33. Pertentangan

"Aku mau nanya. Kamu dan Marcel ... emang sengaja ngebuat aku bingung kayak gini ya?"

Ketika pertanyaan itu mendarat di indra pendengaran Ares, ada satu hal yang mendadak saja melintas di benaknya. Yaitu ketika beberapa hari yang lalu ia menghubungi Olivia. Lantaran sikap Elai yang tak biasanya, maka ia pun memutuskan untuk menghubungi kakak perempuan gadis itu. Hanya sekadar bertanya. Dan ya ... mungkin saja bisa mendapatkan solusi dari yang tengah terjadi. Lantas, kala itu perkataan Olivia justru membuat ia membeku.

"Kakak nggak tau, kamu bakal nipu Elai sampai kapan, Cel. Tapi, coba kamu pikir. Kalau kamu berada di posisi Elai. Apa kamu nggak bakal ngerasa yang kayak dia rasa?"

Ares diam.

"Dia bingung. Jelas banget dia bingung. Di satu sisi kamu memberikan perlindungan dan warna baru di hari-hari sebagai Ares. Tapi, di sisi lain kamu justru memberikan perhatian dan ingatan akan kenangan kalian dulu sebagai Marcel. Apa ... menurut kamu Elai nggak bakal bingung?"

Di saat itu, Ares pun lantas menyadari bahwa memang. Yang dikatakan oleh Olivia memang benar. Walau jelas, Ares akan membela dirinya.

"Aku ... aku ngelakuin ini karena aku tau hubungan kami---"

Lantas, Ares menggantung ucapannya. Seperti ia yang baru menyadari sesuatu. Yang sempat dikatakan oleh Olivia, namun sayangnya tidak ia perhatikan dari tadi.

"A-apa?" tanya Ares dengan mengerutkan dahi. "Selama ini Elai cerita ke Kakak soal aku?"

Sejenak, tak ada suara Olivia di seberang sana. Hingga kemudian terdengar helaan napas panjangnya.

"Iya. Sejak ia punya hp baru. Setelah ia ngubungi rumah, ia ngubungi Kakak. Dan dia ... selalu cerita tentang kamu," kata Olivia. "Ares dan Marcel."

"Aku ... nggak tau."

"Jelas kamu nggak tau. Jadi, Kakak harap ... sudahi aja deh sandiwara kamu, Cel. Kakak kasihan sama Elai. Kamu nggak kasihan sama dia? Ehm ... kamu ... sayang dia kan? Cinta dia kan?"

Tentu saja, ketika Olivia menanyakan hal itu, Ares dengan segala kemampuannya berusaha untuk menghindar. Mana mungkin ia akan membicarakan hal memalukan seperti itu. Lagipula ... sayang? Cinta?

Bukannya jelas ya?

Dari awal aku nekat buat ngedeketin dia gara-gara mau balas dendam?

Mau buat dia tergila-gila sama aku?

Namun, abaikan dulu hal tersebut. Karena yang lebih penting dari percakapan dengan Olivia waktu itu adalah ... mungkin memang seharusnya ia menyudahi sandiwara kacangan yang ia lakukan selama nyaris dua bulan itu. Seharusnya ... sebelum Elai justru merasa lelah akan semuanya. Dan sekarang, sepertinya semua sudah terlambat. Mungkin benar apa yang dikatakan Olivia. Elai tentu saja bingung. Akibatnya? Gadis itu sekarang sudah berada di ambang batas kewarasannya. Pada titik itu, Elai menyadari sesuatu. Kehadiran Ares dan Marcel benar-benar membuat ritme kehidupannya menjadi berantakan.

"Kamu tau nggak? Dulu kehidupan aku itu damai banget. Bangun pagi sampe ke tidur lagi, damai ... banget. Tapi, sejak dua bulan belakangan ini, semuanya berantakan gara-gara kamu dan Marcel."

Mengabaikan beberapa orang yang melihat pada mereka, Ares berusaha untuk mengimbangi langkah kaki Elai. Tapi, sungguh! Dalam keadaan seperti itu, Elai seperti memiliki kekuatan super untuk mampu berjalan dengan teramat cepat. Bahkan bila ingin diambah efek dramatis, Elai juga mendadak mendapat keahlian untuk menyelip di antara para penghuni gedung apartemen yang tampak ramai mengingat kala itu menjelang malam Minggu.

"E ... Elai ...."

Sial. Ares terlambat. Elai sudah masuk ke dalam satu lift dan benda itu sudah beranjak naik di detik selanjutnya. Dengan menahan geram, Ares pun menggantungkan harapannya pada lift lainnya.

"Ah! Lama banget sih!"

Dan penantian dalam menunggu lift membuat Ares nyaris frutrasi. Hingga pada akhirnya ia berhasil juga masuk ke unit apartemen Elai, ia langsung menuju ke kamar gadis itu. Menekan daun pintunya, hanya untuk mendapati bagaimana pintu kamar tersebut terkunci rapat.

Ares menggedor.

"Lai. Maksud kamu ngomong kayak gitu apa?"

Hening sejenak. Hanya terdengar suara Ares yang diselingi oleh suara gedorannya. Berganti-gantian. Berulang kali. Tapi, benar-benar tidak ada sahutan apa pun yang ia dapatkan dari Elai. Nyaris membuat cowok itu berada di ambang batas kesabarannya.

"Lai! Buka pintunya," kata Ares kemudian. "Kenapa kamu mendadak ngomong kayak tadi? Maksud kamu apa?"

Ares pikir ia akan mendobrak pintu itu. Sungguh! Ekspresi wajah Elai ketika bicara padanya tadi benar-benar membuat perasaan cowok itu tidak enak.

"Seperti yang kamu dengar."

Tangan Ares yang dari tadi menggedor, langsung berhenti seketika. Tepat ketika ia mendengar suara halus itu dari balik pintu. Ares meneguk ludahnya.

"A-apa maksud kamu?"

Hening kembali. Tapi, Ares memutuskan untuk menunggu kali ini. Setidaknya, cowok itu tau. Elai di balik pintu, ia mendengarkan pertanyaannya. Dan ... mungkin saja ia akan menjawab.

"Kamu bisa pergi dari sini, Res?"

Namun, sial! Dari sekian banyak perkataan Elai yang ingin Ares dengar, kalimat tanya yang satu itu jelas bukanlah hal yang ia antisipasi.

"A-apa?"

Terbata, Ares menanyakan hal tersebut. Hingga ia buru-buru menarik napas sedalam mungkin.

"Kamu ngomong apa?" tanya Ares lagi. "Kamu nyuruh aku pergi?"

Kali ini, tepat setelah Ares menanyakan hal itu, suara Elai langsung terdengar menjawab.

"Iya!" tukas Elai. "Aku nggak peduli kamu digaji berapa sama Marcel. Pokoknya kamu pergi dari sini!"

Mata Ares memejam. Tangannya mengepal di depan pintu. Sungguh! Cowok itu selalu tak mampu menahan diri ketika mendengar satu kata itu.

"Pergi?" desis Ares membeo satu kata itu dengan irama bertanya. "Kamu nyuruh aku pergi?" Ia mendengkus. "Nggak bakal. Dan perlu kamu tau, Lai ...." Ares mengeraskan rahangnya. "Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan gaji."

Kembali, hening.

"Ma-maksud kamu?"

Meneguk ludahnya, Ares menatap lurus pada pintu layaknya ia yang bisa menembus benda padat itu. Seperti ia yang bisa menatap lurus pada mata Elai walau jelas-jelas pandangannya terhalang.

"Kalau ... semua ini bukan karena gaji, melainkan karena kamu ... apa aku boleh tetap di sini?"

Ares menarik napasnya, mengembuskannya dengan amat perlahan. Seperti sedang berusaha untuk memperpanjang batas kesabaran yang ia miliki. Tapi, nyaris semuanya buyar lantaran satu pertanyaan yang ia lontarkan dengan mulutnya sendiri.

"Kenapa sih kamu selalu saja ngomong sesuatu yang bertentangan dengan yang kamu rasakan? Kamu ... kamu senang kan karena aku tinggal di sini sama kamu?"

Lalu ... hening.

*

Hari di parkiran, ketika Elai terceplos mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ....

"Kayaknya ... aku emang kebanyakan mikir deh."

"Mikir apa?"

"Kamu."

Untuk beberapa saat lamanya, tak ada yang bersuara di antara mereka. Elai membeku, sementara Ares dengan kedua tangannya yang bertahan pada masing-masing lututnya, sama persis seperti gadis itu. Bergeming dengan ekspresi yang tak mampu diungkapkan oleh kata-kata. Sontak, beberapa detik kemudian memberikan efek nyata bagi Elai. Membuat ia pelan-pelan menggigit bibir bawahnya. Malu.

"Argh ...."

Elai menggeram. Kedua tangannya mengepal dan buru-buru membalikkan badan. Berusaha beranjak dari sana.

"Udah. Lupain aja apa yang aku bilangin."

Secepat itu Elai mengatakan hal tersebut, secepat itu pula Ares bertindak. Menahan langkah kaki Elai dengan satu cekalan di siku tangannya. Pun turut berkata lirih di telinganya.

"Ya nggak mungkin dong aku bakal ngelupain apa yang kamu omong. Mana ngomongnya sejelas itu lagi."

Maka terang saja Elai memejamkan matanya. Menggeram dengan rasa kesal ayng teramat bertubi-tubi mendera dirinya. Pada saat itu, Elai berani bersumpah. Dirinya tidak pernah merasa malu yang sebegitu hebatnya seperti rasa malu yang ia rasakan saat ini.

Ugh!

Saking malunya, Elai benar-benar berpikir untuk terbang ke Korea dan langsung operasi plastik untuk mengganti wajahnya.

"Lepasin tangan aku."

Tidak tau harus mengatakan apa, pada akhirnya Elai mengambil jalan aman saja. Meminta Ares untuk melepaskan tangannya yang masih ditahan cowok itu. Tapi, tentu saja tidak dikabulkan oleh Ares. Alih-alih, ia justru beranjak. Berpindah ke hadapan Elai. Di mana gadis itu dengan cepat membuang mukanya.

Ares mengulum senyum. "Tadi juga pas ngomong kalau kamu mikirin aku, lancar banget. Kini malah sok buang muka."

"Huh!" dengkus Elai. "Aku tadi keceplos. Nggak sengaja. Jadi, nggak usah GR jadi cowok."

"Nggak." Ares geleng-geleng kepala. "Aku nggak GR kok. Tenang aja. Karena walaupun aku nggak GR, tetap aja kenyatannya nggak berubah."

Dalam keremangan di sana, mata Elai kembali membola. Jelas mengetahui sindiran dalam kata-kata Ares. Tapi, hal yang mengesalkannya adalah bagaimana ekspresi Ares yang tampak biasa-biasa saja. Ugh! Benar-benar membuat Elai jengkel setengah mati.

Selang beberapa saat kemudian, merasa tak perlu semakin menyudutkan Elai, Ares pun mengubah cekalannya di siku cewek itu. Berubah menjadi genggaman di jari-jari tangannya. Kali ini, alih-alih menampilkan ekspresi menggoda, ia justru berkata dengan senyum tipis yang terkesan tulus hingga mampu membuat Elai meneguk ludah gugup karenanya.

Sial. Tapi, secepat itu Ares bisa mengubah efek kehadirannya pada Elai. Dari gadis itu yang semula merasa malu, eh ... justru berubah menjadi tersipu.

"Ayo. Buruan kita cari hp kamu. Ntar pada tutup lagi tokonya," kata Ares dengan sedikit geli.

Sejurus kemudian, keduanya pun sudah berada di dalam mobil yang Ares kendarai dengan kecepatan yang cenderung stabil. Mengantarkan mereka pada satu mall dan keduanya langsung menuju pada satu toko ponsel ternama.

Tak butuh waktu lama untuk Elai memilih ponsel barunya. Ia cukup berkata seperti ini pada pelayan di sana.

"Keluaran terbaru."

Mendengar perkataan Elai, sontak saja Ares jadi geleng-geleng kepala. Ya ... walau di dalam hati, Ares jelas memuji tindakan Elai. Takjub.

Benar-benar tepat sasaran.

Setelah mendapat ponsel barunya, tak langsung pulang, Ares justru mengajak Elai untuk singgah makan di salah satu kafe yang mereka lintasi dalam perjalanan. Tempat yang meragukan di mata Elai sebenarnya, tapi Ares meyakinkan gadis itu bahwa rasa di sana benar-benar dijamin.

"Kalau aku mendadak sakit perut," ancam Elai kemudian. "Kamu tanggung jawab ya."

Ares mengangguk berulang kali. "Tenang. Bahkan aku berani tanggung jawab buat nemenin kamu di toilet kalau emang perlu."

Mata Elai melotot. Tapi, pada akhirnya ia tetap masuk. Mendudukkan bokongnya di satu kursi sementara Ares memesan beberapa menu pada sang pelayan. Dan ketika pesanan mereka tiba, Ares bisa menampilkan seringai lebarnya. Itu adalah ketika ia melihat ekspresi wajah Elai.

"Ehm ... saos pastanya lumer banget."

Seringai di wajah Ares berubah menjadi kerutan di dahinya. "Aku nggak tau kalau saos pasta itu lumer," katanya geli. "Lumer itu bukannya untuk es krim ya?"

Elai tergelak. Berusaha menutup mulutnya yang berisi makanan lezat itu ketika rasa geli tak mampu ia tahan. Membuat Ares dengan penuh percaya dirinya bertanya.

"Gimana? Nggak rugi kan makan di sini? Bener kan?"

Tak ingin jujur, Elai memainkan bola matanya dengan ekspresi tak ingin kalah. Kedua bahunya lantas naik sekilas.

"Ya ... nggak buruk-buruk amatlah," kata Elai kemudian. "Seenggaknya ... keberadaan kamu ada manfaatnya juga. Ehm ... walau dikit. Semacam ngasih tau tempat makan yang ... lumayan enak ini."

Ares tak mampu menahan dengkusannya. "Udah lebih dari sekali aku ngajak kamu makan di tempat baru dan itu ... ehm ... enak."

Menjeda sedikit pembicaraan itu dengan menikmati beberapa tegukan air putih yang sejuk, Elai lantas mengembuskan napas panjang sekilas.

"Baru dua kali. Dan kamu nggak usah bangga."

Sedetik, garpu Ares sudah akan masuk ke dalam mulut, namun ia urungkan lantaran perkataan gadis itu. Alih-alih melanjutkan makannya, Ares tergelitik untuk bertanya.

"Itu ... bukan pancingan biar aku ngajak kamu makan lain waktu kan ya?"

Elai sontak membolakan matanya. "Sem-sembarangan aja."

"Ck," decak Ares seraya menaruh sejenak garpunya kembali di atas piring. "Kamu nggak usah bohong deh. Orang jelas banget kamu tinggal sendirian. Kalian bukan dengan aku ... emangnya dengan siapa lagi kamu mau makan bareng?"

Mata Elai yang membola, sontak mengerjap sekali. "Kamu ...."

Ares menunggu. Memilih untuk tetap diam ketika dilihatnya bagaimana Elai yang justru menggantung ucapannya. Hingga kemudian, gadis itu tampak mengembuskan napas panjang.

"Bawel."

Lama menunggu, ternyata hanya satu kata itu yang Ares dapatkan. Membuat ia geram dan geregetan.

"Aku tanyain deh. Makan di sini enak atau nggak?" tanya Ares. "Kalau nggak, mending kita cabut sekarang deh."

Dengan pasta yang baru saja ia nikmati sebanyak empat sendok? Tentu saja Elai melotot.

"Iya. Enak. Puas?"

Ares menggeleng. "Jadi, kamu seneng nggak karena ada aku di sini?"

Menggeram, dengan mengatupkan bibirnya rapat untuk beberapa saat, pada akhirnya Elai mau tak mau menjawab.

"Iya. Aku seneng."

Mengulum senyum, ketika mendengar itu Ares tentu saja merasa sedang di atas angin. Merasa senang karena berhasil memenangkan pertarungan tak kasat mata di antara mereka. Hingga euforia kesenangan itu terlalu membuncah. Menghadirkan cetusan yang teramat tanpa sadar Ares ucapkan.

"Huh. Akhirnya jujur juga. Orang jelas banget kamu emang seneng gara-gara ada aku sekarang. Seenggaknya ... aku kan tau kamu seneng ngeliatin aku diam-diam."

Elai membeku.

"Kamu tau?"

Dan sontak saja tawa Ares berderai.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top