34. Desakan Demi Desakan

Sekarang ....

Pertanyaan Ares sontak membuat ingatan Elai terbawa kembali ke belakang. Lalu ia menyadari bahwa mungkin untuk beberapa kali kesempatan, dirinya telah mengatakan hal yang tidak seharusnya ia katakan.

Elai mengantuk-antukkan dahinya di pintu berulang kali, dengan pelan tentunya. Memastikan bahwa tindakannya itu tidak akan menimbulkan suara yang dapat membuat ia terjerembab lebih dalam lagi di kubungan yang bernama malu.

Ugh!

Kok bisa-bisanya aku sampe ngomong yang kayak gitu ke dia?

Menggigit bibir bawahnya, Elai benar-benar merutuki keteledoran dirinya. Sekarang ... ingin mengelak seperti apa pun, ia rasa percuma. Setidaknya, Elai tau dengan jelas bagaimana sifat Ares. Cowok itu ... benar-benar ... argh!

"Terserah deh kamu mau ngomong apa!" tukas Elai kemudian. "Yang pasti aku beneran nggak mau berhubungan dengan kamu dan Marcel lagi. Titik!"

"Oh ya? Serius?"

Jelas, ada nada ledekan di suara Ares ketika menanyakan hal itu. Membuat Elai memejamkan matanya teramat kuat. Berharap agar ia bisa lenyap saja dari dunia saat itu juga.

"Bahkan dengan Marcel pun kamu nggak pernah bener-bener nggak mau berhubungan kan? Hah! Berapa lama dia rajin ngirimin kamu chat? Apa kamu kepikiran sekali aja buat ngeblokir nomor dia? Ada? Atau ... jangan-jangan malah kamu tiap saat nungguin chat dia?"

Tak mengatakan apa-apa, Elai hanya bisa berdoa agar semua percakapan memalukan itu berakhir. Sebelum benaknya membawa ingatan-ingatan lainnya yang akan membuat ia semakin tak berdaya lagi.

*

Satu hari setelah Elai memiliki ponsel barunya ....

"Beneran, Kak! Rasanya aku benar-benar ingin pulang kalau saja ancaman menikah dengan Marcel nggak ngebuat aku takut."

Kala itu jam sudah menunjukkan jam setengah sebelah malam ketika Elai memutuskan untuk menghubungi Olivia melalui panggilan video. Seakan tak tau bahwa Indonesia dan Jepang memiliki perbedaan waktu sebanyak dua jam, Elai merasa santai saja mengajak sang kakak untuk bercerita ke sana kemari semalam itu. Toh, Olivia sebagai kakak tunggal yang Elai miliki memang selalu berusaha untuk meluangkan waktunya untuk sang adik.

Olivia tampak beranjak. Meninggalkan meja belajarnya yang penuh dengan buku dan pindah duduk di tepi tempat tidurnya.

"Hahahahaha. Jadi, Ares masih tinggal di unit bareng kamu?"

Mencibir sekali ketika mendapati Olivia tertawa, Elai tidak lupa untuk menganggukkan kepalanya sebagai jawaban untuk pertanyaan itu.

"Dia masih tinggal dan ngebuat kepala aku pusing, Kak," keluh Elai lagi. "Dia itu ... sama persis kayak Marcel."

Dahi Olivia sontak mengerut. Dan ekspresi wajahnya tampak berubah. "Sa-sama persis ... kayak Marcel?"

"Ehm ... iya." Elai kembali mengangguk. "Mungkin karena dia udah lama kerja sama Marcel ya? Cuma ... perasaan ya dia itu sifatnya sama kayak bosnya aja. Cerewetnya. Sok perhatiannya." Bola mata Elai tampak berputar sekali. "Ya ... baiknya juga sih. Berat ngomongnya, tapi ... ya dia baik."

Olivia diam untuk beberapa saat. Hingga beberapa detik kemudian, respon yang ia berikan untuk perkataan Elai adalah deheman singkat yang terdengar berirama. Lalu ia pun manggut-manggut.

"Dan ... Marcel gimana?"

Elai mengerjapkan matanya ketika mendapati Olivia menanyakan hal itu padanya. Dan sang kakak pun buru-buru memperjelas pertanyaannya, karena di mata Olivia, Elai tampak bingung.

"Ya ... maksud Kakak apa Marcel ada ngubungi kamu?" tanya Olivia perlahan. "Ehm ... mungkin datang nemui kamu gitu."

"Mana ada."

Cepat sekali Elai menukas pertanyaan Olivia. Lebih dari itu, bibir bawahnya tampak mencibir sekilas. Bukan ditujukan untuk Olivia. Tentu saja. Bahkan Olivia pun tau, bahwa cibiran itu pasti Elai lakukan untuk Marcel.

"Kakak percaya? Selama ini Marcel belum ada nemui aku sekali pun. Ckckckck. Kata Ares sih Marcel lagi pergi. Bahkan dia udah berapa lama cuti dari kantor. Masuk akal, Kak? Katanya dia ngebet sama perjodohan ini. Tapi, lihat? Dia malah nyuruh cowok lain buat ngejaga aku sementara dia aja pergi entah ke mana."

Mata Olivia tampak mengerjap-ngerjap. Ekspresi wajahnya tampak tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan melihat bagaimana Olivia yang tetap diam, maka Elai pun kembali bicara.

"Kalau dia emang ngebet dengan perjodohan ini, harusnya dia yang nyamperin aku. Ini malah kabur kayak anak kecil. Ck."

"Ehm ..., Elai."

Suara Olivia menarik perhatian Elai. Membuat ia menatap pada kakaknya tepat ketika Olivia lanjut berkata.

"Bukannya yang kabur itu ... kamu ya?"

O oh.

Elai cemberut. "Iya. Tapi, itu kan aku kabur dari pesta pertunangan kami. Lah Marcel? Dia juga kabur saat ini. Bukannya nyari aku, eh ... malah dia pergi entah ke mana."

"Aaah ...."

Olivia manggut-manggut dengan wajah yang tampak bingung. Dan itu diartikan oleh Elai sebagai bentuk rasa penasaran yang belum ia jawab sepenuhnya. Maka dari itu Elai kembali lanjut berceloteh.

"Tapi, dia ngubungi aku tiap saat, Kak."

Wajah Olivia berubah. Dan itu membuat satu pemikiran melintas di benak Elai.

Tuh kan.

"Ngubungi kamu?" tanya Olivia. "Via telepon gitu?"

Namun, bukan anggukan yang Olivia dapatkan. Alih-alih adalah gelengan dengan ekspresi sinis di wajah Elai.

"Sayangnya ... nggak. Dia ngubungi aku lewat chat. Setiap hari. Setiap pagi. Setiap siang. Dan setiap malam. Pokoknya dia ngubungi aku."

"Kamu balas?"

"Ya nggak dong, Kak. Emangnya kapan aku pernah balas pesan dari dia?"

Olivia meringis. "Aaah ... benar juga. Dari dulu kan kamu nggak pernah balas pesan dia. Ckckckck."

Untuk hal yang satu itu, Elai tidak membantah sama sekali. Yang dikatakan oleh Olivia memang benar adanya. Jangankan sekarang, bahkan dari dulu, ketika mereka masih kecil dan fasilitas berkirim pesan terbatas oleh SMS, Elai tidak pernah sekalipun membalas pesan cowok itu.

Nyatanya, ketika dulu mengirimkan pesan masih menjadi hal yang sangat terbatas dengan biaya operator yang tergolong mahal dibandingkan dengan aplikasi pesan saat ini, Marcel telah rajin menghubungi dirinya. Tak peduli seabai apa Elai padanya, Marcel tidak akan lupa menanyakan keadaannya. Walau jelas, pertanyaan itu tidak pernah mendapatkan jawabannya. Selalu saja menjadi percakapan satu arah.

Dan Olivia mungkin adalah satu-satunya saksi hidup yang tau dengan pasti tentang hal itu. Dulu ... ketika Elai masih berusia tujuh tahun dan dirinya berusia dua belas tahun, Olivia dengan senang meladeni cerita sang adik tentang seorang bocah cowok yang selalu saja membuat ia kesal. Walau menurut kacamata Olivia, jelas seharusnya Marcel yang merasa kesal pada Elai. Mengingat betapa seringnya Elai mengerjai Marcel ketika kecil.

"Tapi, ya ... Kakak salut juga sih sama Marcel. Nggak waktu kecil, nggak pas udah gede. Betah dia ya ngirimi kamu chat walau nggak pernah dibalas."

Tak membalas perkataan itu, Elai hanya manggut-manggut dengan bibir yang tampak terkatup. Sedikit mengerucut.

"Cuma ... kamu nggak ngerasa terganggu, Lai?"

Mata Elai mengerjap. "Terganggu?"

"Iya, terganggu," angguk Olivia. "Bahkan dari waktu kalian masih kecil dan sekarang, kamu selalu ngeluh kalau Marcel sering ngirimi kamu pesan setiap saat. Dan Kakak yakin, kalau dulu seandainya Marcel nggak dikirim ke luar negeri untuk belajar dan ponselnya ditahan untuk beberapa saat, dia pasti nggak berenti ngirimi kamu pesan."

"Ehm ...."

Hanya deheman itu yang Elai berikan sebagai respon. Juga bola matanya yang tampak bergerak ke sana kemari dengan tatapan yang tidak fokus. Seperti tengah merenungi maksud perkataan Olivia.

"Kalau kamu emang nggak suka dengan semua pesan yang dikirimi Marcel," lanjut Olivia hati-hati. "Bukannya kamu bisa ngeblokir nomor dia?"

Deheman Elai berhenti. Bola matanya pun tak lagi bergerak ke mana-mana. Tergantikan oleh ekspresi membeku yang membuat ia terdiam melihat pada Olivia. Tampak dahi kakaknya itu mengerut.

"Kamu selalu ngeluh soal pesan dari Marcel yang selalu kamu terima tiap harinya. Dari dulu, waktu kalian masih kecil. Dan berlanjut sekarang. Tapi, apa kamu nggak kepikiran buat ngeblokir nomor dia aja?"

Mata Elai sontak mengerjap-ngerjap. "Ehm ... i-itu .... Ya aku ngerasa kasian aja. Du-dulu waktu kecil. Dia sampe ngerengek minta nomor hp aku. Ka-ka-kalau aku blokir, kali aja itu cowok jadi nangis. Dia ... dia kan cengeng."

Dan untuk pertama kalinya di malam itu, sejak pertama kali panggilan videonya diangkat oleh Olivia, Elai melihat bagaimana senyum lebar mengembang di wajah kakaknya. Tapi, senyum itu bukannya membuat Elai senang. Alih-alih membuat ia khawatir.

"Ka-Ka-Kakak kenapa yang mendadak senyum gitu?" Elai meraba tekuknya. "Aku jadi ngeri sendiri ngeliatnya."

Lantas senyum manis di wajah Olivia sontak berubah menjadi tawa. "Hahahaha. Nggak kenapa-napa. Kakak cuma ngerasa kangen sama kamu. Ehm ... adek Kakak yang manis."

Elai cemberut. "Nggak ada yang nganggap aku manis, Kak. Semua orang nganggap aku nakal dan menyebalkan. Cuma Kakak aja yang nganggap aku manis."

"Iya apa? Kayaknya nggak deh."

Olivia menelengkan wajahnya ke satu sisi. Kali ini ia kembali tampak tersenyum. Tampak mengembuskan napas panjang.

"Karena kalau kamu emang menyebalkan ... kamu pasti udah dari dulu ngeblokir nomor Marcel kan? Atau bahkan nggak kamu kasih nomor kamu ke dia. Orang dari dulu juga kamu nggak pernah mau ngasih nomor kamu ke siapa pun."

Cemberut di wajah Elai berganti dengan ekspresi ngeri. Matanya tampak membesar dan ia terlihat salah tingkah.

"I-itu kan karena Marcel cengeng, Kak. Aku cuma nggak mau aja dia ngadu sama orang tua dia gara-gara nggak dapat nomor hp aku."

Olivia dengan senyumnya tampak mengangguk. "Iya iya iya. Kakak tau. Dan karena itulah Kakak ngomong kamu itu anaknya manis."

*

Sekarang ....

Pertanyaan Ares benar-benar mendorong Elai hingga ke ujung jurung rasa malunya. Terutama karena Ares sepertinya bersikeras sekali untuk menanyakan hal yang sama berulang kali. Elai seperti merasa sedang ... terdesak.

"Dan kamu ingat tentang pembicaraan kita di dapur sore itu?"

Suara Ares kembali terdengar. Membuat Elai pelan-pelan membuka matanya, seperti dirinya yang sedang berusaha membuka ingatannya.

Pembicaraan yang mana?

"Sewaktu kamu ngomong ... seharusnya Marcel yang datang menemui kamu, bukannya aku ...."

Elai meringis.

Aaah, yang itu.

Kenapa sih aku harus keceplos ngomong hal yang bener-bener nggak penting?

"Itu bukannya karena kamu justru ngarepin dia? Iya kan? Bener kan yang aku bilang?"

Menggeram, Elai mengepalkan kedua tangannya di pintu itu. Sekarang Elai merasa bahwa kekesalannya pada Ares dan Marcel tidak sebanding dengan rasa kesal yang ia rasakan pada dirinya sendiri.

Sungguh! Rasanya Elai ingin mengubur dirinya hidup-hidup saat ini. Rasa malu itu benar-benar membuat wajahnya terasa panas seperti tengah dibakar bara api.

"Diem kamu, Res! Jangan ngomong sembarangan kamu ya! Kamu nggak tau apa-apa tentang aku."

Putus asa, Elai tak mengira bahwa untuk perkataannya satu itu, Ares justru mendengkus besar. Jelas mencemooh dirinya.

"Oke. Maaf, Lai, maaf. Aku tau kalau aku nggak tau apa-apa tentang kamu. Tapi, sebagai gantinya, aku menyadari sesuatu."

Tubuh Elai menegang. Sinyal peringatan seperti berdenging di kepalanya. Seperti mengirimkan peringatan pada dirinya. Bahwa apa pun yang akan dikatakan oleh Ares, itu pasti adalah sesuatu yang akan membuat ia semakin malu lagi. Dan itu ... terbukti.

"Kayaknya justru kamu bukan yang tau banget dengan Marcel? Bahkan ... selama ini, ternyata kamu selalu ingat tentang dia kan?"

Elai menyerah. Memilih diam. Tak bisa mengatakan apa-apa.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top