25. Adu Peras-Memeras
"I-i-itu ... bukan meras, Lai."
"Bukan?"
"Bu-bukan. Itu ... bu-bukan meras."
"Bukan?"
"I-itu cuma ...."
Glek.
"Cuma ... eng ... cuma ngusap dikit. Ah, iya. Itu cuma usapan dikit. Dikit aja kok. Nggak banyak."
Dengan tangan yang terangkat satu, mengacungkan sandal yang tadi ia kenakan, Elai menganga. Melihat pada Ares yang sekarang sudah berada di belakang sofa ruang tamu. Wajah tanpa dosanya berkata dengan begitu enteng.
"Ngu-ngu-ngusap ... dikit?"
Lantas mata Elai mengerjap-ngerjap dengan mulut yang membuka. Tampak tak percaya dengan apa yang baru saja Ares katakan. Bahkan terlihat dengan begitu jelas bagaimana Elai yang kemudian seperti orang yang kesulitan bicara. Mulutnya bergerak-gerak, tapi tak ada sepatah kata pun yang berhasil ia ucapkan.
"Ngusap dikit?!" delik Elai kemudian. "Yang tadi itu kamu bilangin cuma ngusap dikit?"
Jakun Ares naik turun. Bibirnya mengatup erat dan mata mengerjap-ngerjap. "Ehm ... iya."
Mendengar itu, maka semakin beranglah Elai. Gadis itu menjerit seraya berusaha untuk mendapatkan Ares. Tapi, sebelum sandal di tangan Elai bisa mendarat di tubuh cowok itu, Ares melarikan diri lagi. Buru-buru mengangkat tangannya.
"Sorry, Lai, sorry," kata Ares. "Tadi itu kalau kamu nggak berontak ke kanan ke kiri berulang kali, aku nggak mungkin sengaja buat meras payu---"
"Aaargh!"
Ares langsung melihat ke sekeliling dengan tatapan horor. Pada dinding, pada langit-langit, pada lantai. Wah! Dalam hati Ares memuji tukang bangunan yang sudah bekerja dengan teramat baik. Lihat? Setidaknya gedung itu tidak mendadak roboh gara-gara jeritan Elai.
"Ma-maksud aku," ralat Ares buru-buru. "Meras jeruk kamu. Itu ... aku nggak sengaja sama sekali."
Elai histeris hingga wajah putihnya memerah. Bahkan sandal teplek di tangannya itu sekarang sudah berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Hanya bisa pasrah menjadi pelampiasan kemarahan gadis itu.
"Itu nggak sengaja?!" jerit Elai lagi. "Terus yang sengajanya yang kayak gimana?!"
Ares panik. Ares pun sebenarnya merasa bersalah. Ya ... sedikit sih. Tapi, entah mengapa ia justru spontan menjawab seperti ini. Refleks.
"Kalau aku sengaja, jeruk kamu nggak cuma aku peras. Tapi, aku isap sekalian!"
....
Hening untuk lima detik. Kemudian ....
"Ares!!!"
Di mata Ares, saat itu Elai persis seperti singa betina yang sedang mengamuk gara-gara jam tidur siangnya diganggu sang pejantan. Mulut cewek itu terbuka lebar. Dan kali ini, dua gingsul cantik yang Elai miliki, entah mengapa, tapi seperti menjelma layaknya sepasang taring vampir. Yang siap untuk menancap di lehernya. Lalu, mengoyak dagingnya.
Glek.
Elai benar-benar marah!
Maka bukan hal yang aneh bila pada akhirnya Ares spontan melarikan diri ketika mendapati Elai kembali mengejar dirinya dengan sandal yang masih teracungkan di tangan kanannya itu.
"Sini kamu! Biar aku remas sekalian itu buah kiwi kamu! Aku ancurin sekalian! Aku buat jus! Ah! Atau paling nggak, sini aku cabutin bulunya satu persatu. Biar modyar kamu, Res! Aresss!!!"
Membayangkan rambutnya di bawah sana dicabut satu persatu, sontak membuat Ares merinding. Oh, tidak. Nyelip satu saja di resleting celana bisa ambyar rasanya. Apalagi kalau benar-benar dicabut satu persatu? Aduh! Ares tidak ingin membayangkannya.
"Kalau mau remas kiwi aku sih nggak apa-apa, Lai. Tapi, kalau sampe diancurin?" Ares bergidik. "Iiih!"
Ya kali kalau kiwi aku diancurin.
Boro-boro buah zakar, yang adanya malah jadi peyek zakar!
Bayangan itu teramat mengerikan untuk Ares. Dan cowok itu, bukannya berlebihan dalam merespon rasa takutnya. Alih-alih, sebaliknya. Lihat saja. Elai dari tadi memang tetap bersikeras untuk mendapatkan dirinya. Padahal, sudah lumayan lama juga mereka kejar-kejaran seperti itu.
Ares mengelak. Untuk yang kesekian kalinya berusaha untuk menghindar dari sandal Elai. Tapi, astaga. Gadis itu benar-benar bertekad untuk mendapatkannya. Dan itu, membuat Ares miris sebenarnya.
Aku emang mau kamu ngejar-ngejar aku, Lai.
Emang itu kemauan aku.
Tapi, bukannya dengan situasi kayak gini!
Ini Tuhan keliru mengartikan doa aku atau gimana sih?
Lagipula, sejujurnya saja, seumur hidup Ares tidak pernah mengalami hal seperti ini. Dikejar oleh seorang cewek cantik yang sedang pakai pakaian renang? Ehm ....
"Dikejar cewek cantik yang pake pakaian renang emang ide bagus. Tapi, harusnya nggak pake ancaman sandal di tangan."
Tanpa sadar, Ares mengumpati hal itu ketika dirinya memutuskan untuk berlari masuk ke kamarnya saja. Dan ....
"Braaakkk!"
Pintu kamar langsung tertutup. Dan Ares pun langsung mengunci pintu. Hal yang terang saja membuat Elai semakin marah. Tidak hanya marah soal payudaranya yang disentuh Ares tadi –entah sengaja atau tidak-, tapi yang terakhir tadi? Oh, Elai jelas mendengar apa yang Ares katakan sebelum ia berhasil melarikan diri ke kamarnya itu.
"Ares! Keluar kamu!"
Elai berteriak dengan kuat. Pun memukul pintu itu dengan sandalnya berulang kali. Bahkan sesekali ia tampak berusaha untuk membuka pintu kamar Ares, walau jelas saja. Itu adalah hal yang mustahil. Ares benar-benar sudah mengunci pintunya.
Namun, bukan berarti Elai akan menyerah begitu saja. Melepaskan Ares? Huh! Itu jelas tidak akan terjadi.
Dan Ares tentu tau betapa keras kepalanya Elai. Jangankan perkara untuk memaksa dirinya keluar, kabur dari pertunangan mewah nan mahal saja ia sanggup. Maka ... tidak heran sama sekali bila pada menit selanjutnya, gedoran penuh tenaga yang mendarat berulang kali di pintu kamarnya, berhenti. Kali ini, alih-alih mendengar Elai meracaukan kemarahannya, Ares justru mendengar ancaman yang membuat ia tertegun.
"Oh, jadi kamu nggak mau keluar? Ehm ... oke oke."
Ares yang bersandar di pintu, mengerutkan dahi. Jelas merasakan ada yang berbeda pada suara Elai. Dan memang itulah yang sebenarnya terjadi.
Menyipitkan matanya, Elai menatap pada pintu yang bergeming di depannya itu. Dengan senyum miring yang tersungging di wajahnya, mengabaikan rambutnya yang riap-riapan dengan keadaan yang acak-acakan, sementara outer yang ia kenakan pun sudah berantakan, Elai tau persis cara untuk menyuruh Ares keluar. Bahkan dengan sukarela cowok itu sendiri. Elai jamin itu.
"Kalau gitu, bye bye, Ares. Sayonara," kata Elai dengan tenang. "Akhirnya aku dapat kesempatan untuk pergi dari sini."
Setelah mengatakan itu, Elai tidak berdiam diri. Ia segera memutar tubuh. Walau di dalam benaknya ia ragu, mungkin saja Ares tidak akan terpancing dengan ancamannya itu. Tapi, di lain sisi Elai merasa tidak ada salahnya mencoba. Toh, pilihan apa pun yang Ares ambil, dirinya akan sama-sama untung.
Kalau Ares keluar, itu artinya Elai memiliki kesempatan untuk mendaratkan telapak sandalnya di wajah Ares. Urgh! Elai berjanji untuk tidak akan berhenti memukul Ares dengan sandalnya sampai cowok itu pingsan!
Dan kalau Ares tidak keluar, itu artinya Elai memiliki kesempatan untuk pergi dari unit itu. Lepas dari kungkungan bodyguard yang diutus Marcel. Benar kan? Jadi---
Graaab!
Kaki Elai yang melangkah pun belum sempat mendarat di lantai ketika cewek itu merasakan satu cekalan di sikunya. Sontak membuat ia urung beranjak dari sana. Alih-alih, ia justru tersentak hingga mendarat di dada seseorang.
Wah!
Bahkan cepat sekali Ares mengambil keputusan dan menghentikan niatannya tadi. Benar-benar membuat Elai terperangah.
Sekejap mata, jujur saja Elai merasa gamang ketika tangannya berpegang pada dada Ares. Kesan keras dan bidang di sana seperti menghipnotis dirinya untuk beberapa saat lamanya. Membuat ia seperti yang terlupa dengan kondisi saat itu. Masih belum bisa menilai situasi. Tapi, ketika kesadarannya kembali, Elai buru-buru menarik diri.
Elai mengangkat wajahnya. Melihat pada Ares yang tampak kesal dan juga meringis. Cowok itu menukas.
"Oke. Oke. Oke."
Dahi Elai berkerut. "Oke?" tanyanya bingung. "Apa yang oke?"
Lalu setelah pertanyaan itu meluncur dari lidahnya, Elai baru sadar lagi. Bahwa tadi kan ia ingin menghajar Ares dengan sandal yang masih ia genggam dengan erat di tangannya itu.
Menyadari hal tersebut, Elai buru-buru kembali mengangkat tangannya. Tapi, eh ... belum lagi sandal itu mendarat cantik di wajah tampan Ares, cowok itu sudah lebih dulu bicara.
"Kamu marah kan? Iya, aku tau," kata Ares cepat. "Aku salah karena nggak sengaja nyentuh bagian pribadi kamu. Tapi, kalau kamu dengerin omongan aku buat nggak berenang di tempat terbuka kayak gitu, aku nggak bakal sampe kayak gitu."
Mata Elai membesar. "Wah! Bisa-bisanya justru kamu yang marah sama aku, Res? Harusnya aku yang marah."
"Iya, aku tau. Kamu berhak marah karena nggak terima soal remasan tadi."
Elai tercengang mendengar satu kata itu. Remasan tadi? Wah!
"Tapi, kamu juga harusnya tau kalau aku tuh juga marah sama kamu," lanjut Ares lagi. "Kan aku udah ngomong kalau aku tuh posesif. Aku nggak suka semacam bintang laut ngeliat kamu ginian doang."
"Gi-gi-ginian doang? Ma---"
"Lihat deh," potong Ares dengan suara yang terdengar lelah. Tangan cowok itu bergerak. Menyibak outer tak seberapa yang dikenakan oleh Elai. "Kamu udah cantik. Badan kamu sebagus ini. Mana nggak mupeng cowok-cowok ngeliatin kamu?"
Ya Elai sih memang marah. Dan sejujurnya masih marah. Tapi, kalau mendadak mendengar perkataan seperti itu, Elai bisa apa?
Pelan-pelan, tangan Elai yang mengacungkan sandal itu, turun.
"Maka dari itu, harusnya kamu ngerti gimana nggak sukanya aku kalau ada cowok lain yang ngeliatin kamu. Please, Lai. Cukup aku aja yang ngebayangin meras jeruk kamu. Cowok lain, jangan."
Oke, sandal naik kembali. Dengan wajah yang memerah, Elai siap untuk memukul mulut Ares.
A-a-apa tadi yang dia bilang?
Apa itu artinya dia selama ini suka ngebayangin aku yang nggak-nggak?
Maka kemarahan Elai pun kembali mendidih. Kali ini ia tidak akan segan-segan untuk benar-benar memukul Ares.
"Tapi, oke. Kalau kamu nggak terima karena aku udah megang kamu, aku minta maaf."
Sandal berhenti sepuluh sentimeter dari pipi Ares. Dengan menatap mata Elai yang tampak menyorotkan kemarahan tiada ampun padanya, cowok itu berkata.
"Kamu nggak terima kan aku meras jeruk kamu?"
Ya Tuhan.
Pake acara diulangi lagi.
Mau sampe berapa kali coba dia bahas soal meras-memeras?
Ares mengangguk. "Oke. Kalau kamu mau balas rasa juga boleh."
"Balas ... rasa?"
Kembali, Ares mengangguk. "Kamu mau balas rasa kan? Biar adil. Biar nggak cuma kamu yang ngerasain perasan aku, tapi kamu juga mau aku ngerasain perasan kamu?"
"A-a-apa?"
Kali ini, sandal di tangan Elai bukan lagi tertahan di depan wajah Ares. Alih-alih, tangannya sudah jatuh seolah tak ada daya dan kekuatan apa pun.
"Perasan aku?"
"Tadi kamu ngomong apa?" tanya Ares lagi. "Mau meras kiwi aku kan? Terus mau cabutin bulunya satu persatu kan?"
Ya Tuhan!
Alarm peringatan berbunyi seketika di benak Elai. Terutama ketika dilihatnya tangan Ares beranjak ke celananya dan berkata.
"Nih! Peras sesuka kamu!"
Terang saja!
Elai langsung lari terbirit-birit dari sana!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top