17. Ciuman Pertama
Sebenarnya sih itu tidak termasuk dalam rencana Ares. Tidak sama sekali. Ehm ... oke! Paling tidak, tidak termasuk dalam rencananya hari itu. Bagaimanapun juga, Ares sudah cukup merasa bahwa teori pisang, timun, dan juga terong tadi, sudah lebih dari cukup untuk membuat Elai ketar-ketir. Belum lagi ketika ia menyinggung soal gaya. Dan diperparah soal prakteknya coba. Ckckckck. Ares sudah merencanakan hari itu cukup bagi dirinya menggoda Elai. Ia tidak ingin melihat gadis itu mendadak kelonjotan gara-gara perlakuannya. Tapi ....
Tapi, semua lantas buyar ketika Ares melihat ranumnya bibir Elai. Hingga membuat ia tanpa sadar –atau mungkin sadar-, meraih dagu gadis itu. Lantas tanpa kata-kata, menikmati keranuman tersebut dalam satu ciuman yang melumat.
Elai sontak tersentak. Kaget ketika mendapati ada satu pergerakan asing di bibirnya. Membuat ia membeku seketika. Seolah tubuhnya tak lagi bisa bergerak. Nyaris, tak pula bisa bernapas.
Hingga di detik selanjutnya, kesadaran terasa mampu menyentuh akal pikiran Elai. Membuat gadis itu langsung mengangkat kedua tangannya. Membentuk kepalan yang terkesan rapuh, tapi berusaha untuk bisa mendorong dada Ares. Hingga bibir mereka pun lantas terpisah.
"Ka-ka-kamu ...."
Elai berusaha untuk bicara. Tapi, jangankan tubuhnya, suara gadis itu pun turut gemetaran karena ciuman itu.
"Apa Nona marah?"
Sejurus kemudian, justru Ares yang pada akhirnya bicara. Tepat di depan wajah Elai. Hingga napasnya yang hangat justru tambah memberikan kesan panas dingin pada sang gadis.
Kedua bola mata Ares tampak bergerak-gerak. Berusaha untuk mendapatkan fokus retina Elai yang tampaknya menghilang entah ke mana lantaran ciuman itu. Dan ketika pada akhirnya tatapan mereka bertemu, Ares kembali bersuara.
"Kalau saya cium Nona ...," lanjut Ares. "Apa Nona marah?"
Tentu saja jawabannya lebih dari satu kata marah. Jelas, hal itu terpancar dengan nyata di sorot kedua bola mata Elai. Dan memang itulah yang ia rasakan.
Elai tak mampu menahan dirinya. Tangannya terangkat satu. Melayang. Siap untuk mendarat di pipi Ares dalam bentuk tamparan yang tentu saja akan memberikan cap merah di sana. Tapi, Ares menangkap tangan itu dengan tangkas. Dan tak hanya itu, ia bahkan tak memberikan kesempatan untuk Elai menarik kembali tangannya. Alih-alih, Ares justru memegang tangan itu dengan teramat kuat.
"Ares, kamu---"
Memanfaatkan tangan Elai yang berhasil ia genggam, Ares pun lantas menarik gadis itu. Membiarkan tubuhnya jatuh dan mendarat di dadanya yang bidang sementara tangannya yang lain langsung menyasar pada tekuk sang gadis.
Elai tak mampu mengelak. Hanya mampu memejamkan matanya dengan teramat rapat ketika merasakan bagaimana lagi-lagi Ares mencium dirinya. Dan kali ini, benar-benar mendaratkan ciuman yang teramat dalam.
Ares memejamkan matanya. Menahan tekuk Elai dengan mantap saat bibirnya kembali mencecap kelembutan di sana. Membuat ia terdorong untuk memberikan lumatan yang teramat membuai pada bibir bawah Elai. Memanggutnya. Sesenti demi sesenti. Makin dalam bergerak. Lalu mengecupnya dengan teramat sensual.
Ares mengerang. Melepaskan tangan Elai dan langsung menarik pinggang gadis itu tanpa menurunkannya dari atas kursi. Lalu ia melepaskan sejenak bibirnya. Tapi, bukan untuk menghentikan ciuman itu. Alih-alih justru untuk mengubah posisinya.
"A---"
Elai ingin menyebut nama cowok itu. Mungkin sebagai satu upaya menghentikan apa yang sedang ia lakukan. Tapi, Ares justru melihatnya dengan sudut yang berbeda.
Mendapati Elai membuka mulutnya, langsung saja Ares memberikan ciuman yang berbeda dari sebelumnya. Hingga membuat Elai membelalakkan matanya. Menyadari bagaimana ada sesuatu yang asing memasuki rongga mulutnya.
Tangan Elai berusaha untuk mendorong Ares. Tapi, kekuatan cowok itu benar-benar bukan tandingannya. Alih-alih mampu membuat ia lepas, yang ada justru sebaliknya. Entah bagaimana ceritanya, tapi sekarang kedua dada anak manusia itu menempel erat dan kuat. Hingga dada Ares yang bidang dengan jelas bisa merasakan kelembutan payudara Elai.
"Aaa ...."
Itu mungkin adalah ringisan. Tapi, di telinga Ares, itu adalah erangan. Yang membuat ia semakin bersemangat menjelajahi mulut Elai dengan lidahnya. Bergerak perlahan, menyusuri tiap barisan gigi gadis itu. Hingga merasakan sedikit tonjolan kedua gingsul di sana.
Ares semakin menarik Elai. Baik itu di pinggang atau pun di tekuknya. Memaksa Elai untuk menengadahkan wajahnya saat Ares semakin memperdalam ciumannya. Layaknya cowok itu yang ingin tenggelam di dalam rongga mulut Elai. Demi ... demi untuk mampu menemukan kekenyalan di dalam sana. Membelitnya. Lantas mengajak lidah Elai untuk berputar bersama.
Lantas, kedua tangan Elai yang semula mengepal di dada Ares, mendadak saja berubah menjadi meremas. Itu adalah tepat ketika ia merasakan di detik selanjutnya Ares mengisap lidahnya.
Elai melotot. Membelalak. Tapi, ia pun tak bisa berontak ketika Ares menikmati lidahnya. Melumatnya. Mencecapnya. Hingga memberikan beberapa kali gigitan di sana.
Astaga!
Itu benar-benar membuat Elai merasa tak bernyawa lagi.
Terutama karena jelas sekali, di saat mulut Ares menikmati lidahnya, ada tangan cowok itu yang turun menuntut haknya. Mendorong ia untuk menyusuri lekuk pinggang Elai dengan sentuhan yang makin membuat gadis itu meremang.
E-E-Elai ....
Sadar, Lai, sadar.
Elai berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri. Alih-alih terbuai oleh sentuhan Ares yang makin membuat ia melayang dalam tiap waktunya.
Dan ketika jari-jari tangan Ares berpindah di perutnya, Elai menegang dalam dugaan akan menuju ke mana tangan cowok itu selanjutnya. Hingga membuat ia tak mampu berpikir jernih lagi. Lantas langsung mengambil tindakan untuk melepaskan diri dari Ares.
Adalah jari tangan Elai yang kemudian merasakan tonjolan samar dari balik kaus yang Ares kenakan. Menemukan bagian kecil itu, Elai tidak berpikir dua kali untuk mencubitnya dengan sekuat tenaga.
"Aaahhh!!!"
Ares sontak menjerit. Melepaskan tubuh Elai dan menarik diri dengan ekspresi horor melihat pada gadis itu. Seraya mengusap-usap putingnya yang baru saja dicubit, Ares meringis perih.
Astaga!
Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Merinding atas bawah!
"Nona yang benar saja!" tukas Ares kesal. "Ngapain pake nyubit---"
Gerutuan Ares terhenti di tengah jalan. Tepat ketika ia melihat Elai dan menyadari ada yang berbeda dari wajah gadis itu. Elai tampak seperti akan ... menangis.
"No-Nona ...."
Elai menarik napas dalam-dalam berulang kali hingga dadanya naik turun dengan teramat jelas.
"Apa kamu bilang?"
Suara Elai terdengar bergetar ketika melayangkan pertanyaannya pada Ares. Terlihat wajah gadis itu yang memerah. Dan matanya ... tampak mulai berkaca-kaca.
"Nona yang benar saja?" ulang Elai. "Nona yang benar saja? Iya? Nona yang benar saja?"
Ares meneguk ludah. Kali ini jelas bisa merasakan bahwa Elai berada dalam aura yang berbeda dari biasanya.
"Kamu yang benar saja!" bentak Elai. "Berani-beraninya kamu cium aku!"
Bentakan itu membuat Ares tertegun. Entah mengapa, ia merasa seperti tak punya tenaga lagi. Bahkan untuk sekadar membalas perkataan Elai. Yang bisa ia lakukan hanyalah mematung melihat kemarahan di wajah cantik itu. Dengan setetes air mata yang lantas jatuh di pipinya. Dengan tangan yang gemetaran meraba pada bibirnya.
"Kamu nggak perlu khawatir. Dia nggak punya cowok kok. Bahkan kalau mau jujur, sebenarnya dia belum pernah punya cowok."
Entah mengapa, kala itu mendadak saja ucapan Olivia terngiang kembali di benak Ares. Seolah ingin menyadarkan sesuatu pada cowok itu. Andaikan ia tidak terlalu bersemangat mencium dan menggerayangi Elai, tentu saja ia sadar bahwa sentuhannya nyaris tidak benar-benar mendapatkan respon sang gadis.
Elai benar-benar kaku. Tidak bergerak. Persis seperti patung hidup.
"No-No-Nona ... belum pernah ...."
Tapi, Ares tidak menuntaskan pertanyaannya. Alih-alih benar-benar menyuarakan dugaannya itu, ia justru merasa begitu buruk ketika mendapati tetesan air mata yang kedua, turut membasahi pipi Elai.
Ajaib, tapi dalam waktu yang singkat, Ares seolah sadar bahwa yang baru saja ia lakukan adalah sesuatu yang sangat fatal. Sontak saja membuat ia merasa berdosa. Walau jujur saja, ia tak mengira bahwa Elai benar-benar belum pernah berciuman.
Memang, Elai nggak pernah berpacaran sebelumnya. Tapi, nggak ada korelasi antara pacaran dengan berciuman kan?
Ma-ma-maksud aku ....
Siapa pun bahkan bisa berciuman tanpa ada status apa pun.
Untuk pergaulan zaman sekarang yang sudah teramat bebas, itu ... terkadang bukan lagi hal yang tabu untuk beberapa orang.
Argh!
Sepertinya jelas, Elai bukan termasuk dalam kategori 'beberapa orang' tersebut.
Ta-ta-tapi, Elai cantik.
Gimana bisa---
Ares menggertakkan rahangnya. Menyadari bahwa dari tadi, ia berusaha untuk membela dirinya sendiri. Hal yang terang saja membuat ia malu.
Pengecut.
Kamu emang penakut, Res.
Persis kayak yang Elai omongin sejak kalian masih kecil.
Kamu penakut.
Ares beranjak. Dalam satu langkah kecil yang langsung membuat Elai mengambil sikap waspada. Terutama ketika dilihatnya satu tangan Ares naik, mencoba meraih dirinya.
"Nona ...."
Sial!
Sepertinya rasa bersalah sudah benar-benar membuat Ares tak berdaya. Sekarang, ia bahkan bisa mendengar suaranya yang persis seperti suara Elai tadi. Gemetar.
"Sa-sa-saya ... minta maaf."
Akhirnya, Ares mampu juga mengucapkan satu kalimat itu.
"Saya---"
Tapi, belum lagi Ares sempat menuntaskan ucapannya, ia mendapati Elai yang mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Membuat cowok itu tersurut beberapa langkah ke belakang. Hanya bisa pasrah, tak mampu berbuat apa-apa ketika dilihatnya Elai yang langsung berlari meninggalkan dirinya sendiri.
Astaga!
Ada satu rasa yang tak nyaman mendadak langsung menyebar di dalam dada Ares. Bagaimanapun juga, itu jelas, lantaran Ares yang melihat pada kedua tangan Elai yang menutup sebagian wajahnya.
Gadis itu benar-benar menangis.
"Argh!"
Ditinggal Elai seorang diri dalam situasi seperti itu, membuat Ares menggeram. Kedua tangannya lantas naik ke kepala. Meremas rambutnya sekuat tenaga.
Wajah cowok itu terlihat mengeras. Memerah. Dan basah karena keringat. Ia benar-benar frustrasi.
Meringis, Ares merutuki dirinya sendiri.
"Kenapa kamu sampe kebablasan kayak gitu sih, Res? Argh! Kamu benar-benar memalukan!"
Berusaha untuk menenangkan dirinya, Ares menarik napas panjang berulang kali. Tapi, sumpah! Pengaturan laju pernapasan kali ini benar-benar tidak efektif untuk mendamaikan rasa bersalah yang ia rasakan sekarang.
"Ini benar-benar nggak boleh terulang lagi, Res."
Ares memberikan kecaman pada dirinya sendiri. Karena jelas, insiden ciuman dan rasa bersalah yang ia rasakan sekarang membuat ia ngeri untuk satu kemungkinan.
"Boro-boro ngebuat Elai yang terpesona sama aku," kata Ares kemudian. "Kenapa sekarang aku malah ngerasa yang terjadi justru sebaliknya?"
Nyaris gila, sepertinya. Tapi, mau tak mau Ares mempertanyakan hal yang satu itu.
"Kenapa justru kayaknya aku yang tergila-gila sama dia?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top