22. Mau Yang Mana?
Oh ... My ... God!
Elai sontak saja melongo. Tak bisa bergerak ataupun mengatakan sepatah kata ketika matanya melihat Ares melepaskan kaus yang ia kenakan dalam hitungan detik yang teramat cepat. Bahkan saking cepatnya, nyaris tidak butuh waktu sekejapan mata. Terbukti, kecepatan Ares melepas bajunya lebih cepat ketimbang kecepatan mata Elai yang tidak kunjung berkedip dari tadi.
Eh?
Elai tersadar. Maka buru-buru gadis itu memalingkan wajahnya yang terasa panas. Padahal kan ya ... sebenarnya dia bisa saja langsung lari dari kamar Ares. Hihihihihi.
"Ka-ka-kamu ... ngapain pake acara buka baju?"
Berkacak pinggang, Ares berjalan dalam satu langkah yang tak seberapa. Hanya untuk mengikis jarak di antara mereka berdua. Dengan mata yang sedikit menyipit, Ares justru mendadak merasa geli ketika melihat pada Elai yang membelakangi dirinya.
"Loh?" Ares melirih dengan kesan bingung. "Bukannya ini yang kamu mau ya?"
Membelakangi Ares, mata Elai melotot ketika mendengar pertanyaan itu. "A-a-apa kamu bilang?"
"Kamu mau liat aku koloran doang kan?"
Sekilas, Ares menggigit mulut bagian dalamnya. Satu upaya agar tawanya tidak mendadak meledak tepat setelah ia menanyakan hal itu pada Elai. Tapi, astaga. Ares benar-benar tak mengira bahwa secepat ini mereka berdamai.
Lihat?
Baru beberapa saat yang lalu Elai menangis karena ciumannya, hiks. Lalu Elai pun marah-marah karena ingin kabur darinya, ckckck. Tapi, sekarang inilah yang terjadi selanjutnya. Malah Elai yang ketakutan karena tantangan darinya, hahahaha.
"Kamu jangan sembarangan ya."
Suara Elai terdengar geram. Dan pada saat itu, ia pun memutuskan bahwa tak ada gunanya ia di sana.
"Udah deh!" lanjut cewek itu kesal. "Ketimbang aku ngurusin kamu yang eror, mending aku balik kamar aja."
"Eiiits!"
Secepat kilat, Ares lantas mengambil langkah dan dengan tiba-tiba sudah mengadang Elai tepat sebelum gadis itu keluar dari kamarnya. Cowok itu mengangkat satu tangannya dan memegang kusen pintu. Bermaksud untuk memupus celah yang bisa digunakan oleh Elai untuk kabur, tapi ... eh ternyata efeknya tidak main-main ya, Bun?
Mata Elai sontak saja melotot besar melihat Ares yang tanpa pakaian justru mengangkat tangannya.
Ya salam.
Kenapa ada rambutnya rambutan itu heh?
Berusaha sekuat tenaga, Elai mencoba untuk tidak terintimidasi oleh rambutnya rambutan Ares.
Eh?
Namun, ketika Elai merasa nyaris menyerah pada dirinya sendiri, beruntung. Suara Ares mempermudah dirinya. Itu adalah ketika pada detik selanjutnya, suara cowok itu terdengar kembali berkata padanya.
"Abis ngomong gitu, jangan langsung kabur dong."
Elai sontak mengangkat wajahnya dari pemandangan ketiak Ares. Ckckckck.
"Gimana aku nggak kabur kalau kamu gila kayak gini?"
Mata Ares berkedip sekali. "Aku bukannya gila," bela cowok itu. "Toh aku cuma mau nurutin apa yang kamu mau."
"Eh?" Elai melongo. "Kapan aku mau kamu lepas baju?"
"Ups, sorry. My bad."
Ares tampak memejamkan matanya. Kali ini dengan irama yang lebih lamban dari sebelumnya hingga kemudian ia menatap Elai lagi.
"Aku lupa," kata cowok itu santai. "Celananya juga dilepas kan ya?"
Setelah menanyakan itu, tanpa menunggu jawaban dari Elai, tangan Ares pun bergerak. Alih-alih tetap memegang kusen pintu, kali ini tangan cowok itu beranjak ke pinggangnya. Pada kancing celana yang langsung ia keluarkan dari lubangnya.
Elai melotot. Melihat dengan jelas bagaimana ada warna merah yang tampak sedikit menunjukkan dirinya di bawah sana.
Nah lo, Lai.
Kulit rambutannya ada di atas.
Eh, buahnya ada di bawah.
Mana merah menyala lagi.
Pasti ini rambutan ngelotok.
Dan lalu, jari Ares pun bergerak. Pada resleting yang siap untuk diturunkan. Yang mana ketika warna merah di dalam sana semakin banyak yang menampakkan diri maka semakin melotot pula Elai dibuatnya.
"Eh eh eh!"
Spontan, kaki Elai bergerak mundur menjauhi Ares seraya mengangkat satu tangannya.
"Ka-ka-kamu ngapain?"
Gerakan tangan Ares terhenti di tengah-tengah perjalanannya menuju ke dasar resleting. Ekspresi wajah cowok itu tampak polos saja.
"Ya aku mau ngelepasin celana aku," kata Ares santai. "Biar koloran doang di depan kamu."
"Gila! Kamu beneran gila!" tuding Elai tepat di depan hidung Ares. "Kamu pasti beneran gila!"
"Loh? Gilanya di mana coba? Orang jelas-jelas kamu nggak terima karena aku ngeliatin kamu pake dalaman doang. Terus, aku harus gimana? Kamu mau nyongkel mata aku buat tanggung jawab?"
Mulut Elai menganga. Ingin mendebat, tapi otaknya membenarkan perkataan Ares. Ya kali kan dia mau mencongkel mata Ares sebagai bentuk pertanggungjawaban cowok itu?
"Tapi, ya nggak gini juga kali, Res!" geram Elai. Lalu tangannya turun, menunjuk ke bawah. Menatap dengan tubuh merinding ketika menyadari bahwa jari tangan Ares belum melepaskan resletingnya. "Itu tangan sampe turun lagi, awas aja!"
"Awas aja? Ehm ... emangnya kenapa kalau aku beneran lepas celana?"
Semakin geram, kedua tangan Elai mengepal di sisi badan. "Bakal aku gigit juga itu rambutan kamu!"
"Huuukkk!"
Tanpa hujan tanpa badai, Ares mendadak terbatuk seketika. Dengan ekspresi horor, ia menatap pada Elai. Syok. Lantas berkata.
"Sembarangan kamu ngomong punya aku rambutan. Ini bukan rambutan yang rambutnya panjang ke mana-mana. Ini namanya kiwi! Dengan ukuran yang lebih besar dan rambut yang lebih rapi. Pastinya, lebih legit!"
"Huuukkk!"
Sekarang, gantian Elai yang terbatuk-batuk dengan wajah yang memerah. Ngeri, ia tampak menatap Ares tanpa kedip.
"Bisa-bisanya kamu ngomong gitu ke aku, Res? Wah ...."
Seakan lupa dengan niatannya semula untuk menarik turun resleting celananya, Ares malah berkacak pinggang dengan satu tangan. Sementara tangan lainnya naik. Mengusap pelipisnya sekilas seraya menarik napas dalam-dalam.
"Kamu duluan ngomong punya aku rambutan, Lai. Dan aku cuma mau klarifikasi. Punya aku beneran nggak berantakan kayak rambutnya rambutan. Please ya. Aku ini cowok pembersih dan rapi."
O oh.
Segitu rapinya?
Ups!
Mengembuskan napasnya dengan kesal, Elai tampak memerah mukanya. Hingga gadis itu pun menggerutu.
"Udah deh. Emang harusnya dari awal aku nggak usah datang ke kamar kamu."
Ares mengerjap-ngerjapkan matanya melihat Elai yang tampak akan beranjak. Terutama karena peringatan cewek itu selanjutnya.
"Udah udah," kata Elai kemudian. "Minggir ah. Aku mau balik ke kamar aku dulu."
O oh!
Jelas Ares tidak akan melepaskannya begitu saja.
Ares langsung menahan satu tangan Elai. Mengenyahkan kemungkinan bagi gadis itu untuk bisa menyelamatkan dirinya dari rambut rambutan atau pun rapinya kiwi yang menyertai pikirannya.
"Eh, tidak semudah itu, Isabella."
Melihat pada tangannya yang sudah berada di dalam genggaman Ares, sontak saja antisipasi Elai bangkit. Buru-buru ia berusaha menarik tangannya, tapi tak bisa.
"Kamu nggak kepikiran untuk kabur setelah ngebuat aku nyaris telanjang kayak gini kan?" tanya Ares kemudian. "Nggak bakal aku biarin."
Elai melotot lagi. Dan itu membuat ia menyadari sesuatu bahwa ya-ampun-keseringan-dekat-dia-aku-kayaknya-punya-kebiasaan-baru. Yaitu, melotot. Sekilas membuat cewek itu khawatir. Jangan-jangan bola matanya akan melompat dalam waktu dekat. Hiii!
"Lagian bukan aku yang nyuruh kamu buat telanjang. Kan kamu sendiri yang mau."
Ares berusaha untuk tetap menahan Elai tanpa harus kembali menyakiti cewek itu. Dan itu tentu saja sulit. Soalnya Elai masih berusaha untuk melepaskan tangannya dari cekalan Ares.
"Oke. Kalau gitu, omong ke aku deh," kata Ares dengan nada menyerah di suaranya. "Kamu mau pertanggungjawaban kayak gimana?"
"Kamu ...."
Namun, hanya satu kata itu yang mampu diucapkan oleh Elai. Seolah lidahnya yang tak mampu lagi bergerak. Dan itu hal yang wajar sih mengingat bagaimana Ares yang tampak fokus menatap pada mata Elai, perlahan beranjak. Mengikis jarak di antara mereka. Pelan-pelan membuat Elai untuk mau tak mau, mundur dengan langkah terseret.
"Iya?" desak Ares. "Apa? Apa yang harus aku lakukan?"
Memejamkan sekilas matanya, Elai lalu balas menatap cowok itu dengan raut lelah. "Cukup dengan nggak mengulanginya lagi."
Ares diam. Menunggu kelanjutan kata-kata Elai. Tapi, ternyata ucapan Elai berhenti sampai di sana. Tidak ada lanjutan apa-apa lagi.
"Terus ...?"
Dahi Elai mengerut. "Terus apa?"
Ekspresi wajah Ares tampak berubah. Sekarang terlihat seperti gemas. "Terus kamu nggak jadi nyuruh aku koloran doang?"
"Nggak!" jerit Elai dengan pipi yang terasa panas. "Ngarep banget sih aku nyuruh kamu koloran doang?!"
"Yaaa ...." Bola mata Ares berputar sekali dengan malas. "Kali kamu mau liat---"
Ucapan Ares terhenti. Cowok itu seperti yang baru menyadari sesuatu. Membuat ia fokus dengan ingatannya sementara Elai yang memandang heran padanya.
"Please! Aku nggak mau nikah sama Kura-Kura Gosong! Aku nggak mau nikah sama pisang muli!"
Ares ingat betul bahwa tadi ketika dirinya tadi mengancam akan membawa Elai ke rumahnya, gadis itu menjeritkan hal itu.
"Pi-pi-pisang muli?"
Perpindahan topik yang sangat drastis. Tentu saja membuat kedua anak manusia itu sama-sama mengerutkan dahi. Walau jelas, dengan penyebab yang berbeda.
"Kenapa kamu mendadak bahas pisang muli?" tanya Elai bingung.
Ares balas menatap Elai dengan sama bingungnya. "Tadi kamu ngomong nggak mau nikah sama Kura-Kura Gosong?" tanyanya mencoba meyakinkan ingatannya sendiri. "Nggak mau nikah sama pisang muli?"
"O oh."
Mata Elai mengerjap-ngerjap berulang kali. Tampak salah tingkah ketika Ares menanyakan hal itu. Bahkan sejujurnya saja, Elai nyaris tidak sadar kalau ia sempat mengatakan hal itu. Ehm ... spontanitas. Harap dimaklumi.
"Maksudnya pisang muli ...."
Ares bisa melihat bagaimana Elai yang kemudian melarikan matanya. Seolah tak lagi berani menatap pada matanya. Alih-alih, cewek itu justru memilih melihat jam dinding.
Mata Ares membesar ketika beberapa fakta tersusun di benaknya dengan begitu berurutan.
"Kalau bukan karena manfaatnya, terus karena apa? Karena bentuknya gi--- Ups."
Dari Elai yang kelepasan menyinggung soal bentuk buah-buahan di supermarket tadi. Kemudian ia menyinggung soal pisang muli –tidak akan dimaafkan oleh Ares. Dan ditutup oleh rambutnya rambutan?
Itu artinya ....
"Kamu ngira punya Marcel itu pisang muli?!"
Elai buru-buru mendelikkan matanya. "Ssst! Diem!"
Ares tidak bisa mengatakan apa-apa. Syok. Kaget. Persis seperti jantungnya yang mendadak jatuh dari tempatnya.
"Pi-pi-pisang muli?"
Gimana bisa dia nganggap punya aku itu pisang muli?
Wah! Wah! Wah!
Nggak bisa dibiarkan!
Ares langsung menghirup udara dalam-dalam. Berusaha untuk meredakan hawa panas yang mendadak memenuhi dadanya.
Gila!
Memangnya ada cowok yang masih bisa waras kalau keris Empu Gandringnya disamakan dengan pisang muli?
Ya kagak ada!
Ares menarik sedikit tangan Elai. Hanya untuk mengembalikan fokus mata cewek itu padanya.
"Kamu ngira punya Marcel itu pisang muli?"
Mata Elai mengerjap-ngerjap dengan ekspresi polos. "Menurut kamu?" balik bertanya Elai. "Ya ... kayaknya pisang muli ya yang paling cocok dengan dia."
"Co-co-cocok?"
Elai mengangguk. "Pendek."
Apa?
"Kecil."
Astaga!
"Dan cepat lembek."
Ya Tuhan.
Ares benar-benar memucat ketika mendengar uraian singkat, padat, dan jelas, namun ia klaim bermuatan fitnah 100% itu. Syok? Jelas. Bagaimanapun juga, ia tidak pernah mengira bahwa selama ini Elai menistakan dirinya sekeji itu.
Pisang muli?
Wah!
Nggak bisa dibiarkan.
Menarik napas berulang kali, Ares nyaris benar-benar kagum terhadap pengendalian dirinya kala itu. Heran. Tapi, tidak akan banyak ada cowok yang masih bisa bersabar kalau itu menyangkut dengan orgam intimnya.
"Aaah ...."
Ares memulainya dengan satu lirihan pelan nan penuh irama. Membuat Elai yang menatap pada cowok itu lantas mengerutkan dahi.
"Apa?"
Kepala Ares tampak mengangguk sekali. "Kamu nggak suka pisang muli kan?" tanyanya tanpa menunggu jawaban. "Lebih suka pisang ambon Curup kan?"
Entah mengapa, kali ini Elai tidak bisa lagi memasang tampak sok polosnya. Jelas, itu karena alarm peringatan mendadak berbunyi di kepalanya.
"A-A-Ares ...."
Suara Elai terdengar lirih dan penuh antisipasi ketika menyebutkan nama cowok itu. Pun didorong oleh insting alamiahnya, cewek itu lantas beringsut mundur kembali. Dan ... punggungnya tertahan oleh dinding yang dingin.
"Ka-ka-kamu mau apa?"
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Ares memanfaatkan waktunya selama beberapa detik untuk memaku tatapan mata Elai. Berlama-lama, hanya untuk makin membuat Elai bertanya-tanya. Hingga efek gemetar dengan berbagai imajinasi liar muncul di benak sang gadis. Yang tentu saja ... itu alamiah.
Ada pembahasan soal pisang ambon Curup –astaga.
Lalu ada cowok tanpa baju di hadapannya –astaga.
Dan celananya sudah terbuka sebagian.
Ya Tuhan!
Tanpa sadar, Elai meneguk ludah.
"Ka-kamu ...," lanjut Elai dengan suara gagap. "Udah janji nggak bakal nyentuh aku, Res."
Dengan begitu sengaja, Ares membiarkan embusan napasnya membelai wajah Elai. Memberikan keremangan yang membuat gadis itu sontak menggigit bibir bawahnya.
"Aku ... cuma kepikiran buat beneran koloran doang di depan kamu."
Elai melotot.
"Biar kamu tau," lanjut Ares. "Punya aku rambutan atau kiwi."
"A-a-apa?"
"Ehm ... biar kamu juga tau. Punya aku pisang muli atau ..." Mata Ares berkedip sekali. "... pisang ambon Curup."
Glek.
Elai buru-buru berpegangan pada dinding. Lebih dari itu, tanpa ia sadari, sekarang justru ia yang berbalik memegang tangan Ares yang semula menggenggamnya.
"Kamu ... jangan ngingkari janji kamu, Res."
Lagi, Elai berusaha untuk mengingatkan Ares untuk janji yang cowok itu ucapkan tadi. Dengan sukarela dirinya sendiri.
Dalam jarak yang tak seberapa, tangan Ares bertindak. Mengurung Elai di dinding kamar itu dan berkata.
"Ngingkari janji?" tanya Ales membeo perkataan Elai. Lalu, ia menggeleng. "Nggak kok. Tapi, kamu sadar sesuatu nggak?"
Tetap berupaya untuk menjaga akal sehatnya, Elai bertanya. "Apa?"
Membawa tatapan matanya untuk berada dalam satu garis lurus dengan manik Elai yang bening, Ares lantas menyadari bahwa di titik itu ia benar-benar sudah tidak tertolong lagi. Ibarat kata kalau dia adalah gajah yang masuk ke dalam lobang, maka pastilah ia gajah yang akan terjun lagi ke dalam lobang yang sama berulang kali setelah keluar dari lobang yang sama.
Ares mengusir pemikiran itu.
Ia tidak bisa diibaratkan gajah. Keledai yang dungu mungkin adalah perumpaan yang tepat untuknya. Tapi, Ares bisa apa? Selain memperturutkan desakan primitifnya untuk berkata seperti ini.
"Aku emang janji buat nggak nyentuh kamu, tapi bukan berarti kamu nggak boleh nyentuh aku."
Tak hanya mengatakan itu, Ares bahkan lantas mengangkat satu tangan Elai. Tanpa memutus tatapan mereka berdua, tentunya.
"Sini," kata Ares seraya membawa tangan Elai untuk mendarat di dadanya. "Kamu mau nyentuh yang mana?"
Ketika menanyakan itu, dengan penuh kesengajaan Ares menggerakkan otot dadanya. Tepat di bawah jari tangan Elai yang lentik. Sontak saja itu membuat Elai kaget. Seperti dirinya yang tengah disengat aliran listrik.
"Atas ..."
Belum mampu menenangkan dirinya lantaran pergerakan nyata otot dada Ares di jarinya, Elai justru dibuat menganga ketika di detik selanjutnya Ares kembali membawa tangannya. Kali ini cowok itu membawa tangannya untuk pelan-pelan turun ke bawah. Sambil lanjut bertanya.
"... atau bawah?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top