37. Sentuhan Pengakuan
Satu hari di kediaman Dharma ....
Marcel melihat pada layar ponselnya. Pada pesan yang lagi-lagi ia kirimkan pada nomor yang sama selama sebulan belakangan ini. Tentu saja, pada Elai.
[ 3Lai Edelai ]
[ ()"" ') ]
[ ( ,'0') ") ]
[ (,,) ) ]
[ Chelamat pagi. Sudah bangun? ]
Sama seperti pesan sebelumnya, nasib pesannya yang kali ini juga tidak mendapatkan balasannya. Dan Marcel tidak akan menunggu pesan yang ia tau tidak akan ia terima. Alih-alih, ia berpaling pada Sinta yang tampak masih setia menunggu dirinya. Pengasuh itu tampak tersenyum ketika pandangan mereka berdua bertemu.
"Kita turun sekarang, Tuan?"
Marcel mengangguk. Beranjak dan Sinta langsung menundukkan sejenak tubuhnya. Merapikan seragam yang bocah itu kenakan.
"Tuan Muda seharusnya nggak perlu ngirim SMS ke Nona Elai lagi. Tidak akan dibalas."
Sejenak, Marcel diam saja. Tapi, ketika Sinta bangkit kembali seraya memegang tangan majikannya itu, terdengar suara Marcel bertanya.
"Tapi, kalau aku nggak ngirim SMS ke dia, aku harus ngapain, Mbak?"
Sinta sontak terlihat kebingungan ketika mendapati pertanyaan itu. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah menelengkan wajahnya ke satu sisi dengan ekspresi yang tampak salah tingkah. Jelas saja bingung, tidak mengerti.
Ketika pada akhirnya Marcel bergabung dengan anggota keluarganya yang telah siap di meja makan, bocah itu mendapati bagaimana Widodo tampak memasang wajah serius padanya. Begitupun dengan Diana yang lekat melihat padanya dengan mata yang tampak sendu. Membuat benak Marcel menjadi bertanya-tanya. Dan jawaban akan rasa penasarannya datang dalam bentuk pemberitahuan ayahnya.
"Papa pikir ini waktu yang tepat untuk kamu belajar di luar negeri, Marcel."
Marcel yang telah menyelesaikan sarapannya dengan terampil menutup kembali sendok dan garpunya di sisi piring. Dan wajahnya tampak terkejut ketika mendengar perkataan Widodo. Hingga menimbulkan sedikit denting ketika sendok dan garpu itu harus beradu dengan piringnya.
"Be-belajar di luar negeri, Pa?" tanya Marcel dengan mata yang membesar. "Tapi, aku kan belum tamat SD."
Diana menarik napas. "Akan lebih memberatkan kalau kamu harus pindah ketika SMP, Cel. Mama sebenarnya berat buat melepas kamu, tapi Papa sudah memikirkan ini baik-baik. Semua untuk masa depan kamu."
Fokus mata Marcel yang semula tertuju pada Diana, berpindah. Kembali melihat pada Widodo yang memberikan satu kali anggukan penuh yakinnya.
"Kamu anak kami satu-satunya, Cel. Kamu punya tanggung jawab yang besar. Jadi, kamu harus belajar sejak dini."
"Ta-ta-tapi, aku bisa belajar di sini, Pa. Nilai aku selalu bagus di sekolah."
Widodo kembali mengangguk. "Papa tau bagaimana nilai akademik kamu di sekolah, Cel. Dan karena itu menurut Papa kamu nggak bakal kewalahan buat melanjutkan belajar kamu di luar," katanya lagi. "Papa sudah mengatur semuanya. Dan guru pribadi kamu nanti akan bisa mengawasi kamu selama dua puluh empat jam penuh. Kamu akan belajar dan dididik dengan penuh disiplin. Nggak akan ada main-main, tayangan televisi yang tidak mendidik, dan ponsel. Semua yang akan mengganggu konsentrasi belajar kamu akan disingkirkan."
Seketika saja wajah Marcel memucat ketika mendengar penjelasan Widodo yang panjang lebar. Karena ada satu kata yang membuat ia menjadi syok.
"Nggak ada ... hp, Pa?"
"Tentu saja nggak ada," jawab Widodo mantap. "Papa perhatikan akhir-akhir ini kamu selalu saja main hp. Walau nilai kamu masih bagus, tapi bukan berarti nanti pelajaran kamu nggak akan terganggu. Kamu nggak boleh main hp lagi."
Mata Marcel mengerjap. "Ka-kalau aku rindu Mama atau Papa? Gimana?"
Dan untuk pertanyaan itu, ada Diana yang menjawab.
"Setiap seminggu sekali Mama dan Papa akan menghubungi kamu, Cel. Kamu nggak perlu khawatir. Lagipula nanti ketika kamu belajar di sana, kamu mungkin justru akan lupa dengan Mama dan Papa di sini. Kamu pasti akan menikmati waktu kamu."
Lantas, penjelasan kedua orang tuanya terasa bagai tidak menjamah indra pendengaran Marcel. Karena jelas sekali, bayangan ponsel miliknya akan ditarik oleh Widodo membuat dirinya khawatir akan sesuatu.
Dan Sinta, sebagai pengasuh yang selalu menemani Marcel dari bocah itu berusia empat tahun sudah hapal dengan sifat dan sikap majikannya itu. Ketika Marcel senang ataupun sedih, ia tau dengan pasti. Termasuk ketika Marcel tengah gundah. Tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang teramat berat untuk bocah seusia dirinya.
"Tuan mikirin apa?" tanya Sinta pelan seraya memegang tangan Marcel. "Dari tadi saya perhatikan Tuan diam saja. Nggak mau ngomong. Ehm ... ada apa?"
Kala itu mereka berdua baru turun dari mobil yang mengantar mereka ke rumah salah seorang teman Marcel. Menghadiri acara pertemuan anak-anak yang biasa Marcel ikuti.
Masuk dan langsung duduk di satu tempat yang sudah disediakan, Marcel tampak menggeleng sekali. Tanpa ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.
Melihat bahwa Marcel sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja membuat Sinta untuk mengambil inisiatif. Pengasuh itu tampak tersenyum seraya memastikan bahwa Marcel duduk dengan nyaman di kursinya sementara tuan rumah menyambut kedatangan anak-anak lainnya. Belum banyak terlihat teman-teman Marcel yang datang. Dan ia pun bertanya.
"Tuan mau minum apa? Biar saya ambilkan."
Mengembuskan napas panjangnya sejenak, bahkan Marcel tampak bergeming dalam posisinya ketika menjawab pertanyaan itu.
"Aku mau air putih saja, Mbak."
Jawaban yang langsung menimbulkan keyakinan besar di benak Sinta. Yaitu majikan kecilnya sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Karena jelas sekali, Sinta tau bahwa Marcel selalu menyukai susu coklat. Tapi, ia tak mengatakan apa-apa. Langsung beranjak dari sana sementara benaknya segera memutuskan untuk menyiapkan beberapa camilan sebelum acara dimulai.
Ditinggal seorang diri, Marcel lantas memutar kepalanya. Melihat ke sekeliling. Lalu bertukar senyum ramah dengan beberapa orang temannya yang kebetulan sekali melihat padanya. Dan ketika itulah, Marcel melihatnya. Ada Elai yang sedang duduk tanpa ada teman seusianya. Hanya ada sang pengasuh yang menemaninya.
Marcel turun dari kursinya. Mengabaikan kemungkinan bahwa Sinta akan mencari dirinya, ia pun beranjak menghampiri Elai yang sedang memainkan ponselnya.
Wajah Elai yang semula menunduk melihat sesuatu pada ponselnya, terangkat. Ia mengerutkan dahi ketika mendapati kedatangan Marcel.
"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Elai dengan nada ketus seperti biasanya. "Nanti pengasuh kamu yang cerewet itu ngomong aku jahilin kamu lagi."
Marcel meringis. "Maafin Mbak, Lai. Mbak nggak maksud jahat. Dia---"
"Terus?"
Mendadak saja Elai langsung memotong perkataan Marcel. Dengan bola mata yang tampak berputar beberapa kali, gadis itu menampilkan ekspresi malasnya. Seperti lelah karena harus meladeni Marcel.
"Ngapain kamu ke sini?" lanjut Elai bertanya. "Cuma mau ngomongin soal pengasuh kamu?"
Marcel langsung menggeleng berulang kali. "Ng-nggak kok. Aku bukannya mau ngomongin soal Mbak. Tapi ...."
"Tapi?"
Mata Elai yang sempat membesar, justru menyipit di detik selanjutnya. Mungkin karena dorongan kerutan di dahinya atau mungkin karena rasa penasarannya saat menunggu lanjutan perkataan Marcel. Tapi, setelah beberapa detik menunggu, Elai tidak mendapatkan apa-apa. Marcel justru tampak diam saja.
"Kamu ngapain sih sebenarnya? Ada yang mau kamu omongin? Kalau nggak, mending kamu pergi aja deh. Sebelum pengasuh kamu yang cerewet itu datang ke sini dan ngomel-ngomel."
Tangan Marcel tampak meremas jari-jarinya satu sama lain. Lalu, bibir bocah itu bergerak. Melirihkan satu pertanyaan yang nyaris saja tidak akan terdengar oleh telinga Elai. Di sekeliling mereka, keriuhan mulai tercipta lantaran teman-teman mereka yang mulai banyak berdatangan.
"Kamu mau aku pergi?"
Elai sontak mengerjapkan matanya. Bingung dengan pertanyaan Marcel yang satu itu. Tapi, gadis kecil itu menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lainnya.
"Emangnya kenapa kalau aku mau kamu pergi?"
Menundukkan wajahnya semakin dalam, Marcel memilih untuk melihat ujung sepatunya ketika kembali bertanya pada gadis kecil itu.
"Kalau aku pergi ..., kamu nggak akan rindu aku?"
Dan Elai semakin bingung dengan Marcel. Tapi, ketika ia akan balas bertanya lagi, mendadak saja Sinta datang. Dengan sigap meraih tangan Marcel. Pengasuh itu hanya menyempatkan diri untuk memberikan satu senyum sopan pada Elai sebelum pada akhirnya membawa Marcel pergi dari sana. Namun, desisan Sinta masih sempat Elai dengar.
"Kok Tuan malah nyamperin Non Elai sih? Jangan dekat-dekat dengan dia ah, Tuan. Saya mohon."
Sementara itu, Ria yang dari tadi memilih untuk diam saja karena khawatir justru akan mendapatkan amukan Elai, beringsut. Mendekati Elai dan menawarkan minuman padanya.
"Nona mau teh?"
Menggeleng, Elai menolak tawaran itu. Alih-alih memedulikan Ria, Elai lebih memilih untuk melihat ke seberang sana. Di mana tampak Marcel yang menganggukkan kepalanya pada sang pengasuh. Dan setelahnya, tepat ketika Marcel mengangkat kembali wajahnya, maka di saat itu pula Elai justru menundukkan wajahnya. Melihat pada ponselnya lagi. Di mana ada satu pesan di sana.
[ Kura-Kura Baik Hati ]
[ Sore ini kamu datang ke rumah Rara? ]
*
Sekarang ....
"Panggil nama aku. Panggil nama aku, Lai."
Pada saat itu, semuanya berkecamuk di benak Elai. Antara ingin melepaskan tubuh dari rengkuhan Ares, menjauhkan bibirnya dari ciuman cowok itu, dan juga ... mendengarkan perkataannya yang membuat Elai bingung. Namun, semuanya belum terlalu membingungkan hingga ia dengar suara Ares berkata.
"Marcel."
Deg!
Sepertinya saat itu Elai merasakan jantungnya yang tak lagi berdetak. Tubuhnya terasa menegang dengan keremangan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Mendingin seketika.
"A ... Ares ...."
Kepala Ares menggeleng sekali. Dan cowok itu menyadari bagaimana ucapannya tadi berhasil meredam rontaan Elai di dalam pelukannya. Lantas ia menatap pada mata gadis itu. Kembali menjelaskan keinginannya.
"Panggil nama aku, Lai. Marcel."
Bahkan Ares bisa melihat bagaimana bibir yang baru saja ia kecup sekilas itu perlahan memucat. Pun tampak bergetar dengan kengerian yang pelan-pelan melingkupi ekspresi wajah itu.
Elai mengerutkan dahinya. Tampak semakin bingung.
"Ini aku, Lai," kata Ares kemudian. "Aku Marcel."
Dan mata Elai langsung membesar. "Ma-Ma-Marcel ...?"
Mengabaikan itu, Ares justru menarik lagi pinggang Elai. Menundukkan kembali wajahnya hanya demi menikmati bibir Elai yang membuka dalam satu kecupan yang teramat singkat, lantaran ada kedua tangan sang gadis yang mendorong dadanya pada detik selanjutnya. Namun, ketika Elai akan bersuara, Ares kembali berkata.
"Ssst .... Ini aku, Lai. Aku Marcel."
Tak terungkapkan lagi bagaimana pucatnya wajah Elai saat Ares kembali mengatakan hal itu padanya. Tubuhnya seperti mati rasa. Kengerian benar-benar terpancar di bola matanya yang bening.
"Kamu ... kamu ...."
Ares menggelengkan kepalanya sekali. "Ssst ...."
Dan kali ini, Ares benar-benar tidak memberikan kesempatan bagi Elai untuk mengucapkan sepatah kata pun juga. Karena pada detik selanjutnya, bibirnya kembali turun membungkam dan tak mundur sedikit pun.
Bingung. Gamang. Semua yang terjadi saat itu benar-benar membuat Elai tak yakin bahwa dirinya masih menginjak lantai. Dari otaknya yang masih berusaha mencerna pengakuan Ares tadi, ia pun harus mendapati bagaimana cowok itu yang langsung menciumnya dengan tanpa ampun.
Sekuat Elai berusaha untuk melepaskan diri dari rengkuhan Ares, maka lebih kuat lagi Ares menahan dirinya untuk tetap berada di dalam pelukannya. Lebih dari itu, Ares pun tak memberikan sedikit celah pun bagi Elai untuk menjauh dari ciuman yang ia labuhkan.
Ares melumat bibir Elai dengan menggebu. Seakan itu adalah sentuhan terakhir yang mampu ia berikan. Dan hanya memberikan jeda tatkala napasnya terasa payah. Namun, di sela-sela itu, Ares kembali mengatakan hal yang sama pada sang gadis.
"Aku Marcel, Lai. Ini aku, Marcel."
Dan Ares bisa melihat layaknya ada pertarungan di sorot mata Elai. Mungkin antara kebingungan dan juga keingintahuan. Tapi, semuanya lenyap ketika Ares kembali menjajah bibir Elai dalam ciuman dalamnya.
Ares tau, Elai pasti bingung dengan situasi saat itu. Wajar. Teramat wajar malah. Dan ia pun tak akan mempermasalahkan kebingungan itu. Alih-alih, dirinya justru berusaha untuk meyakinkan Elai kebenaran dari yang ia katakan. Dan untuk itu, maka Ares pun memulainya dengan ... ciuman tersebut.
Bibir Ares bergerak dalam irama yang tak pernah Elai temukan selama hidupnya. Melumat pelan-pelan, namun seperti memiliki kekuatan tersendiri yang tak mampu untuk dirinya elak. Alih-alih, ia justru seolah pasrah ketika merasakan bagaimana lumatan itu bergerak dengan makin sensual di bibirnya.
Ares memanggut. Menikmati bibir bawah Elai yang sedikit lebih berisi ketimbang bagian atasnya. Ia membuai. Melenakan Elai dengan pagutan demi pagutan yang ia berikan dengan segenap jiwanya. Ia layaknya Sang Adam yang hanya ditugaskan untuk mencium pasangannya.
Dan ketika pada akhirnya Ares merasakan bibir itu merekah, maka ia pun tak menunggu lebih lama lagi. Dengan menahan pinggang Elai pada satu tangannya, Ares melarikan tangannya yang lain untuk menarik tekuk gadis itu. Lantaran desakan yang tak mampu ia tahan lagi, lidahnya pun menjulur. Menerobos di sela-sela bibir dan gigi itu, lantas menemukan kehangatan lidah Elai di dalam sana.
Dengan sedikit akal warasnya yang masih tersisa, Ares ingat bahwa Elai belum pernah berciuman sebelumnya. Tapi, bukan berarti cowok itu keberatan. Lebih dari itu, Ares berjanji untuk memberikan tiap sensasi yang belum dirasakan Elai selama ini. Dan ... itu hanya dirinya yang berhak melakukannya.
Sementara Elai, layaknya seorang perawan yang patuh, justru mendapati otaknya seperti kosong melompong ketika mendapati ada hal aneh yang menyapa dirinya. Sentuhan hangat nan kenyal di dalam rongga mulutnya, membuat ia bergidik. Tapi, belum benar-benar meremangkan bulu kuduknya sampai pada akhirnya ia merasakan bagaimana lidahnya yang kemudian justru diisap oleh Ares.
Elai merasakan tubuhnya seperti tertarik. Otomatis melengkung ke arah cowok itu ketika lidahnya lenyap ke dalam mulut Ares. Dan sementara Ares melumat lidahnya habis-habisan, Elai justru berusaha untuk tetap bernapas dengan mata yang terpejam dengan teramat kuat.
Dan Elai butuh untuk berpegangan. Hingga pada akhirnya, kedua tangannya yang semula mengepal di depan dada Ares dalam tujuan untuk mendorong, beralih fungsi. Pelan-pelan, namun pasti. Tangan dengan jemarinya yang lentik itu bergerak perlahan. Merayap. Hingga mendarat di kepala Ares. Hanya untuk meremas helaian-helaian rambutnya yang hitam legam.
Ares mengerang. Dan alih-alih mempertahankan tangannya untuk menahan tekuk Elai, sekarang ia justru membawa tangannya untuk menjelajah lekuk tubuh gadis itu. Karena jelas, di detik selanjutnya, tanpa paksaan ... ciuman itu masih berlanjut.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top