26. Sekilas Ingatan

"Elai .... Ayo, remas, Lai. Remas."

"Kayak gini ... cukup?"

"Ya nggak cukup dong."

"Terus yang cukup yang gimana?"

"Ehm ... mau nyoba ngeremasnya pake mulut?"

"Itu bukan ngeremas namanya."

"Terus apa dong namanya?"

"Ngulum."

Ah, Elai mengerutkan dahinya. Gadis itu meringis, seperti tengah menahan rasa sakit yang mendadak menghampiri kepalanya tepat ketika kesadarannya datang kembali pagi itu. Melepaskan dirinya dari tidur yang membelenggunya dengan mimpi yang menakutkan.

Elai bangkit dari tidur. Dengan keringat yang bercucuran sementara wajahnya tampak lemas. Seperti dirinya yang baru saja selesai berlari, alih-alih tidur.

"Ngu-ngu-ngulum?"

Mata Elai memejam dengan dramatis. Tangannya pun lantas naik. Menutup wajahnya untuk beberapa saat. Sebelum pada akhirnya jari-jari tangannya yang lentik itu mengusap dengan kasar.

"Argh!" geram Elai kesal. "Itu cowok kenapa sih selalu aja nganggu tidur aku? Bener-bener deh!"

Uring-uringan karena lagi-lagi Elai tidak bisa merasakan tidur yang nyenyak, gadis itu pun akhirnya memilih beranjak. Ke kamar mandi hanya untuk sekadar mencuci mukanya.

Setelah menyisir rambut dan merapikan penampilannya, Elai meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Seraya mengusap layarnya, gadis itu melangkah keluar dari kamar. Berniat untuk segera ke dapur.

Belum melewati ambang pintu dapur, Elai mendapati Ares yang tengah menghidangkan dua piring berisi salad sayuran di atas meja makan, menyapa dirinya. Dengan senyum di wajah. Tampak santai saja. Seperti antara mereka berdua tidak terjadi apa-apa.

"Pagi ...."

Lihat saja, betapa entengnya cowok itu menyapa Elai yang justru memasang sikap waspada. Berhati-hati, seolah ia yang takut mendadak diterkam oleh Ares.

Tak menghiraukan sapaan ramah itu, Elai memilih untuk langsung duduk di meja makan. Menyisihkan ponselnya dan meraih segelas air putih yang tersedia. Menikmati beberapa tegukan yang langsung melegakan tenggorokan gadis itu. Ehm ... sepertinya mimpi tadi membuat ia dahaga. Hihihihi.

Melihat sejenak pada piring sarapan di hadapannya, Elai lantas mendengar Ares yang bertanya padanya seraya membuka pintu kulkas.

"Kamu mau buah apa pagi ini? Mau jeruk atau kiwi?"

Tegukan terakhir yang seharusnya meluncur mulus di tenggorokan Elai sontak berulah ketika ia mendengar pertanyaan itu. Antara ingin masuk atau kembali lagi keluar, pada akhirnya Elai justru terbatuk-batuk dengan ekspresi horor. Sementara itu, jelas sekali seperti tidak terjadi apa-apa, di depan kulkas, Ares tampak membungkukkan badan. Meraih dua jenis buahan yang baru saja ia sebutkan tadi.

"Waaah ...."

Tak berniat, tapi Elai sontak melirih ngeri. Benar-benar tidak percaya bagaimana Ares yang bisa-bisanya membahas soal jeruk dan kiwi setelah insiden kemaren? Sungguh ajaib.

Bahkan semenit kemudian, seakan ingin membuat Elai semakin kacau pagi itu, ketika Ares telah menutup pintu, ia pun mengacungkan kedua buah di tangannya itu pada Elai.

"Mau jeruk peras?" tanya Ares. "Atau jus kiwi?"

Mata Elai sontak memejam lagi. Kali ini dengan satu tangannya yang mendarat di dahinya. Ia meringis pelan.

"Mesti ya kamu nawarin aku buah itu?"

Aaah ....

Tentu saja kemungkinan jawabannya adalah mesti. Karena jelas, ketika melihat pada ekspresi wajah Ares, kentara sekali kalau cowok itu sedang menggoda Elai. Tidak bisa tidak. Kilat jahil di mata itu sudah menjelaskan semuanya.

"Loh?"

Hanya saja, sepertinya Ares memilih untuk memainkan peran cowok lugu pagi itu. Ingin menggoda lebih lama lagi.

"Kenapa emangnya?" tanya Ares dengan wajah tanpa dosa. "Setau aku, kiwi itu buah yang mengandung vitamin C dengan jumlah tinggi. Bagus untuk kamu. Biar awet muda."

Elai melongo. "Awet muda?"

"Dan jeruk, tentu saja bagus karena menurut artikel yang pernah aku baca, penelitian dari ARYA atherosclerosis membuktikan bahwa jus jeruk mampu menurunkan tekanan darah. Sudah diuji pada dua puluh lima orang pasien yang mengalami penyumbatan arteri."

"W-w-what?" Elai meringis. "Menurut kamu, aku semacam hipertensi gitu?"

Lagi-lagi, wajah tanpa dosa Ares terpampang jelas di hadapan Elai. Dengan polosnya ia menjawab.

"Kamu selalu aja marah-marah, Lai. Gimana acaranya aku nggak mikir kalau kamu memiliki masalah dengan tekanan darah kamu?"

"Argh!"

Elai buru-buru memegang kepalanya. Sepertinya ia benar-benar terkena hipertensi sebentar lagi. Hingga ketika ia menatap Ares lagi, ia pun mendesis.

"Memang. Kayaknya kelamaan tinggal berdua sama kamu, aku bakalan stroke bentar lagi."

Kali ini wajah tanpa dosa Ares lenyap sudah. Tergantikan oleh ekspresi geli dengan diikuti oleh tawa yang terbahak-bahak. Hingga dengan langkah yang susah, ia tampak berusaha menghampiri Elai yang tampak cemberut.

Elai membuang muka. Mengabaikan cowok itu dan memilih untuk meminum airnya lagi. Tapi, suara Ares kembali terdengar.

"Aku semalam ngubungin Tuan Marcel."

Gelas yang sudah menempel di bibir Elai, berhenti bergerak. Sekarang alih-alih minum, Elai justru dengan ngeri melihat pada Ares. Gelas pun kembali lagi mendarat di atas meja.

"Ka-kamu ngapain ngubungin dia? Ka-ka---"

"Dia nyuruh kamu pindah unit aja," potong Ares. "Biar kamu bisa berenang sepuas kamu."

Sedetik setelah telinganya mendengar perkataan Ares, maka di detik itu pula Elai melongo. Bahkan mengedipkan matanya saja ia tidak, saking dirinya yang seperti bingung dengan apa yang dikatakan oleh Ares.

"Pi-pindah?" tanya Elai bingung. "Biar aku bisa berenang sepuas aku?"

Memilih untuk duduk di hadapan Elai, Ares menaruh sejenak jeruk dan kiwinya di atas meja. Cowok itu mengangguk. Dengan satu jari telunjuk yang terangkat. Menunjuk ke atas.

"Ke unit di atas. Yang ada kolam renang pribadinya."

Kali ini, Elai bukan lagi melongo. Tapi, justru mengap-mengap. "Ka-kamu ngelaporin itu ke Marcel?"

Ares tersenyum dan mengangguk.

"Kenapa?" tanya Elai horor. "Kenapa?"

"Ya karena aku kan emang harus laporan ke dia soal apa pun yang terjadi sama kamu."

Melotot, Elai bertanya. "Emangnya kamu juga laporan ke dia kalau kamu kemaren meras jeruk aku?"

"Huuukkk!"

Sontak saja Ares terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Elai. Sama sekali tidak mengira bahwa dirinya akan diserang begitu terbuka. Padahal masih pagi coba.

Berusaha meredakan batuknya dengan segelas air, Ares lalu melihat bagaimana Elai yang tampak memandang dirinya dengan sorot yang teramat abstrak. Sulit sekali bagi dirinya untuk mengartikannya.

"Nggak kan?" tebak Elai. "Kamu pasti nggak laporan kan ke Marcel kalau kamu udah meras jeruk aku? Terus mana lebih parahnya lagi, kamu justru nyodorin kiwi kamu biar aku peras balik. Dan itu nggak kamu laporin kan?"

Meneguk air terakhir, Ares mengerjap-ngerjapkan matanya. Jelas merasa salah tingkah dengan tudingan itu.

"Nggak kan?" desak Elai lagi. "Nggak kan?!"

Mengembuskan napas panjang seraya matanya melirik dengan cepat pada jeruk dan kiwi itu secara bergantian, Ares justru mengatakan hal lainnya.

"Intinya adalah ... Tuan Marcel nyuruh kamu pindah unit. Biar kamu bisa berenang dengan puas di balkonnya."

Mendapati bagaimana Ares yang mengalihkan pembicaraan itu, membuat Elai mencebik. Ia mendengkus sekilas seraya menyandarkan punggungnya di kursi dengan tangan yang bersedekap.

"Males."

Dahi Ares berkerut. "Males?"

Elai mengangguk. "Kalau aku pindah ke sana, otomatis dong Marcel lebih leluasa buat nemuin aku. Iwwwh!"

Namun, setelah Elai mengatakan itu, mendadak saja satu hal melintas di benaknya. Membuat ia bingung dan tentu saja Ares paham ke mana arah pikiran Elai bermuara.

"Kamu heran kan kenapa sampe saat ini Tuan Marcel nggak datang ke sini?" tanya Ares seraya mengembuskan napas.

Tak menjawab dengan kata-kata, tapi jelas hal itu terpancar dengan jelas di wajah Elai. Hal yang mendorong Ares untuk lanjut berkata.

"Itu karena dia lagi nggak ada di tempat. Kamu cek aja di kantornya, dia udah ngajukan cuti berapa hari lamanya. Nggak masuk kantor belakangan ini."

Toh, Ares tidak berbohong. Dirinya kan memang tidak masuk kantor. Tidak berada di tempat yang seharusnya. Benar kan?

"Jadi ... gimana?" tanya Ares lagi. "Mau nggak?" Jari telunjuknya kembali menunjuk ke atas. "Ke atas. Ada kolam renang pribadinya. Di balkon lagi. Kamu bisa santai-santai sambil lihat bintang."

Glek.

Ucapan manis Ares persis seperti tokoh kriminal yang sedang mencoba menghipnotis mangsanya. Benar-benar berisi rayuan yang tak mampu untuk dihindari.

"Ehm ... itu ...."

Masih melihat keraguan di mata Elai, Ares pun semakin bersemangat untuk mencuci otak sang gadis.

Kapan lagi coba bisa ngeliat Elai pake bikini doang tiap saat?

Hihihihi.

"Itu unit ekslusif loh, Lai. Luasnya aja hampir 175 meter persegi. Kamar mandinya aja ada tiga. Kamar tidurnya ada empat, gede-gede lagi. Ada tamannya juga. Ehm ... dan sampe saat ini emang sengaja belum dikasih ke siapa pun. Fasilitasnya nggak diragukan lagi deh. Bahkan yang di bawahnya aja udah mewah, apalagi yang satu ini."

Elai mengerjapkan matanya. Kata demi kata yang Ares katakan membuat cewek itu bimbang juga. Karena bukan hanya godaan kolam renang pribadi, tapi informasi yang Ares katakan tadi. Bahwa Marcel sedang tidak berada di tempat. Sudah berapa lama tidak masuk kantor. Cuti.

"Me-me-memangnya ...," kata Elai kemudian dengan terbata. "Kenapa Marcel sampe nyuruh aku pindah ke unit itu? Cuma gara-gara aku mau berenang?" Elai mendengkus, walau ekspresinya terlihat tidak yakin. "Berusaha untuk menarik simpatik aku gitu?"

Ares buru-buru menggeleng. "Nggak. Soalnya Tuan Marcel tau dengan jelas kalau kamu nggak bisa disentuh dengan taktik gituan. Dan lagipula ... kayaknya bukan itu sih maksud dia nyuruh kamu pindah unit."

Berusaha untuk tidak terlalu kentara, Elai memasang ekspresi datar di wajahnya. Walau sejujurnya saja, jelas sekali Elai merasa penasaran.

"Terus ... kenapa?"

Mengerucutkan sejenak bibirnya, bola mata Ares tampak berputar sekilas. Seraya manggut-manggut, ia berkata.

"Tuan Marcel ngomong kalau kulit kamu sensitif. Khawatir aja nyampur sama orang ntar bakal buat kamu gatal-gatal kayak dulu."

Elai menatap Ares tanpa kedip. "Kayak du---"

"Ting!"

Suara denting ponsel Elai memotong perkataan cewek itu dan membuatnya terlonjak kaget. Menatap pada layarnya dan mendapati ada satu surat elektronik yang masuk. Tak menunggu lama, ia pun segera membuka pesan itu.

Sementara itu, Ares pun tampak tertarik ketika Elai dengan serius membaca surat elektronik yang ia dapatkan. Tak mampu menahan rasa penasarannya, Ares bertanya.

"Apaan?"

Tanpa mengangkat wajahnya, Elai menjawab. "Email dari Yayasan. Ngingatin aku kalau jam sembilan ini ada acara halal bihalal dengan anak-anak panti."

"Kamu ngurusin panti asuhan keluarga?"

Elai meringis. "Nggak dibilang ngurus. Karena toh Mama dan Papa ada duit buat bayar orang-orang," katanya. "Cuma ... ya mau nggak mau aku harus pamer wajah. Biar donatur juga ngerasa aman sama sumbangannya."

"Aaah," lirih Ares seraya angguk-angguk kepala. Lalu, senyumnya terbit. "Kalau gitu, ntar aku temenin ke sana."

*

Jam setengah sembilan, Elai sudah keluar dari mobil yang Ares kendarai. Mereka berdua lantas langsung beranjak dari parkiran. Berjalan bersisian. Dengan mata yang terarah lurus ke depan, keduanya dapat melihat bagaimana ramainya situasi di Panti Asuhan Surga Kasih itu. Di sebelah gedung utama –rumah bagi anak-anak-, ada halaman yang luas. Di sana tersusun dengan rapi kursi dan meja. Mengusung acara dengan konsep pesta kebun, kegiatan silaturahmi itu akan diselenggarakan.

Ketika Elai dan Ares tiba di sana, keduanya langsung disambut ramah oleh Zaleka. Seorang wanita paruh baya yang diberi amanah oleh kedua orang tuanya untuk mengurus panti asuhan itu.

"Ini bodyguard aku," kata Elai memperkenalkan Ares. "Namanya Ares."

Zaleka melirik pada Ares. Lalu tersenyum dan mengangguk dengan ramah, sebelum ia memanggil seorang pelayan.

"Antar Nona Elai ke meja."

Tak mengatakan apa-apa lagi, Elai pun lantas berlalu. Dan di dalam hati, melihat itu Ares pun berkata.

Ehm ....

Ternyata dia emang nggak berubah.

Dari dulu emang kayak gini.

Nggak bisa beramah tamah sama orang lain.

Memastikan Elai sudah duduk dengan aman di kursinya, sementara mereka menunggu para donatur yang masih di dalam perjalanan, Ares mendapati bagaimana banyak anak-anak yang berlarian di sekitaran sana. Bermain-main. Dengan mengenakan pakaian yang rapi dan tampak sehat. Mereka nyaris tidak terlihat seperti anak-anak yang kekurangan kasih sayang.

Hingga kemudian, tampak dua orang anak yang berusia sekitar lima tahun, bertabrakan. Mereka sontak mengaduh sakit. Dan melihat itu, Ares refleks beranjak dari tempatnya berdiri.

Elai yang semula akan menanyakan ke mana cowok itu akan pergi, hanya bisa terdiam saat Ares yang ternyata sudah berlari. Melesat dan menghampiri kedua orang anak kecil itu. Membantu mereka untuk berdiri dan membersihkan rerumputan yang mengotori pakaiannya.

Melihat itu, Elai terdiam. Tidak mengatakan apa-apa. Hanya menyaksikan bagaimana Ares yang kemudian berusaha menenangkan kedua anak itu yang tampak menangis sementara seorang pengurus panti menghampiri mereka.

"Cup cup cup. Adek cakep kok nangis sih?"

Mata Elai Elai mengerjap. Melihat pada Ares yang tersenyum seraya mengusap air mata di pipi anak kecil itu.

"Sakit ya?" tanyanya lagi. "Kalau sakit, kamu harusnya jangan nangis. Tapi, sakitnya yang harus diobati."

Elai yang dari tadi memerhatikan kejadian itu, seketika tertegun. Bergeming. Hanya bisa menatap lurus ke sana, dengan suara yang mendadak terngiang di telinganya. Ada suara yang diselingi oleh isak tangis, tapi juga ada suara yang berusaha menenangkannya.

"Kulit aku itu sensitif. Ini gatal-gatal karena berenang rame-rame dengan anak jelek kayak kamu."

"Oh, gatal-gatal ya? Sakit? Kalau sakit, kamu harusnya jangan nangis. Tapi, sakitnya yang harus diobati."

Beberapa detik, Elai seperti merasa gamang. Ingin menarik napas dalam-dalam demi mengusir ketidaknyamanan yang mendadak menyelingkupi dirinya, tapi yang terjadi sebaliknya. Udara seperti tercekat di pangkal tenggorakannya. Hingga tanpa sadar ia melirih pelan.

"Marcel ...."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top