31. Tanpa Sadar

[ Elai ]

[ Kayaknya hari ini ada yang belanja. ]

[ Gimana? ]

[ Menyenangkan? ]

Melihat bahwa pesannya sudah dibaca sontak saja membuat Ares mengembuskan napas panjang. Lebih dari itu, ada senyum yang mengembang di wajahnya. Terutama pada kalimat terakhir yang ia kirimkan beberapa saat yang lalu.

[ Elai ]

[ Istirahat yang cukup dan jangan sampe kecapekan. ]

Ares tau, Elai tidak akan membalas pesannya. Tapi, setidaknya ia juga tau bahwa Elai selalu membaca pesannya. Dan itu, membuat sekelumit senyum di wajah Ares mengembang lebih lebar lagi. Dengan mata yang masih menatap pada layar ponselnya, cowok itu memutar-mutar kursi kerja yang ia duduki.

"Kamu ini," kata Ares dengan nada geli di suaranya. "Selalu aja kayak gini. Dari dulu beneran nggak pernah berubah." Bibir bawa Ares tampak mencibir sekilas. "Pesan aku nggak pernah kamu balas. Mau dulu ataupun sekarang. Tapi, tetap aja dibaca. Bahkan lebih dari itu. Kamu pun nggak pernah berusaha untuk nge-blokir nomor aku."

Menghabiskan beberapa lama waktunya hanya dengan memandangi riwayat percakapan satu arah itu, pada akhirnya Ares mengembuskan napas panjang. Menaruh kembali ponsel itu ke dalam laci mejanya. Memastikan bahwa benda itu aman tersimpan, Ares kemudian menghentikan putaran kursi yang ia duduki. Sekarang, alih-alih melanjutkan pekerjaannya di laptopnya yang menyala itu, Ares justru melakukan hal lainnya. Menyandarkan punggung, menengadahkan kepala, dan lalu menatap pada langit-langit kamarnya. Dan di kala itu, mendadak saja ingatan-ingatan Ares bermain di benaknya. Tentu saja, ingatan tentang kenangan dirinya dengan Elai.

Wajah tampan itu masih betah tersenyum. Seperti menikmati kilasan yang benaknya tampilkan. Hingga kemudian, ingatannya terbawa pada beberapa kejadian yang masih segar di pikirannya. Ketika rambut panjang Elai ditiup angin saat menghadiri acara halal bihalal panti asuhan kemaren. Lalu kejadian tadi sore. Di saat tanpa sengaja ia memeluk gadis itu. Dan sekarang, memikirkan kelembutan tubuh Elai di pelukannya, sontak membuat darah cowok itu berdesir. Hingga Ares buru-buru menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan kuat.

"Waw!"

Ares tergelak. Bangkit dari duduknya dan mengusap wajahnya sekilas.

"Kayaknya aku perlu kopi buat begadang malam ini."

Berusaha menyingkirkan bayangan Elai dari benaknya, Ares justru tidak siap ketika harus bertemu dengan gadis itu tepat ketika ia keluar dari kamarnya. Pun sepertinya sama dengan dirinya, Elai tampak kaget ketika harus bertemu dengannya.

Ares mengerjapkan matanya. "Kamu mau ke---"

Namun, Ares menghentikan ucapannya. Itu adalah ketika fokus matanya melihat bagaimana tangan Elai yang tampak meremas pahanya berulang kali.

"Paha kamu kenapa?"

Elai melirik ke bawah. Pada tangannya yang refleks memijat pahanya sendiri lantaran rasa pegal yang menderanya dari tadi. Dahinya tampak mengernyit dengan kesan tidak nyaman.

"Kayaknya gara-gara kelamaan muter-muter deh," kata Elai seraya mengembuskan napas. "Berasa pegal banget kaki aku sekarang."

Bahkan walau bukan dirinya yang merasakan, tapi Ares nyaris benar-benar bisa turut merasakannya.

"Kalau gitu, harusnya kamu istirahat aja di kamar," kata Ares kemudian. "Ngapain malah jalan-jalan kayak gini?"

Elai berdecak sekali. "Aku mau ngambil minum. Soalnya tengah malam itu aku sering kebangun kalau haus."

"Elai .... Elai ...."

Ares menyebut nama gadis itu dengan penuh irama. Hingga membuat Elai merasa asing sendiri ketika mendengarnya. Terutama ketika dilihatnya bagaimana Ares yang menundukkan sedikit wajahnya. Demi bisa menciptakan garis lurus yang menghubungkan sorot mata keduanya. Elai sontak beringsut, walau sedikit. Untuk menciptakan jarak yang bisa membuat ia menekan rasa gugupnya karena ditatap sedemikian rupa oleh lawan jenis.

"Kamu itu ada nomor hp aku loh," kata Ares. "Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa ngubungin aku."

Elai megnerjap-ngerjapkan matanya dengan salah tingkah.

I-i-ini pasti efek gara-gara pelukan tadi sore.

Ehm ... atau ....

Argh!

Bahkan sejujurnya, dari tempo hari saja Elai sudah terlanjur basah mengakui pada Ares bahwa dirinya yang memikirkan cowok itu. Dan pada titik ini, Elai meyakini sesuatu. Memang tidak baik bila cowok dan cewek tinggal di bawah satu atap yang sama.

Elai berdecak. Mengangkat satu tangannya dalam gestur mengusir secara halus. "Udah deh. Aku bisa kok ke dapur sendiri. Selama ini juga aku ngerjain semuanya serba sendiri."

Tak membalas kata-kata Elai, Ares hanya memerhatikan bagaimana cewek itu yang kemudian beranjak dari tempatnya. Dengan langkah yang terseret, sedikit pincang pada satu kakinya, Elai berjalan dengan pelan. Dan tentu saja, Ares tidak akan membiarkan Elai melangkah lebih jauh lagi.

Tercatat, Elai hanya melangkah sebanyak tiga kali. Sebelum pada akhirnya tubuhnya direnggut oleh Ares. Jangankan melangkah, sekarang kaki Elai bahkan tidak menginjak lantai lagi.

"Ares!"

Elai terpekik kaget. Refleks membuat ia buru-buru melingkarkan kedua tangannya di leher Ares. Dan ketika ia akan menghardik cowok itu yang dengan teramat tiba-tiba menggendong dirinya, terdengar Ares yang lebih dulu berkata pada dirinya.

"Selama ini ... itu karena nggak ada aku. Selama ada aku ... itu lain cerita."

Namun, Elai tidak pernah menjadi gadis penurut. Ares tau pasti hal yang satu itu. Karena jelas sekali, ketika dirinya akan melangkah, ia mendapati bagaimana Elai yang meronta. Seraya berkata dengan mata melotot.

"Turunin aku nggak? Kamu sembarangan aja gendong-gendong aku!"

Hanya saja, Ares sudah tau dengan pasti cara untuk menaklukkan Elai. Maka cowok itu dengan penuh rasa percaya diri berkata.

"Aku nggak tanggung jawab loh ya kalau semalam ini aku mendadak meras jeruk lagi."

Elai terkesiap dengan wajah yang memerah. "Kamu---"

"Jadi gimana?" potong Ares seraya menyeringai miring. "Mau diem dan aku turunin kamu di atas tempat tidur? Atau ... kamu mau kita di sini aja dan aku meras jeruk kamu?"

Untuk kedua pilihan itu, Ares tidak mendapati satu katapun yang diucapkan oleh Elai sebagai jawaban. Melainkan cewek itu yang justru membuang mukanya dengan tangan yang benar-benar menyilang di depan dadanya.

Wah!

Dia kira aku beneran mau ngambil kesempatan ya?

Sontak saja, memikirkan itu Ares mau tidak mau jadi tertawa.

"Kamu ngetawain aku?" tanya Elai dengan mendelik. "Iya?"

Ares buru-buru menggeleng. "Nggak," katanya seraya memperbaiki letak tubuh Elai di gendongannya, sebelum benar-benar melangkah. "Aku bukannya ngetawain kamu. Tenang aja."

Elai tentu saja tidak percaya. Tapi, ia memilih untuk tidak bicara apa-apa lagi. Selain pasrah ketika Ares membopongnya dan lantas membaringkannya di atas tempat tidur.

Tak langsung pergi dari kamar itu, Ares justru memeriksa kaki Elai. Membuat Elai bergidik dan berniat untuk menarik kakinya, tapi Ares buru-buru menahannya.

"Mau aku pijitin nggak?" tanya Ares kemudian. "Biar kaki kamu enakan."

"Nggak!" jawab Elai cepat. Kedua tangannya bergerak. Berusaha menepis tangan Ares dari kakinya. "Aku khawatir justru kaki aku makin nggak enakan."

Ares mencibir. "Kamu itu bener-bener meremehkan aku, Lai," ujarnya geli. "Lagipula ... kamu harus tau. Kalau tangan aku ini bukan bisanya buat ngeremas doang."

Mata Elai melotot ngeri.

"Tapi, mijit juga ahlinya."

Tangan Elai masih bergerak-gerak abstrak. Tetap berusaha menyingkirkan kedua tangan Ares yang bersiap untuk memijat kakinya.

"Aku sama sekali nggak percaya omongan kamu," kata Elai dengan penuh penekanan.

"Ckckckck. Ini nih. Ini sifat kamu yang harus diubah, Lai. Mana ada ceritanya kamu nggak percaya sama pacar sendiri?"

"Hah?!"

Elai melongo. Dan Ares tertawa.

"Jangan ngomong kamu lupa kalau status kamu itu pacar aku," kata Ares. Lantas, mengabaikan bahwa ekspresi syok itu masih bertahan di wajah Elai, Ares buru-buru meraih kembali kaki Elai. Dan memberikan pijatannya yang pertama.

"Aaah ...."

Hanya butuh sedetik, tapi kesiap Elai tadi langsung berubah menjadi desahan. Tepat ketika jari-jari tangan Ares mulai beraksi. Dan dengan bangganya Ares bertanya.

"Bener kan yang aku bilang? Pijatan aku enak kan?"

Tak menjawab, Elai justru berusaha tetap memasang ekspresi datar di wajahnya. Mata gadis itu tampak mengerjap-ngerjap. Lalu melihat ke arah lainnya. Hingga membuat Ares geli sendiri.

Menjeda sejenak pijatannya, Ares bangkit. Menuntun Elai untuk benar-benar merebahkan kepalanya di atas bantal.

"Kamu istirahat aja deh," kata Ares seraya kembali pada posisinya semula. Di dekat kaki Elai, kembali memijat di sana. "Hari ini kamu belanja seharian. Pasti buat kamu seneng. Tapi, kayaknya kamu juga capek. Jadi, kamu harus istirahat."

Dan ketika itu, Elai seketika saja termangu. Seperti benaknya yang mendadak saja teringat dengan beberapa hal yang berbeda, tapi sayangnya sama. Argh! Elai bahkan bingung harus menjelaskannya seperti apa.

Kayaknya hari ini ada yang belanja.

Gimana?

Menyenangkan?

Istirahat yang cukup dan jangan kecapekan.

Itu jelas adalah pesan yang beberapa saat yang lalu ia dapatkan. Dari seseorang yang selama ini berusaha untuk ia hindari.

Dan sekarang, ada seseorang lainnya yang mengatakan hal yang tak berbeda jauh.

"Kamu istirahat aja deh. Hari ini kamu belanja seharian. Pasti buat kamu seneng. Tapi, kayaknya kamu juga capek. Jadi, kamu harus istirahat."

*

Ketika Ares mengangkat wajahnya, ia mendapati bahwa Elai sudah tertidur. Mata gadis itu terpejam dan napasnya terlihat halus teratur. Wajahnya terlihat damai. Sangat berbeda jauh dengan ekspresinya sehari-hari ketika ia sadar.

Menarik napas dalam-dalam, Ares berusaha untuk berjalan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Ia ke dapur. Menyiapkan segelas air putih dan menaruhnya di atas nakas.

Memastikan bahwa bed cover sudah menyelimuti Elai dengan sempurna, cowok itu lantas pelan-pelan melabuhkan satu kecupan seringan kapas di dahi Elai. Lalu, barulah ia memadamkan lampu utama. Pun beranjak keluar dan menutup pintu itu dengan teramat perlahan. Meninggalkan Elai yang terbaring seorang diri di tempat tidurnya. Yang ... kemudian, justru membuka matanya.

Mengembuskan napas lega, Elai merasa nyaris gila ketika memutuskan untuk berpura-pura tidur agar Ares cepat keluar dari kamarnya. Sumpah! Elai yakin jantungnya akan meledak kalau Ares tinggal lebih lama lagi untuk memijat kakinya.

Sekarang, bangkit dari tidurnya, Elai langsung meraih segelas air yang sudah Ares siapkan untuknya. Menikmati dua tegukan yang melegakan. Dan tanpa sadar lidahnya kemudian bergerak. Melirihkan nama cowok itu.

"Ares ...."

Dan ketika gelas itu kembali mendarat di atas nakas, Elai mendapati ada denting halus di ponselnya. Satu pesan masuk dan Elai langsung membacanya.

[ +6281112xxxx ]

[ Mimpi indah. ]

Kali ini, lidah Elai pun refleks ketika menyebutkan nama lainnya.

"Marcel ...."

Ketika itu, pundak Elai seperti luruh. Jatuh seolah tak ada tenaga dengan satu pemikiran yang entah kenapa membuat ia semakit kusut.

"Apa ini masuk akal?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Ada seorang cowok yang menarik selimut di badan aku, memastikan aku benar-benar tidur. Dan ada seorang cowok lainnya yang mengirimi aku pesan, mendoakan aku supaya aku mimpi indah."

Menarik napasnya sekilas, Elai lantas menaruh kembali ponselnya di atas nakas. Barulah ia merebahkan tubuhnya.

"Dan tadi Ares ngomong apa? Pa-pacar? Ah! Aku bahkan nyaris lupa kalau aku kemaren nembak dia. Jadi, lagi-lagi apa ini masuk akal?" tanya Elai horor. "Aku pacaran dengan bodyguard-nya, sementara aku juga dijodohkan dengan bos-nya? Dan kenapa mereka berdua kayak yang ngasih perhatian banget ke aku?"

Pertanyaan terakhir, seketika saja membuat Elai memejamkan matanya. Dahinya tampak mengernyit dan ia memijat pelipisnya.

"Argh! Kenapa aku mendadak pusing kayak gini?"

Tanpa Elai ketahui, bahwa ketika dirinya sedang pusing memikirkan hal tersebut, terpisah di kamar lain, ada cowok yang justru geleng-geleng kepala seraya melihat pada ponselnya.

"Ternyata dia beneran belum tidur kan."

Sekelumit senyum geli itu terbit di wajah tampannya.

"Dasar."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top