18. Yang Berbeda

"Braaakkk!"

Elai membanting pintu kamarnya sekuat tenaga. Hingga membuat getaran beberapa detik yang menjalari dindingnya. Wah! Sepertinya emosi gadis itu sungguh tidak main-main kali ini.

Berlari langsung, membanting tubuhnya di atas kasur yang empuk, Elai menumpahkan air matanya di sana. Tersedu-sedan hingga punggungnya berguncang tanpa henti.

Kedua tangannya meremas bantal yang menjadi pendaratan wajahnya. Di sana, Elai menjerit sejadi-jadinya. Menumpahkan semua rasa kesal dan marahnya dalam bentuk lelehan air mata. Hingga tak jarang, tampak tangan Elai yang meremas berubah menjadi kepalan. Hanya untuk memukul bantal itu berulang kali.

Nyaris sepuluh menit berlalu dan tangis Elai belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Hingga kemudian, pada akhirnya Elai bangkit. Duduk dengan wajah yang teramat basah dan rambut riap-riapan. Tampak begitu berantakan.

"Dasar cowok kurang ajar!"

Elai mengumpati Ares seraya mengusap kasar bibirnya yang terasa kebas dan juga bengkak. Dan merasakan itu, sontak saja air matanya mengalir lagi. Dengan mata yang memejam, ia menengadahkan wajah dan terisak kembali.

"Kamu benar-benar keterlaluan Ares! Nggak bakal aku maafkan!"

Berusaha menahan tangisnya, Elai kemudian menyadari sesuatu. Adalah hal yang sangat berisiko bila ia memutuskan untuk tetap tinggal di unit itu berdua saja dengan Ares. Siapa yang bisa menjamin bahwa ciuman itu tidak akan diikuti oleh ciuman lainnya?

"Ka-ka-kalau ntar dia mendadak cium aku lagi ... gimana?"

Glek.

Tentu saja kemungkinan itu ada. Kemungkinan yang sangat besar malah. Dan sejujurnya bukan hanya itu yang membuat Elai ngeri. Yaitu ketika ia teringat bagaimana tadi tangan Ares yang menggerayangi tubuhnya. Sekarang, membayangkan hal itu terang saja makin membuat gadis itu ketakutan.

Elai meraba tekuknya. Mendadak saja satu pemikiran mengerikan melintas di benaknya. Itu adalah kalau tiba-tiba Ares masuk ke kamarnya dan merencanakan sesuatu pada dirinya. Dengan kekuatan Ares –yang terang saja sudah dirasakan Elai tadi-, gadis itu yakin bahwa ia tak akan bisa melawan.

Elai membeku. Dengan imajinasi yang menakutkan itu. Imajinasi yang tak mampu ia cegah untuk dibentuk oleh otaknya.

Ares menutup pintu kamarnya. Menguncinya. Lantas melempar anak kunci itu ke sembarang arah. Sementara Elai ketakutan di atas tempat tidur, ada Ares yang justru melepaskan kaus yang ia kenakan. Dan ketika cowok itu melangkah, tatapan matanya tampak mengintai pada sekujur tubuh Elai yang gemetaran. Persis seperti singa yang tampak senang melihat mangsa buruannya menggigil oleh rasa ngeri.

"Nona .... Siap untuk menyantap pisang ambon Curup hari ini?"

Elai meneguk ludahnya. Mau tak mau pandangan matanya terarah pada sesuatu yang tampak menonjol di balik resleting celana Ares.

"Ka-kamu jangan main-main, Res!"

Ares menyeringai. Kembali melangkah dengan gerakan yang maskulin. Lantas menghampiri Elai di tempat tidur.

Gadis itu membuang mukanya ke arah lain. Tapi, lantas ia merasakan jemari cowok itu yang meraih dagunya. Membuat ia tak bisa mengelak ketika Ares membawa matanya untuk menatap pada manik Ares yang gelap.

Beberapa saat, Ares tak mengatakan apa-apa. Hanya membidik mata Elai dalam keheningan. Hingga kemudian, terdengar pula cowok itu bersuara.

"Main-main?" tanya Ares menggoda. "Apa itu yang Nona pikirkan? Main-main? Ehm ...."

Elai meneguk ludahnya. Menyadari bagaimana tiap detik yang berlalu membuat tubuhnya semakin panas dingin karenanya.

"Nona jangan salah mengira. Saya nggak main-main kok. Dan kalaupun memang kita bakal main-main ...," lanjut Ares seraya mengedipkan satu matanya. "Maka kita akan main-main dalam permainan yang benar-benar berbeda."

Astaga!

"Permainan yang benar-benar akan memacu adrenalin ...."

Jemari Ares sedikit meremas dagu Elai. Membuat gadis itu mengernyit.

"Hingga kita berdua ... basah karena keringat ...."

Lalu wajah Ares semakin mendekat. Membuat napasnya yang hangat membelai wajah Elai.

"Lalu ... bersama-sama kita akan mengerang ... nikmat."

Elai menepis tangan Ares dari dagunya. Berniat untuk melarikan diri. Tapi, Ares dengan sigap meraih tangan gadis itu. Menariknya dan lantas mendorongnya dengan setengah membanting hingga Elai jatuh dengan posisi menelentang di atas tempat tidur.

Ares tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun langsung mengambil tempat di atas tubuh ramping Elai. Menindihnya. Hingga membuat Elai tak mampu bergerak lagi.

"Ssst .... Nona jangan berontak loh."

Elai menggigit bibir bawahnya. "Please, Res. Lepasin aku ...."

Tangan Ares membelai wajah Elai. Tapi, alih-alih membuat gadis itu terbuai, yang terjadi justru sebaliknya. Membuat Elai merinding.

"Saya mau nunjukin pisang ambon Curup saya loh," kata Ares kemudian. "Nona mau kan?"

Memejamkan matanya, Elai menggeleng berulang kali. "Nggak. Please .... Aku nggak mau ...."

"Aaah ...."

Sekarang Elai merasakan embusan napas hangat Ares di lehernya. Dan sontak saja matanya membuka besar ketika merasakan satu sapuan hangat nan basah di kulitnya.

Glek.

Ares baru saja menjilat lehernya dengan sentuhan yang baru pertama kali Elai rasakan seumur hidupnya.

"Kalau nggak mau pisang ambon Curup," bisik Ares di sana. "Apa mau nyoba timun Mawi? Ehm ... nggak kalah enak kok."

Elai meronta. Mencoba mendorong Ares, tapi cowok itu bergeming. "Res ..., please ...."

"Ehm .... atau mau terong Yuvita aja? Ehm ..., Nona pasti suka."

Kepala Elang menggeleng-geleng. Makin terlihat tidak berdaya dengan godaan Ares.

"Kan Nona suka yang bentuknya ... begitu."

Mata Elai membuka nyalang. Langsung menjerit histeris.

"Tidaaak!!!"

Dan bayangan menakutkan itu pun lenyap. Menghilang dari benak Elai. Menyisakan getar-getar ketakutan yang membuat ia nyaris tidak bisa bernapas lagi.

Elai berusaha bangkit dari tempat tidur. Tampak meracau tak tentu arah.

"Aku harus pergi dari sini. Kalau nggak ... jangan-jangan dia bakal ngelakuian hal yang macam-macam sama aku."

Menarik napas dalam-dalam, Elai beranjak ke kamar mandi. Berusaha menguatkan dirinya untuk sekadar merapikan kekacauan yang ia alami.

Membasuh wajahnya. Lalu mengganti pakaiannya. Hingga sejurus kemudian, Elai tampak membuka pintu kamarnya perlahan. Celingak-celinguk. Berusaha untuk menangkap keberadaan Ares. Tapi, tak ada.

Menghitung sampai sepuluh, Elai menyadari bahwa memang tak ada tanda-tanda keberadaan Ares di mana pun. Hingga ia pun menguatkan diri. Keluar. Mengendap-ngendap. Berusaha agar tidak menimbulkan suara sedikit pun. Lalu menuju ke pintu.

*

Sepeninggal Elai yang memilih untuk berlari dengan beruraian air matanya, Ares hanya bisa mematung di dapur. Nyaris seperti cowok itu yang merasa tubuhnya seperti kehilangan nyawanya.

Sungguh.

Ares tidak pernah menduga kalau melihat Elai menangis bisa membuat perasaannya jadi kacau seperti itu. Padahal kalau mau dicermati, dari dulu entah sudah berapa kali Ares menginginkan hal itu. Melihat Elai juga menangis. Lantaran dirinya. Seperti yang pernah Elai lakukan dulu pada dirinya. Tapi, sekarang?

Melihat Elai yang memang menangis karenanya, justru membuat perasaannya seperti diremas-remas. Alih-alih kesenangan seperti yang ia duga bakal ia dapatkan. Ia benar-benar merasa buruk.

Ares ingin menyingkirkan gumpalan menyesakkan itu. Rasanya amat pahit. Seperti menyumbat pangkal tenggorokannya. Nyaris membuat ia tak bisa bernapas lagi. Dan dibutuhkan lebih dari niat yang kuat hingga pada akhirnya, udara itu mampu juga ia hirup.

Rasanya panas.

Seperti membakar.

Hingga membuat paru-parunya seolah meradang.

Maka Ares meneguk satu botol air hingga tandas tak bersisa. Meremas botol kemasannya yang terbuat dari plastik. Lalu membanting benda itu ke dalam tempat sampah.

Menyedihkan sekali.

Bahkan botol air minum yang tak bersalah justru menjadi pelampiasan cowok itu. Ckckckck.

Berusaha menenangkan dirinya, Ares pikir ia harus mengalihkan dulu sejenak pikirannya dari gadis itu. Dan barang-barang belanjaan merekalah yang menjadi pengalihan tersebut.

Ares meraih satu persatu barang belanjaan yang telah keluar dari kantungnya. Dengan gerakan yang lesu, ia berusaha untuk menyusun semua belanjaan itu di tempat yang seharusnya. Dan itu membutuhkan waktu yang teramat lama.

Ketika semua telah berada di tempat yang seharusnya, Ares mengembuskan lagi napas panjangnya. Terpekur di kitchen island dan bayangan tadi kembali muncul di benaknya.

Yang benar saja!

Ide untuk membereskan belanjaan terbukti tidak mampu mengusir bayangan menyesakkan itu dari benaknya. Ironis, tapi Ares berani bersumpah. Bayangan yang menampilkan Elai dengan berurai air mata itu tampak sangat nyata. Seolah itu bukan hanya sekadar ingatan. Alih-alih menyerupai adegan reka ulang.

Ck.

Ares mengumpati dirinya sendiri.

Yang benar aja, Res.

Setelah apa yang Elai lakukan sama kamu dulu, kenapa kamu justru merasa berdosa hanya karena satu ciuman?

Sementara Elai dulu?

Dia mempermalukan kamu di hadapan orang banyak.

Bahkan kalau harus diadili oleh hukum alam, yang kamu lakukan itu masih belum cukup.

Belum setimpal untuk semua yang pernah Elai lakukan ke kamu dulu.

Dan ingat?

Itu bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali kamu dipermalukan oleh gadis itu.

Menyalakan air di wastafel dapur, Ares lantas membasuh wajahnya. Mungkin berpikir bahwa dingin air bisa menjernihkan kembali otaknya yang kalut. Tapi ..., sepertinya itu tidak terlalu bisa diharapkan.

Karena, ya ampun!

"Argh!" geram Ares frustrasi. "Aku bener-bener nggak suka ngeliat Elai nangis kayak gitu."

Ares menyugar rambutnya dengan sepuluh jarinya yang basah. Tampak matanya yang memerah lantaran emosi pada dirinya sendiri. Hingga kemudian, cowok itu memutar tubuh. Melihat pada ambang pintu dapur. Layaknya ia yang –kembali- melihat Elai berlari dari sana. Yang bahkan suara isakan Elai pun seperti terngiang pula di telinganya.

Ares tidak bisa menahan desakan rasa tidak nyaman itu. Sekarang alih-alih ingin melihat cewek itu menangis, Ares justru ingin melakukan hal yang sebaliknya. Ia akan mengusap air mata itu. Sungguh! Apa pun akan ia lakukan asal rasa tak nyaman yang menggerogoti dadanya itu pergi.

Tapi, alangkah kagetnya Ares ketika ia keluar dari dapur. Ia melihat Elai yang mengendap-ngendap keluar dari kamar. Tak perlu bertanya, Ares bisa menebak apa yang akan Elai lakukan dengan pakaian rapi dan sepasang sepatu di kakinya itu.

Dia mau pergi?

Maka Ares pun mempercepat langkah kakinya. Berusaha mengejar Elai. Dan tepat ketika gadis itu membuka pintu, Ares mengulurkan satu tangannya. Mendorong pintu itu untuk menutup kembali sementara tangannya yang lain pun turut bergerak. Merengkuh tubuh Elai. Melintasi dadanya dan mendarat di lengan atas Elai. Menggenggamnya walau tak erat.

Ares merasakan keterkejutan Elai. Tubuh gadis itu menegang, tapi Ares langsung mendaratkan wajahnya di pundak Elai. Tak akan membiarkan cewek itu pergi.

"Jangan pergi, Lai," ujar cowok itu kemudian. "Jangan pergi."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top