19. Biarkan Aku

Ketika Elai hanya butuh beberapa langkah lagi untuk mencapai pintu, entah mengapa gadis itu seolah merasakan perubahan di sekelilingnya. Seperti temperatur udara di sana mendadak berubah. Lebih menghangat. Terutama dengan embusan angin yang memberikan kesan yang berbeda kala membelai pipinya.

Lalu, Elai tercekat.

Ketika ia membuka pintu, namun dalam hitungan detik yang teramat cepat, satu tangan yang kokoh melintasi sisi kepalanya. Meluncur dengan mulus. Mendorong pintu untuk kembali menutup.

Elai kaget, tapi tidak benar-benar kaget sampai tiba masa di mana ia merasakan ada satu tangan yang kekar merengkuh dirinya. Memegang lengan atasnya dan membuat ia tak bisa melangkah lagi. Tapi, semua belum lengkap, sampai di mana telinganya mendengar suara berat itu tepat di telinganya.

"Jangan pergi, Lai. Jangan pergi."

Tak perlu bertanya ataupun menebak, bisa dipastikan Elai saat itu membeku jiwa raga lantaran suara Ares. Ia benar-benar tidak bisa bergerak. Aneh? Jelas. Karena nyatanya, Ares tidak benar-benar menahan Elai. Nyaris tidak terasa ada paksaan dalam rengkuhan cowok itu. Tapi, entah mengapa itu sukses untuk menahan langkah kaki Elai. Terlebih lagi ketika Elai menyadari bahwa wajah Ares sudah mendarat di lekuk pundaknya.

Elai sontak meneguk ludahnya. Merasa tak yakin dengan apa yang ia rasakan saat itu. Tubuhnya memang menegang. Ingin melepaskan diri ..., sekarang terasa mustahil. Terutama ketika telinganya mendengar kembali suara Ares. Kali ini ... mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya terasa akan copot dari tempatnya.

"Aku cinta kamu, Lai."

Ucapan itu terdengar lirih, tapi juga teramat jelas. Membuat Elai menganga. Berusaha untuk bisa bicara, tapi kembali Ares terdengar bicara.

"Please," pinta Ares dengan suara yang benar-benar terdengar meluluhkan. "Jangan tinggalin aku. Jangan nangis." Napas Ares terasa membelai kulit Elai. "Jangan ...."

Sekarang bukan lagi membeku, Elai berani bersumpah merasa seperti nyawanya yang seolah terbang melayang meninggalkan tubuhnya.

*

Ungkapan itu benar-benar berhasil untuk melumpuhkan fungsi otak Elai, sepertinya. Atau bahkan lebih lagi. Karena Elai berani bersumpah. Suara Ares ketika mengatakan hal tersebut benar-benar terkesan ... tulus.

Elai mengerjapkan matanya. Buru-buru menarik napas dalam-dalam seraya menyadarkan dirinya sendiri. Dan ketika ia merasa sudah cukup bertenaga, ia pun bicara dengan suara lirih. Tapi, lebih dari jelas untuk bisa didengarkan oleh Ares.

"Nggak cukup kamu cium aku hari ini, Res?" tanya Elai dengan suara bergetar. "Nggak puas kamu cium aku? Bahkan sekarang kamu udah berani ke aku?"

Ares tertegun. Tubuhnya terasa mendingin.

"Elai," kata Ares dengan suara yang tak kalah bergetarnya dengan milik Elai. "Ini aku---"

Tapi, Ares menahan lidahnya. Merasa tak sanggup ketika pemikiran untuk jujur itu muncul di benaknya. Ares memejamkan matanya. Menyadari bahwa ia tak mungkin untuk membongkar jati dirinya saat itu. Melihat dari kemarahan yang sedang melanda Elai ..., maka kejujuran hanya akan membuat cewek itu semakin murka.

Ares menelan kembali pengakuan itu. Rasanya ... tidak nyaman. Membuat dadanya sesak.

Adalah pergerakan tubuh Elai di rengkuhannya yang kemudian membuat Ares tersadar kembali akan situasi saat itu. Ia membuka mata dan langsung menahan Elai.

"Aku mohon, Lai. Jangan pergi."

Bahkan tarikan napas Elai terdengar di telinga Ares. Ketika cewek itu berusaha untuk menjaga kendali dirinya sendiri. Tapi, Ares tidak akan membiarkan Elai bisa mendapatkan sedikit celah pun. Maka, itulah yang kemudian Ares lakukan.

Bergerak dalam hitungan detik yang teramat cepat, Elai benar-benar tidak tau apa yang Ares lakukan. Yang ia rasakan hanyalah tangan Ares yang meraih tubuhnya. Memutarnya.

"Ares! Kamu mau--- Aaah!"

Elai tak bisa menuntaskan perkataannya. Alih-alih, ia justru menjerit takut saat mendapati tubuhnya mendadak melayang. Lalu mendarat di pundak Ares dengan posisi kepala yang menggantung. Dan ia merasakan tangan Ares menahan posisi kakinya ketika matanya dengan jelas melihat lantai di bawah sana.

"Ares! Kamu mau ngapain?!" jerit Elai. "Turunin aku!"

Tapi, alih-alih menurunkan Elai seperti permintaan gadis itu, yang ada justru sebaliknya. Ares memutar tubuhnya. Menjaga Elai aman di atas pundaknya, cowok itu pun melangkah.

Berada dalam posisi seperti itu, jelas membuat Elai merasa ngeri. Lebih lagi, ia pun merasa pusing. Maka Elai pun menutup matanya. Walau jelas, kedua tangannya bergerak memberikan perlawanan. Berupa pukulan-pukulan yang mendarat di tubuh Ares.

Hanya saja, layaknya sentuhan biasa, Ares bahkan bergeming. Tak melakukan apa pun untuk menghentikan perlawanan Elai yang ia dapatkan. Alih-alih, ia membiarkannya. Seraya ia yang terus melangkah. Membawa Elai untuk duduk di sofa ruang tamu.

Ketika Elai merasakan tubuhnya kembali berada di posisi yang normal, ia mendapati bahwa ia sudah duduk di sofa. Dengan Ares di hadapannya. Nyaris bisa dikatakan cowok itu berlutut dengan kedua tangannya yang menahan Elai.

"Ares, kamu---"

Ares sedikit mengangkat tubuhnya walau tak sampai membiarkan kedua lututnya meninggalkan lantai. Hanya saja, pergerakan tiba-tiba itu berhasil membuat Elai menjadi menghentikan ucapannya. Ia menarik diri. Memasang sikap antisipasi.

"Ka-ka-kamu mau ngapain lagi hah?!"

Elai mencoba untuk tetap memasang sikap kasarnya, walau jelas sekali ada gagap di suaranya.

"Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, Lai. Please. Aku nggak bakal nyentuh kamu lagi."

Ekspresi keras yang mulai terpasang di wajah Elai, seketika runtuh. Tergantikan oleh raut bingung saat mendapati perbedaan air muka Ares. Cowok itu tampak gusar.

"Aku nggak bakal nyentuh kamu lagi," lanjut Ares lagi. "Tapi, jangan pergi. Jangan kabur lagi."

"Kamu---"

Ares mengangkat wajahnya. Menatap pada mata Elai dengan sorot yang sontak membuat gadis itu kembali menelan kata-katanya. Entah mengapa, tapi Elai merasa seperti aneh dengan cara Ares memandangnya.

"Aku janji ...."

Mata Elai mengerjap sekali saat mendapati bagaimana jakun Ares naik turun. Cowok itu tampak menarik napas dalam-dalam.

"Aku bahkan berani janji untuk nggak nyentuh kamu dikit pun," sambung Ares dengan keseriusan yang terpancar di matanya. "Sampai kamu sendiri yang memintanya."

O oh!

Mata Elai langsung membesar. Mulutnya sontak membuka. Tapi, ketika itu pula ia mendengar Ares berkata.

"Tapi, kalau kamu sampe kabur aku nggak bakal segan-segan buat---"

"Bawa aku ke rumah Marcel?"

Elai memotong perkataan Ares dengan satu pertanyaan itu. Kali ini gantian wajah Elai yang berubah gusar. Lalu ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sementara itu, Ares justru tampak terdiam lantaran kata-kata yang Elai lontarkan padanya.

Karena jelas ... bukan itu yang aku maksud.

"Kamu tau kalau kamu beneran nggak punya perasaan jadi cowok, Res? Cuma karena duit, kamu rela ngurung aku di sini. Cuma untuk memastikan bahwa pada akhirnya aku dan Marcel benar-benar menikah."

"Itu ...."

Napas Elai berembus panjang. "Tau apa yang aku harapkan terakhir di hidup aku?" tanyanya kemudian. "Aku cuma ingin disayang. Walau orang ngomong Marcel itu kaya, aku nggak peduli. Kamu lihat? Setelah pertunangan aku yang gagal, orang tuaku kembali bekerja. Sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan kak Via, satu-satunya yang paling ngerti aku, pun bakal pergi bentar lagi."

"Elai, aku---"

"Kamu nggak bakal ngerti, Res," kata Elai kemudian dengan sinis. "Kamu nggak bakal ngerti posisi aku. Orang kayak kamu selalu nganggap aku beruntung. Tapi, kamu bisa bayangkan gimana jadinya nanti pernikahan aku dan Marcel?"

Ares diam. Karena mau tak mau, pertanyaan itu jelas tertuju pada dirinya.

Akan jadi pernikahan seperti apa nantinya pernikahan kami?

Dan ketika Ares memikirkan hal itu, suara Elai pun terdengar kembali. Membuyarkan isi dalam pikirannya.

"Aku bilangin ya," kata Elai kemudian. "Pernikahan kami itu bakal jadi pernikahan tanpa rasa. Kami tercatat sebagai suami istri, tapi kami bahkan nggak bakal tau apa makanan kesukaan masing-masing. Dia bakal pergi kerja pagi hari, pulang malam hari. Atau mungkin pulang setelah berminggu-minggu kemudian."

Elai mengembuskan napas panjang. Lalu memilih untuk diam beberapa saat, mungkin mengira bahwa Ares akan mengatakan sesuatu sebagai balasan untuk tiap kata yang ia ucapkan. Tapi, Elai kecele. Karena alih-alih bersuara, Ares bahkan nyaris bergeming. Bagai cowok itu yang benar-benar menjelma menjadi patung yang tak bergerak sedari tadi.

"Sekarang, jujur aja ke aku, Res ...."

Pada akhirnya, Elai memutuskan untuk kembali mengambil kesempatan bicara. Bagaimanapun juga, ia tak yakin kalau Ares akan membalas ucapannya.

"Berapa Marcel bayar kamu?" tanya Elai. "Aku bakal bayar dua kali lipat."

Ares sontak saja tertegun. Tak mampu berkata apa-apa.

"Walau orang tua aku nggak peduli dengan kehidupan aku kayak gimana, untuk urusan uang, mereka sangat peduli."

Elai menunggu. Tapi, Ares tak kunjung memberikan jawabannya. Maka untuk itu, Elai pun lantas mengembuskan napas panjangnya. Ia bangkit.

Sejenak, Elai tak langsung beranjak dari sana. Alih-alih, ia berdiri saja. Mungkin ia menyadari bahwa pikirannya kala itu masih kalut. Terlalu penuh, ia sendiri tak yakin dengan pasti apa yang sedang ia pertimbangkan.

"Aku bakal bayar kamu. Bahkan berapa pun bakal aku bayar. Asalkan kamu mau pergi dari kehidupan aku. Dan aku mohon ..., karena yang aku inginkan cuma kehidupan yang tenang. Tanpa ada Marcel ... atau pun kamu."

Pergi?

Bahkan ketika aku nyuruh dia untuk nggak pergi, eh ... ternyata malah dia yang mau nyuruh aku pergi?

Lalu, ketika Ares merasakan bagaimana Elai menggerakkan kakinya, maka ia pun lantas menggerakkan tangannya. Tanpa menoleh, cowok itu meraih pergelangan tangan sang gadis tanpa cela sedikit pun. Menahannya. Ketika ia merasakan sedikit perlawanan Elai, maka Ares pun menguatkan genggamannya.

Perlahan, Ares bangkit.

Ketika kakinya sudah menapak dengan pasti di atas lantai, Ares beranjak. Pun turut menarik tangan Elai agar gadis itu berpaling padanya.

"Kalau bukan karena uang ..."

Suara Ares terdengar dengan irama yang mendorong Elai untuk mengangkat wajahnya.

"... apa aku boleh tinggal di sini?" tanya Ares. "Dengan kamu?"

Elai menahan sejenak napas di dadanya. Tapi, bertatapan dalam waktu yang tak sebentar dengan Ares, membuat gadis itu merasa tak berdaya.

"A-a-apa maksud ... kamu?"

Wajah Ares tampak mengeras. Sekilas, Elai bisa melihatnya. Ada pertarungan di sorot mata cowok itu. Layaknya ada keinginan yang bertentangan dengan logika yang tengah berkecamuk di benak cowok itu. Yang mana itu ... benar.

Otak Ares berulang kali mengingatkannya. Untuk tujuan yang membawa dirinya hingga berada di apartemen Elai tepat beberapa jam setelah pertunangannya gagal. Untuk ingatan beberapa tahun ke belakang akan setiap hal yang telah Elai lakukan padanya. Untuk tiap hari yang selalu ia lewati dengan mengingat gadis itu. Hanya untuk membuktikan bahwa pada akhirnya, ia bisa berubah total.

Hanya saja ... hatinya berkata yang sebaliknya.

Baru berapa lama sih ia tinggal bersama Elai? Baru dua malam. Dan ini adalah hari yang ketiga. Tapi, anehnya ia seperti telah merasakan banyak hal dalam waktu yang sesingkat itu.

Dan sebagai akibatnya, ia benar-benar merasa tak berdaya ketika melihat air mata gadis itu. Lalu ... ketika Elai akan pergi –lagi-, perasaan Ares benar-benar tidak bisa ditahan. Rasa-rasanya ia ingin mengacak-acak sekelilingnya. Ingin mengamuk. Tapi, yang terpenting dari itu semua adalah ... Ares menginginkan Elai untuk tetap bersamanya.

Tak perlu berusaha untuk membuka akal sehat cowok itu, nyatanya Ares memang sudah merasa malu dari tadi.

Gimana bisa?

Tapi, Ares bisa apa. Selain meruntuhkan harga dirinya. Membuyarkan rencana yang sudah ia susun sendiri. Karena nyatanya ... alih-alih membuat Elai terpesona, justru dirinya yang terpesona dengan gadis itu.

Ares menarik udara yang ia butuhkan. Ironis, aroma manis Elai pun turun masuk menyentuh saraf penciumannya. Lalu, mata cowok itu melembut ketika menatap pada Elai.

"Untuk semua yang aku lakukan hari ini, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tau bahwa aku benar-benar nggak akan menyetuh kamu lagi, Lai. Dan untuk itu ...," lirih Ares dengan suara berat. "... tinggallah di sini."

Mata Elai sontak membesar. "Kamu .... Kamu ...."

"Aku serius, Lai."

Ares memejamkan matanya. Tampak frustrasi. Nyaris seperti ingin meremas rambutnya dengan kesal ketika ia menggeram.

"Kamu ingin disayang kan?" tanya Ares putus asa. "Biarkan aku."

Elai melongo. Terdiam. Tak mengatakan apa-apa.

"Aku yang akan menyayangi kamu."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top