27. Perubahan Yang Tidak Berubah
Ketika acara halal bihalal di panti asuhan itu berakhir, Ares menyadari sesuatu. Bahwa ada yang berbeda dengan Elai. Gadis itu tampak diam. Wajahnya terlihat datar, tanpa ekspresi. Bahkan terkesan tidak menghiraukan beberapa orang yang menyapa dirinya dengan sopan. Yang mana, hal itu membuat Ares pun mengambil alih kesempatan. Mencoba untuk menyambut sapaan itu sebelum kembali melangkahkan kaki. Menyusul Elai.
Elai langsung masuk ke mobil, begitu pun dengan Ares yang buru-buru duduk di balik kemudi. Tak langsung menjalankan mobil, Ares memilih untuk mengatur posisi spion dalam. Seraya melirik dan masih fokus dengan raut wajah Elai, Ares menyadari sesuatu. Yaitu, Elai memang kerap dingin dengan orang lain. Tapi, itu bukan berarti abai. Sekarang, Ares mendapati yang terjadi adalah hal yang tidak biasa. Alih-alih menerima sapaan orang-orang seperti ia yang menyambut sapaan Zaleka tadi –walau dengan kesan tidak bersahabat-, Elai justru cenderung tidak menghiraukan mereka. Seperti tidak ada orang di sekitarnya. Dan itu jelas, membuat Ares bingung.
Dan kebingungan itu semakin bertambah seiring waktu berjalan. Bukannya apa. Tapi, sudah sepuluh menit waktu berlalu, nyatanya Elai belum ada mengeluarkan sepatah kata pun untuk menegur dirinya. Seharusnya Elai kan sudah menghardik dirinya sekarang.
Ehm ....
Ada yang nggak beres nih kayaknya.
Maka dari itu, tanpa memadamkan mesin mobil, Ares pun memutar tubuhnya. Menoleh ke belakang dan memanggil nama gadis itu.
"Elai ...."
Hening sejenak. Namun, Ares memilih untuk menunggu beberapa saat. Mungkin saja panggilannya akan mendapatkan responnya. Hanya saja, setelah Ares menunggu lebih lama lagi, cowok itu pun berada pada kesimpulannya. Elai benar-benar tidak mendengar suaranya.
Maka selanjutnya Ares pun mengambil tindakannya. Mengulurkan tangannya dan berusaha untuk sedikit menggamit lutut gadis itu. Sontak saja, sentuhan itu membuat Elai yang sedari tadi melayangkan tatapannya ke luar kaca mobil, tersentak. Nyaris melonjak kaget.
Dengan mata yang membesar, Elai langsung melihat pada Ares. Ekspresi wajahnya menyiratkan keterkejutan dan siap untuk membentak Ares. Tapi, ternyata Ares lebih dahulu bersuara.
"Kamu kenapa?" tanya Ares langsung tanpa tedeng aling-aling. "Dari tadi aku perhatiin kamu kayak yang lagi banyak pikiran gitu." Mata Ares mengamati Elai dengan cermat. Berusaha untuk menangkap perbedaan pada gadis itu yang tak biasanya, entah sekecil apa pun itu. "Kamu lagi ada masalah?"
Menarik napas dalam-dalam, Elai menggeleng. Dan kemudian, alih-alih menjawab, Elai pun mengatakan hal lainnya.
"Kita mampir ke salon, Res. Aku mau facial."
Setelah mengatakan itu, Elai pun menyandarkan tubuhnya. Mencari posisi yang nyaman, lantas tepat ketika ia mengenakan kacamata hitamnya, ia berkata.
"Ke salon yang paling mahal, Res."
Dan Ares hanya bisa melongo. Jelas mengetahui bahwa di balik kacamata hitam itu, Elai telah memejamkan matanya. Sekarang, seraya meraih kemudi, Ares bertanya-tanya di benaknya.
Salon paling mahal itu yang mana?
Ehm ... salon mobil?
Atau salon pesawat jet?
Ah! Ares memejamkan matanya. Memilih untuk membuka mesin pencarian Googlenya dan langsung mengendarai mobilnya menuju satu salon yang terpampang paling atas dengan bintang penilaian yang penuh berjumlah lima.
Ketika melajukan mobilnya dengan nyaman di jalanan, Ares menyempatkan diri untuk sesekali melihat ke belakang. Melalui pantulan spion tentunya. Dan ia pun menyadari bahwa sepanjang perjalanan, Elai benar-benar tenang dengan posisinya. Bersandar, dengan tangan yang bersedekap di depan dada, dan kaki kanannya naik di atas kaki kirinya.
Sekilas sih terlihat seperti Elai yang sedang beristirahat. Tapi, entah mengapa cowok itu merasakan hal yang lain. Elai tidak benar-benar beristirahat. Alih-alih, cewek itu seperti tenggelam dengan kekalutan pikirannya sendiri. Membuat Ares penasaran setengah mati. Mengenai hal yang membuat Elai seperti itu.
Apa ... dia mikirin soal kolam renang ya?
Ehm ....
Tapi, kayaknya nggak mungkin deh.
Hingga ketika mereka tiba salon dan Elai langsung disambut petugasnya, Ares mendapati bahwa dirinya seolah makhluk halus yang tak mampu menyentuh retina mata Elai. Cewek itu seperti mengabaikannya.
*
Kembali ke unit apartemen nyaris jam enam sore, Ares melihat bahwa wajah bersih dan terawat Elai tidak tampak berseri-seri. Justru sebaliknya, semakin muram. Dan kali ini, karena mendapati bahwa mereka sudah berada di tempat yang aman, maka Ares pun tak akan menahan diri lagi.
Tepat sebelum tangan Elai menyentuh daun pintu, Ares sudah bergerak dengan cepat. Mengambil posisi dengan tepat, berdiri di depan pintu kamar Elai. Sontak saja mengadang gadis itu untuk masuk. Elai pun refleks mengangkat wajahnya.
"Ini apa maksud kamu berdiri di depan pintu kamar aku?" tanya Elai lesu. "Minggir nggak? Aku mau masuk."
"Ehm ...."
Alih-alih menyingkir dari sana, Ares justru semakin bergeming. Menutup kemungkinan sekecil apa pun untuk Elai bisa melewati dirinya.
"Ini belum waktunya buat kamu masuk ke kamar," kata Ares kemudian. "Belum sebelum kamu jawab pertanyaan aku."
Mata Elai mengerjap dengan lesu. "Sebelum aku jawab pertanyaan kamu?" beo Elai balik bertanya. "Emangnya kamu mau nanya apa sama aku? Buruan. Aku bener-bener mau istirahat sekarang. Badan aku capek."
"Ih, capek," ujar Ares sedikit geli. "Orang jelas banget kamu tadi itu nggak ngapa-ngapain. Pas di salon juga kamu kan tidur. Sekarang malah ngakunya capek."
"Aku capek ngadepin kamu, Res."
Argh!
Seperti ada yang berdenyut di jantung Ares. Membuat cowok itu meringis dengan ekspresi seperti tengah menahan sakit.
"Segitunya kamu ngomongin aku, Lai," kata Ares. Hanya saja kali ini cowok itu tampak serius. "Tapi, ini beneran deh. Kamu ada yang dipikirin? Atau apa? Kamu keliatan banget kayak orang yang lagi banyak pikiran. Padahal tadi pagi kamu biasa-biasa aja."
Mengembuskan napas panjangnya, Elai lantas menyadari bahwa Ares benar-benar tidak akan beranjak dari depan pintu kamarnya. Dan untuk itu, Elai memilih untuk beranjak dari sana. Bukannya apa. Tapi, berdiri lama-lama ya tentu saja membuat kaki cewek itu terasa pegal.
"Eh?"
Ares melongo melihat pada detik selanjutnya, Elai justru meninggalkan dirinya. Berjalan dengan langkah lunglai, menuju ke dapur. Hanya untuk mengambil segelas air dingin. Menandaskannya sementara ia memilih untuk duduk di kitchen island.
Dan Ares, cowok itu baru saja akan mengatakan sesuatu sebelum pada akhirnya, Elai yang lebih dulu bersuara.
"Kamu ..."
Suara itu membuat Ares menghentikan langkah kakinya. Tepat ketika ia berhasil menghampiri Elai di kursi tinggi itu.
"... udah lama kerja sama Marcel?"
Sedetik, Ares bengong.
Astaga.
Jangan ngomong dia mendadak mikirin aku.
Berusaha untuk menjaga ekspresi wajahnya, Ares memilih untuk mendehem sejenak. Sementara di dalam hati, ia berdoa. Semoga saja suaranya tidak terdengar bergetar atau apalah yang bisa menyiratkan perubahan sikap lantaran Elai yang mendadak membahas soal dirinya sendiri.
"Ehm ... belum terlalu lama," jawab Ares dengan setenang mungkin. "Cuma ya ... aku selalu mendampingi dia sebelum aku ke sini."
Elai mengangguk. "Dia udah jadi dirut kan? Pasti sering ke mana-mana. Wajar sih kalau butuh penjaga."
Untuk perkataan Elai yang satu itu, Ares memilih jalan aman. Diam. Tidak berkomentar apa pun. Karena jelas sekali, salah ia berucap, mungkin saja penyamarannya akan terbongkar. Dan Ares tidak ingin itu terjadi. Setidaknya jangan sekarang, di saat ia dan Elai belum terlalu dekat.
Memberikan jeda beberapa saat, Elai memilih untuk kembali menikmati satu tegukan air dingin itu. Dan ketika gelas di tangannya mendarat kembali di kitchen island, Elai bertanya dengan suara lirih. Nyaris saja telinga Ares tidak mendengarnya.
"Apa Marcel masih jadi anak baik kayak dulu?"
Atau ... mungkin sebenarnya bukan rendahnya suara Elai yang membuat dahi Ares berkerut demi menajamkan indra pendengarannya. Alih-alih karena pertanyaan yang gadis itu berikan padanya.
"Ma-ma-maksud kamu?" tanya Ares dengan suara yang sedikit terbata. "A-a-anak baik?"
Mengatupkan sejenak bibirnya, Elai mengembuskan napas panjang. Tampak angguk-angguk kepala berulang kali sebelum membawa tatapannya untuk lurus ke depan. Walau jelas, tak ada objek apa pun yang menarik perhatian fokus retina Elai. Gadis itu malah tampak seperti sedang melihat ... masa lalu.
"Iya, anak yang baik," kata Elai. "Dari dulu Marcel selalu jadi anak yang baik. Bahkan dengan pengasuhnya pun dia baik."
Di tempatnya berdiri, Ares mendadak seperti tubuhnya yang mendadak menegang. Lebih dari itu, ia nyaris merasakan bagaimana ia yang kaku. Seperti tidak bisa bergerak. Bahkan hanya untuk sekadar menggerakkan lidahnya. Demi mengucapkan sepatah kata pun, ia tak bisa.
Di-dia lagi ngomongin aku?
Lantas, kerucut bibir Elai terurai. Bulu matanya yang lentik tampak bergerak-gerak dengan kesan anggun ketika pemiliknya berkedip untuk beberapa kali.
"Dan entah kenapa," kata Elai kemudian, berhasil menggugah Ares yang tampak gamang dengan perkataan gadis itu. "Hari ini aku mendadak aja sih ingat soal dia."
Selesai mengatakan itu, Elai mendengkus geli. Menurunkan kembali wajahnya. Kali ini memilih untuk melihat gelasnya saja. Bahkan jari telunjuknya pun mendapati bahwa gerakan memutari bibir gelas adalah hal yang lumayan menarik untuk dilakukan.
"Makanya aku penasaran ...." Bibir Elai membentuk senyum tipis. "Apa Marcel masih jadi anak baik kayak dulu? Apa dia udah jadi cowok yang baik saat ini?"
Jari telunjuk Elai masih bergerak. Berputar-putar di bibir gelas seraya dirinya yang menunggu jawaban dari Ares. Hingga ketika ia tak kunjung mendapatkan jawaban itu, ia berpaling. Dan di saat itulah, Ares mengerjapkan matanya. Buru-buru mengangguk.
"Tentu saja," kata Ares tersenyum. "Dia masih baik kayak dulu."
Elai mengangguk. "Aaah ...," lirihnya pelan. "Ternyata dia masih jadi cowok yang baik. Dia nggak berubah rupanya."
"Ehm .... Walau sebenarnya Tuan Marcel jelas kok mengalami beberapa perubahan dibandingkan dulu."
Ares mengembuskan napas panjang.
Seenggaknya aku berhasil menjalani diet sehat aku.
Hidup teratur dan udah nggak penakut lagi.
Hanya saja, sepertinya pemikiran itu mendapati kesan yang berbeda oleh Elai. Terbukti, sedetik setelah Ares mengatakan hal itu, Elai justru menyeletuk.
"Sepertinya benar. Karena jelas banget, kalau Marcel nggak berubah, tentu aja sekarang dia nggak pergi."
Ares mengerutkan dahinya. Bingung. "Pergi?" tanyanya. "Pergi ke mana?"
Berpaling, Elai menggeleng dengan ekspresi geli. "Ya mana aku tau dia pergi ke mana."
"Loh?" longo Ares. "Terus yang kamu omongin barusan?"
"Kan kamu sendiri yang ngomong kalau dia sekarang lagi cuti? Udah berapa hari nggak masuk kantor. Iya kan?"
Kali ini, kerutan di dahi Ares bertambah lagi. "Ya ... iya emang aku ngomong gitu. Terus ...?"
Tak langsung menjawab, Elai kembali fokus untuk kembali memainkan bibir gelas itu. Masih memutarinya dengan ujung jari telunjuknya.
"Marcel itu anak baik. Saking baiknya dia, dia selalu berusaha untuk mendekati semua orang. Ehm ... termasuk aku."
Ares tidak tau apa maksud perkataan Elai. "Hubungannya?"
"Kamu pasti nggak tau, tapi ..." Elai mengembuskan napas panjangnya sekilas. "... dulu itu bahkan sewaktu aku sering jahatin dia, dia tetap berusaha baik ke aku. Salah satunya waktu ..." Jari telunjuk Elai berhenti bergerak. "... kulit aku gatal-gatal karena abis berenang."
Dan di saat itu, Elai mendadak saja seperti ingat kembali penggalan masa lalunya. Ketika ia menangis sejadi-jadinya. Merasakan gatal dan panas di seluruh tubuh lantaran air kolam renang yang ternyata lupa diganti waktu itu.
"Waktu orang-orang pada takut karena aku marah-marah, dia justru sebaliknya. Berusaha untuk tetap deketin aku."
Ares terdiam. Tapi, cowok itu berani bersumpah. Ada dengkusan geli ketika Elai menceritakan hal itu. Ketika Elai menceritakan hal yang ... sama sekali tidak ia lupakan.
"Mau aku bentak atau aku maki-maki, dia tetap ngekorin aku. Berusaha ngebujuk aku biar aku nggak nangis lagi," lanjut Elai seraya berpaling. "Sebaik itu bos kamu dulu."
Mata Ares sontak mengerjap sekali. Berusaha untuk bicara, tapi ia malah mendapati tenggorokannya yang terasa seperti tercekat benda tak kasat mata.
Dan Elai mengembuskan napas panjangnya. Pundaknya tampak turun. Seolah tenaga yang ia miliki telah terkuras lantaran membuka kembali ingatan masa lalu itu.
"Sekarang ... aku pikir walau Marcel tetap jadi cowok yang baik, sepertinya ia juga mengalami perubahan," kata Elai lagi. "Karena kalau dia nggak berubah ..." Satu senyum muncul di bibirnya yang tipis. Membuat Ares terpana. "... setelah aku kabur dari pertunangan kami, seharusnya bukan kamu yang muncul di depan pintu unit aku."
Lalu, Ares membeku. Tampak seperti tidak berdaya ketika Elai menuntaskan perkataannya dengan satu kalimat.
"Harusnya Marcel."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top