16. Kesegaran Merah Jambu

Sekarang rasanya ikan hiu yang tadi dimakan Elai, mendadak berenang-renang ke tepian di dalam perutnya. Ugh! Rasanya? Ehm ... mual.

Namun, berbeda jauh dengan keadaan Elai, di depannya, ada Ares yang tampak begitu santai. Bahkan teramat santai walau jelas tadi ia mengatakan sesuatu yang melibatkan kata praktek.

Eh?

Sontak saja membuat Elai menjadi merinding atas bawah.

Gimana bisa ada cowok yang semudah itu ngomong soal gituan sama seorang cewek?

Please ..., seorang gadis!

Memang sih ... secara umur, Elai jelas sudah dewasa. Dua puluh lima tahun. Tapi, tetap saja. Berdasarkan perkataan Olivia tempo hari, bisa dipastikan bahwa Elai sama sekali tidak memiliki pertahanan soal goda menggoda. Ehm ... dia belum pernah pacaran coba. Jadi, terang saja. Sekecil apa pun godaan yang diberikan Ares, itu tetap saja memberikan dampak yang tak tanggung-tanggung pada gadis itu.

Sekecil apa pun.

Termasuk di dalamnya ... seperti gerakan jakun Ares yang turun naik ketika cowok itu meneguk air putihnya.

Glek.

Elai buru-buru memindahkan fokus matanya. Menuju ke beberapa pohon di luar sana yang daunnya tampak bergerak-gerak lantaran tiupan angin sepoi-sepoi.

Ares meletakkan gelasnya yang telah kosong. Mengelap mulutnya dengan dua lembar tisu dan menyembunyikan senyum gelinya di sana.

Oh! Ares bukannya tidak tau. Cowok itu jelas menyadari bahwa sedari tadi beberapa kali Elai menatap pada dirinya. Tapi, cowok itu memutuskan untuk menunda sejenak rencana godaan selanjutnya. Bukannya apa, tapi menggoda itu butuh tenaga. Terlebih lagi kalau godaannya disambut coba.

Eh?

Ares mendehem. Lantas bertanya pada Elai.

"Kita balik sekarang?"

Tak menjawab dengan kata-kata, Elai hanya mengangguk sekali. Lalu ia bangkit berdiri, disusul oleh Ares.

Elai nyaris tiba lebih dulu di kasir, andaikan Ares tidak mendadak mempercepat langkah kakinya. Cowok itu terlihat mengeluarkan dompetnya. Dengan jenaka berkata.

"Sepertinya nggak sopan kalau kita pacaran dan Nona yang bayar."

Mata Elai membesar. Alih-alih mendebat, cewek itu memutuskan untuk buru-buru keluar saja dari sana. Membiarkan Ares untuk membayar makan siang mereka tadi.

Elai menunggu Ares tepat di dekat mobilnya. Berdiri dan baru menyadari bahwa ia tidak bisa masuk lantaran cowok itu yang membawa kunci. Tapi, untunglah. Tak butuh waktu yang lama untuk Elai menantikan kedatangan Ares.

Sepanjang perjalanan pulang menuju ke apartemen, Ares dengan sengaja tidak bicara. Jangankan bicara, mengeluarkan satu suara pun tidak. Dan itu bukan tanpa alasan.

Melalui kaca spion dalam, Ares melihatnya. Bagaimana Elai yang berulang kali menguap. Lebih dari sekali. Dan itu jelas cukup menjadi tanda bahwa sepertinya Elai membutuhkan istirahatnya. Terutama ... yah! Ares menyadari bahwa hari itu ia mungkin sedikit kelewatan dalam menggoda Elai. Tapi, astaga! Melihat pipi Elai memerah karena jengah, sungguh membuat ia ketagihan.

Mobil lantas berhenti bergerak ketika jam telah menunjukkan pukul 15.00 WIB, di mana Ares menghentikan lajunya tepat di parkiran gedung apartemen. Melepaskan sabuk pengamannya, Ares lantas berpaling ke belakang. Mendapati bagaimana Elai yang ternyata memang telah jatuh terlelap.

Ares memutuskan keluar. Memutari bagian depan mobil dan lantas dengan hati-hati membuka pintu belakang.

Cowok itu menurunkan tubuhnya demi bisa melihat wajah damai Elai ketika tidur. Wajar sih mengingat perjalanan pulang mereka lumayan lama dan itu pasti membuat sang gadis menjadi nyaman melepaskan kesadarannya. Tapi, tentu saja. Ares tidak akan membiarkan Elai berlama-lama tidur di sana.

Ares menyentuh tangan Elai. Perlahan dan lembut, berjaga-jaga agar tidak mengejutkan gadis itu.

"Elai ...," lirih Ares dengan suara rendah. "Elai, bangun ...."

Elai bergeming. Tak bergerak. Tidurnya masih tak terjamah oleh suara dan sentuhan yang diberikan oleh Ares.

"Elai ...."

Ares kembali mencoba. Kali ini dengan sedikit menaikkan volume suaranya. Sementara tangannya, ehm ... ternyata telah berpindah tempat. Dari mengguncang lembut tangan Elai, kemudian berpindah pada kepala gadis itu. Bergerak membelai.

"Ehm ...."

Sejurus kemudian, terdengar lenguhan Elai. Hal yang lantas menyadarkan Ares untuk apa yang sedang ia lakukan.

Ares menarik tangannya segera. Mendehem dan meralat panggilannya.

"Nona, kita udah sampe ...."

Elai melenguh lagi. Menggeliat. Lalu pelan-pelan matanya membuka. Menyipit. Dengan dahi mengerut.

"Ares?"

Ares tersenyum. "Udah sampe loh, Non. Apa Nona mau tidur di mobil sampe besok?"

"Ehm!"

Elai mendehem. Baru menyadari maksud perkataan Ares dan tangannya langsung membuka sabuk pengaman. Melihat itu, Ares dengan segera menarik diri.

Ketika Elai turun dari mobil, untuk sejenak ia merasa sedikit gamang. Ehm ... efek karena baru bangun tidur mungkin. Dan untuk itulah Ares lantas memegang pinggang Elai.

"Udah sadar belum, Non?"

Elai menarik napas dalam-dalam. Menahan tangan Ares untuk tidak merengkuh tubuhnya semakin dekat. Ia mengangguk.

"Udah," kata Elai. "Dan lepaskan tangan kamu."

Ares melihat di mana tangannya mendarat. Membuat ia tersenyum, tapi tak urung juga melirih menggoda seraya menarik tangannya dari sana.

"O oh ...."

Mengabaikan Ares, Elai lantas melangkah. Memasang ekspresi datar seraya berkata.

"Jangan lupa dengan belanjaan aku."

Waktu yang tepat, karena pada saat itu Ares pun memang berniat akan mengeluarkan enam kantung belanjaan mereka. Ehm ... bukan jumlah yang sedikit sepertinya.

Ketika Elai sudah berjalan sekitar empat meter, gadis itu menghentikan langkah kakinya. Menoleh ke belakang tepat ketika telinganya mendengar suara alarm mobil. Dan Ares melangkah menuju pada dirinya dengan membawa semua kantung belanjaan yang isinya jelas ... tidak ringan.

Elai melirik dengan sorot sanksi.

"Terangkat nggak? Kuat?"

Ares mendengkus sekilas. "Nona meremehkan saya?" tanyanya seraya terus berjalan dan menyadari Elai pun mengimbangi langkah kakinya. "Jangankan enam kantung belanjaan, ditambah sambil menggendong Nona pun saya masih sanggup." Lantas Ares sedikit berpaling. "Dan ini ngebuat saya semakin bertanya-tanya," lanjut cowok itu. "Segitu penasarannya ya Nona mau tau saya kuat atau nggak?"

Wajah Elai seketika memerah. Langsung saja buru-buru ia mempercepat langkah kakinya. Meninggalkan Ares yang lagi-lagi tersenyum geli.

Ketika Ares melewati pintu penghubung area parkir dan bagian gedung apartemen, ia mendapati Elai yang sudah berdiri di depan lift. Acuh tak acuh, Elai mengusap rambutnya ketika Ares menghentikan langkah kaki di sebelahnya.

"Ting!"

Pintu lift membuka. Tapi, Elai dan Ares belum melangkah masuk lantaran ada seorang wanita yang tampak akan keluar. Ia sedikit menurunkan kacamata bewarna coklat yang ia kenakan. Melirik Elai melalui atas matanya.

"Halo, Lai."

Elai tersenyum dengan enggan. "Hai, Pir."

Wanita itu, Pirly, terlihat memindahkan arah matanya. Pada Ares dan lantas ia terang-terangan melepas kacamatanya.

"Oh!" kesiap Pirly. "Siapa cowok di samping kamu, Lai? Kok cakep sih?"

Bola mata Elai berputar sekilas. "Kamu nggak mau keluar?" tanyanya. "Kalau nggak, kami yang masuk."

Belum lagi Pirly sempat menjawab, Elai telah melangkah terlebih dahulu. Berdiri tepat di depan Pirly dan berkata pada Ares seraya menahan pintu lift.

"Buruan masuk."

Ares mengangguk."Iya, Non."

Mendengar itu, Pirly beringsut. "Nona?" tanyanya. Lalu ia tersadar ketika melihat tangan Elai lepas dari pintu lift. "Eh! Aku mau keluar."

"Ckckckck."

Berdecak, Elai lantas meraih tangan Pirly. Menariknya dan lalu mendorong wanita itu keluar dari lift. Nyaris saja membuat Pirly terjatuh kalau ia tidak buru-buru memperbaiki pijakannya.

"Elai, kamu---"

Elai mencibir tepat ketika pintu kembali menutup. Tampak sekali raut puas di wajah gadis itu ketika kemudian lift pelan-pelan bergerak naik. Hal yang tak luput dari perhatian Ares. Hingga cowok itu bertanya.

"Kayaknya Nona dengan cewek tadi nggak dalam hubungan yang baik ya?"

Elai menoleh seraya bersedekap. Ia mengangguk. "Memang. Lagipula siapa orang waras yang mau berteman baik dengan Pirly? Hellow! Yang pasti bukan aku."

"Ehm ...."

Ares mendehem untuk beberapa saat. Rasa penasaran membuat ia tak mampu menahan desakan untuk kembali bertanya.

"Nona ada masalah sama dia?"

Elai melirik. Belum menjawab.

"Ya ... bukan masalah sih. Cuma bukan level aku aja," kata Elai. "Dia itu suka banget ngerecokin hidup aku."

Ares manggut-manggut. "Oooh ...."

"Dia itu tipikal ibu-ibu di FTV ikan tenggelam," kata Elai kemudian. "Aku potong rambut direcokin. Aku panjangin rambut direcokin. Aku malam mingguan direcokin. Aku nggak malam mingguan direcokin. Ehm ... nggak tau deh ada masalah hidup apa itu cewek."

Ares mengulum senyum dan buru-buru kembali meraih kantung belanjaan yang sempat ia turunkan di lantai ketika lift berhenti bergerak. Mereka telah sampai di lantai unit Elai. Dan selagi melangkah keluar, Elai berkata pada Ares.

"Jadi, kamu harus ingat, Res. Kamu nggak boleh dekat-dekat dengan Pirly. Huh." Elai mendengkus. "Kamu denger kan tadi dia ngomong kamu apa?"

Ares melirik dengan dahi berkerut dan ekspresinya tampak geli.

"Cakep?"

Elai lalu tertawa dengan nada mencemooh. Memasukkan kata sandi pintunya dan masuk. Tapi, tetap saja ia melanjutkan gerutuannya.

"Dia selalu kayak gitu. Kayaknya semacam terobsesi dengan kehidupan aku."

Elai terus berjalan. Merasa haus, ia menuju ke dapur. Tapi, bukan berarti gerutuannya berakhir.

"Aku bisa pastikan," kata Elai kemudian. "Dalam hitungan jam, dia pasti bakal berusaha untuk ngedapetin nomor ponsel kamu."

Elai membuka pintu kulkas. Mengambil sebotol air mineral dan meraih satu gelas. Menuangkan air untuk dirinya sendiri. Setelah menikmati satu tegukan, ia melihat pada Ares yang meletakkan belanjaan tadi di atas kitchen island.

"Aku ingatkan sama kamu, Res."

Seraya mengusap tekuknya, Ares melangkah mendekati Elai. Mengambil alih botol air mineral tersebut dan langsung meneguk isinya tanpa bantuan gelas.

"Glek ... glek ... glek ...."

Mata Elai sontak membola melihat jakun Ares yang naik turun. Dan ketika cowok itu mendesah lega, Elai mengerjap.

"Aaah!"

Ares meremas botol yang telah kosong itu. Membuangnya ke tempat sampah dan beranjak untuk mengeluarkan semua belanjaan dari kantungnya seraya bertanya.

"Ingatkan apa, Non?"

Butuh beberapa detik untuk seorang Elai tersadar dari keterpanaannya terhadap Ares. Hingga ia kemudian mendehem dan barulah teringat dengan apa yang ingin ia katakan tadi.

Elai melihat satu persatu buah dan sayur, serta barang lainnya yang keluar dari kantung belanjaan. Mengembuskan napas, Elai pada akhirnya memilih duduk di satu kursi bundar di sana.

"Aku ingatkan kamu untuk nggak dekat-dekat dengan Pirly," kata Elai. "Males banget aku kalau sampe ada di circle aku yang berhubungan sama cewek kayak dia."

Ares yang semula akan menata langsung belanjaan itu, sontak menunda sejenak niatannya. Alih-alih, ia justru tampak beranjak dari sana. Menghampiri Elai dan lantas memutar tubuh gadis itu untuk menghadap padanya.

Wajah Ares turun. Tangannya mengurung di dua sisi.

Elai menarik diri. Tertahan oleh pinggiran kitchen island yang dingin. Matanya melotot.

"Mau ngapain lagi kamu?"

Ares tersenyum. "Nona cemburu?"

"Cemburu dasar GR!" tukas Elai. "Ngapain juga aku cemburu sama Pirly?" Ia mendengkus. "Dilihat dari mana pun, dia jelas nggak selevel sama aku. Aku itu---"

"Tentu saja," kata Ares memotong ucapan Elai. "Jelas Nona lebih cantik ...."

Glek.

Elai melihat satu tangan Ares naik. Membelai sisi wajahnya.

"Lebih manis ...."

Elai melotot.

"Dan Nona juga pacar saya."

Mata Elai terpejam dramatis. Dan ketika ia membuka mata, ia mendapati Ares yang tersenyum padanya.

"Lagipula ... saya jelas nggak suka sama dia. Siapa namanya tadi? Pirly?" Ares mengerutkan dahi. "Itu benar-benar mengingatkan saya dengan anaknya Mr. Crab."

Elai sontak tertawa. "Pearl maksudnya kamu?"

Ares menyeringai. "Iya."

"Hahahahaha."

Tawa Elai semakin menyembur. Membayangkan Pirly adalah Pearl dalam kehidupan nyata, jelas adalah hal yang menggelikan untuknya.

"Kamu ini, Ares," kata Elai kemudian. "Apa kamu sering nonton kartun? Sampe kamu hapal semua tokohnya?"

Dengan penuh irama, Ares menggeleng.

"Tapi, saya punya ingatan yang kuat," katanya. "Sekali lihat, saya bisa ingat sampai kapan pun."

Elai masih terkekeh geli.

"Dan itu membuat saya kepikiran sesuatu." Dahi Ares berkerut. "Apa sebenarnya Nona sedang hidup di Bikini Bottom?"

"Hahahahha. Ya nggak dong."

Ares diam. Terpesona melihat derai awa Elai yang tampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Hingga kemudian, ketika Elai menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan, gadis itu sontak menghentikan tawanya. Merasa kikuk dan seolah baru sadar bahwa tangan Ares kembali mengurung dirinya.

"Ares, kamu---"

"Apa Nona tau kalau Nona benar-benar terlihat cantik saat tertawa?"

Tanpa tedeng aling-aling, Ares sukses membuat Elai seketika merasa salah tingkah. Hingga cewek itu merasa tak nyaman karenanya. Ya ... karena jarak mereka yang dekat. Ya ... karena ucapan cowok itu. Ya ... karena semuanya sih.

"Ka-ka-kamu ini ngomong apaan coba?"

Tangan Ares bergerak. Meraih dagu Elai dan membawanya untuk menatap pada dirinya. Sepasang mata pun bertemu.

"Nona serius kan mau ngajak saya pacaran?"

Elai membeku.

"Karena jujur saja, Non," kata Ares kemudian. "Jauh di lubuk hati saya, sekarang ini saya beneran merasa kalau Nona adalah pacar saya."

"A-A-Ares ...."

Untuk beberapa detik waktu yang berlalu, Elai bisa mendapati ada perubahan dalam sorot mata cowok itu. Tampak semakin intens. Menatap lurus pada matanya. Lantas ... fokus itu pun berpindah. Pada sesuatu yang ranum dan bewarna merah jambu. Yang tampaknya sama segarnya dengan buah jambu yang sesungguhnya.

Ares meneguk ludahnya. Matanya berkedip sekali. Lalu ketika mata kembali pada manik Elai, tanpa aba-aba ia menurunkan wajahnya.

Elai terkesiap. Tapi, tanpa ada suara yang terdengar. Karena jelas. Semua teredam sempurna dalam ciuman yang Ares labuhkan di sana.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top