36. Panggil Aku

Sekarang ....

Elai nyaris tertidur setelah berendam lebih dari tiga puluh menit. Rasa dinginlah yang lantas menyadarkan gadis itu bahwa dirinya sudah terlalu lama berada di dalam bak mandi tersebut. Hingga ia pun lantas bangkit. Keluar dari bak dan membilas tubuhnya di bawah pancuran.

Selesai menuntaskan kegiatannya di kamar mandi, Elai pun langsung beranjak ke kamar. Menuju ke lemari seraya melayangkan tatapannya ke arah pintu. Ehm ... benda itu tampak dalam suasana damai sekarang. Tidak ada gedoran ataupun teriakan-teriakan lagi yang mewarnainya.

Nyerah juga?

Ha ha ha ha.

Wajah Elai tampak begitu semringah. Merasa memenangkan pertarungan tanpa aba-aba antara ia dan Ares. Namun, semua kebanggaan itu lenyap tatkala ia yang sudah berpakaian beranjak untuk meraih ponselnya. Mendapati ada pesan di sana dan ia pun langsung meradang ketika membaca tiap kata yang ia terima. Tentu saja. Dari Marcel.

[ +6281112xxxx ]

[ Aku dengar, katanya kamu udah siap buat nikah dengan aku. ]

[ Benar? ]

Sontak saja sepasang bola mata Elai yang bening membola dengan sorot horor. Seperti ia yang baru saja bertemu dengan hantu yang paling mengerikan sedunia. Elai terkesiap, nyaris seperti dirinya yang tak mampu untuk bernapas lagi. Bahkan lirihan yang ia suarakan di detik selanjutnya mirip dengan cicitan anak tikus yang terjepit di antara gigi kucing. Ck. Memilukan.

"Secepat itu Ares ngelaporin aku ke Marcel?"

Elai berusaha untuk menarik udara sebanyak yang ia bisa. Bahkan ia berupaya untuk menenangkan diri seraya menghitung hingga sepuluh di benaknya. Tapi, pada akhirnya cewek itu justru jatuh merosot di lantai dengan wajah nelangsa. Walau jelas, ekspresi tak berdaya itu hanya bertahan untuk beberapa detik lamanya. Semenit kemudian, wajah Elai berubah menjadi beringas. Seperti ingin menelan orang hidup-hidup.

Tak menunggu lebih lama lagi atau bahkan tidak berpikir untuk yang kedua kalinya, Elai keluar. Aneh bin ajaib, tapi di saat itu pula tampak Ares yang berjalan menuju ke kamarnya.

Ketika kedua pandangan bertemu, pada saat itu pula Elai dan Ares kompak sama-sama membeku. Bergeming di tempat mereka masing-masing. Seolah sama menyadari bahwa pertemuan yang tak terelakkan di antara mereka berdua adalah hal yang sama mengejutkan untuk keduanya. Seperti pertunjukan tanpa skenario, mereka layaknya aktris yang bingung dengan naskah dialog yang harus diucapkan.

Hingga beberapa saat kemudian, seperti baru tersadar akan penyebab mengapa dirinya keluar dari kamar, Elai pun bereaksi. Bola matanya membesar dan tangannya terangkat. Jari telunjuknya bergerak menuding. Namun, ketika mulutnya bicara, ternyata Ares pun memutuskan untuk melakukan hal yang sama.

"Kamu---"

"Kamu---"

Mata Elai mengerjap sekali, tapi ia tidak akan membiarkan Ares untuk mendapatkan kesempatan memanfaatkan situasi saat itu. Alih-alih mempersilakan Ares untuk bicara, yang ada justru Elai yang langsung berkata.

"Kamu langsung ngadu sama Marcel ya? Dasar cowok pengadu!"

Ares menarik napas dalam-dalam seiring dengan matanya yang memejam sekilas. Lalu ketika ia membuka kembali matanya, ia berkacak pinggang menghadapi Elai.

"Yang mulai mau ngusir aku siapa? Kamu kan? Kalau kamu udah nggak mau tinggal di sini bareng aku, ya itu artinya kamu mau tinggal bareng Marcel kan?"

Dengkusan halus meluncur dari hidung Elai. Tampak gadis itu geleng-geleng kepala seraya mengusap ujung pelipisnya. Lalu, ia mendelik lagi menantang pada Ares.

"Aku nggak mau tinggal sama kamu ataupun Marcel," kata Elai dengan penuh keseriusan di wajahnya. "Puas kamu?"

"Kenapa? Kenapa kamu nggak mau tinggal dengan salah satu di antara kami?"

"Lah emangnya kenapa aku harus milih tinggal dengan salah satu di antara kalian?"

Ares geregetan. "Ya memang harus milih satu di antara kami dong," katanya dengan balas mendelik. "Kalau bukan dengan kami, terus kamu mau tinggal sama siapa? Sendirian?"

Mengatupkan mulutnya rapat-rapat untuk beberapa saat, Elai lantas tampak mengerutkan dahinya. Seperti dirinya yang bingung dengan apa yang dikatakan Ares. Hingga pada titik itu, Elai merasa perlu bagi dirinya untuk meluruskan situasi.

"Ares ..., tolong. Kayaknya pikiran kamu udah beneran melanglang buana," lirih Elai pelan seraya mengembuskan napas panjang. Ia menatap Ares. "Aku nggak tau kalau kamu beneran kayak gini. Tapi, kamu bukannya yang beneran nganggap serius dengan omongan aku berapa bulan yang lewat itu kan?" Mata Elai mengerjap sekali. "Saat aku nembak kamu .... Minta kamu buat jadi pacar aku .... Kamu nggak nganggap itu serius kan?"

Menanyakan hal tersebut sempat membuat Elai mengira bahwa Ares mungkin akan terkejut. Atau paling tidak sedikit kaget. Tapi, yang ia dapati justru adalah senyum miring yang membuat ia bingung. Terutama karena pertanyaan Ares kemudian.

"Kamu pikir aku nggak tau?"

Elai mengerjapkan matanya berulang kali. Polos sekali ketika balik bertanya. "Kamu tau?"

"Huh!" dengkus Ares seraya membawa matanya untuk bergerak abstrak selama beberapa detik. Memandang pada dinding ataupun langit-langit, sebelum kembali fokus pada mata bening Ares. "Aku tau dengan jelas. Kamu ngajak aku pacaran, bahkan ngegoda aku dengan jeruk peras itu ..."

Ups!

"... jelas karena kamu cuma mau memanfaatkan aku aja kan? Dengan harapan kamu bisa membatalkan pertunangan kamu dengan Marcel."

Tenggorokan Elai otomatis naik turun dengan gelisah ketika ia meneguk ludah. Dan itu bukan tanpa alasan. Karena jelas sekali, ketika Ares mengucapkan kata demi kata dengan penuh penekanan itu, ada sepasang kakinya yang bergerak perlahan. Dengan irama yang pelan, memang. Tapi, nyatanya sangat ampuh untuk membuat Elai menyurutkan langkah kakinya ke belakang.

"Segitunya kamu nggak mau nerima Marcel? Bahkan rela ngegoda cowok lain?"

Elai memejamkan matanya dengan dramatis. Bahkan juga menggigit bibir bawahnya lantaran rasa malu yang timbul akibat dua pertanyaan itu. Hingga kemudian, ketika Elai merasa bahwa punggungnya sudah tertahan oleh dinding dan ia yakin bahwa dirinya memang sudah terpojok, gadis itu pun membuka mata.

"Memang. Segitunya aku nggak mau nerima Marcel. Puas kamu?"

Tak langsung membalas perkataan Elai, mata Ares justru bergerak-gerak saat fokus melihat pada manik Elai. Berusaha untuk memaku tatapan bening gadis itu.

"Kalau kamu emang nggak mau nerima Marcel ...," kata Ares kemudian. "Kenapa kamu nggak pernah benar-benar ingin menolak dia? Kenapa kamu nggak pernah benar-benar ngusir dia dari hidup kamu?"

Dengan jarak yang tak seberapa di antara mereka, Elai terpaksa mengangkat wajahnya. Demi membalas tatapan Ares.

"Kamu ...," desis Elai dengan penuh penekanan. "Nggak tau apa-apa soal aku dan Marcel."

Ares mendengkus. "Aku nggak tau apa-apa?" tanyanya dengan nada mencemooh. "Kamu tau kenapa aku bisa langsung menemukan keberadaan kamu selang beberapa jam setelah kamu kabur dari pesta pertunangan itu?" Seringai Ares timbul. "Itu karena kamu langsung mengaktifkan nomor lama kamu. Dan kenapa kamu masih nyimpan nomor itu selama ini? Dengan harapan Marcel bakal ngubungin kamu lagi?"

Mulut Elai membuka, tapi tak ada satu katapun yang keluar dari sana. Alih-alih, hanya ada kerjapan mata Elai yang tampak terjadi beberapa kali. Respon yang membuat Ares melayangkan sorot mencemooh.

"Oh ... sorry. Kalau aku emang nggak tau apa-apa soal kamu dan Marcel, gimana kalau aku ngomongi soal kita aja?" tanya Ares kemudian. "Tentang kamu yang diam-diam selalu mandangin aku? Kamu pikir aku nggak tau?"

Ya ampun!

"Ka-ka-kamu jangan halu, Res!"

"Aku? Halu? Bahkan untuk kebersamaan kita selama dua bulan ini, kamu ngomong aku halu?"

Karena pada kenyataannya, bahkan dari pagi pertama mereka tinggal bersama, Elai sudah tanpa sadar menikmati bagaimana sarapan bersama dengan cowok itu. Pun menikmati saat ia menghabiskan waktu kala berbelanja dengan Ares. Atau sekadar mendengarkan celotehannya ketika menjelaskan makanan yang mereka nikmati di luar.

Menyerah, Elai pun meradang dengan kesal.

"Jadi, kamu tau bukan kenapa kamu dan Marcel harus pergi dari kehidupan aku?! Kalian berdua bener-bener ngebuat kehidupan aku nggak tenang!" geram Elai. "Ada Marcel yang tiap saat ngirimi aku pesan. Dan ada kamu yang nemeni aku tiap harinya."

Setelah kata-kata itu meluncur dari lidahnya, Elai mengusap wajahnya dengan kasar. Terasa sedikit basah karena keringat yang tanpa ia sadari sudah muncul dari tadi. Bahkan membuat rambutnya yang tadi sudah cenderung mengering akibat keramas, menjadi lembab lagi.

"Apa kamu dan Marcel nggak pernah mikir ini?" tanya Elai kemudian. "Marcel, cowok yang mau nikahi aku dengan otak yang dodol itu malah nyuruh cowok lain untuk nemuin aku di sini? Bahkan dengan jelas banget nyuruh cowok lain buat tinggal sama aku? Otaknya di mana?! Memang dia sama aja kayak dulu. Udah jelek, dodol lagi!"

Ares terhenyak. Luapan kata-kata Elai terasa bertubi-tubi mendarat di wajahnya hingga ia merasa bagaimana mukanya bagai terbakar rasa panas. Tapi, itu belum selesai. Karena di detik selanjutnya, Elai kembali berkata.

"Dan kamu ingat apa yang kamu katakan dulu ke aku? Kamu bilang mau nyayangin aku. Kamu ngomong kalau kamu bakal menyayangi aku, Res. Jadi, masuk akal kamu nyuruh aku nikah sama cowok lain?" Tangan Elai terangkat. Menekan dada Ares dengan telunjuknya. "Kamu dan Marcel itu sama-sama nggak waras. Dan aku nggak mau ikut-ikutan gila dengan kalian! Aku mau kalian beneran lenyap dari kehidupan aku!"

Selesai mengatakan itu, Elai memutuskan untuk segera beranjak dari sana. Merasa sudah cukup puas untuk meluapkan semua emosi yang telah menumpuk di dada dan pikirannya selama dua bulan belakangan ini. Dan sekarang, apa pun yang akan terjadi, Elai hanya ingin melenyapkan nama Ares dan Marcel dari hidupnya.

Maka kedua tangan Elai pun bergerak. Mendorong dada Ares untuk menciptakan jarak yang ia butuhkan demi beranjak dari sana. Dan Ares tampak bergeming. Seolah tak akan melakukan apa-apa ketika kaki Elai berjalan dalam satu langkah yang pelan.

Wajah Ares tertunduk. Bahkan ada beberapa helai rambutnya yang tampak jatuh di dahi. Tapi, kalau Elai pikir Ares tidak akan melakukan apa-apa setelah semua yang ia katakan, maka itu adalah sesuatu yang teramat salah. Karena tepat ketika Elai akan melakukan langkah yang kedua, suara cowok itu terdengar. Pelan. Tapi, ampuh membuat Elai berhenti berjalan.

"Kamu mau aku pergi?"

Satu kalimat tanya yang terkesan biasa-biasa saja bukan? Tapi, anehnya justru membuat Elai membeku. Tubuhnya langsung terasa kaku. Persis seperti patung yang tak bernyawa. Karena entah mengapa kalimat itu seperti menjelma menjadi suara seseorang di benaknya.

"Kamu mau aku pergi?"

"Kalau aku pergi ..., kamu nggak akan rindu aku?"

Dan tepat setelah suara itu menggema di benak Elai, ada suara lainnya yang menyentuh indra pendengarannya. Itu adalah suara Ares yang lanjut bertanya.

"Kalau aku pergi, kamu nggak akan rindu aku?"

Napas Elai tercekat. Seperti ia yang tak lagi mampu menarik udara untuk memenuhi kebutuhan paru-parunya. Lantaran satu nama yang mendadak saja timbul di benaknya. Diikuti oleh tampilan wajah seorang bocah bertubuh berisi. Dengan kedua pipi yang tembem, berkulit gelap, dan perut yang membuncit.

"Marcel ...."

Suara itu melirih dengan teramat pelan keluar dari bibir Elai. Ia seperti tak memiliki tenaga lagi ketika bayangan itu muncul di benaknya. Ingatan tentang masa lalu, hari di mana sebelum pada akhirnya Marcel berhenti mengirimi dirinya pesan setiap hari.

Sedetik, Elai merasa tubuhnya seperti tak mampu bergerak, tapi di detik lainnya hal yang berbeda terjadi. Pelan-pelan ia memutar tubuhnya. Dan ketika kedua pasang mata bertemu dalam satu tatapan, maka Elai menyadari sesuatu.

"Ares ...."

Namun, Ares hanya perlu satu langkah yang besar untuk mampu mengikis jarak di antara mereka. Ketika ia tanpa aba-aba melangkah, lantas tangannya dengan tangkas bergerak. Meraih tubuh Elai.

Kedua tangan Elai sontak naik. Mendarat di dada Ares yang bidang tatkala menyadari bagaimana tubuhnya yang telah tenggelam dalam rengkuhan cowok itu. Berusaha untuk melepaskan diri, Elai justru dibuat terperangah. Nyaris tak berdaya ketika mendapati bagaimana Ares yang langsung menundukkan wajahnya.

Secepat Elai berusaha untuk menghindari, maka secepat itu pula Ares telah lebih dahulu membungkam bibir Elai dalam satu ciuman. Elai memberontak. Semakin berusaha untuk melepaskan diri. Atau paling tidak menyadarkan cowok itu.

"A ... A ... Ares ...."

Dan ketika tangan Elai berhasil untuk menciptakan sedikit jarak yang hanya mampu mengurai bibir mereka dalam hitungan milimeter yang tidak berarti, terasa sapuan hangat napas Ares di kulit Elai. Membuat ia meremang. Tapi, seraya memejamkan matanya, Ares mendesis di depan bibir Elai.

"Panggil nama aku," kata Ares dengan suara yang teramat lirih. "Panggil nama aku, Lai."

Elai menahan napas. Entah mengapa, kali ini tubuhnya seolah mati rasa. Itu adalah tepat ketika didengarnya Ares berkata.

"Marcel."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top