel yang gelap.
"Jadi, mulai malam ini kira-kira saya tidur di mana?" tanya Marcel dengan suara rendah. "Di kamar tamu ... atau di kamar Nona?"
*
"Argh!"
Marcel mengacak-acak rambutnya. Hal yang dari tadi sangat sulit untuk ia tahan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin Elai mempertanyakan mengapa sampai ada bodyguard garuk-garuk kepala di depan calon majikan barunya.
"Argh! Lagipula kenapa aku keceplos mengakui kalau aku bodyguard?"
Marcel mengusap wajahnya berulang kali. Bangkit dari bantal yang menopang kepalanya di atas kasur itu. Terlihat ekspresinya yang frustrasi.
Dan di saat itu, suara ponsel membuat Marcel melihat pada nakas. Ia mengembuskan napas panjang. Tak heran sama sekali bila sang ibu menghubunginya.
"Ma ...."
Diana terdengar mengembuskan napas lega. "Kamu di mana, Cel? Mama tungguin dari tadi, tapi kamu nggak ada ngasih kabar apa-apa."
Marcel memejamkan matanya sekilas. Sadar bahwa ia tak bisa berbohong pada orang tuanya. Terutama bila itu menyangkut menjadi bodyguard selama dua puluh empat jam dalam sehari. Ada pekerjaan yang berarti harus dialihkan untuk sementara waktu. Maka meluncurlah cerita itu dari bibir Marcel.
"Ya Tuhan, Cel," kesiap Diana. "Kamu sadar apa yang kamu lakukan? Kamu nggak perlu melakukan hal sejauh ini. Mama emang setuju kamu mempertahankan perjodohan ini. Tapi, nggak dengan membuat rendah harga diri kamu sendiri. Masih banyak gadis lain yang lebih pantas untuk kamu ketimbang Elai."
Marcel mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Mendengarkan omelan Diana yang meluncur tanpa henti. Hingga ketika tak ada lagi suara Diana, Marcel pun berkata.
"Aku sudah ngomong berulang kali, Ma. Perjodohan aku dan Elai nggak bakal batal. Dan ketika aku akan menikah, maka mempelai itu pasti adalah dia."
Perkataan Marcel, dengan nada keseriusan itu sukses membungkam Diana. Membuat wanita paruh baya itu tak bisa melakukan apa-apa lagi. Hingga kemudian sambungan telepon itu berakhir, Marcel pun lantas bangkit. Menuju satu meja rias yang tersedia di sana.
Kedua tangan Marcel menekan meja. Wajahnya menatap lurus pada cermin. Tak berkedip ketika matanya memaku tatapannya sendiri. Ia mengikrarkan sesuatu di benaknya.
"Mulai besok, tidak akan ada Marcel. Yang ada adalah ... Ares."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top