20. Gila!

Untuk beberapa saat lamanya, hanya keheningan yang melingkupi keduanya. Elai dan Ares sama-sama membisu dengan mata yang saling menatap. Keduanya bergeming. Nyaris untuk bernapas pun untuk tidak benar-benar bergerak. Layaknya mereka yang sedang menilai situasi. Mungkin menunggu. Kira-kira apa lagi yang akan dikatakan oleh masing-masing dari mereka. Hanya saja ... hingga beberapa menit berlalu, tampaknya tak ada dari mereka yang akan mengambil kesempatan. Dan pada akhirnya, Elai pun merasa lelah. Membuat ia mendesiskan satu kata itu dengan penuh penekanan.

"Gila ...."

Ares terhenyak. Tidak percaya bahwa dari sekian banyak kosakata yang ada di dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia –tidak peduli edisi yang keberapa-, Elai justru mengucapkan satu kata yang benar-benar tidak ia duga.

Gila?

Untuk pengungkapan perasaan penuh dengan kelembutan yang ia lakukan tadi, Ares justru mendapatkan 'gila' sebagai jawaban?

Wah!

Elai mendengkus. "Kamu pasti udah ngerasa di atas awan sekarang kan?" tanya gadis itu dengan nada sinis di suaranya. "Kamu tau kalau aku bakal melakukan apa pun untuk menghindari perjodohan dengan Marcel ... dan kamu memanfaatkan itu semua."

Ares mengerjapkan matanya. Tidak cukup syok dengan 'gila' tadi, sekarang Ares kembali syok dengan praduga bersalah yang dituduhkan Elai terhadap dirinya.

"Kamu pikir, mentang-mentang aku mau nggak mau nikah dengan Marcel, itu artinya aku bakal sukarela ngebiarin kamu ngambil kesempatan?" tanya Elai lagi. "Lihat? Nggak cukup dengan cium aku, kamu bahkan udah nggak ada sopan santun sedikit pun ke aku."

Ares meledak. Langsung meraih tangan Elai. Memegangnya dengan erat. Berkata.

"Aku minta maaf. Aku tau aku salah. Dan aku janji nggak bakal ngelakuin itu lagi. Ya Tuhan, Lai. Please .... Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi asal kamu tetap di sini."

Bibir Elai mengerucut. Ekspresi wajahnya tampak keras ketika berusaha untuk melepaskan diri dari Ares. Tapi, astaga! Jangankan ingin lepas, bergerak sedikit pun tidak. Ares benar-benar menahan dirinya dengan sekuat tenaga.

"Kamu bilang kamu mau jadi pacar aku, Lai. Sekarang, kenapa kamu mau pergi dari aku?"

Ketika pertanyaan itu mendarat di telinganya, Elai yakin bahwa pilihannya tadi memang adalah hal yang benar. Terbukti, menggunakan kata 'gila' sementara buku Kamus Besar Bahasa memang tepat untuk mewakili keadaan Ares saat itu.

"Lihat kan? Kamu emang beneran gila, Res! Kamu nggak sadar? Kamu itu cuma bodyguard! Ngomong ke aku yang sopan! Aku kamu? Wah!"

"Persetan dengan sopan santun!" balas Ares kemudian. "Nggak ada sopan santun di antara kita sejak kamu masuk ke kamar aku dan menggoda aku dengan pakaian seksi kamu itu!"

Kata-kata Ares seketika membuat Elai tak berkutik. Mulutnya menganga. Ekspresi wajahnya melongo. Dan semua dilengkapi oleh rona merah di kedua pipinya.

"Apa?" tanya Ares mendesak. "Kamu mau nyoba ngelak?"

Ares tampak mendengkus dengan ekspresi mencemooh. Jelas cowok itu bisa merasakan bagaimana kata-katanya tadi berhasil membekukan kemarahan Elai. Menggantinya dengan rasa malu gadis itu ketika teringat dengan apa yang ia lakukan kemaren.

"Apa bedanya aku dan kamu hah?" tanya Ares lagi. "Oke, fine. Aku cium kamu. Tapi, aku nggak bakal cium kamu kalau dari awal kamu nggak ngegoda aku. Kamu pikir aku ini cowok apa? Aku ini punya dua nyawa yang semuanya bisa hidup bersamaan kalau kamu ngegoda aku!"

Kali ini Elai tidak akan mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk mewakili jenis perasaan apa yang ia rasakan kini.

Malu.

Sangat malu.

Amat malu.

Malu sekali.

Sangat amat malu sekali!

Mungkin hanya itu yang paling bisa mewakili apa yang Elai rasakan saat ini. Sumpah! Malunya sampai ke ubun-ubun!

Dan sementara Elai benar-benar berhasil dibuat membeku hingga tak bisa berkata apa-apa, Ares justru sebaliknya. Cowok itu tampak menggebu-gebu.

"Aku baik-baik minta kamu untuk tetap tinggal, Lai. Aku bahkan janji nggak bakal nyentuh kamu lagi. Bahkan kalaupun kamu nari telanjang di depan aku ..."

Mata Elai membesar.

"... sementara kamu nggak nyuruh aku buat nyentuh kamu, aku bakal lakukan. Jadi, please. Tetap tinggal di sini."

Di titik itu, Ares tidak tau lagi apa yang sedang melanda dirinya. Tapi, kalau ia perlu membuka kembali buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka hanya satu kata yang akan ia gunakan. Yaitu, kalut.

Ares benar-benar merasakan kekalutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Itu sama halnya seperti ia yang sudah menunggu sekian lama untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi, mendadak saja hal itu akan pergi. Tentu saja akibatnya Ares menjadi panik. Bahkan ia nyaris tak peduli apa pun ketika pada akhirnya, ia kembali mengancam cewek itu.

"Kalau kamu nggak mau tinggal di sini bareng aku, Lai," kata Ares dengan napas menggebu. "Aku bawa langsung kamu ke rumah Marcel sekarang juga!"

Mata Elai sontak membesar. Karena jelas wajah Ares yang tampak memerah –berikut dengan bola matanya juga-, sukses membuat gadis itu merasa bahwa Ares tidak main-main dengan perkataannya.

"Aku bisa pastikan kalau kamu bakal nikah sama Marcel hari ini juga! Dan Marcel pasti nggak bakal nolak karena dia tau kamu pasti bakal berusaha untuk kabur lagi."

Kali ini bukan hanya ancaman membawa dirinya ke rumah Marcel. Alih-alih ancaman untuk langsung menikah! Bayangkan sepucat apa wajah Elai karena ancaman itu!

"Ares, ka-ka-kamu--- Aaah!!!"

Elai tak menuntaskan kata-katanya ketika Ares bergerak dengan cepat. Mengabaikan keterkejutan cewek itu, dengan gerakan yang tangkas, Ares kembali mendaratkan tubuh Elai di pundaknya.

Kembali berada dalam posisi kepala di bawah, Elai berteriak.

"Turunin aku! Kamu mau bawa aku ke mana?!"

Ares menarik napas dalam-dalam. Sungguh! Sepertinya akal sehat cowok itu sudah lenyap sejak beberapa saat yang lalu. Hingga rasanya bagai ringan sekali ketika ia menjawab.

"Ke rumah Marcel. Biar kamu dan dia nikah hari ini juga!"

Merinding sekujur tubuh Elai mendengar jawaban itu. Gemetaran. Ketakutan.

"Please! Aku nggak mau nikah sama Kura-Kura Gosong!" jerit Elai ngeri. "Aku nggak mau nikah sama pisang muli!"

Namun, jeritan itu seperti tidak menjamah telinga Ares. Alih-alih menghentikan langkah kakinya seperti permintaan sang gadis, Ares justru semakin mantap melangkah. Hingga membuat Elai putus aja seraya memukul kaki Ares lemah –sungguh, kepala di bawah membuat gadis itu pusing dan mual.

Putus asa, Elai teringat perkataan Ares tadi.

"Sampai kamu sendiri yang memintanya."

Untuk itu, Elai lantas memejamkan matanya. Berteriak sekuat tenaga pada Ares.

"Iya! Iya! Iya, Res, iya. Aku tinggal di sini. Aku nggak bakal pergi. Aku tinggal di sini sama kamu."

Langkah kaki Ares berhenti. Dan hal itu membuat Elai sedikit merasakan kelegaan, walau bukan berarti ia benar-benar lega. Setidaknya Elai perlu merasakan kakinya menginjak lantai kembali sebelum merasa lepas dari semua kepanikan itu.

"Kamu ngomong apa?"

Elai meneguk ludah. Menyadari bahwa Ares jelas mendengarkan perkataannya tadi. Maka ia pun buru-buru mengulanginya.

"Jangan bawa aku ke tempat Marcel. Please, aku bakal tinggal di sini sama kamu. Ya? Kalau iya ..., turunin aku dong. Aku udah mual-mual, Res."

Sedetik setelah Elai mengatakan hal itu, ia berpikir bahwa Ares akan segera menurunkan tubuhnya. Tapi, ia kecele. Karena nyatanya alih-alih menurunkan Elai, Ares justru kembali melangkahkan kakinya.

Elai memejamkan matanya.

Mampuslah kamu, Lai!

Mampuslah kamu kalau sampe nikah sama Marcel hari ini!

"Ares!"

Tak peduli, Elai menjeritkan nama cowok itu kuat-kuat. Rasa takut itu benar-benar membutakan akal pikirnya. Hingga Elai pun kembali berteriak.

"Masa kamu mau pacar kamu nikah sama cowok lain, Res?!!!"

Ajaib!

Bahkan tidak sampai dua detik setelah suaranya meneriakkan hal itu, Elai merasakan kakinya kembali menjejak pada lantai.

Ugh!

Sangat mendadak sebenarnya. Hingga membuat Elai merasa gamang dan spontan berpegang pada Ares yang ternyata telah menahan pinggangnya agar tidak terjatuh.

Butuh waktu beberapa detik untuk Elai bisa menguasai dirinya kembali. Termasuk setelah ia menggoyang-goyangkan kepalanya beberapa kali.

Dan ketika dirasanya bahwa tubuhnya telah kembali normal, pelan-pelan Elai pun membuka matanya. Langsung, tatapannya bertemu dengan tatapan milik Ares. Lantas bukan hal yang mengejutkan untuk Elai bila mendapati Ares bertanya seperti ini pada dirinya.

"Benar? Yang kamu bilang tadi benar kan?"

Argh!

Elai merutuk di dalam hati.

Tapi, cuma cewek bodoh yang mau nerima Marcel Si Kura-Kura Gosong yang bodoh, penakut, dan cengeng itu ketimbang Ares.

Frustrasi sebenarnya, tapi Elai tak punya pilihan lain.

Ketimbang aku nikah sama Marcel hari ini kan?

Elai meneguk ludahnya.

"Aku bakal tinggal di sini," ulang Elai lagi. "Bareng kamu. Gimanapun juga ..." Elai menggigit bibir bawahnya. "... kamu kan pacar aku."

Sedetik Elai menunggu reaksi Ares, tapi tak ada kata-kata yang cowok itu ucapkan. Alih-alih, ia justru kembali bertindak di luar perkiraan Elai.

Ares kembali meraih tubuh Elai. Tapi, bukan untuk menggendongnya di pundak cowok itu lagi. Alih-alih membopongnya seperti seorang pangeran yang baru saja menyelamatkan putrinya.

Elai buru-buru mengalungkan kedua tangannya di leher Ares ketika menyadari kali ini setidaknya Ares menggendong dirinya dalam gendongan yang normal.

"Ka-kamu mau bawa aku ke mana?"

Mengubah tujuannya, Ares langsung menuju ke kamar Elai. Mempertahankan tubuh sang gadis di gendongannya, Ares sama sekali tidak mendapati kesulitan ketika membuka pintu kamar itu.

Ares melangkah. Membaringkan Elai di atas tempat tidur. Dan sebelum Elai bisa menarik diri, Ares sudah meraih tangannya. Tapi, kali ini bukan untuk menggenggamnya. Alih-alih untuk memeriksa pergelangan tangannya.

"Apa ini sakit?"

Mata Elai mengerjap ketika mendapati pertanyaan itu. "Sakit?" Elai balik bertanya. "Apa yang sa--- Awww!"

Ucapan Elai seketika berganti jeritan sakit ketika Ares menekan satu warna merah di pergelangan tangan cewek itu. Air mata langsung terbit di mata Elai.

"Maaf," kata Ares buru-buru dengan sarat penyesalan. "Aku nggak tau kalau aku kelewat kuat megang tangan kamu tadi."

Elai melotot. "Kamu. Kamu benar-benar deh, Res!"

Elai menarik tangannya. Kali ini melihat dengan jelas bagaimana ada samar warna kemerahan di pergelangan tangannya. Sontak saja membuat gadis itu mengernyit sakit dengan satu pemikiran menakutkan di benaknya.

Gila!

Lepas dari Kura-Kura Gosong yang lemah, aku malah terperangkap sama Kura-Kura Ninja yang kelewat kuat.

Baru dipegang aku udah merah-merah.

Gimana kalau ....

Glek.

"Tunggu bentar."

Mendadak saja Ares bangkit dan meninggalkan Elai sendirian di kamar. Cowok itu pergi, entah ke mana. Dan ditinggal seorang diri, Elai sempat berpikir untuk melarikan diri. Tapi, sekejap mata ia menyingkirkan rencana itu.

Kalau aku ketangkap lagi, mungkin bukan pergelangan tangan aku aja yang merah-merah.

Menarik napas dalam-dalam, Elai mencoba menenangkan dirinya. Setidaknya ia bersyukur terperangkap dengan Ares, ketimbang harus menikah dengan Marcel hari itu juga.

Sejurus kemudian, Ares kembali datang. Dengan membawa satu mangkok yang berisi beberapa balok es batu dan handuk.

Ares meraih tangan Elai. "Sini aku obatin dulu."

"Eh?" Elai mengerjapkan matanya. "Oh ...."

Tak mengatakan apa-apa lagi, Elai membiarkan saja bagaimana Ares mengobati memarnya. Dengan menggunakan balok es yang ia masukkan ke dalam handuk, Ares pun mengompres bagian merah di pergelangan tangan Elai.

"Aku beneran nggak nyadar kalau aku kelewatan kayak gini," kata Ares tanpa menatap Elai. Alih-alih, fokus matanya tetap menuju pada pergelangan tangan Elai. "Aku beneran kalut tadi itu."

Elai diam saja. Tak berani mengatakan apa-apa.

Ketimbang aku dibuat merah di tempat yang lain lagi!

Dan begitulah beberapa menit mereka lewati. Tanpa ada yang bersuara. Hanya terkadang terdengar bunyi gesekan balok es di dalam handuk yang Ares gunakan. Hingga kemudian, nyaris setelah sepuluh menit lamanya, Ares selesai mengompres pergelangan tangan Elai.

Ares meraba kulit tangan Elai. Memastikan bahwa ia tidak melukai gadis itu di tempat lainnya.

"Aku benar-benar minta maaf," ulang Ares lagi. "Aku beneran nggak sengaja nyakitin kamu kayak gini."

Sebenarnya, hari itu emosi Elai benar-benar melonjak akibat perbuatan Ares. Tapi, mau diakui atau tidak, berulang kali pula seharian itu Ares sukses membuat perasaannya tersentuh. Dari permintaan dan pengungkapan perasaan di depan pintu, hingga permohonan di ruang tamu, itu sedikit banyak sukses membuat ia melunak sih.

Elai mengembuskan napas panjang. "I-i-ini nggak sakit lagi," katanya kemudian seraya menarik tangannya. Bagaimanapun juga, Ares masih sibuk melihat tangannya berulang kali.

Sedetik, Ares diam. Lalu ia mengangguk.

"Aku harap," katanya kemudian. "Ini yang terakhir kalinya kamu berniat buat kabur lagi dari aku, Lai."

Elai menggaruk tekuknya.

Emangnya kapan sih aku pernah kabur dari dia?

"Aku nggak mau nyakitin kamu. Tapi, apa pun bakal aku lakukan asal kamu tetap di dekat aku."

Mengerucutkan bibirnya, Elai mengangguk. "Iya iya iya. Aku di sini. Aku nggak bakal pergi."

Lantas mata Elai menangkap pergerakan asing tangan Ares. Tampak jari tangan cowok itu terangkat. Nyaris menyentuh kulit wajahnya.

Mata Elai sontak membesar. "Eh? Tadi siapa yang ngomong nggak bakal nyentuh aku lagi heh?"

Ares mengembuskan napasnya. "Itu maksudnya ... untuk cium kamu, Lai," ralatnya tanpa dosa. "Kalau sekadar kayak gini ... aku pikir masih boleh."

Memangnya siapa di antara mereka yang berhak memutuskan boleh atau tidak?

Elai ingin sekali mendebat hal itu. Tapi, Ares dengan cepat justru menarik Elai ke dalam pelukannya. Ingin berontak, tapi usapan di kepala gadis itu membuat ia membeku.

"Kan aku udah bilangin," kata Ares kemudian. "Aku ini posesif. Aku ini agresif."

Glek.

"Jadi, please ...."

Suara Ares terdengar benar-benar seperti meminta pada Elai. Hingga membuat gadis itu merasa salah tingkah.

"Jangan buat aku gelap mata, Lai.

Elai menahan napas di dada. Jelas merasakan bahwa debar jantung Ares di balik kaus cowok itu begitu bertalu-talu.

"Aku cuma mau kamu di sisi aku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top