3. Kura-Kura vs Kancil

Satu hari di taman samping sebuah rumah yang megah ....

"Udah gendut, pendek, hitam lagi. Kamu beneran manusia kan? Hahahaha."

"Padahal udah gede, tapi iiih .... Hobinya nangis."

Olokan demi olokan terdengar berkali-kali dari bibir tipis bocah cantik itu. Dengan rambut dikepang dua, ia tampak begitu menggemaskan. Tapi, siapa yang mengira bahwa di balik wajah imut itu tersimpan sifat yang membuat teman-teman seusianya seperti kompak menjauhi dirinya. Itulah Elai, yang ketika ia datang, maka anak-anak lainnya dengan segera menyingkir.

Elai tampak berkacak pinggang. Melangkah dengan irama intimidasi pada seorang bocah cowok yang jatuh telentang di atas rerumputan hangat. Mengenakan vest bewarna abu muda, bocah cowok itu tampak seperti tercekik dengan dasi kupu-kupu yang melingkari lehernya. Ia mengaduh sakit. Berusaha untuk bangkit. Tapi, susah mengingat perutnya yang besar.

"Hahahahaha. Kayak kura-kura."

Elai tertawa. Menunjuk bocah itu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Pada anak-anak lainnya yang tampak sama ketakutan.

"Marcel kayak kura-kura gosong kan? Hahahahaha."

Dengan susah payah, bocah cowok itu berhasil juga untuk duduk. Napasnya terengah. Antara sesak dan juga karena air mata. Wajahnya terlihat menyedihkan.

"Tuan Muda, ya Tuhan."

Tawa Elai berhenti. Tepat ketika ia mendengar suara histeris itu. Disusul oleh langkah kaki yang cepat.

Seorang pengasuh tampak tergopoh-gopoh menghampiri bocah itu. Membantunya berdiri sementara tangisnya tampak tak bisa berhenti. Air matanya masih mengalir. Membuat pengasuh itu menatap pada Elai.

"Nona, apa salah Tuan Muda saya? Kenapa Nona suka sekali mengganggu Tuan Muda?"

Elai mencibir. "Berani marahin aku ya?" tanyanya melotot. Lalu ia celingak-celinguk. Mencari keberadaan pengasuhnya. "Ria!!!"

Tampak memegang sepiring camilan dan coklat, Ria terseok-seok menghampiri Elai. Wajahnya pucat ketika Elai melotot padanya.

"Lihat itu. Pengasuh Kura-Kura Gosong berani marahin aku."

Ria meneguk ludahnya. Melihat pada pengasuh yang ditunjuk oleh majikannya.

"Ma-ma-maaf, Sin. Tuan Muda gimana?"

Wajah Sinta tampak mengeras. Menuding Ria. "Harusnya kamu jagain Nona kamu itu baik-baik. Ini sudah sering banget dia ngangguin Tuan aku."

"Eh?" Elai melotot. Menarik tangan Ria hingga piring terjatuh dari genggamannya. "Kamu berani-beraninya malah minta maaf sama dia! Dasar pengasuh nggak becus kamu ya! Bukannya belain aku, malah nanyain keadaan Kura-Kura Gosong itu!"

Kura-Kura Gosong, entah sudah berapa kali Elai meledek dengan panggilan itu. Bahkan ketika mereka baru tiba dalam acara rutin sosialita para anak pengusaha –tren bagi beberapa orang berada-, Elai sudah melayangkan ledekannya. Pada bocah itu, yang secara harfiah, persis seperti apa yang Elai katakan. Gendut, pendek, dan hitam. Perutnya pun tampak begitu membuncit hingga membuat kancing-kancing bajunya terlihat mengenaskan. Mengancam akan keluar dari lubangnya masih-masing dalam waktu dekat. Dan ketika tadi ia jatuh telentang di atas rumput, perutnya benar-benar menjelma seperti tempurung kura-kura. Menyedihkan sekali. Belum lagi karena ia menangis. Tapi, di lain pihak, Elai justru merasakan sebaliknya. Ia malah tertawa-tawa.

"Lihat dia! Anak cowok. Udah gede, tapi penakut! Sama serangga aja nangis. Huuuh!!!" ejek Elai lagi. "Mana jelek lagi."

*

Dan sekarang ....

"Marcel ngutus bodyguard buat ngurung aku? Yang benar saja!"

Sosok pria di hadapan Elai tampak menarik napas dalam-dalam. Terlihat memilih untuk memasang ekspresi datar ketimbang meladeki jerit histeris Elai. Terutama karena di detik selanjutnya Elai kembali menjerit.

"Kamu bilangin sama dia, sampai kiamat aku nggak bakal mau nikah sama Kura-Kura Gosong."

Cowok itu tampak syok. Hingga suaranya terdengar bergetar. "Ku .... Ku .... Kura-Kura Gosong?"

Sialan!

Udah bertahun-tahun berlalu dan dia masih nganggap aku Kura-Kura Gosong?

Wah!

"Sepertinya Tuan Marcel nggak bisa dikatakan Kura-Kura Gosong lagi, Nona. Bagaimanapun juga, saya yakin Nona sudah melihat foto-fotonya kan?"

Kalau Elai udah ngeliat foto aku, mustahil dia nggak kenal aku.

Matanya seketika saja membesar dengan satu pemikiran.

Jangan bilang---

"Oh ...."

Bagi Elai, cukup beberapa detik dirinya mengalami syok. Walau pada kenyataannya ia lumayan gemetaran melihat pria asing di hadapannya itu, tapi bukan berarti ia gentar.

Elai akui, tadi ia memang merasa takut. Tapi, setelah menghirup napas dalam-dalam beberapa kali ia kembali mendapatkan sifatnya yang seperti biasa. Hingga ia mendengus geli.

"Iwwwh! Aku jelas aja nggak ngebuka album foto itu. Gila aja. Itu album udah aku buang keleees. Aku kan masih waras. Aku nggak mau justru kebawa mimpi itu Kura-Kura Gosong."

Bagus, Lai, bagus.

Bisa-bisanya kamu ngebuang album foto aku!

Kamu nggak tau seleksi yang aku lakukan buat nyari fotografer untuk sesi foto itu?

Oh, Tuhan.

Sabar ....

Sabar ....

"Nona ...."

Mungkin Elai masih akan terus mengeluarkan segala macam ledekannya andaikan suara berat yang terdengar bergetar itu tidak menyapa gendang telinganya. Membuat Elai dengan sorot polos bertanya.

"Apa?"

Cowok itu menarik napas dalam-dalam. "Saya yakin Tuan Marcel sudah nggak pantas lagi disebut dengan julukan Kura-Kura Gosong. Dia sudah berubah. Sangat berubah."

"Aaah ...." Elai meringis. "Berubah jadi penyu?" tanyanya. "Hahahaha. Atau sekarang jadi gurita? Cumi-cumi? Hahahaha."

Wajah cowok itu tampak mengelam. Kulitnya yang bewarna kuning langsat seketika berubah menjadi merah. Hal yang terabaikan oleh Elai. Alih-alih memerhatikan perubahan itu, Elai justru mengibaskan satu tangannya.

"Sudah sudah. Daripada kamu nurutin perintah itu Kura-Kura Gosong buat jagain aku, mending kamu pulang aja."

Elai beranjak. Seolah tak berdosa, ia meraih bungkusan makan malamnya dari tangan cowok itu. Lalu ia berkata seraya membalikkan tubuh. Berencana untuk segera ke dapur. Menikmati makan malamnya yang tertunda beberapa jam lamanya.

"Kamu pulang. Bilang ke Kura-Kura Gosong itu kalau aku nggak bakal nikah sama dia. Suruh aja dia cari cewek lain."

Tapi, belum lagi kaki Elai bisa melangkah jauh, satu cekalan di siku tangannya membuat ia terpaksa berhenti melangkah. Dengan mata yang membesar, Elai memutar tubuhnya kembali. Mendapati bagaimana cowok itu tanpa merasa sungkan menahan dirinya.

"Kamu berani nyentuh aku?" tanya Elai. "Cuma bodyguard rendahan juga!"

Elai berusaha menarik tangannya untuk lepas dari cekalan itu, tapi tak bisa. Hingga lantas membuat matanya semakin membesar lagi.

"Eh? Lepasin nggak?"

Cowok itu tampak mengeras. "Nggak bakal, Nona. Mulai hari ini saya akan berada di mana Nona berada."

"Kamu ...," geram Elai. "Udah aku bilangin kamu untuk pergi. Laporan sana sama Marcel."

"Nggak bakal. Tuan Marcel sudah berpesan. Sampai Nona mau duduk bersama dengan dia untuk merencanakan tanggal pengganti, maka sampai saat itu juga saya akan ada di sini."

Mulut Elai mengatup dengan rapat. Berusaha menarik tangannya pun percuma. Tenaga cowok itu benar-benar tidak mampu untuk ia kalahkan.

Berusaha untuk menahan emosinya, Elai tampak mengamati cowok yang berada tepat di hadapannya itu. Tampak bersih. Tinggi. Dan juga kuat. Jelas saja ia dengan mudah mampu menahan gadis itu.

"Berapa sih kamu dibayar Marcel? Sini biar aku bayar juga asalkan kamu nggak nganggu kehidupan aku. Sampai kiamat, aku nggak bakal mau nikah sama dia."

Jakun cowok itu tampak naik turun. "Jangan sesumbar, Nona. Siapa yang tau kalau nanti justru Nona sendiri yang tergila-gila sama Tuan Marcel?"

"Hah?"

Elai terbengong dengan ekspresi seperti sedang menahan muntah. Padahal sebenarnya perutnya dalam keadaan kosong loh. Tapi, asli. Perkataan cowok itu sukses membuat Elai merasakan mual-mual di perutnya.

"A-a-apa?" Elai meringis syok. "Aku jatuh cinta sama Kura-Kura Gosong itu? Hahahahaha. Kami itu berada di level yang berbeda, oke?"

Wajah cowok itu semakin mengeras.

"Dia kura-kura yang menyedihkan, sementara aku?"

Elai menyunggingkan senyumnya. Dan sial! Terlepas dari sifatnya yang menyebalkan, Elai adalah seorang gadis yang cantik. Ketika ia tersenyum, maka dua lesung pipi tampak timbul. Itu belum ditambah dengan kehadiran dua gingsul yang kemudian juga turut menampilkan wujudnya. Dia benar-benar terlihat memesona ketika tersenyum.

"Aku adalah kancil yang lincah. Yang cerdik. Yang nggak bakal bisa ditandingi oleh pria seperti dia. Kamu tau bukan? Cowok itu harus lebih superior ketimbang cewek, bukan sebaliknya."

Elai pikir, ucapannya kali ini akan cukup untuk menyadarkan cowok itu. Terutama ketika ia lihat tak ada balasan sepatah kata pun yang ia dapatkan. Tapi, ketika Elai kembali mencoba untuk menarik tangannya, ternyata tetap tidak bisa. Kini, Elai benar-benar merasa frustrasi.

"Kamu---"

"Apa pun yang akan Nona katakan, itu tidak akan mempengaruhi kewajiban saya," katanya kemudian. "Saya akan menjaga Nona. Memastikan bahwa Nona tidak akan berbuat ulah sebelum tanggal pertunangan kembali ditetapkan."

Mata Elai membesar. Tak mengira bahwa cowok itu begitu bersikukuh. Yang mana itu semakin membuat rutukan demi rutukan ia umpatkan di dalam hati.

Marcel sialan!

Kura-Kura Gosong sialan!

"Jadi ...."

Pelan-pelan cowok itu tampak mengulas satu senyum tipis ketika lanjut berkata.

"Saya nggak peduli Nona mau mengumpatin Tuan Marcel sebanyak apa, yang pasti itu tidak akan membuat saya melangkah mundur."

"Kamu ...."

Ketika Elai berpikir untuk mengeluarkan kembali umpatannya, ia mendapati cowok itu mengikis jarak di antara mereka. Memaksa dirinya untuk mendongak ketika menatap sepasang mata gelap itu. Tertegun, bahkan bodohnya sampai ia tak menyadari bahwa tangannya telah dilepas beberapa detik yang lalu. Harusnya ia sudah bisa beranjak saat itu juga. Yang mana, itu justru tak ia lakukan. Mengingat bagaimana di detik selanjutnya telinganya justru kembali menangkap suara berat itu.

"Jadi, saya harap Nona bisa menerima kehadiran saya," lanjutnya. "Karena bagaimanapun juga, suatu saat nanti Nona akan benar-benar menikah dengan Tuan Marcel."

"Mustahil."

"Nggak ada yang mustahil, Nona," katanya tenang. "Bahkan seekor kancil pun pernah ditipu oleh kura-kura bukan?"

Elai terdiam. Lalu matanya tampak menyipit. Merasakan aura intimidasi yang tidak ia sukai. Ia mendengus.

"Aku harusnya nggak heran kalau Marcel sampai melakukan ini semua," rutuknya. "Tapi, aku nggak semudah itu untuk dijaga, Bodyguard. Kamu bakal menyesal."

"Nggak akan," balasnya dengan penuh keyakinan.

"Oke ..., kita lihat saja nanti," kata Elai dengan sorot meremehkan. "Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?"

"Nama?"

Elai mengangguk. "Karena aku punya hobi untuk ngumpatin orang yang nggak aku suka. Termasuk kamu."

Jawaban Elai membuat mata gelap itu tampak berkedip sekali. Lalu justru menatap mata Elai dengan teramat lekat. Hingga tanpa sadar membuat Elai meneguk ludah karenanya. Terutama karena selanjutnya, suara cowok itu kembali terdengar saat ia menyebutkan namanya.

"Ares."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top