21. Bukan Kemauan

Sebenarnya Elai ingin melepaskan diri di detik Ares menariknya ke dalam pelukannya. Tapi, ketika usapan pertama itu membelai kepalanya, Elai tertegun. Pun ketika cowok itu berkata lirih di puncak kepalanya, ia semakin membeku. Kala itu satu pemikiran melintas di benak Elai.

Kapan terakhir kali aku dibelai gini?

"Aku cuma mau kamu di sisi aku."

Dan mata Elai mengerjap sekali ketika ia mendengar Ares mengucapkan kalimat itu. Karena bagaimana kerasnya Elai mengelak, entah mengapa hati kecilnya mengatakan bahwa yang diucapkan oleh Ares adalah satu keseriusan. Dan mengakui itu, jelas saja membuat Elai bingung.

Gimana bisa?

Logis kan kalau aku meragukannya?

Aku dan dia baru kenal tiga hari, tapi kenapa dia kayak yang cinta mati gini ke aku?

Mustahil banget!

Hanya saja, semakin Elai merasakan kejanggalan itu, maka semakin Ares melakukan tindakan yang sebaliknya.

Setelah memastikan bahwa Elai tenang di dalam pelukannya untuk beberapa saat lamanya, perlahan Ares mengurai kedekatan tubuh mereka berdua. Tak langsung benar-benar melepaskan tubuh Elai, Ares justru tampak mengusap tangan gadis itu. Merapikan rambutnya. Mengusap titik keringat yang timbul di sekitar wajahnya. Lalu ia bertanya, mungkin untuk meyakinkan dirinya.

"Kamu janji nggak bakal ke mana-mana kan? Nggak bakal pergi tanpa aku? Karena aku bersumpah, Lai. Apa pun akan aku lakukan untuk mempertahankan kamu di dekat aku. Sekalipun kalau aku harus menggunakan kekerasan."

Elai meneguk ludahnya. Menyadari bahwa tanpa kekerasan yang sesungguhnya saja ia sudah mendapati memar yang tak disengaja. Apalagi kalau benar-benar kekerasan itu terjadi.

Dan Ares, sepertinya paham ke mana arah pikiran Elai menuju. Karena itulah mengapa pada akhirnya, Ares memberikan satu sentuhan buku-buku jarinya pada sisi wajah Elai. Satu tindakan yang berhasil membuat bulu kuduk Elai meremang.

"Percaya aku, Lai," lirih Ares dengan suara beratnya. "Aku nggak mau nyakitin kamu. Tapi, kalau kamu kabur, itu artinya kamu nggak ngasih aku pilihan lain."

"Ka-ka-kalau aku tinggal di sini ... kamu beneran nggak bakal ngapa-ngapain aku kan?"

Ares tersenyum tipis. "Aku bakal ngejaga kamu baik-baik," jawabnya. "Jadi ... jangan pergi ya?"

Pertanyaan itu membuat Elai menahan napasnya sejenak. Bisa dikatakan cewek itu merasa takjub dengan sikap yang diperlihatkan oleh Ares.

Nyaris ngebuat aku percaya coba ....

Yakin ini cowok bodyguard?

Bukan pemain teater terdekat?

Menarik napas dalam-dalam, Elai lantas mengangguk sekali. "Tapi, tentu saja dengan satu syarat," katanya dengan membesarkan bola matanya.

"Aaah ...." Ares mengangguk pula. Paham.

"Aku beneran nggak mau kalau kamu sampe mendadak cium aku kayak tadi," kata Elai menjelaskan dengan wajah panas. "Kalau sampe---"

"Nggak bakal sampe kejadian lagi," potong Ares cepat. "Kamu nggak perlu khawatir. Kamu bisa pegang janji aku."

Yang sebenarnya adalah ... tentu saja Elai meragukannya. Memangnya siapa yang tidak tau bahwa cowok adalah makhluk yang dikaruniai bakat untuk bermanis mulut? Lebih parah lagi, cowok bahkan pintar sekali dalam bermain kata-kata. Lihat yang tadi kan? Awalnya Ares berjanji tidak akan menyentuhnya tanpa permintaan Elai. Eh ... ternyata tidak sampai sejam kemudian, perkataan itu diralat. Menyentuh itu dianggap sebagai bentuk halus dari kata 'mencium'. Ckckckck. Jadi, terang saja Elai meragukan perkataan Ares. Tapi, untuk kali ini, Elai memilih jalan aman. Ia mengangguk.

Pergerakan kepala Elai sebagai isyarat persetujuan itu membuat Ares mengembuskan napas lega. Pun turut menghadirkan senyum di wajahnya.

Hingga kemudian, setelah Ares memastikan –kembali- keadaan Elai, cowok itu pun lantas pamit. Keluar dari kamar Elai demi membiarkan gadis itu untuk beristirahat.

Sepeninggal Ares, Elai langsung membuang napas panjang. Merasa lega, sejujurnya. Tapi, tetap saja rasa lega itu tidak mampu menyingkirkan rasa bingung dan heran yang berputar-putar di benaknya.

"Itu cowok ... sebenarnya kenapa sih?"

Dengan dahi berkerut, Elai melihat ke arah pintu. Layaknya ia yang masih ingat pemandangan terakhir di mana Ares keluar dan menutup pintu kamarnya. Tapi, di kala itu juga Elai kembali teringat perkataan Ares yang lainnya.

"Kan aku udah bilangin. Aku ini posesif. Aku ini agresif."

Getar-getar sontak menjalari tubuh Elai. Ketika perkataan itu mengiang di benaknya, Elai semakin menjadi lebih bingung dari sebelumnya.

A-aku memang cantik, bukannya GR.

Tapi, aku tau.

Cuma ... gimana bisa?

Di satu titik, Elai jelas meragukan pengungkapan Ares. Berikut dengan tindakan-tindakan cowok itu yang terasa benar-benar seperti seorang cowok yang takut kehilangan cewek yang ia cintai. Tapi, di titik lainnya, sudut hati Elai terasa berdenyut ketika mendapati pengakuan itu. Pun ketika ia menerima tindakan-tindakan Ares.

Sentuhan dia ....

Elai tidak akan menampik kalau ada kelembutan ketika Ares mengobati memar di pergelangan tangannya. Juga ketika cowok itu membelai kepalanya. Tapi ....

Aku juga nggak bakal menampik kalau dia juga udah kasar banget megang tangan aku.

Apalagi sampe gendong aku dua kali dengan posisi kepala di bawah.

Ugh!

Memikirkan itu semua, Elai mengambil keputusan. Pelan-pelan ia akan menyusun rencana. Untuk kabur tentunya. Tapi, tentu saja bukan dalam waktu dekat. Karena bagaimanapun juga, Elai tau bahwa Ares pasti masih waspada dengan segala tindak-tanduknya sekarang.

Aku bakal nunggu.

Sampe dia lengah.

Terus, baru deh aku kabur.

Aku mana mungkin mau ngambil risiko tinggal sama dia.

Dan memikirkan itu, Elai baru menyadari sesuatu.

"Keluarga aku tau nggak sih kalau Marcel ngirim bodyguard buat jagain aku di sini?"

*

Keluar dari kamar Elai, Ares pun bergegas menuju ke kamar mandi. Melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya, ia lantas menyalakan pancuran. Dan ketika air mulai berjatuhan, ia pun berdiri di bawahnya. Membiarkan rintik-rintik rasa dingin itu membasahi sekujur tubuhnya.

Kedua tangan Ares naik. Menekan pada dinding marmer. Bertahan. Sementara kedua matanya menutup. Sekilas, sepertinya Ares tampak seperti biasanya. Layaknya orang yang tengah menikmati waktu mandinya. Tapi, yang sebenarnya terjadi ... tidak.

Di bawah guyuran air dingin itu, tak terhitung berapa kata makian dan umpatan yang Ares rutukan di dalam hati. Dan tak perlu bertanya atau pun menebak. Tentu saja itu ia tujukan untuk dirinya sendiri. Untuk setiap tindakan dan ucapan yang dengan teramat sadar ia lakukan dan katakan pada Elai.

Kali ini, tangan Ares yang masih menekan dinding kamar mandi, bergerak. Pelan. Hingga keduanya membentuk kepalanya. Sebagai bentuk usaha Ares untuk menahan ledakan emosi yang akan menghancurkan dirinya sendiri.

Harusnya bukan ini yang kamu lakukan, Res.

Kamu nggak lupa kan rencana kamu di awal?

Tapi, kenapa malah ini yang terjadi?

Miris, tapi Ares jelas tau dan menyadari dengan pasti bahwa semua rencananya gagal total. Dari yang ingin membuat Elai terpesona pada dirinya, yang terjadi justru sebaliknya. Malah dirinya yang berkali-kali terperangkap dalam daya tarik gadis itu.

Senyumnya.

Yang menerbitkan dua lesung pipinya.

Yang lantas menampilkan dua gingsulnya.

Belum lagi dengan rambut panjang lurusnya yang bewarna hitam legam.

Argh!

Sekarang membayangkan Elai adalah hal yang berbahaya untuk kewarasan Ares. Terbukti, saat ini Ares justru mengerang frustrasi lantaran teringat dengan ciuman mereka tadi.

Menyedihkan, tapi di sisi lain, itu justru membuat Ares senang. Tak perlu dipungkiri. Itu adalah akibat dari kenyataan bahwa dirinya yang pertama mencium cewek itu. Lalu, mata cowok itu membuka.

Pertama dan satu-satunya.

Awas aja kalau sampe ada yang berani cium Elai.

Argh!

Membayangkan hal itu saja Ares merasakan dadanya panas. Hingga ia merasa perlu untuk mengalihkan pikirannya. Dan adalah sampo yang menjadi pengalihan pikiran Ares.

Memijat kulit kepalanya dengan busa-busa wangi khas cowok, perlahan membuat Ares kembali mendapatkan kedamaiannya. Pun dilanjutkan oleh sabun cair yang ia usapkan ke seluruh tubuhnya. Pada akhirnya, Ares pun merasakan kelegaan. Karena mandi ... terbukti bisa mendamaikan gejolak yang membuncah di dadanya sedari tadi. Dan untuk itu, Ares pun bersyukur.

Seenggaknya aku nggak boleh sampe gila.

Cukup Elai aja yang ngebuat aku gila!

Selesai mandi, Ares bergegas mengenakan pakaian. Menyisir rambutnya yang masih lembab dan lalu tak dapat menahan dorongan hatinya yang menginginkan dirinya mengecek keberadaan Elai.

Ares menarik napas dalam-dalam sekali. Kala itu ia tengah berdiri di depan pintu kamar Elai. Tak langsung mengetuk, benaknya justru teramat usil untuk membuat pertaruhan dengan dirinya sendiri.

Aku tebak Elai pasti udah kabur.

Nggak, dia nggak bakal kabur.

Pertaruhan itu membuat Ares mengeraskan rahangnya. Dan ketika tangannya terangkat, jari tangannya tampak mengepal. Detik selanjutnya, cowok itu pun memberikan dua kali ketukan perlahan.

"Elai ...."

Ares menunggu sejenak. Setidaknya ia tidak akan masuk ke kamar seorang gadis tanpa disuruh. Atau ... setidaknya di waktu ia tidak mendapati pemikiran-pemikiran buruk memenuhi benaknya. Tepat ketika ia tak mendengar sahutan Elai dari dalam.

"Elai? Elai?"

Tangan Ares kembali mengetuk. Tetap dengan memanggil nama gadis itu. Tapi, tak ada sahutan yang terdengar. Sontak saja membuat Ares panik. Ia pun membuka pintu dan langsung mendengar jeritan Elai. Tepat ketika gadis itu keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan pakaian dalam.

"Ares!!!"

Ares melotot. Sama dengan Elai yang juga melotot. Tapi, tentu saja dengan alasan yang berbeda.

"Keluar!" jerit Elai. "Keluar!"

Tapi, sepertinya butuh waktu beberapa detik bagi Ares untuk sadar. Bagaimana ya ngomongnya? Hanya saja Ares seperti berubah jadi patung ketika melihat Elai yang pontang-panting menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya. Hingga ia memutuskan untuk kembali masuk ke kamar mandi. Dari dalam ruangan itulah terdengar suara Elai menggema.

"Kamu ngapain masuk ke kamar aku hah?! Dasar mesum kamu ya! Ares! Keluar! Aku mau ganti baju!"

Aaah!

Mau ganti baju toh.

Ares mengerjapkan matanya. Tersadar.

Eh?

Maka buru-buru Ares mengusap wajahnya yang terasa panas. Astaga!

"I-i-iya iya," kata Ares buru-buru ketika kesadaran kembali menyapa pikirannya. "A-a-aku keluar, Lai. Aku keluar sekarang juga."

Di dalam kamar mandi, Elai mendengarkan perkataan Ares seraya menggigit bibir bawahnya. Kesal. Dan juga kaget tentunya.

Mana aku nggak kaget?

Keluar dari kamar mandi cuma pake bra dan celana dalam, eh ... ada cowok di depan pintu kamar.

Kaget iya.

Kesal iya.

Malu apa lagi.

Mengembuskan napas panjang, Elai menghitung sampai sepuluh. Setelahnya barulah ia membuka pintu kamar mandi pelan-pelan.

Tak langsung keluar dari sana –antisipasi, siapa tau Ares belum benar-benar pergi-, Elai melongokkan kepalanya terlebih dahulu. Celingak-celinguk, mencoba mencari keberadaan Ares di kamarnya. Tapi, Elai tak menemukan sedikit petunjuk pun yang bisa menjadi tanda bahwa cowok itu masih berada di kamarnya.

Elai mengangkat sedikit wajahnya. Melihat pada pintu kamarnya yang tertutup rapat. Dan untuk itu, tanpa sadar ia mengembuskan napas lega.

Elai bergegas keluar dari kamar mandi. Secepat kilat mengambil pakaian dari dalam lemari dan mengenakannya dengan terburu-buru. Bukannya apa. Tapi, ada emosi yang mengancam untuk meledak dalam waktu dekat. Dan Elai perlu meledakkannya di depan orang yang tepat.

"Res! Ares! Keluar kamu, Res!"

Elai memukul pintu kamar Ares dengan menggebu. Pun berteriak memanggil nama cowok itu dengan tidak sabaran. Dan untunglah, Elai tidak perlu menyakiti dirinya sendiri dengan memukul pintu itu dalam jangka waktu yang lama. Karena hanya butuh beberapa detik, pintu kamar itu terbuka dan wajah Ares pun muncul.

"Maksud kamu apa sih?" tanya Elai tanpa tedeng aling-aling. "Aku emang mau kita tinggal bersama. Tapi, nggak gini juga maksudnya. Masuk ke kamar aku tiba-tiba?" Mata Elai melotot besar. "Kamu gila?"

Ares tampak mengembuskan napas sekilas. Jelas menyadari bahwa adalah hal yang wajar kalau Elai marah pada dirinya.

"Aku minta maaf. Aku nggak tau kalau kamu lagi ganti baju."

"Yaah ...." Elai berkacak pinggang. "That's why, Man, orang nyiptain tradisi ketok pintu. Knok knok knok. Biar orang nggak kebablasan kayak kamu."

"Aku udah ngetuk, Lai," kata Ares membela dirinya. "I did. Tapi, nggak ada suara kamu. Makanya aku masuk. Aku pikir kamu kabur---"

"Kan aku udah ngomong nggak bakal kabur," potong Elai cepat.

"Ya aku tau," balas Ares. "Tapi, logisnya? Mana ada sih orang yang mau kabur pake acara ngomong dulu?"

Mulut Elai membuka, tapi dua detik kemudian menutup kembali tanpa mengatakan apa-apa. Seperti cewek itu yang kehilangan kosakatanya.

Mendapati itu, Ares mengembuskan napas panjangnya. Kedua tangannya meraih lengan atas Elai.

"Aku minta maaf," ulangnya lagi. "Aku bener-bener nggak sengaja ngeliat kamu---"

Elai melotot. Membuat Ares buru-buru menghentikan ucapannya di tengah jalan. Tapi, melihat warna merah tanda kesal di wajah Elai, Ares pun menyerah.

"Kamu nggak mau maafin aku?" tanya cowok itu seraya menarik napas dalam-dalam. "Oke. Jadi mau kamu kayak gimana sekarang?"

"Mau aku?"

Menarik tangannya dari Elai, gantian Ares yang tampak berkacak pinggang. "Apa ini harus yang semacam mata dibalas mata? Gigi dibalas gigi?"

Elai mengerutkan dahinya dengan mata yang menyipit. "Maksud kamu?"

Memutar bola matanya sekali, Ares berkata seraya tangannya bergerak meraih tepian kaus yang ia kenakan.

"Kalau kamu mau ngeliat aku koloran doang sebagai ganti ruginya ..."

Mata Elai langsung membesar. Melihat bagaimana kaus di tubuh Ares kemudian lepas dari pemakainya. Menampilkan keadaan polos yang membuat cewek itu tercekat.

"... ya kamu tinggal bilang aja."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top