29. Selalu Sama
Ketika Elai benar-benar menghilang dari pandangan matanya, di saat itu pula Ares tersentak. Seolah dirinya yang baru saja tersihir oleh mantra yang membekukan seluruh tubuhnya. Lihat? Ia bahkan tidak bisa mencegah kepergian Elai. Lebih lagi, ia tidak bisa menjelaskan sesuatu yang menggema di benaknya.
Ini ... aku, Lai.
Ini aku.
Aku masih Marcel yang dulu.
Sumpah! Kata-kata itu sudah berada di ujung lidah Ares. Ingin sekali ia mengucapkan itu ketika ia berusaha untuk menahan kepergian Elai. Tapi, entah mengapa lidahnya benar-benar terasa kelu. Jangankan untuk mengatakan itu, sekadar untuk memanggil nama Elai saja hanya lirihan teramat pelan yang mampu ia ucapkan.
Memalukan.
Lantas, ketika Ares menyadari bahwa hanya dirinya seorang yang tertinggal di dapur itu, pundaknya terjatuh. Seperti prajurit yang kalah perang. Kali ini semua mendadak saja begitu memusingkan kepalanya. Pun menyesakkan dadanya. Lantaran satu kesimpulan yang teramat handalnya mengguncang jiwanya.
Dia ingat aku.
Selama ini dia selalu ingat aku.
Ya Tuhan, dia ingat aku.
Kesimpulan itu berputar-putar memenuhi kepala Ares. Hingga lantas cowok itu merasa dirinya tak lagi mampu bertahan. Pada akhirnya, ia buru-buru beranjak. Duduk di kursi seperti kedua kakinya kehilangan kekuatannya. Ia benar-benar ... tidak menyangka.
Mengusap wajahnya dengan kedua tangannya dengan kasar, beberapa detik kemudian tampak ada kaca di mata cowok itu. Hingga membuat ia tampak kesulitan melihat ke sekeliling. Pandangannya mengabur.
Namun, dalam sekejap mata rasa senang itu lantas berubah menjadi rasa frustrasi tatkala menyadari bahwa dirinya justru melakukan sesuatu yang berakibat fatal untuk hubungan mereka.
Yang Elai tau Marcel adalah bocah kecil yang akan selalu mengekori dirinya walaupun ia tengah marah. Elai selalu tau bahwa Marcel adalah orang yang akan tetap berusaha mendekatinya walau sesakit apa hinaan yang telah ia bentakkan pada dirinya. Tapi, sekarang .... Tadi ....
A-a-apa itu kekecewaan di mata Elai yang aku liat tadi?
Ketika ia ngomong kalau seharusnya yang datang malam itu adalah Marcel?
Argh!
Ares mengepalkan kedua tangannya. Ingin membenci keputusannya malam itu pun percuma. Karenanya nyatanya, itu adalah hal yang spontan. Bahkan awalnya Ares sama sekali tidak berpikir untuk berpura-pura menjadi penjaga selama 24 jam Elai. Tidak. Dari awal niatan Ares memang ingin menyeret Elai untuk melalui pertunangan mereka. Tapi, ketika Elai benar-benar tidak mengenal dirinya, maka ide itu pun terbersit begitu saja. Dengan satu tujuan, dengan ada atau tidaknya perjodohan, Ares akan membuktikan bahwa Elai pasti tergila-gila padanya.
Sekarang? Nyaris bisa dikatakan bahwa Ares yang gila! Bukan lagi tergila-gila, tapi memang gila! Efek dari frustrasinya ia akan pengambilan keputusan mendadak malam itu.
Seandainya ....
Seandainya malam itu aku nggak berpura-pura jadi Ares ....
Apa itu artinya sekarang kami sudah ...?
Mata Ares terpejam dramatis. Untuk beberapa saat, ia mencoba untuk menenangkan dirinya sejenak terlebih dahulu. Walau jelas sekali, euforia kesenangan itu sungguh teramat sulit untuk ia tekan. Tapi, Ares perlu berpikir dengan jernih. Upaya untuk mengambil keputusan yang tepat. Apakah ia harus jujur atau ... sebaliknya?
"Kalau aku jujur sekarang," kata Ares kemudian seraya membuka matanya. "Mengingat emosi dia yang benar-benar nggak diragukan lagi, aku yakin dia bakal marah."
Ares merenungkan itu. Hingga saat ini, Elai memang mengingatnya. Tapi, perasaan itu bukan berarti cinta. Kalau Elai marah sekarang, gadis itu pasti dengan mudah meninggalkan dirinya.
Itu ... beda kalau Elai sudah mencintai dirinya. Bukankah wanita cenderung akan menjadi pemaaf bagi pria yang ia cintai? Ehm ... siapa pun tau hukum alam yang satu itu.
Hanya saja, meneruskan sandiwara itu sekarang memiliki tantangan baru bagi Ares. Yaitu, dorongan hatinya untuk muncul sebagai Marcel di hadapan Elai. Hal yang tak mampu untuk ia tekan, mau sekuat apa pun ia mencobanya.
Maka dengan dada yang terasa sesak oleh rasa senang. Pun dengan beberapa kilas masa lalu antara ia dan Elai yang mendadak muncul di benaknya, Ares beranjak. Melangkahkan kakinya. Menuju ke kamar dirinya.
"Aku mau pergi. Aku nggak mau di sini."
"E-E-Elai .... Jangan p-p-pergi."
Lalu kilasan itu berganti dengan kilasan lainnya.
"Semua orang itu cerewet. Buat kesal aja. Termasuk kamu!"
"Me-me-mereka cerewet ... karena sayang kamu."
Dan dibutuhkan lebih banyak kekuatan lagi bagi Ares untuk memerintahkan benaknya untuk tidak makin nakal dalam mempermainkan ingatannya. Ia yakin, lebih dari itu, dirinya tidak akan mampu bertahan lagi.
Ares menarik satu laci di meja yang ia gunakan sebagai meja kerja di sana. Mengambil satu ponsel yang ia sembunyikan di sana, alih-alih menggunakan ponsel yang berada di dalam saku celananya.
Duduk, Ares pun lantas langsung menyalin nomor ponsel Elai dari satu ponselnya ke ponsel lainnya. Nomor ponsel Elai yang baru. Tepat ketika ia membeli ponsel baru malam itu.
Lantas mengalir begitu saja pesan yang ia kirimkan ke Whatsapp Elai.
[ Edelai ]
[ Selamat malam, Elai. ]
[ Gimana kabar kamu sekarang? ]
[ 'Marcel' ]
Dan Ares berani bersumpah. Ketika dua centang abu-abu itu berubah menjadi dua centang biru, ia seperti tak lagi mampu untuk bernapas. Sekarang, dengan tubuh yang seolah mati rasa, Ares menunggu balasan pesan itu. Entah apa yang akan Elai ketik sebagai balasannya.
Hardikan?
Bentakan?
Makian?
Tenang saja, Ares sudah tidak akan terpengaruh lagi akan kata-kata negatif itu. Lagipula, sekasar apa pun perkataan yang akan Elai berikan padanya, itu percuma. Karena fakta menyenangkan itu sudah membentuk tameng di benak Ares.
Dia ... selalu ingat aku.
*
Jantung Elai yang tadi berdetak dengan irama yang teratur, mendadak saja menjadi seperti berhenti berdetak ketika membaca pesan itu. Sempat mengira bahwa matanya salah melihat, Elai pun menuding dirinya sedang berhalusinasi lantaran seharian itu seakan-akan berhubungan dengan Marcel. Dari Ares yang membicarakan soal Marcel dan lantas ucapan Ares yang justru mengingatkan dirinya akan Marcel. Sekarang? Ia malah mendapatkan pesan dari Marcel? Ckckckck. Elai bahkan mengucek matanya berulang kali demi meyakinkan diri bahwa ia tidak salah membaca. Tapi, astaga!
Mata Elai membesar. Dan sekarang jantungnya yang tadi seperti tak berdetak lagi, justru mendadak berdetak dengan cepat. Itu adalah ketika ia menyadari bahwa pesan di aplikasi Whatsapp-nya itu tidak berubah sedikit pun. Bahkan tanda titik di sana pun tidak bergeser dari posisinya semula.
Tanpa sadar, Elai terkesiap dengan ekspresi ngeri. Mulutnya menganga dengan mata yang membelalak. Tanpa sadar satu tangannya yang bebas, naik. Menutup mulutnya.
"I-i-ini ... beneran Marcel?"
Pertanyaan itu lirih Elai ucapkan dengan suara bernada horor. Benar-benar seperti dirinya yang tidak mengira bahwa Marcel akan menghubunginya.
"Kenapa kayak gini?" tanya Elai ngeri dengan kerutan di dahinya. "Di saat aku mikirin dia, justru mendadak aja dia ngirim WA ke aku. Lagian ... dari mana dia bisa tau nomor aku yang ba ... ru?"
Elai memejamkan matanya dengan dramatis. Tangannya yang tadi menutup samar mulutnya, sekarang justru mendarat di dahinya. Ia menggeram rendah. Jelas tau dengan cepat bagaimana bisa Marcel mendapatkan nomor ponselnya yang baru.
"Ares ...."
Elai melirihkan nama cowok itu perlahan. Mengembuskan napas panjangnya, Elai pun jelas tau dari mana Marcel mendapatkan nomor ponselnya.
"Jadi cowok itu bahkan ngelaporin nomor ponsel aku ke Marcel?"
Sekarang, alih-alih fokus dengan debaran tak nyaman akibat pesan itu, Elai justru merasakan keinginan untuk mencabik-cabik Ares. Cowok itu perlu mendapatkan pelajaran karena dengan sesuka hatinya menyebarluaskan nomor ponselnya. Ya ... sekalipun itu dengan majikan yang menggajinya.
"Ting!'
Denting halus itu membuyarkan pikiran Elai. Membuat sang gadis refleks melihat kembali pada ponselnya. Ia pun mengusap layarnya dan langsung membaca pesan selanjutnya. Yang ya ... masih Marcel-lah pengirimnya.
[ +6281112xxxx ]
[ Sebelumnya aku minta maaf karena baru sempat ngubungi kamu. ]
[ Tapi, aku cuma nggak mau kamu tambah marah. ]
[ Ehm .... ]
[ Kamu marah sama aku kan? ]
Pesan yang kembali masuk itu membuat Elai menggigit bibir bawahnya. Entah harus bagaimana ia membalas pesan itu, Elai tidak tau. Ia sangat bingung. Lagipula ... marah?
Marah untuk apa?
Anehnya, seperti pemilik nomor itu mengetahui isi kepala Elai, pesan selanjutnya pun menjawab pertanyaan itu.
[ +6281112xxxx ]
[ Karena memaksa kamu buat menyetujui perjodohan kita.]
Elai sontak menahan napasnya. Balasan itu benar-benar membuat ia teringat hal penting yang nyaris ia lupakan. Dan tentu saja. Elai marah dengan perjodohan itu.
Ya wajarlah aku marah.
Udah lama nggak ketemu, sekalinya ketemu malah langsung di pesta pertunangan.
Masuk akal nggak?
Masuk akal nggak?
Ya pasti nggak dong!
[ +6281112xxxx ]
[ Dan sekarang mungkin kamu juga bertanya-tanya kenapa aku belum nyamperin kamu. ]
[ Sebenarnya, aku mau sih. ]
[ Tapi, ada hal penting yang nggak bisa aku tinggalin. ]
[ Jadi untuk sementara waktu, aku nggak akan muncul di hadapan kamu dulu. ]
[ Nanti, aku pasti akan nemui kamu. ]
[ Dan sampai waktu itu, aku harap kamu jaga kesehatan kamu. ]
[ Tunggu aku. ]
Mata Elai mengerjap. Melihat dan menunggu. Apakah akan ada pesan lainnya yang masuk. Tapi, nyatanya itulah kalimat terakhir yang ia baca. Selanjutnya tidak ada lagi pesan yang ia terima. Bahkan ... pemberitahuan online itu pun sudah menghilang.
Menarik napas dalam-dalam, Elai termenung untuk beberapa saat. Hingga kemudian ia memilih beranjak ke tempat tidur. Merebahkan tubuhnya yang terasa makin letih, dengan membawa serta ponsel bersamanya.
Berbaring di kasur yang empuk dengan satu bantal di bawah kepalanya, nyatanya Elai masih membaca pesan yang ia terima dari nomor baru itu.
"Marcel ...," lirihnya pelan. "Ternyata ... kamu masih nggak berubah."
Entah seperti apa ekspresi wajah Elai kala itu. Yang pastinya benar-benar tidak mampu diuraikan oleh kata-kata. Hanya saja, di detik selanjutnya ia kembali bersuara.
"Kamu ... masih saja banyak omong. Walau jelas-jelas udah aku sakiti."
*
Dan sementara itu, di kamar yang berbeda, Ares tampak tersenyum seraya mengembuskan napas panjangnya. Melihat bagaimana semua pesan yang ia kirimkan sudah dibaca oleh Elai. Ternyata ... alih-alih membalas pesannya dengan kata-kata kasar, Elai justru memilih untuk tidak membalas pesannya. Itu ... membuat Ares semringah. Dengan satu pemikiran di benaknya.
"Kamu memang nggak pernah berubah," kata Ares. "Selalu saja mengabaikan aku. Walau sebenarnya ... kamu justru nunggu perhatian aku."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top