30. Dua Penjajah Pikiran
"Nanti kalau u-udah diobati, kulit kamu nggak merah-merah lagi kok."
"Tapi, kalau berbekas gimana?"
"K-k-kan karena itu Mbak Ria ngelarang buat kamu garukin gatalnya."
"Sekarang kamu malah nyalahin aku. Yang salah itu kamu, Kura-Kura Gosong!"
Ketika kesadaran kembali menjamah Elai, bulu mata lentik itu pun lantas bergerak-gerak halus. Beberapa kali, sebelum pada akhirnya Elai pun membuka mata. Walau masih terkesan menyipit. Efek silau sinar lampu utama yang lupa ia padamkan semalam.
Masih belum bangkit, Elai lantas menyadari bahwa malam tadi ia tertidur. Lihat saja jepit rambut yang masih bertengger di sisi kepalanya. Itu sudah cukup menjadi tanda bahwa dirinya ketiduran.
Ehm ....
Ini pasti gara-gara kekenyangan makan malam.
Menyadari itu, Elai lantas mengembuskan napas panjang. Melihat bahwa di satu tangannya ada ponselnya. Elai membuka kunci layar dan langsung melihat kolom percakapan antara dirinya dan nomor Marcel.
Tenang saja, tak ada tambahan pesan baru dari Marcel yang bisa membuat Elai semakin menggigit bibir bawahnya. Pun lebih dari itu, Elai bahkan tidak membalas pesan itu sedikit pun. Maka tidak heran sama sekali bila kalimat terakhir yang ada di sana adalah: Tunggu aku.
Hidung Elai sontak mengernyit ketika membaca pesan itu. Tampak mencibir sekilas seraya memutuskan untuk bangkit dari tidurnya. Duduk, kali ini Elai mencibir pada ponselnya.
"Nunggu kamu?" tanya Elai. "Males. Harusnya kamu yang nungguin aku."
Setelah mengatakan itu, Elai lantas beranjak ke kamar mandi. Mencuci muka dan merapikan penampilannya. Dengan membiarkan rambutnya untuk tetap terurai, gadis itu pun keluar dari kamar. Perutnya yang bergemuruh halus itu menuntun dirinya untuk bergegas ke dapur. Dan ketika dirinya baru selangkah melewati ambang pintu dapur, Ares yang baru saja menyajikan sarapan di meja makan itu tampak mengangkat wajahnya. Melihat pada Elai dengan tersenyum.
"Akhirnya kamu datang juga," katanya. "Aku nungguin kamu."
Elai sontak terdiam di tempatnya berdiri. Mengerjapkan matanya berulang kali dengan ekspresi bengong. Membuat Ares mengerutkan dahi dan langsung menghampiri gadis itu.
"Kamu kenapa?" tanya Ares cepat. "Sakit?"
Secepat pertanyaan itu mendarat di indra pendengaran Elai, secepat itu pula satu tangan Ares naik. Mendaratkan telapaknya di dahi Elai. Berusaha untuk merasai suhu gadis itu.
Elai tersentak. Refleks tubuhnya membuat ia ingin melangkah mundur, menjauh. Tapi, refleks Ares sebaliknya. Tangannya yang lain dengan cepat menahan Elai.
"Bentar," lirih cowok itu dengan sorot yang sedang serius. "Aku cek dulu."
Maka Elai pun tidak memiliki pilihan lain, kecuali menuruti perkataan cowok itu. Diam. Seperti pasrah saja saat Ares melakukan pemeriksaan ala kadarnya itu.
"Ehm ...."
Beberapa detik kemudian, terdengar deheman Ares. Seiring dengan melepasnya telapak tangan cowok itu dari dahi Elai. Sadar atau tidak, tapi setelah dahinya terbebas dari sentuhan tangan Ares, Elai langsung mengembuskan napas panjang. Lega.
"Kamu nggak demam."
Elai mengangkat wajahnya. "Emang nggak demam," katanya. "Cuma ...."
"Cuma?"
Ares menunggu sambungan ucapan Elai ketika dilihatnya sang gadis dengan teramat sengaja menggantung perkataannya. Membuat Ares penasaran. Tapi, sayangnya lanjutan itu hanya menggema di benak Elai.
Cuma ... kok aku ngerasa kayak de javu ya?
Tapi, apaan?
Elai menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa," ujarnya kemudian. "Aku mau sarapan aja."
Menilik pada ekspresi wajah Elai untuk beberapa saat, mencoba untuk menerka bila ada yang ia sembunyikan, Ares pun lantas mengangguk. Sedikit menarik diri, memberikan jalan untuk Elai menuju ke meja makan. Menikmati sarapannya yang terdiri dari buah-buahan segar dan juga roti gandum. Serta segelas air putih.
Duduk di meja makan, Elai lantas langsung membasahi tenggorokannya dengan menikmati beberapa tegukan air putih. Dan matanya melirik ketika mendapati Ares yang telah duduk pula di hadapannya.
"Hari ini," kata Ares membuka percakapan di meja makan. "Kamu ada rencana apa?"
Meraih satu garpu berukuran kecil, menusukkannya ke satu potong pepaya, Elai tak langsung memakan buah segar itu. Alih-alih melihat-lihatnya sejenak sebelum kemudian matanya beralih pada Ares. Cowok itu tampak sudah bersiap akan menyantap roti gandumnya.
Kepala Elai mengangguk sekali. "Nggak ada rencana apa-apa sih," jawabnya. "Emangnya kenapa?"
"Kita pindahan aja hari ini?" tanya Ares lagi. "Gimana?"
Sontak saja mata Elai membesar. Bahkan pertanyaan itu membuat tangan Elai yang semula berniat untuk menyuap potongan pepaya ke dalam mulutnya, berhenti. Lalu justru tangannya turun kembali.
"P-p-pindah?" balik bertanya Elai, dengan suara yang gagap pastinya. "Ma-ma-maksud kamu pindah unit yang disuruh sama Marcel itu?"
Mengelap sejenak bibirnya dengan sehelai serbet makan, Ares mengangguk. Matanya tampak fokus melihat pada roti gandumnya. Walau jelas, ia masih memperhatikan dengan jelas percakapan antara mereka berdua.
"Iya. Kan kamu mau berenang."
Sekarang, alih-alih segera memulai sarapannya, Elai justru benar-benar menaruh kembali garpu buahnya. Dengan dua tangan yang lalu naik ke atas meja, gadis itu mendengkus.
"Berenti ngomong seolah-olah aku ini anak kecil deh, Res. Kayak apaan lagi. Ya kali aku pindah unit cuma gara-gara mau berenang."
Masih mengunyah, Ares lantas melirik pada Elai. "Ya ... nggak gitu juga. Lagian kan siapa tau kamu suasana yang baru gitu."
"Suasana baru?" tanya Elai dengan suara rendah. Ekspresi wajah gadis itu sekarang tampak menunjukkan bahwa dirinya tengah berpikir. "Ehm ...."
Melihat itu, Ares lantas meninggalkan sejenak roti gandumnya yang sudah lenyap tiga perempat bagiannya. Kali ini berusaha untuk benar-benar meyakinkannya.
"Ya ... mungkin kamu bosan kan di sini. Jadi, lebih baik pindah aja deh. Aku yakin kamu nggak bakal rugi."
Merenungkan perkataan Ares, Elai memilih diam untuk sejenak. Matanya tampak berkedip berulang kali ketika berpikir. Mau tak mau membenarkan pula perkataan Ares yang satu itu.
Toh, Marcel kan juga nggak bakalan datang dalam waktu dekat.
Tapi ....
Ares bisa melihat masih ada setitik keraguan di wajah Elai. Maka dari itu ia memutuskan untuk tidak memaksa. Alih-alih, cowok itu lantas mengembuskan napas panjangnya. Kembali meraih sarapannya sebelum ia berkata.
"Ya udah. Kalau gitu kamu pikirin aja baik-baik dulu. Ntar baru kasih tau ke aku. Kapan pun kamu mau, kita bisa pindah."
Diam sejenak, Elai lantas mengangguk sekali. "Dan ketimbang itu, ntar aku mau pergi ke mall. Aku mau belanja."
Lantas tak mengatakan apa-apa lagi, Elai pun kali ini benar-benar memulai sarapannya. Tak peduli sekelumit senyum geli di wajah Ares ketika cowok itu berpikir sesuatu.
Kebiasaan dia banget.
Suntuk atau apa ..., pasti ujungnya mau keluar rumah.
Dan tentu saja, sebagai alasan untuk keluar, belanja adalah alasan andalan yang bisa digunakan oleh Elai setiap saat. Tapi, bukan hal yang buruk juga sih. Mereka nanti juga bisa sekalian berbelanja buah-buahan dan keperluan lainnya.
Ketika pada akhirnya Elai dan Ares tiba di mall, nyatanya Elai tidak terlalu bersemangat. Hal itu ditangkap oleh fokus mata Ares saat mendapati bagaimana ekspresi Elai yang tampak datar-datar saja. Cewek itu bahkan cenderung tidak antusias ketika seorang pelayan menyambut kedatangannya dan langsung membawa dirinya untuk melihat satu tas keluaran terbaru.
Elai hanya manggut-manggut ketika pelayan tersebut menjelaskan detail tas selempang terbaru itu. Katanya sih ukurannya yang tidak terlalu besar dengan sedikit detail adalah pilihan yang tepat untuk wanita lembut nan feminin seperti dirinya. Mendengar itu, wajah Elai langsung berekspresi. Di dalam hati ia menukas.
Dasar marketing.
Dan Ares pun menyadari bagaimana Elai yang wajahnya semula datar langsung menyiratkan keketusan dalam beberapa detik yang singkat karena perkataan pelayan tersebut. Membuat ia mengulum senyum dengan geli.
Sejurus kemudian, Elai memberikan intruksi pada pelayan itu untuk meninggalkan dirinya sejenak. Alih-alih diekori oleh pelayan, Elai memutuskan untuk melihat-lihat tas yang dipajang seorang diri. Ehm ... atau tepatnya dengan didampingi oleh Ares sih.
"Kamu lagi ada yang dipikirin?" tanya Ares ketika mengikuti langkah kaki Elai berjalan. "Dari pagi tadi kamu keliatan nggak bersemangat gitu."
Mengulurkan tangan. Meraih satu dompet yang terpajang di sana, Elai menjawab antara niat atau tidak.
"Sok tau banget." Mata Elai bergerak-gerak ketika meneliti detail dompet bewarna hijau botol itu. "Aku nggak ada apa-apa buat dipikirin."
Ares tersenyum seraya mengambil dompet itu dari tangan Elai. Menyembunyikannya di balik punggungnya hingga membuat Elai membesarkan matanya. Dan belum lagi Elai bersuara, Ares telah terlebih dahulu berbicara.
"Bohong banget," kata Ares. "Kamu tuh kalau lagi ada yang dipikirin, bakal keliatan banget di wajah kamu. Dan pastinya, ujung-ujungnya mau belanja. Tipikal kamu banget."
Elai mencibir sekilas. Sekarang cewek itu tampak tidak memedulikan dompet yang ditahan oleh Ares. Alih-alih, ia justru mengambil satu dompet lainnya. Lantas satu tangannya terangkat. Dan seorang pelayan pun segera menghampirinya.
"Aku ambil ini aja," kata Elai seraya menyerahkan dompet yang bewarna kuning. Berbanding terbalik sekali dengan dompet yang ia ambil pertama kali.
Pelayan itu mengangguk. Lantas langsung beranjak untuk melayani pembayaran dompet tersebut, dengan diikuti oleh Elai yang meninggalkan Ares seorang diri.
Melihat Elai meninggalkan dirinya, Ares buru-buru meletakkan kembali dompet itu di pajangannya. Menghampiri Elai tepat ketika gadis itu memberikan kartu debitnya pada kasir.
"Sekarang mau ke mana lagi?" tanya Ares ketika mereka berdua keluar dari toko tersebut. "Kamu mau beli sepatu? Atau gaun?"
Tangan Elai bergerak, menyerahkan tas berisikan dompet barunya itu pada Ares. Membiarkan cowok itu yang membawanya.
"Ehm ... belum tau," kata Elai menjawab sekenanya. "Kita jalan aja dulu."
Mendengar jawaban itu, Ales pun tak bisa menahan kekehan gelinya. Membuat Elai sontak menghentikan langkah kakinya dan melihat pada cowok itu dengan sorot bertanya-tanya.
"Kenapa kamu mendadak ketawa?" tanyanya dengan nada menyelidik. "Ada yang salah dengan omongan aku?"
Bersedekap tanpa merasa terganggu sedikit pun dengan keberadaan belanjaan Elai di tangannya, Ares menggeleng pelan.
"Nggak sih, cuma ... ya aku mendadak kepikiran sesuatu aja. Ehm ... aku tuh sedang bertanya-tanya aja sih sebenarnya. Apa kali ini kamu ... mikirin aku lagi? Kayak yang tempo hari itu?"
Elai memejamkan matanya dengan dramatis. "GR banget!" tukasnya seraya membalikkan badan.
Dan ketika itu, dua meter dari tempat Elai dan Ares berdiri, ada segerombolan remaja cowok yang tampak tertawa-tawa. Biasa, sendau gurau anak-anak yang sedang mengalami puber. Hingga tampak seorang dari mereka yang berjalan tanpa memerhatikan ke mana kakinya melangkah. Yaitu, pada Elai yang membalikkan badannya.
Namun, mata Ares dengan cepat menangkap kemungkinan yang akan terjadi. Maka Ares pun buru-buru bertindak. Menarik tangan Elai. Membiarkan gadis itu terpekik kecil ketika mendarat di pelukannya. Dan ketika Elai akan membentak Ares, eh ... ternyata justru hardikan Ares yang terdengar lebih dahulu.
"Ini bukan mall kalian, Dek. Perhatikan jalan itu pakai mata."
Elai buru-buru menoleh. Pada remaja cowok yang tampak salah tingkah. Terutama ketika satu di antaranya berbisik pada temannya yang lain.
"Kamu hampir nabrak pacarnya."
Mungkin karena menyadari kesalahannya atau mungkin karena mereka terintimidasi oleh tatapan dan aura Ares, mereka pun tidak membuang-buang waktu. Alih-alih, mereka langsung meminta maaf. Sebelum pada akhirnya mereka pun berlalu dari sana.
Kepergian mereka diikuti oleh tatapan tajam Ares. Tampak sekali wajah cowok itu yang mengeras. Seperti kesal.
"Ehm .... Res," lirih Elai kemudian memanggil nama Ares dengan risi. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri bergantian. Mendapati bagaimana beberapa orang pengunjung melihat pada mereka. Membuat ia risi. "Ini kamu mau lepasin aku kapan?"
Karena jelas, kalau rengkuhan itu rengkuhan biasa-biasa saja, Elai pasti akan mudah melepaskan dirinya. Tapi, Elai berani bersumpah. Tangan Ares benar-benar kuat menahannya. Bahkan Elai khawatir, jangan-jangan lengan atasnya akan menimbulkan warna merah lagi. Persis seperti tempo hari ketika Ares mencegah kepergiannya.
Deg!
Elai menggeliat, berusaha untuk menyadarkan Ares. Tapi, kuatnya rengkuhan itu justru membuat ia menggigit bibir bawahnya. Lebih dari itu, sejurus kemudian Elai mencoba untuk tidak menarik udara. Lantaran aroma maskulin Ares yang masuk dan menjamah indra penciumannya, membuat gadis itu mendadak saja merasakan sesuatu yang janggal. Tubuhnya gemetaran. Terutama ketika ia mendengar Ares menggeram kesal.
"Tau cowok. Jalan nggak pake mata. Sengaja mau nyenggol-nyenggol kali ya itu bocah?"
Elai meneguk ludah. Mengerjapkan matanya berulang kali. Dan berusaha menahan napas sekuat tenaganya ketika ia menyadari sesuatu. Bagaimana rengkuhan protektif dan aroma maskulin Ares membuat jantungnya berdebar-debar.
Tersadar ketika rombongan remaja itu telah lenyap dari pandangannya, Ares pun melepaskan rengkuhannya. Tapi, alih-alih membiarkan Elai menarik diri, ia justru membawa kedua tangannya untuk memeriksa gadis itu.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Ares memastikan. "Ada yang sakit nggak?"
Menciptakan sedikit jarak, Elai mengusap rambutnya demi mengusir rasa jengah. "Se-seharian ini kamu udah berapa kali nanyain aku sakit atau nggak," katanya sedikit terbata. "Ini ngebuat aku heran aja."
"Heran? Heran apaan?"
Elai menyipitkan matanya. Melihat pada Ares dengan dahi berkerut. "Itu sebenarnya kamu perhatian ke aku ... atau kamu justru berharap biar aku sakit?"
Tawa Ares refleks menyembur. Rasa geli benar-benar tercetak nyata di wajah tampak cowok itu.
"Aku cuma khawatir sama kamu," kata Ares setelah menarik napas dalam-dalam, mencegah tawanya untuk berderai kembali. "Nggak mau kamu kenapa-napa." Lantas senyum Ares mengembang. "Dan ... memang. Aku memang perhatian sama kamu."
*
Elai memejamkan matanya. Merebahkan tubuh di antara beberapa kantong belanjaan yang ia taruh di atas kasur. Berisikan dompet, sepatu, gaun, hingga aksesoris yang Elai sendiri tidak yakin akan ia pakai atau tidak. Tapi, tadi itu Elai butuh sesuatu untuk menormalkan pikirannya yang ia kira sedang terganggu.
Cuma gara-gara chat, eh ... kenapa aku justru kebayang-kebayang masa lalu bareng Marcel sih?
Argh!
Buat kesal aja.
Maka karena itulah mengapa Elai memutuskan untuk berbelanja. Biasanya kegiatan menghambur-hamburkan uang seperti itu ampuh sekali untuknya menenangkan kembali kejiwaan dan pikirannya. Tapi, yang terjadi?
Kenapa sekarang gara-gara satu pelukan, aku malah jadi keingat Ares terus?
Argh!
Menyebalkan banget.
Elai meremas rambutnya dengan geram.
Tempo hari aku kebangun gara-gara mimpiin Ares.
Pagi tadi aku malah kebangun gara-gara mimpiin Marcel.
Ah, kok aku nggak bisa mimpi yang normal aja sih?
Kenapa harus dua cowok itu?
Dan memikirkan itu, lantas membuat Elai teringat lagi bagaimana Ares yang begitu protektifnya menjaga dirinya tadi. Pun sebenarnya tidak hanya kali itu. Dua kali kejadian yang melibatkan Patrick, sudah lebih dari cukup menjadi bukti. Bahwa omongan cowok itu benar adanya.
Dia ... benar-benar posesif.
Membayangkan itu, Elai lantas mendekap dada kirinya. Menyadari bahwa dari pertama kali bertemu, sebenarnya sering sekali Ares membuat jantungnya berulah. Membuat ia berdebar-debar dengan rasa jengah di kedua pipinya.
Berusaha untuk mengusir debar yang benar-benar mememakkan telinganya itu, Elai justru mendengar ada denting halus ponselnya. Ada pesan masuk dan ia pun buru-buru membukanya.
[ +6281112xxxx ]
[ Kayaknya hari ini ada yang belanja. ]
[ Gimana? ]
[ Menyenangkan? ]
Deg!
Dan membaca pesan itu, Elai berani bersumpah. Jantungnya yang tadi berdebar-debar justru langsung mendadak diam. Seperti ia yang tak lagi mampu untuk berdetak.
Dari Ares, terus ke Marcel.
Dari Marcel, terus ke Ares.
Ke-ke-kenapa aku kayak jadi pusing sama mereka berdua?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top